Anda di halaman 1dari 21

EPISTAKSIS

Jeanet Prisilia, S.Ked


Ridha Nur Rahma Ariani, S.Ked
dr. Daud Rantetasak sp, THT-KL

I.

Pendahuluan
Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik
pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat
menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua kepada anak kecilnya.
Sebagian besar epistaksis adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada beberapa yang terjadi
berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun merupakan masalah
kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.1
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma,kelainan

anatomi,kelainan

pembuluh

darah,infeksi

lokal,

benda

asing,tumor,pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit


kardiovaskuler,kelainan darah,infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital.1

II. Epidemiologi
Prevalensi epistaksis sulit dinilai karena mayoritas berhenti sendiri dan
tidak dilaporkan. Namun, sekitar 90% dari total kejadian epistaksis ialah tipe
anterior dan 10% sisanya merupakan epistaksis posterior. Epistaksis anterior lebih
sering terjadi pada anak (2-10 tahun) dan usia lanjut. Sementara epistaksis
posterior biasanya terjadi pada usia >50 tahun.2
Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa penyakit koagulopati atau patologi
nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal (mengorek hidung) tidak terjadi
hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki
angka kejadian yang rendah. Harus dipikirkan penggunaan kokain pada anak
remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada
wanita (42%).3
III.

Klasifikasi
Berdasarkan tempat asal perdarahan, epistaksis dibedakan menjadi tipe

anterior dan posterior.2


1. Epistakssi anterior berasal dari pleksus kiesselbach yang terdiri dari
ujung-ujung a. Etmoidalis, a.sfenopalatina, a. Palatina mayor, dan a.
Labialis superior.
2. Epistaksis posterior berasal a. Sfenopalatina atau a. Etmoidalis posterior.
Biasanya jarang dapat berhenti sendiri.

IV.

Anatomi

Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar


dan terpenting dari Arteri karotis interna dan eksterna. Sistem arteri karotis
eksterna memperdarahi hidung melalui Arteri fasialis dan maksilaris interna.
Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian depan rongga hidung dan
septum anterior melalui cabang septum. Arteri fasialis bercabang menjadi Arteri
labialis superior (cabang terminal). Arteri maksilaris interna masuk melalui fosa
pterigomaksilaris dan bercabang menjadi 6 cabang yaitu Arteri alveolaris posterior
superior, palatina desenden, infraorbitalis, sfenopalatina, kanal pterigoid, dan
faringeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanal palatina mayor dan
memperdarahi dinding lateral hidung, lalu kembali ke dalam rongga hidung
melalui cabang di foramen insisivus untuk memperdari septum anterior. Arteri
sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung dekat dengan perlekatan posterior
konka media untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan bercabang lagi
untuk memperdarahi septum.3
Arteri karotis interna berkontribusi terhadap vaskularitas hidung melalui
Arteri oftalmikus. Arteri ini memasuki tulang orbital melalui fisura orbital
superior dan bercabang menjadi beberapa cabang. Arteri etmoidalis posterior
keluar orbit melalui foramen etmoidalis posterior yang terletak 2-9mm di depan
kanal optikus. Arteri etmoidalis anterior yang lebih besar meninggalkan orbit
melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan posterior
menyebrangi atap etmoid untuk masuk fossa kranialis anterior lalu turun ke dalam
rongga hidung melalui lempengan kribiformis, di sini mereka bercabang menjadi
cabang lateral dan septal untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan septum.3

Pleksus Kiesselbach atau area Little adalah jaringan anastomosis dari


pembuluh-pembuluh darah yang terletak di septum kartilago anterior, pleksus ini
menerima suplai darah dari arteri karotis interna dan eksterna. Banyak arteri yang
memperdarahi septum mempunyai hubungan anastomosis di daerah ini yaitu
Arteri etmoidalis anterior, labialis superior, sfenopalatina, dan palatina mayor.3

Gambar 1 : Vaskularisasi septum hidung(dikutip dari kepustakaan no.4)

Gambar 2 : Vaskularisasi dinding lateral hidung(dikutip dari kepustakaan no.4)


V. Etiologi
Epistaksis disebabkan oleh berbagai hal, baik bersifat lokal maupun
sistemik, tetapi juga dapat idiopatik.2
1. Penyebab lokal
a. Trauma
Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung
terus-menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum
anterior.Skenario ini sering terjadi pada anak kecil.Benda asing di rongga
hidung (nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan
epistaksis walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena
benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras.3,5
Trauma akut fasial dan nasal sering menyebabkan
epistaksis.Pendarahan yang berasal dari laserasi minor pada mukosa
biasanya terbatas.Namun, trauma fasial yang lebih luas atau berat (kena

pukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas) dapat menyebabkan pendarahan berat


yang memerlukan tampon nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda
dapat menandakan adanya aneurisma traumatik.3
Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau
trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan
operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan
pada trauma nasal dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa)
hingga berat (karena transeksi pembuluh darah besar).3
b. Udara Kering
Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa,
oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca
dingin dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi
mukosa nasal.3
c. Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid
dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke
septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan
epistaksis. Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs).3 Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa
perdarahan. Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia, tetapi karena
asetilase

sikloosigenase

trombosit

sehingga

pembentukan

TXA2

terhambat.6
d. Kelainan Septum
Deviasi septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal sehingga
menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan biasanya
terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari deviasi

septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi sumber


epistaksis.3
e. Inflamasi / Infeksi Lokal
Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan
inflamasi mukosa sehingga terjadi epistaksis.Pendarahan pada kasus ini
biasanya ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret
nasal.Penyakit

granulomatosa

seperti

sarkoidosis,

granulomatosis

Wegener, tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan


mukosa menjadi kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis
berulang.Bayi dengan gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat
mengalami epistaksis karena inflamasi.3
f. Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis.Pasien yang
terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan
rhinosinusitis, seringnya unilateral.Epistaksis berat dapat timbul pada
hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma.Rabdomiosarkoma intranasal,
walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak
kecil. Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat
menyebabkan epistaksis berat sebagai gejala awalnya.3
2. Penyebab sistemik
a. Kelainan darah
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan
riwayat keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari
trauma ringan atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital
adalah hemofilia dan penyakit von Willebrand.3
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat keurangan faktor
pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive

pada kromosom X (Xh). Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis


yang dapat dijumpai pada kasus hemofilia. Tanda perdarahan yang sering
dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/inramuskular,
perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis, dan
hematuria.7
Von Willebrand Disease (VWD) merupakan kelaianan perdarahan
turunan yang paling sering terjadi, bentuk dominan autosomal yang lebih
ringan dapat terjadi pada 1% populasi. Faktor von willebrand beredar
dalam sirkulasi sebagai polimer berukuran besar dan memiliki dua fungsi.
Fungsi utamanya untuk membentuk jembatan yang memungkinkan
trombosit melekat pada endotel yang rusak. Oleh karena itu, pada vWF
klinisnya berupa perdarahan yang polanya sama dengan pasien penderita
kelainan trombosit, misalnya epistaksis dan menoragi. Faktor sekunder
adalah menstabilkan faktor VIII yang berdera dalam sirkulasi.8
Koagulopati yang didapat bisa primer (karena penyakit) atau
sekunder (karena perawatannya).Koagulopati didapat yang sering adalah
trombositopenia dan penyakit liver yang disertai pengurangan signifikan
dari faktor-faktor pembekuan darah.Walaupun tanpa penyakit liver,
peminum alkohol sering berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis.
Obat antikoagulan oral juga menjadi faktor resiko epistaksis.3
b. Kelainan pembuluh darah
Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai
penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut.
Sindrom Osler-Weber-Rendu juga disebut telengiektasis hemoragic
herediter, merupakan suatu sindrom autosomal dominan yang ditandai
oleh pembentukan lesi vaskular disekitar bibir, rongga mulut dan hidung.

Salah satu manifestasi utama yang lazim adalah epistaksis berulang hingga
memerlukan transfusi lebih dari satu kali.9
c. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih
tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus
Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah
terlibat dalam patogenesis migrain.3
d. Hipertensi
Hubungan
antara
hipertensi

dan

epistaksis

sering

disalahpahami.Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan


darah yang tinggi. Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang
mungkin dikarenakan kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang
kronis.3
Hipertensi walaupun demikian, jarang menjadi penyebab langsung
epistaksis.Umumnya,

epistaksis

disertai

kegelisahan

menyebabkan

peningkatan akut tekanan darah.Penanganannya, oleh karena itu, harus


difokuskan pada pengendalian pendarahan dan mengurangi kegelisahan
yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah.Batuk berlebihan yang
menyebabkan hipertensi vena nasal dapat diperhatikan pada pertusis atau
cystic fibrosis.3
e. Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.1
3. Idiopatik (10% kasus)
Penyebab epistaksis anterior biasanya bersifat lokal, sedangkan epistaksis
posterior bersifat sistemik.

VI.

Patofisiologi
Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah

menjadi terpajan kemudian pecah. Lebih dari 90% pendarahan terjadi di daerah
anterior dan berasal dari area Little atau pleksus Kiesselbach di septum.
Pendarahan kapiler atau vena tersebut mengalir secara perlahan walaupun
pemompaan darah yang besar pada arteri asalnya.3
Pendarahan anterior dapat juga berasal dari konka inferior bagian
depan.Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung,
biasanya terjadi lebih berat dan sering berasal dari arteri (contoh: cabang Arteri
sfenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Pada epistaksis
posterior, jumlah perdarahan biasanya lebih masif. Perdarahan posterior
mendatangkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya sumbatan jalan nafas,
aspirasi darah, dan perdarahan lebih sulit dikontrol.2,3
VII.

Diagnosis
1. Anamnesa
Penanganan epistaksis yang tepat akan tergantung pada suatu
anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :9

a. Riwayat perdarahan sebelumnya.


b. Lokasi perdarahan.
c. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior)
atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk
tegak.
d. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

10

e. Kecendrungan perdarahan
f. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
g. Hipertensi
h. Diabetes melitus
i. Penyakit hati
j. Penggunaan antikoagulan
k. Trauma hidung yang belum lama
l. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kavum nasi secara menyeluruh dengan spekulum
nasal. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan bantuan tampon anterior
yang diberikan vasokonstriktor (seperti adrenalin 1/5000-1/10.000 dan
pantokain atau lidokain 2% untuk membantu menetukan titik
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Biarkan tampon selama 10-15
menit.2
Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat ditemukan, atau
perdarahan timbul dari kedua lubang hidung, atau darah mengalir terus
menerus di faring posterior, pertimbangkan kemungkinan epistaksis
posterior.2
3. Pemeriksaan penunjang2
Pemeriksaan penunjang

hanya

dikerjakan

pada

kasus

dengan

kecurigaan koagulopati atau perdarahan masif.


a. Laboratorium (darah lengkap dan profil hemostasis (waktu
perdarahan, PT, aPTT, dan INR).
b. Radiologis: MRI atau CT-Scan untuk pasien dengan kecurigaan
keganasan atau benda asing yang sulit pada pemeriksaan fisis.
11

VIII. Penatalaksanaan
Terapi ditujukkan untuk memperbaiki keadaan umum, mencari dan
menghentikan sumber perdarahan, serta mencegah berulangnya epistaksis. Tanda
vital ( jalan napas, tekanan darah, denyut nadi ) harus menjadi perhatian pertama
dan ditangani terlebih dahulu. Posisi pasien adalah duduk, namun juka keadaan
lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.
Biarkan darah keluar dari hidung agar dapat dimonitor. Bila pasien anak, posisi
adalah duduk dipangku, kepala dipegangi, sementara badan dan tangan dipeluk.2

1. Epistaksis anterior2
Posisikan pasien duduk tegak condong ke depan, posisi kepala
terangkat, tetapi tidak hiperekstensi untuk mencegah aspirasi. Lakukan
penenkanan langsung dengan jari pada kedua cuping hidung ke arah
septum (lokasi pleksus kiesselbach) selama 10-15 menit. Biasanya
perdarahan akan segera berhenti. Terutama pada anak-anak. Edukasi
pasien untuk tetap bernapas melalui mulut.
Bila perdarahan masih berlangsung, pasang tampon adrenalin.
Tampon adrenalin dibuat dengan kasa steril yang diteteskan dengan
epinefrin 0,5% 1:10.000 ditambah pantokain atau lidokain 2%.
Masukkan tampon ke dalam kavum nasi sebanyak 1-2 buah, biarkan
10-15 menit. Evaluasi kembali, apakah perdarahan berhenti setelah 1015 menit pemasangan tampon.
Apabila epistaksis masih berlangsung dan tampak sumber
perdarahan, pertimbangkan prosedur kauterisasi dengan AgNO3 2530% atau elektrokauter. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.

12

Jika dengan kauterisasi perdarahan tidak berhenti, atau pemberian


tampon adrenalin, pasang tampon anterior sebanyak 2-4 buah. Dengan
pelumas vaselin atau salep antibiotik selama 2x24 jam sambil
melakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab epistaksis.
Setelah 2 hari, tampon dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.
Bila perdarahan belum berhenti, pasang tampon baru.

a.

b.

c.

13

Gambar 3 : Pemasangan tampon anterior(dikutip dari kepustakaan no.10)

2. Epistaksis posterior2
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rhinoskopi anterior.
Pada epistaksis ini, dilakukan pemasangan tampon Bellocq
(tampon posterior). Tampon ini juga diindikasikan apabila tampon
anterior tidak dapat mengentikan perdarahan. Tampon Bellocq berbentuk
kubus/bulat dengan diameter 3 cm dan terbuat dari kasa. Pada tampon
terikat tiga utas benang; dua utas di satu sisi, dan satu buah disisi
berlawanan. Kontraindikasi tampon posterior adalah trauma fasial.
Cara pemasangan tampon Bellocq :
a. Pada perdarahan satu sisi, masukkan kateter ke lubang hidung hingga
tampak orofaring. Lalu tarik keluar mulut. Pada ujung kateter di
mulut, ikatkan dua utas benang tampon Bellocq. Tarik kateter melalui
hidung hingga dua utas benang tersebut tampak dan dapat ditarik.
b. Dorong tampon dengan jari telunjuk agar dapat melewati palatum
mole ke nasofaring.
c. Jika masih terdapat perdarahan, tambahkan tampon anterior ke
kavum nasi.
d. Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kasa di depan nares anterior
e. Seutas benang yang dapat keluar dari mulut diikat secara longgar
pada pipi pasien (setelah 2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui
benang ini).

14

f. Jika perdarahan berat, dapat digunakan dua kateter masing-masing di


kavum nasi kanan dan kiri. Epistaksis posterior dapat mengakibatkan
perdarahan masif, bahkan hingga syok hipovolemik bila tidak
ditangani segera.

Gambar 4 : Pemasangan tampon posterior.(dikutip dari kepustakaan no.10)

15

g. Alternatif pengganti tampon Bellocq: kateter Folley dengan balon,


tampon buatan pabrik dengan balon khusus hidung, tampon gel
hemostatik, dan rujuk ke dokter spesialis THT untuk kauterisasi.ligasi
arteri dengan panduan endoskopi.

Gambar 4 : Pemasangan kateter Folley(dikutip dari kepustakaan no.11)

Gambar 4 : Pemasangan balon kateter nasal(dikutip dari kepustakaan no.11,12)


h. Agar epistaksis tidak terulang kembali, pasien diedukasi untuk tidak
mengoyang-goyangkan hidung dan tetap menjaga letak kepala agar
IX.

lebih tinggi dari jantung.


Komplikasi
16

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau


sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang
hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah mendadak
dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner
sampai infark miokard sehigga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini
pemberian infus atau tranfusi darah harus dilakukan secepatnya.1
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu
diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis
media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu
diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari
tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah
melalui tuba eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibatnya
mengalirnya darah secara retrograd melalui ductus nasolakrimalis.1
Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan
laserasi palatum mole atau sududt bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu
ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon dapat menyebabkan
nekrosis mukosa hidung atau septum.1
X. Prognosis
Untuk sebagian besar populasi, epistaksis dianggap hanyalah gangguan
ringan. Tetapi, masalah ini kadang-kadang dapat mengancam nyawa, terutama
pada pasien usia lanjut dan pasien dengan masalah kesehatan. Untungnya,

17

kematian jarang dan biasanya karena komplikasi dari hipovolemia, dengan


pendarahan berat atau keadaan penyakit penyebabnya.3
Secara keseluruhan, prognosisnya baik tapi beragam; dengan perawatan
yang benar, sangatlah baik.ketika penanganan suportif mencukupi dan penyakit
penyebabnya terkontrol, sebagian besar pasien jarang mengalami pendarahan
berulang. Beberapa dapat mengalami rekurensi minor yang dapat berhenti secara
spontan atau dengan perawatan minimal oleh diri sendiri. Sebagian kecil pasien
mungkin memerlukan tampon atau perawatan yang lebih agresif.3
Pasien dengan epistaksis yang terjadi karena membran kering atau trauma
ringan biasanya baik-baik saja, tanpa dampak jangka panjang.Pasien dengan HHT
cenderung mengalami rekurensi yang banyak walaupun telah dilakukan
pengobatan.Pasien dengan pendarahan karena masalah hematologi atau kanker
memiliki prognosis yang beragam. Pasien yang telah menjalankan tampon nasal
adalah

subjek

dalam peningkatan

morbiditas. Tampon

posterior

dapat

menyebabkan sumbatan jalan nafas dan depresi pernafasan. Tampon di manapun


dapat menyebabkan infeksi.3
XI. Edukasi Pasien
Tindakan pencegahan berikut harus disampaikan kepada pasien:3
1. Menggunakan semprotan nasal garam fisiologis, terutama pada lingkungan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

yang panas dan kering untuk menjaga kelembapan mukosa nasal.


Menghindari bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras
Bersin dengan mulut terbuka
Tidak menggunakan manipulasi jari pada nasal
Menghindari makanan panas dan pedas
Menghindari mandi dengan air panas
Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya

18

Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri
yang harus diberitahukan:
1.
2.
3.
4.

Memberikan tekanan oleh jari untuk 5-10 menit


Menggunakan kantong es
Bernafas dalam dan tenang
Menggunakan vasokonstriktor topikal

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Sp.THT (K), Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Iskandar, Sp.THT (K), Prof.
Dr. Nurbaiti, Bashiruddin, Sp.THT (K), Prof. Dr. Jenny, Restuti, Sp.THT (K),
Prof. Dr. Ratna Dwi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 155-159
2. Tanto, C, Liwang, F, Hanifati, S, Pradipta, Eka A. Kapita Selekta Kedokteran
Essentials of Medicine Jilid 2. 2014. Jakarta. Media Aesculapius. Hal 10441046
3. Nguyen, M.D, Quoc A. Epistaxis. 2014. Medscape. http : / / emedicine .
medscape .com / article / 863220-overview.
4. Schlosser RJ. M.D, Epistaxis. 2009. New England Journal Of Medicine
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
5. F.R.C.S, Dr. P. Van den Broek, Debruyne, Dr. F, Feenstra, L, Marres, Dr.
H.A.M. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. 2009.
Jakarta. EGC. Hal 254
6. Ganawan, Sulistia G, Nafriadi, Rianto S, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi.
2007. Jakarta: Gaya Baru. Hal 235
7. Rotty, Linda W.A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid II.
2009. Jakarta: Interna Publishing. Hal 1307
8. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. 2005. Jakarta. Erlangga. Hal 329
9. Adams, M.D, George L, Jr, M.D, Lawrence R. Boies, Highler M.D, Peter A.
Boies Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology)
Edisi 6. 2012. Jakarta :EGC. Hal 224-225
10. Kucik, Corry J, Clenney, Timothy. Management of Epistaxis. 2005. American
Family Physician Volume 71 no.II. www.aafp.org. Hal 1 dan Hal 309-310
11. Anonim. Epistaksis (Perdarahan Hidung). 2010. www.jevuska.com

20

12. Viebweg, DMD, Tate L, Roberson, DMD, John B. Hudson, DDS, J.W.
Epistaxis : Diagnosis and Treatment. 2006. American Association of Oral and
Maxillofacial Surgeons. www.google.com. Hal 1 dan Hal 4

21

Anda mungkin juga menyukai