Anda di halaman 1dari 20

ELEKTROKOAGULASI

Elektrokoagulasi
:
Proses
penggumpalan
dan
pengendapan
pertikelpartikel harus yang terdapat dalam air dengan menggunakan energi listrik. Adapun prinsip
kerja dari sistem ini adalah dengan menggunakan dua buah lempeng elektroda yang
dimasukkan ke dalam bejana yang diisi dengan air yang akan dijernihkan. Selanjutnya kedua
elektroda dialiri arus listrik searah sehingga terjadilah proses elektrokimia yang menyebabkan
kation bergerak menuju katoda dan anion bergerak menuju anoda. Dan pada akhirnya
terbentuk flokulan yang akan mengikat kontaminan maupun partikel- partikel dari air baku
tersebut.
Pada percobaan elektrokoagulasi ini, variabel yang diubah adalah voltasenya yaitu 3
volt, 4,5 volt, 6 volt, 7,5 volt, 9 volt, 12 volt, dan 13,8 volt. Percobaan dilakukan pada suatu
wadah yang telah terisi limbah setinggi yang dapat menutupi elektroda - elektroda yang akan
dialiri arus listrik. Hasil percobaan menunjukkan ketika dialiri listrik, maka limbah ada yang
terendapkan dibawah dan ada yang terapung diatas. Pada fenomena limbah terendapkan
dikarenakan pada saat listrik dialirkan, Elektrokoagulasi pada anoda, elektrodanya dioksida
menjadi ionnya. Berikut reaksinya.
Al -------> Al3+ + 3eZn -------> Zn2+ + 2eSedangkan pada katoda jika larutan mengandung ion ion logam alkali, ion- ion
alkali tanah, ion logam Al3+ dan ion Mg2+, maka ion-ion logam alkali ini dapat direduksi dari
larutan. Yang akan mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk gas hydrogen.
Berikut reaksinya :
2H2O + 2e --------> 2OH- + H2
Jika larutan mengandung asam, maka ion H dari asam akan direduksi menjadi gas hydrogen
pada katoda. Berikut reaksinya.
2H+ + 2e --------> H2

Karena pada anoda terjadi oksidasi yang membentuk Al 3+ dan di katoda terbentuk OH, maka kedua ion ini akan membentuk Al(OH) 3 yang mana Al(OH)3 akan mendestabilisasi
setiap partikel koloid dengan pembentukan komplek polihidrosida poliven.komplek - komplek ini
memiliki sifat-sifat penyerapan yang tinggi, yang membentuk agregat dengan polutan yang akhirnya
dapat mengendapkan polutan - polutannya. Sedangkan pada limbah yang terapung terjadi karena
bantuan gas hidrogen yang dihasilkan dari reaksi dalam katoda. Begitu flok dihasilkan, gas
elektrolitik menimbulkan efek pengapungan yang memindahkan polutan kelapisan flok-foam pada
permukaan cairan.
Setelah melakukan elektrokoagulasi, limbah cair di cek turbidity nya pada area tengah limbah
cair. Dari hasil pengamatan, terlihat beberapa hasil yang berbeda pada tiap kelompok. Pada kelompok
1 hasil grafik turbidity kurang sesuai dengan literatur yaitu nilai efisiensinya semakin rendah bahkan
menuju efisiensi negatif. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel turbidity oleh praktikan tidak
berada di tengah area elektrokoaguasi yang bersih, sehingga flok-flok yang berada di permukaan
penampung ikut terambil yang menyebabkan bertambah besarnya nilai turbidity. Selanjutnya pada
hasil pengamatan kelompok 2 di dapat grafik yang sesuai dengan literatur yaitu semakin lama waktu
elektrokoagulasi, nilai efisiensinya semakin tinggi. Pada grafik terlihat voltase yang tinggi juga akan

meningkatkan efisiensi dari turbidity. Selanjutnya untuk hasil pengamatan kelompok 3 terlihat ada 4
grafik yang terpisah menjadi 2. Hal ini dikarenakan limbah yang dipakai berbeda sehingga hasil
pengukuran turbidity nya juga berbeda. Pada garis 12 volt dan 13,8 volt awalnya efisiensinya negatif
kemudian naik terus sampai efisiensi menjadi positif. Nilai negatif pada grafik dikarenakan kesalahan
pengambilan sampel oleh praktikan. Pengambilan dilakukan tidak di tengah wadah, melainkan di
bawah wadah dimana tempat flok-flok berkumpul, sehingga efisiensinya bernilai negatif. Terakhir
pada kelompok 4 grafik yang diperoleh kurang beraturan, hal ini disebabkan sama seperti kelompok 1
yaitu pengambilan sampel dengan pipet tidak tepat di tengah wadah sehingga nilai turbidity tidak
teratur.
Pada pengukuran TSS Lamanya waktu dan tingginya voltase menurunkan nilai TSS pada
limbah yang dengan kata lain limbah semakin jernih. Pada hasil pengamatan dari semua kelompok,
grafik yang diperoleh kurang beraturan, hal ini disebabkan karena penggunaan alat vacuum pressure
tidak sesuai SOP. Sedangkan pada pengukuran pH terlihat bahwa nilai pH semakin tinggi dan
mendekati netral bila cairan limbah asam. Hal ini dikarenakan maka ion H dari asam akan direduksi
menjadi gas hydrogen pada katoda ketika cairan banyak mengandung ion H.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


1

Elektrokoagulasi
adalah
proses
penggumpalandan
pengendapan
pertikelpartikel haus yang terdapat dalam air dengan menggunakan energi listrik.
2 Semakin tinggi voltase maka semakin kecil nilai turbidity dan TSS nya.
3 Semakin lama proses elektrokoagulasi yang dilakukan, semakin kecil nilai turbidity dan
TSSnya.

Koagulasi-flokulasi merupakan dua proses yang terangkai menjadi kesatuan proses tak
terpisahkan. Pada proses koagulasi terjadi destabilisasi koloid dan partikel dalam air sebagai
akibat dari pengadukan cepat dan pembubuhan bahan kimia (disebut koagulan). Akibat
pengadukan cepat, koloid dan partikel yang stabil berubah menjadi tidak stabil karena terurai
menjadi partikel yang bermuatan positif dan negatif. Pembentukan ion positif dan negatif
juga dihasilkan dari proses penguraian koagulan. Proses ini berlanjut dengan pembentukan
ikatan antara ion positif dari koagulan (misal Al 3+) dengan ion negatif dari partikel (misal
OH-) dan antara ion positif dari partikel (misal Ca2+) dengan ion negatif dari koagulan (misal
SO42-) yang menyebabkan pembentukan inti flok (presipitat).
Pada minggu pertama, dilakukan percobaan pengolahan air limbah Laboratorium Kimia
Dasar yang telah diencerkan sebanyak dua kali sehingga kekeruhan awalnya sebesar 1356
NTU dan pH awalnya adalah 2. PAC yang digunakan adalah PAC dengan konsentrasi 10 ppm
dengan 4 variabel volume PAC yaitu 0, 2 mL, 4 mL dan 6 mL. Untuk percobaan selanjutnya,
digunakan sampel air limbah Laboratorium Kimia Dasar yang berbeda dengan nilai turbidity
sebesar 213 NTU. Percobaan kedua ini memiliki variabel volume PAC sebesar 0 mL, 2 mL, 4
mL dan 6 mL untuk percobaan pertama sera 0 mL, 20 mL, 40 mL dan 60 m=][gga akan
didapatkan hasil percobaan pada tabel pengamatan.
Jika dibuat plot grafik antara plot antara volume PAC yang ditambahkan dan turbidity
yang terukur serta plot grafik antara volume PAC dan TSS, akan terbentuk grafik di bawah
ini.

Berdasarkan data diatas, pada PAC 10 ppm yang ditambahkan sebagai koagulan, pada
umumnya semakin banyak volume PAC yang digunakan maka nilai turbidity akan semakin
turun dan nilai TSS juga naik. Hal ini dikarenakan semakin banyak PAC yang digunakan

maka semakin banyak limbah yang akan menjadi gumpalan atau endapan sehingga nilai
turbidity semakin turun (semakin jernih) dan jumlah TSS semakin bertambah karena
banyaknya endapan. PAC berfungsi sebagai koagulan yang dapat membentuk gumpalan dan
endapan pada limbah. Pada minggu pertama dan kedua terdapat perbedaan limbah yang
digunakan sehingga menghasilkan nilai yang berbeda. Sedangkan pengaruh kecepatan putar
pada data diatas juga mempengaruhi turbidity pada limbah. Pada 200 rpm menghasilkan
limbah yang memiliki turbidity lebih kecil dan nilai TSS nya lebih besar dari 250 rpm. Hal
ini karena pada 250 rpm, flok yang dihasilkan tidak terbentuk sempurna sehingga sulit
menjadi endapan dan lebih keruh.Dari ketiga variabel tersebut dapat didimpulkan jika
turbidity terendah dialami oleh sampel dengan penambahan 20 mL PAC dengan kecepatan
flokulasi sebesar 300 rpm dengan nilai turbidity 70,2 NTU. Dan nilai TSS tertinggi dicapai
oleh sampel dengan penambahan 6 mL PAC pada kecepatan flokulasi sebesar 200 rpm.
Pada minggu kedua, dilakukan percobaan pengolahan air limbah Laboratorium Kimia
Dasar yang telah diencerkan sebanyak dua kali sehingga kekeruhan awalnya sebesar 290
NTU dan pH awalnya adalah 1. PAC yang digunakan adalah PAC dengan konsentrasi 100
ppm dengan 4 variabel volume PAC yaitu 0, 2 mL, 4 mL dan 6 mL. Pada percobaan ini
dilakukan dengan kecepatan koagulasi sebesar 1000 rpm dan kecepatan flokulasi 300 rpm
pada percobaan pertama dan 350 rpm pada percobaan kedua. Pengadukan merupakan operasi
yang mutlak diperlukan pada proses koagulasi-flokulasi. Pengadukan cepat berperan penting
untuk menghasilkan turbulensi air sehingga dapat mendispersikan koagulan dan destabilisasi
partikel. Pengadukan lambat berperan untuk menghasilkan gerakan air secara perlahan
sehingga terjadi kontak antar flok untuk membentuk gabungan flok hingga berukuran besar.
Kemudian dilakukan analisa terhadap turbidity, pH dan TSS pada masing-masing sampel.
Dari hasil praktikum pada minggu kedua, jika dilakukan plot grafikbandingan antara
volume PAC yang ditambahkan dan turbidity yang terukur serta plot grafik antara volume
PAC dan TSS, akan terbentuk grafik di bawah ini.

Grafik di atas menunjukkan hubungan antara volume PAC dengan turbidity pada
kecepatan flokulasi 300 rpm dan 350 rpm. Pada kedua variabel itu, sampel yang digunakan
adalah sama sehingga memiliki turbidity yang sama yaitu 290 NTU dan pH sebesar 1. Dari
grafik di atas tampak jika turbidity cenderung menurun pada kecepatan flokulasi 350 rpm dan
naik pada kecepatan flokulasi 300 rpm. Dan penurunan terbaik terjadi pada kecepatan
flokulasi 300 rpm. Dosis PAC yang terbaik menunjukkan turbidity terendah dimiliki oleh 2
mL PAC pada kecepatan flokulasi 300 rpm dengan nilai turbidity 140,4 NTU. Secara teoritis
hubungan antara volume PAC dengan turbidity memiliki hubungan yang berbanding lurus.
Namun, pada hasil percobaan diatas menunjukan penurunan kekeruhan yang terbaik tidak
bergantung pada besarnya volume PAC. Hal ini dikarenakan PAC bekerja pada dosis tertentu
atau memiliki dosis optimum yang secara efektif dapat menurunkan nilai kekeruhan.
Sementara itu, untuk nilai TSS, pada grafik terlihat jika pada kecepatan flokulasi 350 rpm,
nilai TSS mengalami kenaikan dan kemudian turun. Sementara untuk kecepatan flokulasi 300
rpm berlaku sebaliknya. Dan dapat disimpulkan jika nilai TSS tertinggi dicapai oleh 4 mL
PAC pada kecepatan flokulasi sebesar 350 rpm.
Pada minggu ketiga, limbah yang digunakan adalah air limbah Laboratorium Kimia
Dasar yang telah diencerkan sebanyak tiga kali sehingga kekeruhan awalnya sebesar 271,8
NTU dengan pH sebesar 1. PAC yang digunakan adalah PAC dengan konsentrasi 1000 ppm
dengan 4 variabel volume PAC yaitu 0, 20 mL, 40 mL dan 60 mL. Sama halnya dengan
percobaan sebelumnya, proses koagulasi dilakukan dengan cara pengadukan cepat dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Kemudian dilakukan dengan flokulasi dengan
pengadukan lambat dengan kecepatan 150 rpm selama 25 menit. Setelah semua proses
selesai, sampel dibiarkan selama 30 menit. Kemudian dilakukan analisa terhadap turbidity,
pH, ketinggian endapan dan TSS yang hasilnya dapat dilihat pada tabel pengamatan.

Kemudian percobaan diulang kembali untuk limbah yang sama sementara kecepatan flokulasi
yang berbeda yaitu 400 rpm. Sehingga didapatkan hasil seperti pada data pengamatan.
Pada minggu keempat, dilakukan percobaan yang sama seperti pada minggu
sebelumnya. Walaupun air limbah yang digunakan sama-sama berasal dari limbah
Laboratorium Kimia Dasar, namun berasal dari jenis yang berbeda sehingga diperlukan
pengenceran sebanyak 5 kali. Sehingga sampel pada minggu kedua ini memiliki kekeruhan
awal 685 NTU dan pH awal 2. Pada percobaan kali ini digunakan kecepatan flokulasi yang
sama dengan minggu sebelumnya hanya saja volume PAC yang ditambahkan berbeda yaitu 0,
100 mL, 120 mL dan 150 mL. Sehingga didapatkan data seperti yang dapat dilihat pada data
pengamatan.
Dari hasil praktikum pada minggu ketiga dan keempat, jika dilakukan plot grafik
perbandingan antara volume PAC yang ditambahkan dan turbidity yang terukur, akan
terbentuk grafik di bawah ini.

Dari grafik di atas, sangat jelas terlihat jika turbidity antara minggu ketiga dan keempat
memiliki perbedaan yang cukup jauh. Pada penggunaan volume PAC yang berbeda, turbidity
yang didapat juga bervariasi yang ditunjukkan oleh garis orange dan biru pada minggu ketiga
dan garis abu-abu dan kuning pada minggu keempat. Seharusnya semakain banyak PAC yang
ditambahkan turbidity yang terukur akan semakin rendah. Namun hal ini berlaku sebaliknya
pada minggu keempat untuk kecepatan flokulasi 400 rpm. Hal ini dapat terjadi dikarenakan
posisi pengambilan sampel yang kurang tepat. Seharusnya pengambilan sampel dilakukan
pada bagian tengah larutan sehingga turbidity yang terukur nantinya tidak akan terpengaruh
oleh keruhan endapan. Namun dengan hasil yang tinggi ini bisa saja dikarenakan terdapat
endapan yang ikut saat pengambilan sampel untuk pengukuran turbidity. Pada kecepatan

flokulasi 400 rpm saat minggu ketiga turbidity terendah dialami oleh sampel dengan 20mL
PAC dengan turbidity sebesar 100,5 NTU. Sementara itu pada kecepatan flokulasi 150 rpm
pada sampel minggu ketiga, turbidity terendah dimiliki oleh sampel dengan 40 mL PAC
dengan turbidity sebesar 127,8 NTU. Pada minggu keempat, dengan kecepatan flokulasi 400
rpm, turbidity terendah dimiliki oleh 100 mL PAC dengan turbidity sebesar 269,5 NTU. Pada
kecepatan flokulasi 150 rpm, turbidity terendah dialami oleh 150 rpm dengan nilai turbidity
sebesar 134,5 NTU. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan jika turbidity terendah dialami oleh
sampel dengan volume PAC 20 mL dengan kecepatan flokulasi 400 rpm pada minggu ketiga
dan volume PAC 150 mL dengan kecepatan flokulasi 150 rpm pada minggu keempat.
Sementara untuk grafik TSS, terlihat perbedaan yang mencolok antara data pada
minggu ketiga (garis orange dan kuning) dan keempat (garis hijau dan orange tua). Dengan
bertambahnya volume PAC yang ditambahkan seharusnya kekeruhan akan semakin turun dan
endapan yang terbentuk akan semakin banyak. Namun tidak demikian dengan praakttikum
kali ini karena PAC memiliki kondisi optimum. Endapan terbanyak dimiliki oleh blanko. Hal
ini sangat tidak wajar. Bisa saja yang terukur tersebut adalah kotoran dari air limbah akibat
penyaringan yang kurang cermat, bukan endapan karena proses koagulasi-flokulasi. Jika pada
smple yang diberi PAC, endapan paling banyak ditemukan pada smple 60 mL PAC pada
keceptan flokulasi 150 rpm pada minggu keempat dengan TSS sebesar 139 mg/L dan 100 mL
PAC pada kecepatan flokulasi 400 rpm pada minggu ketiga dengan TSS sebesar 285 mg/L.
Pada minggu kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan, kami melakukan percobaan yang
serupa dengan minggu sebelumnya. Hanya saja yang membedakan percobaan kali ini dengan
sebelumnya adalah veriabel kecepatan flokulasi, volume PAC, konsentrasi PAC dan sampel
yang digunakan. Kecepatan flokulasi yang digunakan dalam praktikum ini adalah 200 rpm,
250 rpm, 300 rpm dan 400 rpm. Dengan variabel volume PAC sebesar 0 mL, 20 mL, 30 mL
dan 40 mL. PAC yang digunakan adalah PAC dengan konsentrasi 1000 ppm. Pada keempt
minggu ini digunakan 4 sampel yang berbeda sehingga keempatnya memiliki turbidity yang
berbeda pula, yaitu 1324 NTU dan 1613 NTU pada minggu kelima, 2902 NTU dan 1879
NTU pada minggu keenam, 153,9 NTU dan 119,4 NTU pada minggu ketujuh serta 141,9
NTU dan 123,6 NTU pada minggu kedelapan.
Hasil percobaan dapat dilihat pada tabel hasil percobaan. Jika dibuat plot grafik
perbandingan antara volume PAC dengan turbidity serta perbandingan antara volume PAC
dan TSS akan membentuk grafik sebagai berikut.

Pada grafik diatas menunjukkan hubungan antara volume PAC dengan Turbidity pada
kecepatan flokulasi yang bervariasi. Pada kecepatan flokulasi sebesar 200 rpm, turbidity
sampel limbah awal sebesar 1324 NTU. Penurunan kekeruhan yang terbaik pada dosis PAC
sebesar 20 ml, yaitu nilai turbidity sebesar 81,3 NTU. Pada kecepatan flokulasi sebesar 250
rpm, turbidity sampel limbah awal sebesar 1613 NTU, penurunan kekeruhan yang terbaik
pada dosis flokulan PAC sebesar 20 ml, yaitu nilai turbidity sebesar 75 NTU. Pada kecepatan
flokulasi sebsar 300 rpm, dosis koagulan sebesar 30 ml dapat menurunkan nilai kekeruhan
secara baik dari turbidity sampel limbah awal sebesar 2902 NTU menjadi 872 NTU.
Sedangkan, pada kecepatan flokulasi sebesar 350 rpm nilai turbidity sampel limbah awal
sebesar 1879 NTU. Dosis PAC yang terbaik dengan volume 40 ml menunjukkan penurunan
kekeruhan sebesar 93,3 NTU. Secara teoritis hubungan antara volume PAC dengan turbidity
memiliki hubungan yang berbanding lurus. Namun, pada hasil percobaan diatas menunjukan
penurunan kekeruhan yang terbaik tidak bergantung pada besarnya volume PAC. Hal ini
dikarenakan PAC bekerja pada dosis tertentu atau memiliki dosis optimum yang secara
efektif dapat menurunkan nilai kekeruhan. Pada saat penambahan PAC yang berlebihan
menyebabkan ion H+ terbentuk juga semakin banyak pula, yang artinya pH menjadi turun
sehingga mengganggu kestabilan flok yang telah terbentuk. Dapat dilihat dari tabel bahwa
terdapat penurunan pH pada beberapa data. Dari keseluruhan data diatas, pada dosis PAC
sebesar 40 ml dengan kecepatan flokulan sebesar 250 rpm menunjukkan hasil yang paling
terbaik.Sedangkan, untuk hasil TSS menunjukkan hubungan antara kecepatan pengadukan
dengan TSS adalah fluktuatif, hal ini dikarenakan pada pengadukan yang terlalu lambat
mengakibatkan belum terbentuknya flok-flok sedangkan apabila pengadukan yang terlalu
cepat dapat menyebabkan pecahnya flok yang terbentuk.

Di samping kita membandingkan nilai TSS dan turbidity pada konsentrasi yang sama,
kali ini kami mencoba membandingkan pengaruh konsentrasi PAC pada kecapan flokulasi
yang sama terhadap nilai TSS dan turbidity.
Pertama kita akan membandingkan data pada kecepatan flokulasi 200 rpm dan akan
diperoleh grafik di bawah ini.
Kecepatan flokulasi 200 rpm
PAC = 1000 ppm

PAC = 1000 ppm

Turbidity (NTU)
PAC = 10 ppm

Volume PAC

Kecepatan flokulasi 200 rpm


PAC = 1000 ppm

PAC = 1000 ppm

TSS (mg/l)
PAC = 10 ppm

Volume PAC

Berdasarkan perbedaan konsentrasi PAC yang digunakan pada praktikum kali ini
digunakan variabel PAC 10 ppm dan 1000 ppm.Umumnya semakin besar konsentrasi maka
turbidity akan semakin kecil atau semakin jernih dan nilai TSS semakin besar karena endapan
yang dihasilkan semakin banyak. Hal ini juga berlaku berlaku pada kecepatan flokusi 250
##rpm yang ditunjukkan pda grafik di bawah ini.

Kecepatan flokulasi 250 rpm


PAC = 10 ppm

PAC = 1000 ppm

TSS (mg/l)
PAC = 1000 ppm

Volume PAC

Kecepatan flokulasi 250 rpm


PAC = 1000 ppm

PAC = 1000 ppm

Turbidity (NTU)
PAC = 10 ppm

Volume PAC

Kemudian kami akan membandingkan data


pada kecepatan flokulasi 300 rpm serta 350 rpm dan akan diperoleh grafik di bawah ini.

Kecepatan flokulasi 350 rpm


PAC = 100 ppm

PAC = 1000 ppm

TSS (mg/l)
PAC = 1000 ppm

Volume PAC

Kecepatan flokulasi 350 rpm


PAC = 100 ppm

PAC = 1000 ppm

Turbidity (NTU)
PAC = 1000 ppm

Volume PAC

Kecepatan flokulasi 300 rpm


PAC = 10 ppm

PAC = 100 ppm

Turbidity (NTU)
PAC = 1000 ppm

PAC = 1000 ppm

Volume PAC

Kecepatan flokulasi 300 rpm


PAC = 10 ppm

PAC = 100 ppm

TSS (mg/l)
PAC = 1000 ppm

PAC = 1000 ppm

Volume PAC

Grafik diatas menunjukkan hubungan antara


turbidity dan TSS dengan volume PAC, pada konsentrasi PAC yang berbeda-beda dan pada
kecepatan flokulasi sebesar 300 rpm. Pada konsentrasi PAC yang berbeda-beda menunjukkan
penurunan nilai tubidity terhadap kenaikan volume PAC yang ditambahkan. Namun, umtuk
data TSS menunjukkan hasil yang fluktuatif. Apabila dibandingkan, pada konsentrasi PAC
yang berbeda dengan volume PAC yang sama menunjukan hasil turbidity yang cenderung
menurun pada konsentrasi yang tinggi. Sedangkan hasil TSS menunjukkan penurunan
terhadap konsentrasi PAC yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena PAC memiliki dosis
tertentu atau optimum.
Menurut teori maka semakin banyak jumlah koagulan yang ditambahkan pada air
limbah

maka semakin banyak pula partikel-partikel koloid pada air limbah yang akan

berikatan dengan koagulan, sehingga flok yang terbentuk semakin banyak seiring dengan
penambahan jumlah koagulan. Dengan semakin banyaknya flok yang terbentuk maka tinggi
endapan akan semakin besar. Pada praktikum yang telah kita lakukan, kita tidak dapat
melakukan pengamatan terhadap tinggi endapan. Karena pada praktikum ini flok yang
didapat sangat sedikit dan tidak sampai membentuk endapan. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan waktu untuk proses koagulasi-flokulasi ini kurang lama terlebih lagi untuk
proses flokulasi yang mana waktu pengendapannya hanya 30 menit sementara seharusnya
dilakukan dalam skala jam bahkan hari.

1. KESIMPULAN DAN SARAN


a. Kesimpulan
1) Metode koagulasi flokulasi adalah salah satu proses kimia yang digunakan untuk
menghilangkan bahan cemaran yang tersuspensi atau dalam bentuk koloid, pada
metode ini dipengaruhi oleh dosis koagulan PAC dan kecepatan putar flokulasi.

2) Semakin banyak PAC yang ditambahkan pada suatu sampel air limbah, nilai kekeruhan
belum tentu aka turun dan nilai TSS akan naik. Hal ini disebabkan karena PAC bekerja pada
dosis tertentu atau memiliki dosis optimum yang secara efektif dapat menurunkan nilai
kekeruhan dan menaikkan nilai TSS.
3) Pengaruh kecepatan putar lambat (flokulasi) yaitu, semakin besar kecepatan putar
pembentukan flok tidak maksimal atau flok yang telah terbentuk pecah. Semakin lambat
kecepatan putar flokulasi menyebabkan tidak terbentuknya flok-flok.

Pada praktikum kali ini adalah praktikum penurunan kesadahan dalam air secara
adsorbsi dengan menggunakan adsorben karbon aktif dan batu apung. Adsorpsi adalah suatu
proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair, dengan menggunakan adsorben. Proses
adsorpsi ini terjadi pada permukaan pori-pori dalam butir adsorben. Transfer massa logam
dari cairan ke dalam pori-pori butir adsorben tersebut akan mengalami proses-proses sebagai
berikut: (a) perpindahan massa dari cairan ke permukaan butir, (b) difusi dari permukaan
butir ke dalam butir melalui pori, (c) perpindahan massa dari cairan dalam pori ke dinding
pori, dan (d) adsorpsi pada dinding pori (Nursyamsi, 2010).
Menurut Bai & Abraham dalam Afrianita (2001), pH adsorbat mempengaruhi gaya
elektrostatik ion untuk berhubungan dengan gugus fungsi pada adsorben. Semakin
bertambahnya waktu adsorpsi maka semakin meningkat juga proses penyerapan senyawa
senyawa kimia yang terlarut dalam air limbah tersebut, sehingga ion-ion logam dalam air
limbah juga akan terserap. Ion-ion logam tersebut melepas pasangan anion-anionnya
sehingga effluent mengandung banyak anion yang menyebabkan pH effluent menjadi
bertambah basa. Menurut Bai & Abraham dalam Afrianita (2001), di dalam air limbah
mengandung CaCO3 adalah 6-8. Sedangkan pH air limbah padapengolahan metode adsorbsi
ini awalnya adalah basa yaitu pH 7-8, sehingga pengolahan air yang baik adalah pH air dapat
menurunkan pH hingga pH yang dihasilkannya adalah mendekati netral agar hasil proses
pengolahan dapat dibuang ke lingkungan. Sehingga kurva yang didapat seharusnya pH akan
turun hingga pada titik tertentu kemudian akan naik kembali dimana titik pH terendah yang
mendekati netral adalah penurunan optimum pH pada waktu tertentu.
Untuk yang pertama adalah percobaan dengan menggunakan adsorben karbon aktif
(kelompok I dan kelompok II). Untuk data tabel dapat dilihat di data pengamatan (data
Analisa pH). Pada proses ini yang digunakan adalah variabel flowrate air limbah
0,15;0,25;0342;0,375 L/menit dan massa adsorben 50;75;100;125 gram. Air limbah yang
digunakan mempunyai pH mula-mula yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok,
ada yang 7 dan ada yang 8. Dari hasil percobaan yang dilakukan, kita akan mengetahui
pengaruh flowrate air limbah yang masuk. Untuk flowrate 1,5 L/menit, variabel massa yang
digunakan adalah 50;75 gram. Dari data yang diperoleh pH yang paling stabil adalah pada
massa tersebut karena kemungkinan pH awalnya sudah pH netral dan optimum sehingga
tidak memerlukan penurunan pH lagi. Pada flowrate 0,25 L/menit, untuk massa 50 dan 75
gram pH yang dihasilkan langsung bisa konstan karena pH awalnya pun juga sudah netral.
Selanjutnya adalah pada flowrate 0,342 L/menit. Seharusnya massa 125 gram dapat lebih
cepat menetralkan pH dari 8 menjadi 7 dibanding dengan massa 100 gram, namun kesalahan

distribusi yang tidak merata merupakan salah satu faktor ketidaksesuaian. Dan yang terakhir
adalah dengan flowrate 0,375 L/menit. Data yang diperoleh telah sesuai dengan literatur
bahwa variabel dengan massa 125 gram lebih cepat menetralkan pH (dari ph 8 ke 7)
dibanding dengan variabel massa 100 gram.
Percobaan yang kedua adalah dengan menggunakan batu apung (kelompok III dan
kelompok IV). Batu apung memiliki tekstur vesikuler dengan ukuran lubang atau pori yang
bervariasi dan berhubungan satu sama lain. Kadang-kadang lubang tersebut terisi oleh zeolit
atau kalsit (Ridwan at al, 2009).Sehingga batu apung dapat juga dimanfaatkan sebagai katalis
atau adsorben seperti zeolit atau batuan aktif lainnya karena memiliki sifat yang sama yaitu
memiliki pori yang berhubungan satu sama lain pada permukaannya. Untuk data tabel dan
grafik dapat dilihat di data pengamatan diatas. Pada percobaan ini, flowrate yang digunakan
adalah 0,1;0,15; dan 0,25 L/menit dengan massa variabel massa adsorben 50;100 dan 125
gram. Pada flowrate 0,1 L/menit, untuk massa 100 gram mengalami penurunan pH menuju
netral (dari 8 menjadi 7) lebih cepat dibandingkan dengan massa 125 gram karena kesalahan
pendistribusian. Sedangkan untuk flowrate 0,15 L/menit, pada massa 50;100 dan 125 gram,
telah sesuai dengan teori di literatur, sama seperti percobaan dengan karbon aktif, semakin
banyak massa adsorben yang digunakan maka akan semakin cepat pula pH untuk menuju
netral. Pada percobaan terakhir adalah pada flowrate 0,25 L/menit. Untuk massa 50 dan 100
gram telah mencapai pH netral dan optimum sehingga tidak mengalami penurunan pH lagi.
Dari percobaan pertama dan kedua, kita dapat membandingkan keefisienan adsorben
dari karbon aktif dan batu apung dalam pengolahan limbah dengan metode adsorpsi. Dari
hasil percobaan yang dilakukan, hasil limbah yang dihasilkan dengan rentang waktu yang
sama tidak jauh berbeda sebenarnya karena diketahui berdasarkan literatur daya serap karbon
aktif dan bentonit adalah hampir sama. Batu apung minimum 12,27 %, maksimum 22,27 %.
Carbon Aktif minimum. 13,63 %, maksimum 19,54 %. (% berat massa). Apabila
dibandingkan antara daya serap yang dimiliki karbon aktif dan batu apung, maka batu apung
lebih memiliki daya serap yang tinggi daripada karbon aktif. Namun, pada percobaan yang
dilakukan, kami tidak bisa membandingkan keefektifan daya serap adsorben karena pH awal
dari limbah dengan flowrate dan massa yang sama besarnya adalah berbeda. (Gita Pambayun:
2012)
Analisa Total Kesadahan merupakan analisa yang dilakukan untuk mengetahui
banyaknya ion sadah yang terlarut (mg ion sadah/liter) dalam suatu sampel limbah. Pada
analisa kesadahan total, dilakukan menggunakan metode titrasi dengan larutan EDTA
(ethylene diamine tetraacetic). EDTA merupakan suatu kompleks larutan yang larut ketika

ditambahkan ke dalam suatu larutan yang mengandung kation logam tertentu seperti Ca 2+ dan
Mg2+, dimana akan membentuk kompleks dengan logam-logam tersebut. Ketika ditambahkan
suatu indikator EBT ke dalam larutan yang mengandung kompleks tersebut maka akan
menghasilkan perbahan warna pada pH tertentu, sehingga dengan prinsip ini nilai kesadahan
air dapat dianalisis (Gita Pambayun: 2012). Indikator yang digunakan adalah EBT
Eriochrome Black T (EBT) adalah indikator kompleksometri yang merupakan bagian dari
titrasi pengompleksian contohnya proses determinasi kesadahan air. Didalamnya bentuk
protonated Eriochrome Black T berwarna biru. Lalu berubah menjadi merah ketika
membentuk komplek dengan kalsium, magnesium atau ion logam lain (Anonim,2010).
Pada praktikum pertama yaitu menggunakan karbon aktif sebagai adsorben dengan
menggunakan variabel flowrate air limbah 0,15;0,25;0342;0,375 L/menit dan massa adsorben
50;75;100;125 gram. Dari data yang didapatkan menunjukkan perubahan yang naik turun hal
ini diakibatkan pendistribusian yang kurang merata di permukaan adsorben. Sehingga data
pada untuk melakukan pengamatan dilakukan pada grafik linierisasi. Pada grafik kelompok
pertama dengan menggunakan flowrate 0342;0,375 L/menit dan massa adsorben 100;125
gram. Dengan penggunaan flowrate yang tinggi 0,375 L/menit menunjukkan grafik yang
kurang baik, karena kesadahan dalam sampel limbah cenderung untuk naik baik pada
penggunaan adsorben 100 dan 200 gram. Sedangkan pada flowrate 0,342 l/menit
menunjukkan penurunan kesadahan yang baik. Namun pada penggunaan adsorben 125 gram
dan flowrate 0,342 memiliki kencenderungan yang menurun lebih baik dari pada
menggunakan 100 gram. Untuk praktikum kelompok 2 didapatkan hipotesa yang sama
dengan menggunakan flowrate 0,15 dan 0,25 l/menit dengan adsorben 50 gram dan 75 gram.
Menunjukkan yang paling baik adalah pada kecepatan terendah dengan massa adsorben yang
banyak. yaitu 0,15 l/menit dengan massa adsorben 75 gram. Grafik yang terus menurun
tersebut, menunjukkan bahwa konsentrasi ion sadah dalam sampel limbah juga berkurang
akibat terserap oleh adsorben (karbon aktif). Hal ini membuktikan bahwa dengan penggunaan
adsorben tersebut proses adsorbsi menjadi maksimal, karena dapat mengurangi kesadahan
dalam air limbah secara baik. Kondisi ini juga sesuai dengan literatur bahwa semakin banyak
adsorben yang digunakan, maka proses penyerapan akan semakin baik karena luas
permukaan yang semakin besar dan menyebabkan kontak antara adsorben dengan sampel
limbah yang lebih banyak.
Pada praktikum yang kedua dilakukan dengan menggunakan adsorben yang berbeda
yaitu batu apung dengan massa 50; 100; 125 gram dengan flowrate 0,15;0,1; 0,25 l/menit.
Pada grafik kelompok 3 dengan menggunakan massa adsorben 50 dan 100 gram dengan

flowrate 0,15 dan 0,25 l/menit, menunjukkan bahwa flowrate 0,25 l/menit dengan adsorben
50 gram menunjukkan hasil penurunan kedahan terbesar. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi
teoritisnya, bahwa hasil penurunan kesadahan akan optimal terjadi dengan menggunakan
adsorben dengan massa terbanyak dan flowrate yang kecil. Harusnya kondisi optimalnya
terjadi dengan penggunaan flowrate 0,15 l/menit dengan adsorben 100 gram. Selain itu, pada
praktikum kelompok 4 dengan menggunakan flowrate 0,1 dan 0,15 l/menit dan massa
adsorben 100 dan 125 gram. Kondisi penurunan kesadahan paling baik dilakukan pada
flowrate 0,15 l/menit dengan adsorben 125 gram. Harusnya kondisi optimal adalah
mengggunakan flowrate yang kecil dengan massa adsorben yang besar yaitu 0,1 l/menit
dengan adsorben 125 gram. Ketidaksesuaian tersebut dapat terjadi karena pendistribusian
sampel limbah ke permukaan adsorben yang kurang merata atau ada kesalahan dalm
melakukan titrasi kesadahannya. Selain itu dimungkinkan terjadi ketidaksesuain karena
proses adsorbsi yang kurang lama sehingga pada kondisi flowrate dan massa adsorben
optimalnya masing-masing tidak dapat tercapai dengan baik dalam menyerap ion sadah
dalam air sampel. Hal lainnya yang bisa terjadi karena adsorben batu apung yang digunakan
telah jenuh karena dipaki oleh praktikan-praktikan lain dan proses aktivasi yang dilakukan
pada batu apung sebelumnya kurang maksimal.
Sehingga untuk penggunaan adsorbent batu apung dan karbon aktif, yang paling
optimum adalah batu apung dalam praktikum ini. Hal ini dibuktikan pada hasil di lampiran 2
dan 3 yang menunjukkan tingkat penyerapan batu apung lebih baik daripada karbon aktif
yaitu 27,6% sedangkan karbon aktif hanya14,76%. Hal ini juga didukung data teoritis yang
telah di sebutkan sebelumnya bahwa tingkat penyerapan batu apung lebih besar dibandingkan
karbon aktif yaitu penyerapan batu apung minimum 12,27 %, maksimum 22,27 %.
Carbon Aktif minimum. 13,63 %, maksimum 19,54 %. (% berat massa). (Gita Pambayun:
2012)
Pada pembahasan turbidity kali ini akan dibahas mengenai pengaruh adsorben
terhadap larutan CaCO3, serta jumlah dari adsorben yang digunakaan. Pada percobaan
pertama yaitu menggunakan absorben berupa karbon aktif.. Pada arang aktif terdapat banyak
pori (zone) berukuran nano hingga mikrometer. Sedemikian banyaknya pori sehingga dalam
satu gram arang aktif bila semua dinding rongga pori direntangkan, luas permukaannya dapat
mencapai ratusan hingga ribuan meter persegi. Senyawa-senyawa yang yang mudah terserap
karbon aktif umumnya memiliki nilai kelarutan yang lebih kecil dari karbon aktif.
Kontaminan dapat masuk ke dalam pori karbon aktif dan terakumulasi didalamnya, apabila
kontaminan terlarut di dalam air dan ukuran pori kontaminan lebih kecil dibandingkan

dengan ukuran pori karbon aktif. Pada pembahasan pertama adalah pengaruh waktu adsorbsi
terhadap laju alir limbah pada 50 gram dan 70 gram karbon aktif. Yang pertama
menggunakan 50 gram, Pada laju alir 0,15 liter permenit dapat diketahui bahwa semakin
lama proses maka semakin kecil pula nilai turbiditynya, sedangkan pada laju alir 0,25 liter
permenit terlihat kenaikan nilai turbiditynya ini tampak pada pengambilan sampel yang ke 60
menit, disitu terlihat kenaikan yang besar. Berdasarkan teori yang ada dikemukakan bahwa
semakin lama waktu proses maka semakin efektif pula penyerapannya, kenaikan ini mungkin
dikarenakan laju alir yang digunakan terlalu besar sehingga proses penyerapannya kurang
efektif. Sedangkan pada penggunaan karbon aktif 70 gram terlihat bahwa pada laju alir 0,15
terlihat penurunan yang stabil akan tetapi pada pengambilan yang ke 55 dan ke 60 terdapat
kenaikan, hal ini disebabkan karena karbon aktif yang digunakan sudah mulai jenuh.
Sedangkan pada laju alir 0,25 terlihat bahwa terjadi penurunan meskipun tidak teratur.
Pada percobaan kedua adalah pengaruh waktu adsorbsi terhadap laju alir limbah pada
100 gram dan 125 gram karbon aktif. Pada penggunaan 100 gram karbon aktif dengan laju
alir 0,342 liter permenit dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai turbidity, sedangkan
pada laju alir 0,375 juga menunjukkan penurunan akan tetapi pada pengambilan yang ke 55
dan ke 60 terjadi kenaikan, kenaikan juga terlihat pada pengambilan ke 35. Dilihat dari
kenaikan yang tidak teratur ini dapat disimpulkan bahwa keanaikan ini terjadi disebabkan
karena kontak antara liquid dengan adsorben yang tidak merata. Pada penggunaan 125 gram
karbon aktif dengan laju alir 0,342 liter permenit terlihat penurunan yang lumayan stabil, dan
pada laju alir 0,375 liter permenit juga menunjukkan penurunan yang besar dan stabil.
Dari data yang di dapat diatas dapat disimpulkan bahwa laju alir liquid akan
mempengaruhi proses penyerapan pada adsorben (dengan jumlah karbon aktif sama),
semakin besar laju alir liquid maka semakin tidak efisien penyerapannya, hal ini disebabkan
karena banyaknya adsorben dengan liquid yang berkontak tidak seimbang sehingga hanya
sebagian liquid yang kontak dengan adsorben dan begitujuga sebaliknya bahwa pengaruh
jumlah adsorben terhadap laju alir yang digunakan (dengan laju alir sama) terlihat bahwa
semakin banyak karbon aktif yang digunakan maka proses penyerapannya akan semakin
maksimal, hal ini disebabkan karena luar permukaan yang kontak dengan liquid semakin
banyak dan besar.
Pada percobaan selanjutnya yaitu menggunakan adsorben berupa batu apung. Ukuran
(diameter) butiran media berpengaruh pada porositas, rate filtrasi dan daya saring. Tebal
tidaknya media akan mempengaruhi lama pengaliran dan besar daya saring (Edahwati,dkk,

2009). ukuran partikel yang divariasikan mempengaruhi daya saring dari media batu apung
yang digunakan pada praktikum ini.
Percobaan pertama adalah pengaruh waktu adsorbsi terhadap laju alir liquid yang
digunakan pada 100 gram batu apung. Pada penggunaan batu apung 100 gram dengan laju
alir 0,1 liter permenit terlihat penurunan yang sedikit, bahkan terdapat kenaikan turbidity
pada pengambilan sampel yang ke 60. Hal ini terjadi dikarenakan kemampuan serap dari batu
apung yang mulai menurun, sementar pada laju alir 0,15 liter permenit terjadi penurunan
turbidity yang tinggi meskipun ada sedikit kenaikan pada pengambilan sampel yang ke 40,
hal ini mungkin disebabkan karena ada kesalahan pada proses penghitungan turbidity.
Percobaan kedua adalah pengaruh waktu adsorbs terhadap laju alir liquid yang
digunakan pada 125 gram batu apung. Pada laju alir 0,1 liter permenit terlihat kenaikan nilai
turbidity yang sangat besar. Pada pengambilan sampel yang ke dua terlihat penurunan yang
sangat drastis akan tetapi pada pengambilan sampel berikutnya terlihat ada kenaikan nilai
turbidity. Sementara itu pada laju alir 0,15 liter permenit menunjukkan penurunan turbidity
meskipun juga terdapan kenaikan dibeberapa titik pengambilan
Percobaan selanjutnya yaitu menggunakan batu apung dengan massa 50 gram dan 100
gram. Yang pertama adalah pengaruh waktu adsorbsi terhadap laju alir liquid yang digunakan
pada 50 gram batu apung. Pada laju alir 0,1 liter permenit dapat kita lihat bahwa penurunan
nilai turbidity sangatlah besar, pada pengambilan sampel yang ke sepuluh terlihat penurunan
yang paling besar hal ini dimungkinkan karena keadaan batu apung yang masih optimum.
Sementara pada laju alir 0,15 terlihat penurunan yang tidak terlalu besar bahkan ada beberapa
titik yang mengalami peningkatan, hal seperti ini bisa dimungkinkan karena besarnya laju alir
tidak sesuai dengan jumlah batu apung yang digunakan atau dikontakkan dengan liquid. Hal
lain yang mungkin terjadi adalah pengontakan yang tidak merata.
Pada percobaan berikutnya adalah pengaruh waktu adsorbsi terhadap laju alir liquid
yang digunakan pada 100 gram batu apung. Pada percobaan dengan laju alir 0,1 liter
permenit terjadi penurunan yang tinggi hal ini sama pada pembahasan sebelumnya,
Penurunan yang tinggi ini disebabkan karena penggunaan batu apung yang masih awal atau
baru sehingga masih bagus untuk proses penjernihan. Pada laju alir 0,15 juga terjadi
penurunan akan tetapi pada pengambilan yang ke 45 ada kenaikan yang melebihi kondisi
awal, hal ini bisa dikarenakan ada kesalahan pada saat pengambilan data.
Dari data yang di dapat diatas dapat disimpulkan bahwa laju alir liquid akan
mempengaruhi proses penyerapan pada adsorben (dengan jumlah batu apung sama), bahwa
semakin besar laju alir liquid maka semakin besar pula penurunan nilai turbidity. Hal ini

kurang sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama waktu tinggal atau waktu
kontak larutan dalam adsorben maka semakin bagus proses penurunan limbah. Sementara
pada jumlah batu apung terhadap penyerapan limbah (laju alir sama) terjadi kenaikan
turbidity. Hal ini juga kurang sesuai dengan teori yang menyatakan apabila semakin banyak
batu apung yang digunakan maka akan lebih optimal proses penyerapan limbahnya karena
luas permukaan akan lebih banyak yang kontak dengan limbah dan tidak cepat jenuh dengan
kata lain liquid yang mengalir melalui pori-pori batu apung lebih banyak.
Dari dua bahan adsorben yang digunakan diketahui bahwa adsorben yang paling baik
digunakan dalam penurunan nilai turbidity adaalah karbon aktif, meskipun penurunan tidak
besar namun stabil. Dari beberapa praktikum diketahui bahwa hampir semua penurunan nilai
turbidity konstan. Batu apung dalam praktikum ini kurang efektif dikarenakan mungkin
ukuran partikelnya yang besar sehingga luas permukaannya kecil dibandingkan karbon aktif
dan bentonit. Cara kerja dari batu apung sebdiri dengan mengalirkan liquid melalui ronggarongga yang ada dalam batu apung sehingga jika rongga tersebut sudah diisi air otomatis
tidah bisa diisi lagi hingga air yang ada dalam batu apung itu mengalir. (Aditiya Yolanda
Wibowo: 2013)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpul
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah:

Adsorbsi merupakan salah satu pengolahan air limbah dengan mengontakkan air limbah pada
suatu adsorben, sehingga zat pengotor dalam air limbah terikat oleh pori-pori di permukaan
adsorben.

Adsorben yang paling baik digunakan adalah batu apung, karena memiliki daya serap yang
paling tinggi dari pada adsorben lain namun untuk %penyerapannya kurang tinggi karena
kurang aktivasi.

Semakin besar jumlah adsorben yang digunakan semakin rendah nilai kesadahan dan
turbidity karena semakin banyak pengotor yang dapat terserap oleh adsorben. Selain itu nilai
pH akan cepat menuju kondisi optimum (pH=7).

Semakin lama proses yang dilakukan, maka nilai dari kesadahan dan turbidity dari sampel air
limbah akan turun. Namun adsorbent akan semakin jenuh karena adsorben mengikat banyak
pengotor. Sedangkan kondisi optimum baik dilakukan dengan flowrate kecil.

Anda mungkin juga menyukai