Anda di halaman 1dari 22

Proposal penelitian

BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Sekolah Dasar mencakup beberapa mata pelajaran. Salah satu mata pelajaran
yang wajib diajarkan antaranya adalah Matematika. Matematika menjadi matapelajaran yang
diajarkan dari kelas 1 sampai dengan kelas VI. Akan tetapi untuk seorang anak tunagrahita
mata pelajaran Matematika menjadi pelajaran sulit.
Menurut Joseph Payne dalam Mathematics for young Child, NCTM (National Council of
Teaching Mathematics), Ia menulis: Sebenarnya tak seorangpun mampu mengajarkan
matematika kepada siswanya. Guru efektif itu ialah orang yang bisa memberi rangsangan
kepada siswa untuk belajar matematika. Penelitian pendidikan memperlihatkan bukti bahwa
siswa belajar matematika dengan baik ketika mereka membangun sendiri pengertian tentang
matematika. Tingkat pengetahuan anak adalah unik, keunikan ini ditunjukkan dengan adanya
siswa yang belum ingat, hampir tahu, hampir mengerti, mengerti dan mampu memecahkan
masalah dan bahkan ada yang sudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan
sangat diperlukan bagia anak tunagrahita agar mampu dalam beraktifitas dikehidupan seharihari tanpa tergantung dengan orang lain.
Dalam proses belajar guru merupakan salah satu komponen penentu keberhasilan belajar
siswa supaya mencapai keberhasilan sesuai dengan tujuan pelajaran. Disamping itu seorang
guru di dalam kegiatan pembelajaran dituntut kemampuannya untuk menciptakan kegiatan
belajar mengajar yang efektif dan efisien. Berkaitan dengan itu, Sardiman (2006:135)
menyatakan :
Ada 3 tingkat profesional guru dalam bidang kependidikan yaitu: 1). capable-personal,
artinya guru dapat diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan serta
sikap yang lebih mantab sehingga mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif;
2) guru sebagai inovator, artinya memiliki pengetahuan dan kecakapan dan serta sikap yang
tepat terhadap suara pembaharuan; 3) guru sebagai developer, artinya guru harus dihadapi
dalam sektor pendidikan.
Sebagai salah unsur dalam pembelajaran, Matematika merupakan salah satu materi pelajaran
yang diajarkan disekolah. Namun selama ini matematika bagi siswa pada umumnya
merupakan pelajaran yang tidak disenangi, matematika bagaikan pelajaran yang menakutkan.
Nilai matematika selalu lebih rendah daripada pelajaran yang lain. namun, pelajaran
matematika sangat penting bagi anak tuna grahita meskipu terbatas pada bilangan tertentu.
dalam mengikuti proses pembelajaran khususnya mata pelajaran matematika diperlukan
pelayanan khusus sesuai dengan kondisi siswa. pada proses belajar mengajar matematika
selain melibatkan pendidik dan siswa secara langsung, juga diperlukan pendukung yang lain
yaitu : alat pelajaran yang memadai, penggunaan metode yang tepat, serta situasi dan kondisi
lingkungan yang menunjang.
Anak tunagrahita merupakan salah satu anak luar biasa yang kemampuan intelektualnya
dibawah rata-rata dan memiliki kelemahan dalam berpikir dan bernalar. akibat dari
kelemahan tersebut anak tuna grahita ringan memiliki kemampuan belajar dan beradaptasi
sosial yang berada dibawah rata-rata. anak tunagrahita ringan juga mengalami masalah dalam
bidang akademik khususnya menulis, membaca dan berhitung. mereka secara fisik tampak
seperti anak normal pada umumnya. oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik
antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. secara fisik anak tunagrahita ringan tidak
memiliki hambatan.
Masalah utama yang dihadapi oleh anak tunagrahita ringan terletak pada masalah mental dan
psikis yaitu berkaitan dengan kemampuan intelektual yang dibawah rata-rata, kemampuan
1

berfikir rendah, perhatian dan daya ingatannya lemah , sukar berpikir abstrak, maupun
tanggapan yang cenderung konkret visual dan mudah bosan. hal tersebut ditunjukkan
misalnya dalam materi mengenal bilangan.
Pemberian materi dengan melibatkan keaktifan siswa pada saat belajar yang sesuai dengan
materi pengajaran khususnya mata pelajaran Matematika salah satu alternatif untuk
meningkatkan hasil belajar Matematika.
alasan diambilnya model pembelajaran konstruktivistik dan dihubungkan dengan pemahaman
karena pada dasarnya semua siswa mampu mengembangkan pemahamannya terhadap operasi
penjumlahan. sesuai pendapat Butterworth dalam Paul Ginnis, gen-gen kita terdir dari
suatu set instruksi untuk membangun otak matematik dan inilah mengapa, tanpa diajar,
manusia dilahirkan untuk berhitung.[1]
Pemahaman yang kurang dari anak tunagrahita, berdasarkan hasil belajar matematika tentang
penjumlahan, terbukti dari prosentasi ketuntasan belajar anak pada materi ini hanya mencapai
nilai rata-rata 60,5 dalam satu kelas.
Berdasarkan pengamatan dilapangan dapat disimpulkan bahwa, pemahaman yang urang pada
kompetensi penjumlahan pada bilangan idi Kelas V SLB Cempaka Putih ini disebabkan
karena guru tidak emmusatkan masalah sebagai perhatian pada pembelajaran menggunakan
alat peraga dan masih menggunakan cara mencontoh langkah-langkah saja.
Guru memberi pengajaran mencontohkan langkah untuk menjelaskan cara menjawab
permasalahan, sehingga saat proses belajar mereka belum mampu membicarakan dan
menjelaskan jalan berpikir, tidak mengerti penjumlahan dua angka dengan satu angka dan
dua angka dengan dua angka. Latar belakang lainnya adalah tidak adanya keterlibatan aktif
dari siswa untuk membangun cara berpikir kreatif. Sehingga mereka tidak mengerti konsep
penjumlahan dalam memecahkan masalah
Sebenarnya tidak ada kata tidak untuk melaksanakan model pembelajaran konstruktivistik
memerlukan model pembelajaran ini untuk membuka pikiran atas apa yang mereka sedang
pikirkan pada alam pikiran mereka. Guru membukahal tersebut dengan menerapkan cara
kerja kelompok dilengkapi dengan permainan bebas aktif melalui benda-benda konkret untuk
mampu berhitung menjumlah.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik mengaankat model pembelajaran konstruktivistik
karena model pembelajaran ini memperhatikan perbedaan siswa sebagai individu. Model
pembelajaran ini tidak terlalu menekankan hasil yang bagus tetapi menekankan proses
sebagai hal bertahap mencapai pengertian dan pembelajaran.
1. B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah , teridentifikasi fokus-fokus penelitian guna
meningkatkan kemampuan berhitung penjumlahan secara optimal :
1. Bagaimana melakukan penjumlahan dua angka dengan satu angka dan dua angka.
2. Bagaimana mengajarkan memecahkan masalah penjumlahan dalam soal cerita.
3. Bagaimana memusatkan masalah dengan menggunakan alat peraga.
4. Bagaimana mengajarkan penjumlahan dengan menggunakan metode pembelajaran
konstruktivistik?
1. C. Pembatasan Fokus Penelitian
Mengingat banyaknya permasalahan yang telah diidentifikasikan di atas, peneliti tidak akan
mengkaji seluruh permasalahan dalam penelitian ini, penelitian yang peneliti laksanakan
hanya terbatas pada kajian tentang upaya meningkatkan kemampuan penjumlahan dengan
metode pembelajaran konstruktivistik.

D. Perumusan Masalah Penelitian


Dengan mencermati apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, maka perumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah dengan menggunakan metode
pembelajaran kontrukstivistik dapat meningkatkan pemahaman operasi penjumlahan siswa?
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi :
1. 1. Siswa
Bagi sisiwa hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman pada operasi
penjumlahan dalam pembelajaran matematika dan meningkatkan kemampuan berhitung
dalam kehidupan sehari-hari.
1. 2. Guru
Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya meningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional dalam pembelajaran matematika di kelas bagi siswa tunagrahita.
1. 3. Peneliti
Dapat dijadikan sebagai masukan dan bekal untuk berperan agar memberikan kontribusi
positif terhadap keberhasilan belajar siswa..
[1] Paul Ginnis, Trik dan Taktik Mengajar Strategi Meningkatkan Pencapaian Pengajaran di
Kelas (Jakarta: Indeks, 2008), p.17
BAB II
ACUAN TEORITIK DAN KERANGKA BERFIKIR
1. A. Acuan Teoritik dan Fokus yang diteliti
2. 1. Hakekat Pemahaman
a. Pengertian Pemahaman
Pemahaman adalah kemampuanuntuk membaca dan memahami gambaran, laporan, table,
diagram, arahan dan peraturan (Wikipedia). Sedangkan menurut Winkel, pemahaman adalah
kemampuan menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari.[1] Adanya kemampuan
ini dapat dilihat dalam kemampuan menguraikan isi pokok dari suatu bahasan, kemampuan
mengubah suatu data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain, seperti
rumusan matematika dalam bentuk kata-kata.
Anderson dalam HAsanah menggunakan istilah (mengerti) understand sebagai padanan kata
pemahaman. Understand adalah kemampuan merumuskan makna dari pesan pembelajaran
dan mampu mengkomunikasikannya dalam bentuk lisan, tulisan maupun grafik.[2] Kata kerja
yang sering disepadankan dengan kata pemahaman adalah menginterpretasikan, memberi
contoh, mengklasifikasi, menyimpulkan, membandingkan dan menjelaskan.[3]
Menginterpretasikan adalah kemampuan mengubah sajian informasi dari suatu bentuk ke
bentuk yang lain. Memberi contoh adalah kemampuan memberikan contoh khusus dari
suatu konsep atau prinsip. Klasifikasi adalah kemampuan untuk meilah contoh dan yang
bukan contoh dari suatu konsep atau prinsip. Menyimpulkan adalah kemampuan untuk
menyusun pernyataan tunggal yang mewakili suatu informasi. Membandingkan adalah
kemampuan menunjukkan persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek.
Menjelaskan adalah kemampuan merumuskan dan menggunakan model sebab akibat sebuah
system. Siswa yang memiliki kemampuan menjelaskan dapat menggunakan hubungan sebab
akibat antar bagian dalam suatu system.

Menurut Benyamin Bloom dalah Ginnis, pemahaman diuraikan sebagai menyusun ulang
kara, mengubahm merangkum, menjelaskan, mendefinisikan, menafsirkan, mnyusun ulang
kalimat, mempara-phrase, mengubah urutan, memahami, mengonsep dan menghitung.[4]
Proses terjadinya pemahaman karena adanya kemampuan menjabarkan sesuatu materi ke
materi lain. Pemahaman ini misalnya, ia dapat menjelaskan angka ke dalam narasi. Siswa
dapat menafsirkan sesuatu melalui pernyataan dengan kalimat sendiri.
Paul R Burden dan David M Byrd berpendapat bahwa pemahaman atau comprehension
adalah understand fact and principles, interpret verbal material, interpret charts and graphs,
translate verbal material to math formulas estimate future consequences, imlied date justifies
methods and procedures.[5]
Arti dari kalimat di atas adalah memahami fakta dan prinsip, menafsirkan bahan perkataan,
menafsirkan bagan dan grafik, menterjemahkan materi perkataan menjadi rumusan
matematika, memperkirakan konsekuensi pada masa yang akan dating, menafsirkan data
sesuai cara dan prosedur
Adapun menurut Caine dalam Ginnis, bahwa pemahaman adalah kemampuan untuk
memahami materi dengan cara menamainya dan menguasai atau sense.[6] Kemampuan
menamai adalah mengeri pada permukaan saja berartu secara dalam.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah kemampuan untuk
emerikan label atau didalam operasionalnya menamai bilangan, kemampuan menafsirkan
bilangan sebagai menguasai bilangan, kemampuan mencontohkan sebagai menjumlah suatu
bilangan, kemampuan menggolongkan sebagai menulis nama dan lambang bilangan,
kemampuan menyimpulkan sebagai mengubah konsep.
1. 2. Hakikat Penjumlahan
a. Pengertian Penjumlahan
Penjumlahan merupakan bagian ddari pembelajaran matematika. penjumlahan adalah susatu
cara pendek untuk menghitung. Menurut Akbar Sutawijaya, dkk penjumlahan merupakan
anggota gabungan dua himpunan yang terpisah. Artinya menggabungkan dua atau beberapa
himpunan. Sementara menurut Muchtar A. Karim mengatakan bahwa operasi penjumlahan
dasarnya merupakan suatu aturan yang mengaitkan setipa pasangan bilangan cacah dengan
bilangan cacah lainnya. Penjumlahan bilangan bulat merupakan penggabungan bilanganbilangan yang terdiri dari bilangan asli, nol dan semua lawan dari bilangan asli. Simbol untuk
operasi penjumlahan adalah tanda plus ( + ).
Membicarakan pengertian operasi penjumlahan berawal dari cara siswa berhitung menurut
kemampuan mereka yang unik, sebagaimana yang dikatakan oleh Clements dan kawankawan sebagai berikut. There are three how-to-count principles. According astable-order
principle, the number names that child uses must be arranged in stable, or repeatable two
processes- [artitioning and labeling. The cardinal principle states that the final numeral has
special significance- it represents the how many ness of the set as a whole. Arti dari kutipan
dia atsa adalah peneliti terdahulu sudah memastikan bawha setiap anak kecil telah
mempunyai cara berhitung mereka secara unik, sejak taman kanak-kanak. Cara berhitung
tertentu yang unik yang telah dimiliki beragam caranya bahkan sejak mereka di Taman
Kanak- Kanak. Adapun cara berhitung yang dimaksud adalah sebagai berikut: cara pertama,
menunjukkan objek satu persatu dengan mebilang objek tersebut menggunakan bilangan dari
terkecil secara satu persatu sampai objek tersebut selesai dihitung, proses ini dinamakan
stable-order-prinsiple atau menghitung berurutan stabil. Cara menghitung berurut misalnya
menamakan benda yang pertama disebut dengan satu, yang kedua dengan dua dan seterusnya.
Cara kedua, membilang dari titik bilangan yang telah ia ketahui dan menyebutkan secara satu
persatu, di mulai setelah bilangan yang ia ketahui sampai bilangan dan objek itu selesai
dihitung. Penjumlahan seperti 8+4= bagi siswa yang menghitung memisah dimulai setelah
4

bilangan delapan dan menghitung satu eprsatu dengan keempat jarinya, bilangan empatnya
dimulai dengan 9, 10, 11, 12. Bilangan terakhir adalah bilangan yang menunjukakan berapa
jumlah benda yang dihitung disebut dengan cara berhitung the one-one principle.
Cara berhitung ketiga, yang disebut denga cardinal principle, artinya mereka menghitung
langsung dengan bilangan yang diketahui misalnya 3+4= mereka telah mengetahui secara
mental banhwa symbol 3 diartikan dengan banyak benda yang berjumlah tiga secara otomatis
mereka melihat symbol dengan tanda + sebagai menambah dan symbol lainnya sengan
banyak benda lainnya yang digabung dan jumlahnya adalah berepa banyak benda yang
dihitung.
Selama mempelajari penjumlahan sebenarnya siswa berusaha untuk menggabungkan bendabenda yang dihitungnya. menghitung cara menggabungkan bagi siswa dihitung dengan
hitungan berurut dari awal benda yang ada sampai benda itu habis dihitung satu persatu. Cara
seperti ini sering kali mereka lakukan langsung dengan jari mereka sendiri.
Secara konkret, benda-benda yang dapat dipegang dan dilihat serta dipindahkan sperti kubus
yang terhubung dan lainnya, dapat dihitung dengan cara menghitung menggabung ini. Siswa
akan terlihat menjumlah sesuai dengan kemampuan mreka masing-masing
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penjumlahan adalah penggabungan
dari beberapa benda atau bilangan dari jumlah adalah satu operasi hitung bilangan.
1. 3.

Hakekat Tuna Grahita


1. a. Pengertian Anak Tuna grahita
Keadaan setiap manusia berbeda satu dengan yang lain, masing-masing memiliki
keunikan. kelemahan dan kelebihan dimiliki setiap anak, masing-masing anak terlahir dalam
keadaan yang berbeda, demikian juga dalam hal kemampuan berpikir. Anak yang mengalami
kelemahan atau kelainan dalam berpikir secara umum sering disebut dengan anak dibawah
normal atau tunagrahita. Anak tunagrahita adalah merupakan individu yang utuh dan unik.
Banyak definisi atau pengertian yang dapat menjelaskan tentang anak dengan gangguan
intelektual atau tunagrahita, para ahli mendefinisikan anak dengan gangguan intelektual
menurut bidang mereka masing-masing. para dokter biasanya mendefinisikan kea rah medis
yaitu oenyakit, lain lagi untuk para guru yang lebih mendefinisikan kearah kondisi
intelegensi.
Tunagrahita adalah kata lain dari retardasi mental (mental redarsation). arti harfiahnya adalah
dari kata tuna yaitu merugi sedangka grahita adalah pikiran, ditandai oleh cirri utamanya
adalah kelemahan dalam berfikir dan bernalar. akibat dari kelemahan tersebut anak
tunagrahita memilki kemampuan belajar dan adaptasi sosialnya berada dibawah rata-rata.
tunagrahita menjelaskan tentang kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata-rata yang
ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi social.
Para ilmuwan telah mengalami kesulitan untuk menemukan suatu definisi yang memuaskan
tentang anak tunagrahita atau anak retardasi mental berbagai variable. pada tahun 1961
American Assosiation on Mental Deficiency (AAMD), mendefinisikan retardasi mental
sebagai kelainan yang (1) meliputi fungsi intelektual umum dibawah rata-rata (subaverage),
yaitu IQ 84 kebawah berdasarkan tes individual, (2) muncul sebelum usia 16 tahun dan
(menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif). keriga criteria tersebut harus ditemukan
sebelum seseorang anak dinyatakan sebagai anak tunagrahita atau retardasi mental.
Menurut Japan League for the Mentally Retarded (1992:p.22) yang dimaksud dengan
retardsai mental adalah fungsi intelektualnya lamban yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes
intelegensi baku, kekurangan dalam perilaku adaptif dan terjadi pada masa perkembangan,
yaitu antara konsep hingga usia 18 tahun. Baik definisi yang dikemukakan oleh Japan League
for the Mentally Retarded mengandung persamaan tetapi juga perbedaan. persamaannya
adalah (1) IQ berada dibawah rata-rata secara nyata, (2) adanya kekurangan dalam perilaku
5

adaptif dan (3) terjadi pada masa perkembangan. perbedaan pada batas atas skor IQ anak
tunagrahita dan batas usia perkembangan. jika menurut Japan League for the Mentally
Retarded anak yang memiliki IQ 70 sudah dinyatakan sebagai anak tunagrahita maka
menurut AAMD anak yang memiliki IQ 84 kebawah yang sudah disebut tunagrahita.
Menurut pendapat Warner didalam buku terapi okupasi untuk anak berkebutuhan khusus
karangan Sujarwanto, anak dengan gangguan intelektual atau retardasi mental adalah anak
yang mengalami keterlambatan atau kelambatan perkembangan mental. Anak yang
mengalami gangguan intelektual mempelejari berbagai hal yang lebih lambat dari pada
berbagai hal lebih lambat daripada anak-anak lain sebayanya. anak mungkin terlambat mulai
bergerak, tersenyum, menunjukkan minat pada berbagai hal atau benda, menggunakan
tangannya, duduk, berjalan, berbicara dan mengerti. Atau mungkin memiliki kemampuankemampuan itu lebih cepat, tetapi lebih lambat dalam hal-hal lain.
Fungsi intelektual dibawah normal yang dimaksud adalah menunjukkan secara essensial pada
kelambanan kemampuan anak dalam memproses informasi yang diterima. hal tersebut dapat
dilihat secara nyata dengan melakukan tes intelegensi secara individual. ingatan anak dengan
gangguan intelektual kurang efisien dank arena itu ada yang mengatakan sebagai anak yang
lemah ingatan. kemampuan untuk menuangkan ide sangat terbatas, begitu juga
kemampuannya dalam menggunakan informasi untuk bernalar, menghitung atau meramal
kemungkinan dan mengevaluasi suatu keadaan.
Hambatan penyesuaian perilaku adaptif yang dialami oleh anak dengan gangguan intelektual
adalah kurang mampu melakukan perkerjaan-pekerjaannya sesuai dengan umurnya. Anak
dengan gangguan intelektual hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat
dilakukan oleh anak usia dibawahnya. Dengan keterbatasan tersebut maka anak dengan
gangguan intelektual mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan
kepadanya. hal tersebut memang belum bisa diukur secara formal namun bisa dilihat dari
pengalaman dilapangan.
Gangguan intelektual biasanya pada masa perkembangan anak hingga usia remaja.
dimanifestasikan dalam periode perkembangan berarti bahwa gangguan tersebut harus dapat
diobservasi selama masa kanak-kanak. adanya gejala sakit mental atau disfungsi otak yang
muncul pada masa dewasa tidak dapat digolongkan ke dalam gangguan intelektual atau
tunagrahita. terdapat perbedaan antara gangguan intelektual dengan sakit mental atau sakit
jiwa. gangguan intelektual adalah ketidakmampuan untuk memecahkan persoalan yang
disebabkan oleh kecerdasan yang kurang berkembang dan kemampuan adaptifnya terhambat,
sedangkan sakit mental atau sakit jiwa merupakan kegagalan dalam membina kepribadian.
Jadi menurut beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari anak
gangguan intelektual adalah mereka yang mengalami kondisi fungsi intelektual berada
dibawah rata-rata anak normal seusianya berdasarkan tes individu sehingga mengalami
hambatan dalam adaptasi tingkah laku dan asosiasi lingkungan yang terjadi sejak masa
perkembangan sampai usia remaja.
Menurut beberapa pendapat para ahli tentang pengertian tunagrahita dapat kita ambil
kesimpulan bahwa, anak tunagrahita adalah anak yang memiliki fungsi intelektual umum
dibawah rata-rata IQ 84, muncul sebelum usia 18 tahun, menunjukkan hambatan dalam
perilaku adaptif
1. b. Klasifikasi anak tunagrahita
Klasifikasi diperlukan untuk memudahkan pemberian bantuan atau pelayanan kepada anak
tunagrahita. tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki
perkembangan intelegensi yang terlambat. setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ
mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yaitu tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan
tunagrahita berat.
6

Klasifikasi anak gangguan intelektual menurut DSM IV yang dikutip oleh DSM IV yang
dikutip oleh Sri Suwartinahyaitu:
1. retardasi mental ringan atau mild Mental retardation kategori ini Educable:
a) IQ 52-67 (55 s/d 70)
Karakteristik:
1) Tidak memperlihatkan kelainan fisik
2) Agak mengalami keterlambatan dalam belajar bahasa
3) terdapat gangguan area sensori motor baru mengembangkan kemampuan social dan
komunikasi selama masa preschool 0-5 tahun
4) `mampu mandiri
5) Mengalami kesulitan dalam sekolah
6) sedikit rendahnya proses penyesuaian diri dari anak normal.
2. Retardasi Mental sedang atau Moderate Mental Retardation kategori Trainable:
a) IQ 36-51 (Stanford-Binet) (35-40 s/d 50-55)
Pada masa ini anak dapat diajarkan lewat program training keterapilan social dan
okupasional. pekerjaan yang dapat mereka lakukan ketika dewasa bersifat semi skill, dibawah
pengawasan.
Karakteristik:
1) Termasuk mampu latih untuk beberapa keterampilan tertentu
2) Terkadang menampakan kelainan fisik berupa gejala bawaan
3) Lambat dalam pengembangan pemahaman penggunaan bahasa
4) Keterampilan merawat diri dan motorik terlambat
5) Ada yang agresif dan sikap bermusuh terhadap yang belum kenal.
3. Retardasi Mental Berat atau Severe Mental Retardation, terjadi selama masa kanak-kanak
berlangsung
a) IQ 20-35 (Stanford-Binet) (IQ 20-25 s/d 35-40)
Karakteristik:
1) Menunjukkan banyak masalah
2) Terkadang masih ada yang bisa komunikasi, tetapi ada juga yang sama sekali tidak bisa
berkomunikasi.
3) Mengalami gangguan bicara
4) Daya motorik berat
5) Tidak mampu mengurus diri sendiri
6) Menunjukkan kerusakan perkembangan susunan saraf pusat
7) Anak dapat dilatih berbicara didalam skill perawatan diri dasar, yang akan membuat anak
sedikit kemampuan akademik sederhana, berhitung dan membaca.
8)Anak pada kondisi ini mengalami kecacatan yang cukup membutuhkan perawaran khusus.
4. Retardasi Mental Sangat Berat atau Profound Mental Retardation
a) IQ dibawah 20 (Stanford-Binet)
Karakteristik:
1) Menampakkan kelainan fisik yang nyata
2) memperlihatkan kelainan otak
3) Mengalami gangguan serius pada fungsi psikomotorik
4) Penyesuaian diri sangat kurang
5) Selalu butuh pengawasan dan bantuan
6) Pemahaman dan penggunaan bahasa yang sangat terbatas
7) Mempunyai sedikit sekali kemampuan merawat diri
7

8) ngompol S.M Lumbantobing, Anak dengan Mental terbelakang (Jakarta : FKUI, 1998) h.5
Jadi dalam klasifikasi tunagrahita dapat dibedakan berdasarkan kemampuan akademik dan
sosialisasinya. Semakin rendah kemampuannya semakin terbatas pula kemampuan yang
dimiliki.
Klasifikasi anak tunagrahita oleh Grossman seperti dikutip Kirk dan Gallagher berdasarkan
tingkat intelegensi dengan menggunakan skala wecshler yaitu: Retardasi mental ringan (Mild
Mental Retardation) IQ 55-59, Retardasi mental sedang (Moderate Mental Retardation) IQ
40-54, Retardasi Mental Berat (Severe Mental Retardation) IQ 25-39, Retardasi mental
sangat berat (Profound Mental Retardation IQ 24 kebawah). Klasifikasi tersebut
menunjukkan fungsi intelektual secara nyata dibawah rata-rata. Jadi seseorang dikatakan
anak gangguan intelektual jika intelegensinya kurang dari 70 skala Wechsler.
Pengklasifikasian anak tunagrahita yang sudah lama dikenal ialah Debil untuk yang ringan,
Imbesil untuk yang sedang dan idiot untuk yang berate dan sangat berat. Pengelompokan
anak tunagrahita yang digunakan oelh kalangan pendidik di Amerika ialah Educable Mentally
Retarded, Trainable Mentally Retarded dan Totally/ Custodial Dependent yang diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia : Mampu didik, Mampu latih dan mampu rawat.
Klasifikasi runagrahita menurut DSM IV (American Psikiatrik Association, Washington,
1994) sebagai berikut :
a. Tunagrahita ringan
Mereka yang termasuk dalam kelompok retardasi yang dapat dididik (educable). Pada usia
prasekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan social dan komunikatif,
mempunyai sedikit dalam bidang sensorimotor dan sering tidak dapat dibedakan dari anak
yang tanpa retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka
dapat memperoleh kecakapan akademik sampai kira-kira tingkat 6 (kelas 6 SD)
b. Tunagrahita sedang
Mereka yang termasuk dalam kelompok retardasi dapat dilatih (trainable). Mereka dapat
memperoleh manfaat dari latihan kecakapan social dan okupasional namun mungkin tidak
dapat melampaui pendidikan akademik lebih dari tingkat 2 (kelas 2 SD)
c. Tunagrahita berat dan sangat berat
Anak yang tergolong dalam kelompok ini pada umumnya hamper memiliki kemampuan
untuk dilatih mengurus diri sendiri, melakukan sosialisasi dan bekerja. Sepanjang hidupnya
mereka akan selalu tergantung pada bantuan dan perawatan orang lain. (SM Lumbantobing,
Anak dengan Mental terbelakang Jakarta: FKUI, 1998 h.5). Pada pembatasan derajat
tunagrahita ini tergantung dari ukuran intelektual seseorang. Sehingga mempengaruhi
kemampuan yang dimiliki.
1. c. Penyebab Tunagrahita
Pengetahuan tentang penyebab retardasi mental atau tuna grahita dapat digunakan sebagai
landasan dalam melakukan usaha-usaha preventif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
tuna grahita dapat disebabkan oleh berbagai factor, yaitu:
1. Genetik
2. Prenatal
3. Perinatal
4. Postnatal
5. Faktor-faktor sosio-kultural
1. Factor Genetik
Pada beberapa tahun sebelumnya kondisi-kondisi yang berkaitan dengan tuna grahita belum
diketahui orang. Penemuan di bidang biokimia dan genetic telah memberikan penjelasan
8

tentang penyebab tunagrahita. Teknik khusus telah dikembangkan yang memungkinkan


dilakukanya studi jaringan kultur dan identifikasi beberapa kromosom. Berikut ini
dikemukakan penyebab tuna grahita berupa:
a. Kerusakan biokimiawi yaitu para ahli biokimia telah mengidentifikasi sejumlah substansi
kimia yang dapat berpengaruh terhadap kondisi genetic abnormal misalnya materi kimia
berupa karbohidrat, lemak dan asam amino.
b. Abnormalitas Kromosomal paling umum ditemukan adalah sindroma down atau
sindromamongol. Keadaan penyakit ini dikemukakan oleh LAngdoa Down sekitar 100 tahun
yang lalu. Anak yang lahir dengan sindroma Down mengalami retardasi mental dan memiliki
IQ 20 sampai 60 dengan mayoritas rentangan 30 sampai 50. Dalam tahun 1959 Lejeune,
Gautier dan Turpin (Kirk dan Galagher, 1979: p.118) menemukan bahwa pada anak dengan
sindroma Down memiliki 47 kromosom karena pasangan kromosom ke-21 terdiri dari 3
kromosom atau triplet yang biasa yang disebut trisomi. Sampai decade terakhir diagnosis
sindroma Down memiliki berbagai kondisi patologik yang memungkinkan terjadinya
sindroma Down tidak hanya pada saat kelahirab tetapi juga sesudahnya. Perkembangan
teknik diagnosis baru yaitu amniocentesis (pemeriksaan cairan plasenta) telah membuka
kesempatan untuk mendiagnosis lebih dini. Dengan demikian resiko yang tinggi untuk
memilki anak dengan sindroma Doen dapat dideteksi lebih dini dalam kehamilan.
1. Masa Prenatal
Terdapat beberapa kondisi tyang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan embrio dan yang
menyebabkan kesalahan perkembangan system saraf serta menyebabkan retardasi mental.
Masalah-masalah tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengaruhnya
terhadap intelegensi anak-anak yang diturunkan yang disebabkan oleh keadaan nutrisi ibu,
psikologis, dan lingkungan fisik. Tidak ada jawaban yang universal kecuali beberapa kasus
seperti infeksi rubella, factor P.hesus (Ph)
1. Masa perinatal
Diagnosis kerusakan otak anak-anak sering berhubungan dengan kejadian-kejadian pada saat
kelahiran, yang kemudian diduga berhubungan dengan retardasi mental. Data tentang proses
kelahiran yang berhubungan dengan lamanya kelahiran dan kesulitan kelahiran, penggunaak
alat kedokteran, lahir sungsang dan penyebab-penyebab lain mungkib dapat menuntun
seseorang untuk menegakkan diagnose umum dan kerusakan otak tanpa spesifikasi
kerusakan. Penyebab lain dari kerusakan otak adalah sesak napas yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam otak selama proses kelahiran
1. Masa Postnatal
Kekurangan nutrisi sering dianggap sebagai penyebab utama terjadi retardasi mental.
Malnutrisi pada seorang ibu yang sedang hamil dan menyebabkan prematuritas dan
prematuritas dapat meningkatkan resiko kerusakan otak pada fetus. Seorang ibu yang miskin
akan mengalami kesulitan untuk menyediakan pemeliharaan kesehatan yang cukup sehingga
meningkatkan angka kematian bayi dan komplikasi kelahiran yang dapat meningkatkan
jumlah anak retardasi mental. Hal ini dapat dilihat banyaknya anak-anak retardasi mental
yang berasal dari keluarga miskin daripada yang berasal dari keluarga mampu.
1. Penyebab Sosiokultural
Peran nyata dari lingkungan dalam perkembangan kemampuan intelektual masih belum dapat
dipahami secara jelas, tetapi para psikologis dan pendidik umumnya mempercanyai bahwa
lingkungan social budaya berpengaruh terhadap kemampuan intelektual yang dikemukakan
oleh Itard.

1. d. Pengertian Tunagrahita sedang


Anak tunagrahita sedang merupakan salah satu tingkatan dari ketunagrahitaan. Anak
tunagrahita sedang disebut juga Imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 36-51 (Stanford-Binet),
IQ 51-36 pada skala Biner dan 54-40 menurut skala Weshcler (WISC). Anak terbelakang
mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun, diri sendiri
dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan,
memakai baju sendiri, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat berjalan secara akademik seperti
belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka, masih dapat menulis secara
sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dll. Masih dapat dididik
mengurus diri, seperti mandi, berkapaian, makan, minum, mengerjakan pengerjaan rumah
tangga sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus
menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja yang terlindung.
Pada dasarnya tidak ada satu anak pun yang memiliki karakteristik atau ciri yang sama persis
dengan anak yang lainnya. Begitu pula halnya dengan anak tunagrahita, terdapat beberapa
ciri yang membedakan mereka dengan anak yang lainnya, karakteristik anak tunagrahita yang
akan dikemukakan pada bagian ini merupakan karakteristik yang pada umumnya tampak
pada anak tunagrahita sedang sebagaimana digambarkan oleh Astati(2001:7).
a. Segi fisik
Keadaan fisik tunagrahita sedang tidak sebaik penyandang tunagrahita ringan. Mereka
mengalami kurang keseimbangan, kurang koordinasi gerak sehingga ada diantara mereka
yang mengalami keterbatasan dalam bergerak.
b. Segi Kecerdasan
Kelompok ini mencapai kecerdasan yang sama dengan anak normal yang berusia 7 atau 8
tahun. Sehubungan dengan ini R.P. Mandey & Jhon Wiles (1959 : 43) menyatakan bahwa :
Tunagrahita sedang walaupun sudah dewasa dapat mencapai umur kecerdasan yang sama
dengan anak normal usia 7 tahun.
c. Segi Bicara
Kemampuan bicaranya sangat kurang, akan tetapi masih dapat mengutarakan keinginannya
walaupun dalam mengucapkan kata-kata tidak jelas, menghilangkan salah satu fonem dalam
satu kata, menambah foen dalam kata, atau mengucapkan kata mengerti lainnya.
d. Segi sosialisasi
Mereka dapat bergaul dengan tetangga terdekatnya, teman-temannya dengan orang-orang di
sekitar dengan baik, mereka tidak dapat bepergian jauh. Mereka masih dapat menyebut
namanya, alamatnya walaupun tidak kesempurnaan anak normal
e. Segi Pekerjaan
Dalam hal pekerjaan, mereka dapat mengerjakan hal-hal yang sifatnya sederhana dan rutin.
Mereka ini bekerja dengan pengawasan.
Mengacu pada keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa karakteristik anak tunagrahita
sedang memiliki perbedaan dengan anak normal sehingga lemah dalam segi fisik dan
motorik, kurang mampu menarik kesimpulan dari yang dibicarakannya, sulit berfikir abstrak,
cenderung menarik diri, kurang percaya diri dan dapat melakukan pekerjaan yang sifatnya
sederhana.
B. Disain Disain Alternatif Intervensi Tindakan Yang Di Pilih
1. Hakekat Model Pembelajaran Konstruktivistik
a. Pengertian Konstruktivistik
Secara bahasa, construct berarti membangun, menumbuhkan atau membuat orang
mengerjakan hal membangun. Arti lainnya sesuatu yang membawa pembangunan dari orang
10

yang melakukannya. Menurut Piaget dalam situs internet, belajar konstruktivistik merupakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinnya dengan lingkungan. Interaksi dengan
lingkungan menjadi bantuan pembentuk struktur kognitifnya, dengan ini subjek menyusun
pengertian realitasnya.
Piaget dalam Reys berpendapat bahwa Constructivism is focus on individual cognitive
development trough co-construsted learning environments with national, decontextualized
thinking as he goal of development. Konstruktivistik berfokus pada perkembangan kognisi
individu lewat lingkungan belajar yang bersifat membantu proses konstruktif disesuaikan
dengan pemikiran dan tujuan pengembangan,
Konstruksi pengetahuan menurut Dienes dalam Reys adalah: Student create (construct) new
mathematical knowledge by reflecting on their physical and mental actions. They observe
relationships, recognize patteens, and make generalizations and abstraction as they integrate
nee knowledge into their existing mental structure artinya bahwa siswa mencipta atau
membangun pengetahuan matematika baru mereka dengan merenungkan perbuatan mental
dan jasmani mereka. Siswa-siswi itu mengamati hubungan-hubungan, mengenal pola-pola
dan membuat kesamaan umum dan abstraksi pada saat mereka menyatukan pengetahuan ke
dalam struktur mental yang sudah ada.
Menurut Joyce dan kawan-kawan, model belajar yang berhasil untuk menanamkan
pegetahuan yang bertahan lama adalah pengetahuan yang didapat dari siswa dengan cara
yang paling mereka inginkan.
Menurut Abbot and Ryan dalam Ginnis: Konstruktivistik berpegang bahwa belajar pada
dasarnya aktif. seseorang yang mempelajari sesuatu yang baru membawa ke pengalaman
dirinya. pengalaman itu membawa pengetahuan dan pola mental.
Berdasarkan uraian dari beberapa ahli di atas, belajar konstruktivistik adalah aktif menyusun
pengetahuan dan pengalaman konkret, melakukan aktifitas kolaboratif dalam kelompok
pembelajaran dibantu guru menyediakan benda konkret.
b. Karakteristik Pembelajaran Konstruktivistik
Kelas yang menggunakan pembelajaran konstruktivistik, memiliki gagasan-gagasan yang
dilontarkan siswa terungkap secara jelas dan eksplisit, gagasan-gagasan ini awalnya tidak
terlalu benar menurut konsep pembelajaran yang sedang diajarkan, tetapi dengan cara guru
melontarkan dorongan dan menciptakan kondisi supaya gagasan ini diperbaiki lewat
pemahamannya sendiri akan menjadi gagasan yang berkonsep benar.
Pengalaman yang di alami oleh siswa, pada pembelajaran konstrutivistik, berusaha
dihubungkan sendiri dengan gagasan yang dimilikinya. Tahapan-tahapan pikiran yang
tadinya tidak jelas bagi dirinya akan menjadi jelas karena ia berusaha meluruskannya
pemahamannya sendiri. Pada prosesnya siswa mencoba gagasannya dimengerti orang sepertii
ia mengerti pengetahuan baru itu, sehingga karakteristik kelas konstrutivistik adalah tidak
ada satu jawaban benar
Karakter mengajar konstruktivistik adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi
megggai makna. pihak siswa akan memperoleh pengetahuan yang berbeda tergantung
pengalaman, biasanya makna yang ditemukan bersifat unik dan individualis. Seperti biasanya
siswa mengalami tahapan mengkode pengetahuan, menyimpannya datau storage dan setelah
itu retrieve atau mengmanggil kembali, pada saat menyimpannya terjadi asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang menyatikan persepsi dan
konsep dalam pola yang sudah ada dalam pikirannya. Akomodasi adalah penyesuaian
kognitif seseorang untuk menerima pengetahuan baru dalam pola di otak
Karakteristik model pembalajran ini menurut pusat kurikulum pendidikan dan kebudayaan
adalah belajar sebagai proses mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan. Karakteristik lainnya addalah siswa aktif, siswa bisa jadi
11

bekerja sendiri atau berkelompokk. Guru berperan sebagai fasilitator dalam menyiapkan
kondisi yang kolaboratif.
Kesimpulan dari uraian tentang karakter belajar kontrutif adalah belajar yang mendorong
interaksi siswa satu ke lain, belajar aktif menyampaikan pendapat dan pertanyaan dan belajar
memusatkan perhatian pada masalah yang dibahas dengan bantuan alat peraga. Bekerja
kolaboratif dalam bagian kelopok, belajar dengan guru sebagai fasilitator di kelas. Belajar
dengan guru sebagai mediator antara siswa dalam mengoperasionalkan benda konkret untuk
menuju kepada pemahaman operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah,
[1] Tatang, Taksonomi Bloom Versi Baru, dari
http://www.tatangmanguny.wordpress.com/taksonomi-bloom-versi-baru, diakses pada
tanggal 16 september 2012, p.1
[2] Hasanah, Hasanahworld.wordpress.com/ teori-belajar-kognitif, diakses pada tanggal 25
September 2012, p.1
[3] Ibid, p.1
[4] Paul Ginnis, Trik dan Taktik Mengajar Strategi MEningkatkan Pencapaian Pengajaran di
kelas (Jakarta: Indeks, 2008), p.63
[5] Paul R. Burden and David M Byrd, Methods for Effective Teaching (Boston: Allyn and
Bacon, 1998), p.17
[6] Ginnis, op.cit, p.21
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
1. A. Tujuan Penelitian
Penelitian tindakan yang dilakuikan ini bertujuan untuk meningkatkan Pemahaman
penjumlahan pada anak tunagrahita melalui metode pembelajaran kontruktivistik kelas V di
SLB Cempaka Putih.
1. B. Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SLB Cempaka Putih, waktu penelitian dilaksanakan pada tahun
2012 dengan lama penelitian selama.
1. C. Metode dan Desain Intervensi Tindakan
2. 1. Metode Intervensi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian tindakan kelas
(PTK) penelitian tindakan kelas (classroom action reserch) merupakan suatu pencermatan
terhadap kegiatan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas [1]. Penelitian
ini dapat memperbaiki efektivitas dan efesiensi praktik pembelajaran suatu pokok bahasan
tertentu pada suatu mata pelajaran melalui beberapa siklus sampai sesuai dengan target
keberhasilan. Penelitian ini digunakan oleh guru di kelas (sekolah) tempat mengajar dengan
penekanan pada penyempurnaan atau peningkatkan proses pembelajaran.
Sesuai dengan penelitian Carr dan Kemmis yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro,
mengatakan bahwa yang dimaksud penelitian tindakan kelas (PTK) adalah suatu bentuk diri
yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa, kepala sekolah) dalam situasi sosial
(termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran[2]. Hal-hal ini berarti
behawa penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya memperbaiki pola kegiatan prose
belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui
bantuan rekan kerja untuk mencari solusi pemecahan masalah di kelas secara tepat. Dalam
prosesnya pihak-pihak yang terlibat saling mendukung satu sama lain, dilengkapi dengan
fakta-fakta dan mengembangkan kemampuan analisis.
12

2. Desain intervensi tindakan


Dasar intervensi tindakan dalam penelitian ini menggunakan siklus model Lewin. Adapun
prosedur kerja dalam penelitian ini mengikuti Lewin seperti dikutip Wina Sanjaya, intervensi
dapa dasarnya merupakan siklus yang meliputi (a) perencanaan, (b) tindakan, (c) observasi,
(d) refleksi.[3]
Secara skematis siklus tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Model Penelitian TIndakan Kelas dari Kurt LEwin
Perencanaan

Refleksi

Tindakan

Observasi
Gambar 1
Siklus Penelitian Tindakan Kelas menurut Wina Sanjaya dari Kurt Lewin
1. D.
Subjek atau Partisipan dalam Penelitian
Subjek yang terlibat dalam penelitian adalah 7 orang siswa siswi kelas V tahun 2012
penelitian ini dilakukan langsung oleh peneliti. Partisipan dalam penelitian ini adalah teman
sejawat yang merupakan guru kelas yang berperan sebagai obsever peneliti.
1. E.
Peran dan Proses Penelitian dalam Penelitian
Peran peneliti dalam penelitian tindakan kelas ini adalah melakukan perencanaan setiap
siklus yang akan dilakukan dan membuat laporan setelah mengadakan penelitian, peneliti
melakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap proses pembelajaran matematika di kelas V
SLB Cepmpaka Putih, Jakarta Pusat, khususnya pembelajaran penjumlahan. Hasih dari
pengamatan awal itu akan dijadikan dasar bagi peneliti untuk membuat rencana tindakan
pada siklus pertama dengan bantuan beberapa pihak yang terlibat dilapangan.
Adapun posisi peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai pengajar. Peneliti melaksanakan
tindakan langsung berdasarkan rencana pemebelajaran dan berusaha sebanyak mungkin
mengumpulkan data sesuai dengan fokus penelitian. Selain itu, penelitian juga berperan
membuat laporan dari apa yang dilaksanakan dengan membantu oleh obser yang akan
memberikan saran atau komentar-komentar. Dengan keterlibatan peneliti secara langsung
diharapkan data yang diperoleh lebih akurat..
1. F.
Tahapan Intervensi Tindakan
2. a.
Perancanaan Tindakan (planning)
Pada tahapan ini hal-hal yang dilakukan:
a)
membuat satuan perencanaan tindakan yang akan dilaksanakan di kelas. PEmberian
tindakan kegiatan pada kegiatan pembelajaran matematika. Satuan perencanaan disusun
berdasarkan tujuan, kegiatan media dan alat pengumpul data yang terbagi dalam 4 kali
pertemuan.
b)
Menyiapkan media yang sesuai dengan tindakan yang akan diberikan kepada anak
c)
menyiapkan alat pengumpul data berupa kamera dan lembar observasi
Tabel
Satuan Perencanaan Tindakan Siklus I
Materi: Operasi penjumlahan
Tujuan: Meningkatkan kemampuan beritung penjumlahan melaului metode pembelajaran
kontruktivistik
13

Pertemuan Tujuan

Kegiatan

Media

Alat
pengumpul
data

Melakukan
pembelajaran
dengan kartu
domino.
Seperti bintik-bintik di
dalam kartu dilihat apakah
siswa tersebut tipe
berhitung:
Berurut, memisah
atau langsung tebak
menjumlah biangan
1 angka dengan 1
angka
mengemukan
pendapat
Segi pemahaman:
berinteraksi dengan Kartu
1. Mengamati pemahaman
siswa lain dan guru domino
siswa terhadap pola bilangan
memusatkan
LKS I
di dalam sepulh
perhatian pada
masalah yang
dibahsa
mengerjakan LKS I
Guru melakukan
Tanya jawab
Guru sebagai
mediator
Guru sebagi
fasilitator
Guru meluruskan
konsep salah pada
siswa
Guru mnyediakan
alat peraga konkret

Batang
eskrim
LKS II

Mengamati
penguasaan siswa
terhadap pola
bilangan sampai
sepuluh
Membangun
penguasaan siswa
Melakukan
pembelajaran dengan
batang es krim
Melihat apakah
14

Catatan
langsung

Catatan
langsung

siswa tersebut tiper


berhitung: berurut,
memisah, menebak
atau menghitung
langsung
mengemukakan
pendapat
berinteraksi dengan
siswa lain dan guru
memusatkan
perhatian pada
masalah yang
dibahas
menjumlahkan
bilangan 2 angka
dengan 1 angka
mengerjakan LKSII
Guru melakukan
Tanya jawab
Guru sebagai
mediator
Guru sebagi
fasilitator
Guru meluruskan
konsep salah pada
siswa
Guru mnyediakan
alat peraga konkret
Sangkar
sepuluh
dan
kancing
LKS III

Membangun
pemahaman siswa
terhadap
penjumlahan
melihat hasil
perkembangan
berpikir
segi konstruktivistik
Mengamati
kemampuan guru
mengelaola
pembelajaran
matematika beracuan
kontruktivistik
Mengamati aktivitas
siswa danguru dalam
kegiatan
pembelajaran
matematika sesuai
15

Catatan
langsung

dengan metode
pembelajaran
kontruktivistik
Menggunakan
peraga sangkar
sepuluh untuk
memahami
penjumlahan sampai
sepuluh
Menjumlah dua
angka dengan satu
angka
Mengemukaan
pendapat
Berinteraksi denga
siswa lain dan guru
Memusatkan
perhatian pada
masalah yang
dibahas
Mengerjakan LKS
III
Guru melakukan
Tanya jawab
Guru sebagai
mediator
Guru sebagi
fasilitator
Guru meluruskan
konsep salah pada
siswa
Guru mnyediakan
alat peraga konkret

Membangun
pemahaman siswa
terhadap
penjumlahan diatas
sepuluh lisan.
Melihat hasil
pengembangan level
berpikir siswa
Segi
Konstruktivistik:
a. Mengamati kemampuan
guru mengelola
pembelajaran matematika

16

Catatan
Menggunakan alat kubus
terhubung
lapangan
peraga kubus
LKS IV
terhubung untuk
memahami
penjumlahan diatas
sepuluh
Menjumlah 2 angka
dengan 1 angka
Mengemukakan
pendapat
berinteraksi dengan
siswa lain dan uru
Memusatkan


beracuan konstruktivistik
b. Mengamati aktivitas
siswa dan guru dalam
kegiatan pembelajaran
matematika sesuai model
belajar konstruktivistik

perhatian pada
masalah yang
dibahas
Mengerjakan LKS
IV
Guru melakukan
Tanya jawab
Guru sebagai
mediator
Guru sebagi
fasilitator
Guru meluruskan
konsep salah pada
siswa
Guru mnyediakan
alat peraga konkret

1. b.
Tahapan Pelaksanaan
Berikut ini dideskripsikan lebih lanjut mengenai satuan pelaksaan tindakan yang dijalankan
pada siklus I sebagai berikut:
a)
Pertemuan Pertama
Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan tebak kartu domino seperti menebakkan
jumlah titik didalam kartu, dilihat apakah siswa ini tipe menghitung: berurut, memisah. Siswa
didorong untuk berinteraksi dengan siswa lainnya dan dengan guru. Siswa didukung jika
berpendapat dan bertanya diusahakan pemusatan perhatian pada kegiatan belajar. Melihat
kerja kolaboratif siswa dan memantau tugas guru sebagai fasilitator di kelas.
b)
Pertemuan Kedua
Pertemuan kedua, melakukan penjumlahan dengn batang eskrim. Pada pertemuan kedua ini
peneliti melihat apakah siswa tersebut mewakili tipe menghitung berurut, memisah,
mencongak dan mengerjakan LKS II. Siswa didorong untuk mengemukakan pertanyaan dan
pendapat serta memusatkan diri pada masalah yang dibahas. Melihat kerja kolaboratif siswa
dan memantau tugas guru sebagai fasilitator di kelas
c)
Pertemuan Ketiga
Pertemuan ketiga, pembelajaran melaksanakan penggunaan sangkar sepuluh untuk
memahami penjumlahan sampai sepuluh, mengerjakan LKS III. Sebelumnya siswa didorong
untuk memusatkan perhatian pada masalah yang dibahas saja, mendorong pernyataan dan
pertanyaan, juga mendukung adanya interaksi antar siswa dan guru. Melihat kerja kolaboratif
siswa dan memantau tugas guru sebagai fasilitator di kelas.
d)
Pertemuan Keempat
Pertemuan keempat pembelajaran menggunakan kubus terhubung untuk memahami
penjumlahan di atas sepuluh, meletakkan kubus satuan dengan memecahnya dan blok batang
sebagai satuan sepuluh kubus sesuai dengan nilai tempat, mengerjakan LKS IV. Siswa
didorong untuk mengajukan pertanyaan dan pendapat jjuga mendorong terjadinya interaksi
siswa dan siswa lainnya juga siswa dengan guru. Pada penggunaan kubus yang terhubung
diusahakan siswa memusatkan perhatian pada masalah yang dibahas saja dan menemukan
pemahaman penjumlahan
17

1. c.
Pengamatan tindakan
Observing atau pendekatan pengamatan tindakan yang digunakan adalah observasi peer atau
pengematan sejawat yakni observasi terhadap pengajaran seseorang terhadap orang lain.
Observasi dilakukan terhadap proses model pembelajaran konstruktivistik berlangsung. Hal
ini dilakukan agar data bersifat objektif.
1. d.
Refleksi tindakan
Setelah dilakukan perencanaan tindakan dan pelaksanaan tindakan serta melakukan
pengamatannya, peneliti mengadakan refleksi tindakan untuk menganalisis factor penyebab
tidak tercapainya tindakan sesuai dengan harapan. Apabila belum terjadi peningkatan yang
signifikan pada siklus pertama maka dilakukan tindak lanjut di siklus kedua untuk mencari
peningkatan yang lebih signifikan.
Faktor-faktor ini dapat berupa aspek-aspek yang terkait dengan tindakan maupun aspek lain
yang memunculkan masalah baru. Refleksi adalah tindakan berisikan perbandingan
pemahaman di siklus I dengan siklus II.
1. G.
Hasil Intervensi Tindakan yang Diharapkan
Perubahan yang diharapkan diantaranya kemampuan siswa yang meningkat dari tidak bisa
menjadi bisa pada saat melakukan penjumlahan. Dengan cara mendekatkan belajar dengan
menggunakan metode pembelajaran konstruktivistik dikatakan berhasil jika:
1. Jika kemampuan operasi penjumlahan berhasil jika 75% dari jumlah siswa memperoleh
skor lebih atau sama dengan 70 dalam hal melakukan penjumlahan melalui metode
pembelajaran kontruktivistik sehingga msiswa menunjukkan skor minimal 70.
2. Hasil pengamatan penelitian dikatakan berhasil jika menunjukkan bahwa metode
pembelajaran yang dikembangkan memenuhi criteria efektif, karena kemampuan guru
mengelola pembelajaran matematika beracuan konstruktivistik baik, persentase rata-rata
aktivitas siswa dalam tugas dan kegiatan pembelajaran matematika sesuai model mencapai
lebih dari 86 %, hasil tes matematika siswa bernilai sama atau lebih dari KKM, guru dan
siswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran menggunakan model
konstruktivistik.
1. H.
Data dan Sumber Data
1. Data
Menurut Arikunto, data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta maupun
angka[4] Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam penelitian tindakan
terdapat dua aktifitas yang dilakukan secara terus menerus. Tindakan ini ada dua macam yaitu
data pemantau tindakan dan data penelitian. data pemantau tindakan merupakan data yang
digunakan untuk mengontrol kesesuaian pelaksanaan tindakan dan rencana.
Sementara data penelitian adalah data tentang variable penelitian yaitu kemampuan siswa
dalam operasi penjumlahan. Data ini digunakan untuk keperluan analisis data penelitian
sehingga diperoleh gambaran peningkatan kemampuan operasi penjumlahan pada siswa.
2. Sumber data
Menurut Suharsimi Arikunto, sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh[5] Sumber
data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sumber data pemantau tindakan dan sumber
data penelitian. Sumber data pemantau tindakan dalam penelitian adalah kegiatan Metode
Pembelajarna Kontruktivistik yang dilakukan di kelas V SLB Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Adapun sumber data penelitian adalah kemampuan siswa terhadap operasi penjumlahan.
18

1. I.
Instrumen Pengumpulan Data
Penelitian ini melibatkan data penelitian dan data pemantau tindakan. Instrumen ini bertujuan
untuk memperoleh data tentang peningkatan kemampuan penjumlahan dengan metode
pembelajaran Kontruktivistik.

1. 1.
Instrumen Pengumpulan Data Penelitian
2. a.
Definisi Konseptual
Kemampuan penjumlahan matematika adalah pemahaman seseorang untuk melakukan
penjumlahan yang melibatkan penamaan, penguasaan bilangan dan pengertian dan penjelasan
konsep, mengubah konsep dari symbol ke narasi, mengubah konsep penjumlahan biasa ke
penjumlahan berdasarkan bilangan dasar sepuluh.
b. Definisi Operasional
Pemahaman terhadap operasi penjumlahan adalah skor kemampuan pemahaman siswa yang
didapat melalui lembar tes berisikan 20 pertanyaan tentang kemampuan pemahaman operasi
penjumlahan seluruh indikatornya. Indikator tersebut adalah (C2.1) menafsirkan; (C2.2)
mencontohkan; (C2.3) menggolongkan; (C2.4) menyimpulkan; (C2.5) membandingkan;
(C2.6) menjelaskan.
Dari indicator ini dikaitkan dengan dimensi penamaan, penguasaan bilangan, pengubahan
konsep dari notasi ke narasi biaasa kepada penjumlahan berdasarkan sepuluh. Butir
perntanyaan berjenis pilihan ganda dan diberi skor 1 jika benar dan skor 0 jika salah.
c. Kisi-kisi Instrumen penelitian
IIntrumen Pemahaman operasi penjumlahan terhadap bilangan cacah disusun dalam bentuk
tes pemahaman operasi penjumlahan dan seluruh indikatornya.
Adapun kisi-kisi instrument pemahaman operasi penjumlahan terhadap bilangan cacah adalah
sebagai berikut:
Kisi-kisi Intrumen Penelitian
Jumla
Nomor butir soal
h
N
Dimensi C2.1
C2.2
C2.3
C2.4
C2.5
C2.6
o
Menafsir Mencontoh Menggolong Menyimpul Membandin Menjelas
kan
kan
kan
kan
gkan
kan
Penamaa
1 n
1,2
bilangan

3,6

Penguas
2 aan
7
bilangan

15, 20

14

Penjelas
3 an
konsep

Mengub
4 ah
17
konsep

16

13

19

18

JUMLA 4

19

5
5

20

H
Kisi-kisi instrument pemahaman terhadap opersi penjumlahan perlu dijabarkan kembali
melalui tata letak pertanyaan pada tes pemahaman terhapadap operasi penjumlahan pada
bilangan cacah
2. Instrumen Pemantau Tindakan
a. Definisi Konseptual
Model pembelajaran konstruktivistik adalah upaya pembelajaran mendorong interaksi
siswa satu ke siswa lain, belajar aktif menyampaikan pendapat dan pertanyaan dan belajar
memusatkan pada masalah yang dibahas dengan bantuan alat peraga dan belajar dengan guru
sebagai fasilitator dan mediator di kelas
b. Definisi Operasional
Model pembelajaran konstruktivistik adalah skor yang diperoleh guru dan siswa setelah
pengamat melakukan pengamatan tentang penerapan model pembelajaran konstruktivistik
yang disusun berdasarkan skala Likert.[6] Skala disusun berupa pernyataan yang dimiliki 4
alternatif jawaban dengan criteria sebagai berikut: diberi skor 1 jika menunjukkan kurang,
skor 2 jika menunjukkan sukup, skor 3 jika menunjukkan baik dan skor 4 jika menunjukkan
baik sekali.
Dimensi tentang model pembelajaran konstruktivistik yaitu: (1) mendorong interaksi siswa
satu ke siswa lain, (2) belajar aktif menyampaikan pendapat dan pertanyaan, (3) belajar
memusatkan perhatian pada masalah yang dibahas dengan menggunakan alat peraga, (4)
siswa bekerja kolaboratif dalam belajar.
c. Kisi-kisi Instrumen Pembelajaran Konstruktivistik
Instrumen pemantau tindakan guru disusun dalam bentuk skala Likert.[7] (1) diberi skor 1
jika kurang, (2) diberi skor 2 jika menunjukkan cukup, (3) diberi skor 3 jika menunjukkan
baik dan (4) diberi skor 4 jika menunjukkan baik sekali.
Adapun kisi-kisi instrument pemantauan tindakan siswa dalam model pembelajaran
konstruktivistik sebagai berikut:
Kisi-kisi Instrumen Pemantauan Tindakan Siswa dalam Model Pembelajaran Konstruktivistik
Jumlah butir
No.
No. Dimensi
pernyataan
Butir
1.

Mendorong interaksi siswa satu ke siswa lain

1,2

2.

Belajar aktif menyampaikan pendapat dan pertanyaan

3,4

3.

Belajar memusatkan perhatian pada masalah yang dibahas


dengan menggunakan alat peraga

4.

Siswa bekerja kolaboratif dalam kelompok

Jumlah

Adapun kisi-kisi instrument pemantauan tindakan guru pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Kisi-kisi Instrumen Pemantauan TIndakan Guru dalam Model pembelajaran Konstruktivistik
Jumlah butir
No.
No. Dimensi
pernyataan
butir

20

1.

Guru berfungsi sebagai mediator dengan menyediakan


benda konkret

7, 8

2.

Guru berfungsi sebagai fasilitator

9, 10

Jumlah

1. J.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan selama pelaksanaan pembelajaran, yang di dalamnya mencakup
:
1. Proses
Teknik pengumpulan data selama proses pembelajaran berupa :
1. Observasi melalui pengamatan langsung secara sistematis mengenai permasalahan
yang diteliti kemudian dibuat catatan.
2. Lembar pengamatan yang berbentuk checklist.
3. Catatan lapangan, yang berisi catatan kekurangan yang harus di perbaiki dan
kelebihan yang harus dipertahankan penelitian.
4. Dokumentasi berupa foto-foto selama penelitian.
5. Aspek evaluasi yaitu kemampuan pemahaman siswa melakukan operasi penjumlahan
pada saat penelitian berlangsung.
a. Pengamatan terhadap guru mengajar dengan model pembelajaran konstruktivistik
b.Pengamatan terhadap proses siswa melakukan operasi penjumlahan
c. Instrumen tes tertulis operasi penjumlahan terhadap bilangan
1. K.
Teknik Pemeriksaan Data
Untuk menguji keabsahan data dilakukan triangulasi yaitu mengecek melalui berbagai
sumber dengan membandingkan apa yang dilakukan peneliti pada saat pembelajarna
berlangsung dengan pendapat pengamat. Adapun sebelum penelitian dilakukan peneliti,
peneliti terlebih dahulu berkonsultasi dengan teman sejawat dan ahli dibidang pembelajaran
matematika ini. Dalam penelitian ini pemeriksaan dilakukan oleh para dosen pembimbing,
sementara pengecekan dilakukan dengan dokumentasi foto penelitian
L. Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis
1. Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penjumlahan terhadap bilangan,
maka teknik yang digunakan dalam menganalisa data adalah perhitungan prosentase
pemahaman operasi penjumlahan melalui model pembelajaran konstruktivistik untuk
mengetahui hasil sesudah dilakukan penelitian serta perhitungan persentase kemampuan guru
menerapkan model pembelajaran konstruktivistik dalam proses pembelajaran. Analisis data
dalam penelitian ini terdiri dari reduksi data, paparan data dan penyimpulan hasil analisis.
Rumus menghitung persentase kemampuan dan pemantauan model pembelajaran
konstruktivistik operasi penjumlahan sebagai berikut:
P = x X 100 %
n
keterangan: P = Persentase
x = jumlah skor pengamatan
21

n= banyak butir pernyataan


Jika dalam penelitian tindakan siklus pertama belum berhasil, akan diteruskan ke tindakan
kedua dan seterusnya sampai tampak bahwa model pembelajaran konstruktivistik dapat
meningkatkan kemampuan terhadap operasi penjumlahan pada bilangan

2. Interpretasi Hasil Analisis Data


Data hasil pengamatan terhadap operasi penjumlahan pada bilangan dikatakan berhasil jika
sudah mencapai 75 % dari indicator yang ditentukan, akan tetapi jika belum mencapai 75 %
maka peneliti dilanjutkan ke siklus berikutnya.
Data hasil pemantau untuk guru dan sis dikatakan berhasil jika sudah mencapai minimal 75
% dari indicator yang ditentukan dan jika belum berhasil maka penelitian dilanjutkan ke
siklus berikutnya.
[1] Zaenal Aqib, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta; Yrama Widya, 2006), h 13
[2] Jamal Mamur Asmani, Penelitian Tindakan Kelas, (Jogjakarta; Laksana, 2011), h 34
[3][3] Wina Sanjaya, Penelitian TIndakan Kelas ( Jakarta, Kencana, 2009), p.49
[4] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta
2002), p.96
[5] Ibid, p.107
[6] Djaali dan Pudji Mulyono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan (Jakarta: Grasindo,
2008), p.28
[7] Ibid, p.28

22

Anda mungkin juga menyukai