I.
Pendahuluan
Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik
pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat
menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua kepada anak kecilnya.
Sebagian besar epistaksis adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada beberapa yang terjadi
berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun merupakan masalah
kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.1
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma,kelainan
anatomi,kelainan
pembuluh
darah,infeksi
lokal,
benda
II. Epidemiologi
Prevalensi epistaksis sulit dinilai karena mayoritas berhenti sendiri dan
tidak dilaporkan. Namun, sekitar 90% dari total kejadian epistaksis ialah tipe
anterior dan 10% sisanya merupakan epistaksis posterior. Epistaksis anterior lebih
sering terjadi pada anak (2-10 tahun) dan usia lanjut. Sementara epistaksis
posterior biasanya terjadi pada usia >50 tahun.2
Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa penyakit koagulopati atau patologi
nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal (mengorek hidung) tidak terjadi
hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki
angka kejadian yang rendah. Harus dipikirkan penggunaan kokain pada anak
remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada
wanita (42%).3
III.
Klasifikasi
Berdasarkan tempat asal perdarahan, epistaksis dibedakan menjadi tipe
IV.
Anatomi
sikloosigenase
trombosit
sehingga
pembentukan
TXA2
terhambat.6
d. Kelainan Septum
Deviasi septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal sehingga
menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan biasanya
terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari deviasi
granulomatosa
seperti
sarkoidosis,
granulomatosis
Salah satu manifestasi utama yang lazim adalah epistaksis berulang hingga
memerlukan transfusi lebih dari satu kali.9
c. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih
tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus
Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah
terlibat dalam patogenesis migrain.3
d. Hipertensi
Hubungan
antara
hipertensi
dan
epistaksis
sering
epistaksis
disertai
kegelisahan
menyebabkan
VI.
Patofisiologi
Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah
menjadi terpajan kemudian pecah. Lebih dari 90% pendarahan terjadi di daerah
anterior dan berasal dari area Little atau pleksus Kiesselbach di septum.
Pendarahan kapiler atau vena tersebut mengalir secara perlahan walaupun
pemompaan darah yang besar pada arteri asalnya.3
Pendarahan anterior dapat juga berasal dari konka inferior bagian
depan.Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung,
biasanya terjadi lebih berat dan sering berasal dari arteri (contoh: cabang Arteri
sfenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Pada epistaksis
posterior, jumlah perdarahan biasanya lebih masif. Perdarahan posterior
mendatangkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya sumbatan jalan nafas,
aspirasi darah, dan perdarahan lebih sulit dikontrol.2,3
VII.
Diagnosis
1. Anamnesa
Penanganan epistaksis yang tepat akan tergantung pada suatu
anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :9
10
e. Kecendrungan perdarahan
f. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
g. Hipertensi
h. Diabetes melitus
i. Penyakit hati
j. Penggunaan antikoagulan
k. Trauma hidung yang belum lama
l. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kavum nasi secara menyeluruh dengan spekulum
nasal. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan bantuan tampon anterior
yang diberikan vasokonstriktor (seperti adrenalin 1/5000-1/10.000 dan
pantokain atau lidokain 2% untuk membantu menetukan titik
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Biarkan tampon selama 10-15
menit.2
Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat ditemukan, atau
perdarahan timbul dari kedua lubang hidung, atau darah mengalir terus
menerus di faring posterior, pertimbangkan kemungkinan epistaksis
posterior.2
3. Pemeriksaan penunjang2
Pemeriksaan penunjang
hanya
dikerjakan
pada
kasus
dengan
VIII. Penatalaksanaan
Terapi ditujukkan untuk memperbaiki keadaan umum, mencari dan
menghentikan sumber perdarahan, serta mencegah berulangnya epistaksis. Tanda
vital ( jalan napas, tekanan darah, denyut nadi ) harus menjadi perhatian pertama
dan ditangani terlebih dahulu. Posisi pasien adalah duduk, namun juka keadaan
lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.
Biarkan darah keluar dari hidung agar dapat dimonitor. Bila pasien anak, posisi
adalah duduk dipangku, kepala dipegangi, sementara badan dan tangan dipeluk.2
1. Epistaksis anterior2
Posisikan pasien duduk tegak condong ke depan, posisi kepala
terangkat, tetapi tidak hiperekstensi untuk mencegah aspirasi. Lakukan
penenkanan langsung dengan jari pada kedua cuping hidung ke arah
septum (lokasi pleksus kiesselbach) selama 10-15 menit. Biasanya
perdarahan akan segera berhenti. Terutama pada anak-anak. Edukasi
pasien untuk tetap bernapas melalui mulut.
Bila perdarahan masih berlangsung, pasang tampon adrenalin.
Tampon adrenalin dibuat dengan kasa steril yang diteteskan dengan
epinefrin 0,5% 1:10.000 ditambah pantokain atau lidokain 2%.
Masukkan tampon ke dalam kavum nasi sebanyak 1-2 buah, biarkan
10-15 menit. Evaluasi kembali, apakah perdarahan berhenti setelah 1015 menit pemasangan tampon.
Apabila epistaksis masih berlangsung dan tampak sumber
perdarahan, pertimbangkan prosedur kauterisasi dengan AgNO3 2530% atau elektrokauter. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.
12
a.
b.
c.
13
2. Epistaksis posterior2
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rhinoskopi anterior.
Pada epistaksis ini, dilakukan pemasangan tampon Bellocq
(tampon posterior). Tampon ini juga diindikasikan apabila tampon
anterior tidak dapat mengentikan perdarahan. Tampon Bellocq berbentuk
kubus/bulat dengan diameter 3 cm dan terbuat dari kasa. Pada tampon
terikat tiga utas benang; dua utas di satu sisi, dan satu buah disisi
berlawanan. Kontraindikasi tampon posterior adalah trauma fasial.
Cara pemasangan tampon Bellocq :
a. Pada perdarahan satu sisi, masukkan kateter ke lubang hidung hingga
tampak orofaring. Lalu tarik keluar mulut. Pada ujung kateter di
mulut, ikatkan dua utas benang tampon Bellocq. Tarik kateter melalui
hidung hingga dua utas benang tersebut tampak dan dapat ditarik.
b. Dorong tampon dengan jari telunjuk agar dapat melewati palatum
mole ke nasofaring.
c. Jika masih terdapat perdarahan, tambahkan tampon anterior ke
kavum nasi.
d. Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kasa di depan nares anterior
e. Seutas benang yang dapat keluar dari mulut diikat secara longgar
pada pipi pasien (setelah 2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui
benang ini).
14
15
17
subjek
dalam peningkatan
morbiditas. Tampon
posterior
dapat
18
Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri
yang harus diberitahukan:
1.
2.
3.
4.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Sp.THT (K), Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Iskandar, Sp.THT (K), Prof.
Dr. Nurbaiti, Bashiruddin, Sp.THT (K), Prof. Dr. Jenny, Restuti, Sp.THT (K),
Prof. Dr. Ratna Dwi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 155-159
2. Tanto, C, Liwang, F, Hanifati, S, Pradipta, Eka A. Kapita Selekta Kedokteran
Essentials of Medicine Jilid 2. 2014. Jakarta. Media Aesculapius. Hal 10441046
3. Nguyen, M.D, Quoc A. Epistaxis. 2014. Medscape. http : / / emedicine .
medscape .com / article / 863220-overview.
4. Schlosser RJ. M.D, Epistaxis. 2009. New England Journal Of Medicine
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
5. F.R.C.S, Dr. P. Van den Broek, Debruyne, Dr. F, Feenstra, L, Marres, Dr.
H.A.M. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. 2009.
Jakarta. EGC. Hal 254
6. Ganawan, Sulistia G, Nafriadi, Rianto S, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi.
2007. Jakarta: Gaya Baru. Hal 235
7. Rotty, Linda W.A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid II.
2009. Jakarta: Interna Publishing. Hal 1307
8. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. 2005. Jakarta. Erlangga. Hal 329
9. Adams, M.D, George L, Jr, M.D, Lawrence R. Boies, Highler M.D, Peter A.
Boies Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology)
Edisi 6. 2012. Jakarta :EGC. Hal 224-225
10. Kucik, Corry J, Clenney, Timothy. Management of Epistaxis. 2005. American
Family Physician Volume 71 no.II. www.aafp.org. Hal 1 dan Hal 309-310
11. Anonim. Epistaksis (Perdarahan Hidung). 2010. www.jevuska.com
20
12. Viebweg, DMD, Tate L, Roberson, DMD, John B. Hudson, DDS, J.W.
Epistaxis : Diagnosis and Treatment. 2006. American Association of Oral and
Maxillofacial Surgeons. www.google.com. Hal 1 dan Hal 4
21