Anda di halaman 1dari 6

Reseptor nikotin fungsional diekspresikan di sel epitel respiratori (Zia et al.

1997), dan asetilkolin


non neuronal memediasi penyebaran fungsional didalam sel epitel termasuk adhesi sel,
proliferasi,motilitas, dan respon inflamasi (Wessler et al,1998). Transkripsi dari ekspresi subunit
reseptor nikotin di sel epitel menunjukkan perbedaan regional, dengan ekspresi preferensi dari
subunit 3- dan 5 di saluran napas besar dan ekspresi preferensi dari subunit 7-10,2 dan
subunit 4 (West et al.2003). Perbandingan ekspresi dari subunit reseptor nikotinik muncul
untuk membedakan antara jaringan tumor dan bukan tumor dan status perokok; bagaimananpun,
hal ini masih belum jelas bagaimana membedakan tingkat taranskripsi terhadapa reseptor
nikotinik didalam paru-paru (Zia et al.1997, Lam et al.2007). Stimulasi eksogen reseptor
nikotinik yang beragonis seperti nikotin dan TSNA (dibahas di 1.2.3.b), dapat berkontribusi dan
karsiogenesis paru berdasarkan bukti proliferasi in vitro, pro survival,angiogenik dan efek
metastasis melalui sinyal jalur transduksi yang bervariasi (Improgo et al.2011). Ikatan dari
nikotin terhadap reseptor nikotin pada pemeriksaan kultur sel menghasilkan peningkatan
proliferasi sel, invasi sel, transformasi persial, inhibisi apoptosis, peningkatan angoigensis dan
resistensi kemoterapi- secara keseluruhan di mediasi oleh reseptor nikotinik 7 (Schuller
1989,Maneckjee dan Minna 1990, Arredondo et al.2002,Mai et al.2003, West et al.2003, Ng et
al.2007, Dasgupta et al.2009, Zhang et al.2009). Hal ini mengasilkan catatan yang kebanyakan
efek-efek ini diamati pada sel abadi dan garis sel kanker paru. Inisiasi tumor telah diamati pada
tikus dengan imunitas yang baik (Davis et al.2009) dan dibawah kondisi hiperoksia pada hamster
(Schuller et al.1995), tetapi pemberian nikotin pada tikus sehat tidak menghasilkan kelebihan
tumor dibandingkan hewan control (Waldum et al.1996,Murphy et al.2011). terdapat
keterbatasan bukti dari promosi tumor secara in vivo, baik nikotin yang tidak berefek ataupun
berefek lemah pada induksi tumor paru dan multiplikasi dari resiko sekunder tumor,
menunjukkan bahwa nikotin atau bahan kimia lain yang terdapat didalam rokok mempromosikan
progresivitas penyakit dan/atau mempengaruhi pengobatan (Tucker et al.1997, Videtic et
al.2003,Parsons et al.2010).

1.2.5 Bahan kimia lain di rokok


Terdapat lebih dari 4.000 bahan kimia didalam rokok, termasuk lebih dari 80 bahan
karsinogenik, selain nikotin, TSNA dan PAH, yang dapat memengaruhi resiko kanker paru akibat
merokok (Hecht 2012) dan beberapa contoh lainnya.
1.2.5.a. Bahan kimia yang memengaruhi merokok
Sabagai tambahan dari nikotin, terdapat bahan kimia lain didsalam zat psikoaktif didalam rokok,
yang dapat berkontribusi dalam perkembangan dan pemeliharaan dari ketergantungan rokok dan
dalam tantangan berhenti merokok (Hoffman dan Evans 2013). Nikotin merupakan satu dari
alkaloid tobako, dan alkaloid lainnya yaitu anabasine, anatabine, dan nornikotin; bagaimanapun
alkaloid-alkaloid lain ini merupakan bagian yang secara tipikal kurang dari 5% kandungan
alkaloid dari rokok (Jacob et al.1999) dan sedikit banyaknya diketahui sebagai zat psikoaktif.
Tikus akan diberikan nrnikotin (BArdo et al.1999),dan baik nornikotin dan anabasin dapat
memicu pengeluaran dopamin pada irisan potongan otak tikus tersebut (Dwoskin et al.1995).
Sebagai catatan, nornikotin dibentuk secara in vivo dari metabolism nikotin (memasukkan
kurang dari 1% dosis nikotin) (Hukkanen et al.2005) sebagai tambahan yang ditemukan pada
tobako. Asetaldehida, dimana pada rokok terdapat sebanyak microgram per rokoknya (thielen et
al.2008), dapat mnjadi lokomotor potensial dan respon neuronal dari nikotin di tikus (Cao et
al.2007), sebagaimana memengaruhi akuisitas bahan kimia didalam rokok yang menginhibisi
enzim monoamine oksidase, yang memetabolisme katekolamin seperti dopamine, sehingga dapat
mengontribusi dalam meningkatkan kadar dopamine yang dimediasi oleh merokok (Fowler et
al.2003).

Sebagai tambahan dari bahan kimia didalam rokok, metabolit nikotin dapat mengontribusi
tehadap aktivitas farmakologi obat-obatan (Crooks dan Dwonskin 1997). Sirkulasi kadar kotinin
secara substansial lebih tinggi daripada nikotin (Murphy et al.2004). di p\irisan potongan otak
tikus kotinin dapat menstimulasi pengeluaran dopamine melalui ikatan reseptor nikotin, tetapi
dengan potensi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan nikotin (Dwonskin et al.1999).

beban sebelum dari kotinin pada perokok tidak memengaruhi pengambilan dari nikotin
(Hatsukami et al.1998) dan tidak menghasilkan efek fisik atau tingkah laku yang signifikan pada
abstinensi perokok (Hatsukami et al.1997), walaupun kotinin dapat mengantagonis kemamusan
dari terapi pengganti nikotin dalam menghentikan merokok (Hatsukami et al 1998).
1.2.5.b. Bahan kimia penyebab karsinogenesis
Berdasarkan bukti dari tumorigenisitas pulmonal pada minimal satu spesies hewan, terdapat
perkiraan dua puluh karsinogen pulmonal pada rokok termasuk 1.3-butadine, ethylene oxide, dan
metal seperti cadmium (Hecht 1999, Adams et al.2012). Amine aromatic, seperti 4aminobiphenyl (4-ABP), walaupun secara umum tidak dipandang sebagai karsinogen pulmonal,
dapat juga berkontribusi terhadap kanker paru pada perokok. Amine aromatic tejadi pada kadar
yang serupa dengan TSNA dan PAH (berdasarkan nanogram per rokok) (Thielen et al.2008) dan
juga membutuhkan aktivasi metabolic untuk menyingkirkan karsinogenesitas mereka
(Besaratinia dan Tommasi 2013). 4-ABP spesifik telah terdeteksi di paru-paru perokok (Lin et
al.1994), berdasarkan penelitian terhadap paparan kerja,amine aromatic dipandang sebagai
karsinogen kandumg kemih manusia (Cogliano et al.2011). disamping dari karsinogen
mutagenik, racun lain dan iritan pernapasan, seperti acrolein, dapat mengkontribusi terhadap
karsinogenesis paru-paru dengan menginduksi inflmasi kronik (Bein dan Leikauf 2011, Lee et
al.2012).
1.2.6. Model resiko kanker paru yang dihubungkan dengan merokok
Perokok secara signifikan dan substansial memilki resiko lebih tinggi dalam perkembangan
kanker paru dibandingkan dengan non-perokok (Bagian 1.1.3), belum terperediksi yang mana
yang baru merokok dan mantan perokok yang akan berkembang menjadi kanker pari-paru
(Bagian 1.1.4). Dari menghirup rokok hingga diagnosis kanker paru, terdapat banyak kejadian
dan proses jangka pendek (gambar 7), dan faktor genetic dan non genetic host. Faktor-faktor
yang memengaruhi kebiasaan merokok (contoh. Inisiasi, penghentian rokok per hari) tergantung
dari besar keseluruhan karsinogen rokok (dan bahan toxik) dan lama paparan (Hecht 2012).
Faktor-faktor yang memengaruh paparan terhadap karsinogen lingkungan, seperti pekerjaan,juga
berkontribusi terhadap banyaknya karsinogen. Kebanyakan karsninogen kimia membutuhkan
kadar pengolahan oleh tubuh (Bagian 1.2.3a dan 1.2.4), dan kemampuan untuk aktif secara

metabolism atau mendetoksifikasi karsinogen yang berbeda pada tiap indvidu (Hecht 2012).
Integritas dari perbaikan DNA dan jalur kematian sel dapat memengaruhi apakah DNA tetap
menjauh dan menghasilkan mutagenesis (Loeb dan Harris 2008).Mutasi dpat terjadi pada daerah
kritis, seperti tumor suppressor,untuk memulai proses karsinogenesis (Loeb dan Harris 2008).
Bahan kimia didalam rokok juga berikatan dengan reseptor di jalur sinyal endogen (schuller
2009), dan hasilkan aktivitas dari jalur sinyal ini dapat memengaruhi apakah bahan-bahan kimia
yang ada akan mempromosikan proses karsinogenesis (Bagian 1.2.3.b). kerusakan paru yang
darurat dan inflamasi (contoh.dari rokok, infeksi, penyakit paru kronik) dapat memfasilitasi
inisisiasi tumor, promosi dan/atau progresi (Grivennikov et al 2010). Kebanyakan kejadian dan
proses ini disingkirakan dari merokok dan secara umum tertantang utnuk mencirikan tanpa
pemahaman yang lebih baik dari faktor-faktor yang lebih mengarah ke merokok. Dua bagian
berikut ini menunjukkan faktor genetic yang memengaruhi kebiasaan merokok dan proses dari
karsinogen (Bagian 1.3 dan 1.4)
Gambar 7| faktor-faktor ynag memengaruhi resiko kanker paru pada perokok. Banyak faktor
genetic dan non genetic yang memngaruhi resiko kanker paru pada perokok dari kebiasaan
merokok dan paparan karsinogen terhadap proses karsinogen didalam tubuh dan terhadap
kerentanan tubuh terhadap karsinogen. Diadaptasi dari Loeb dan Harris 2008, Hecht 2012 dan
Grivennikov, Greten et al 2010.
Kebiasaan merokok

Infamasi kronis

Aktivasi
metabolisme

Aduksi DNA

Mutasi

Detoksifikasi
metabolisme

Perbaikan DNA

Hilangnya
control
pertumbuhan

Apoptosis
Transfromasi
Apotosis
Proliferasi
sel

Kanker paru

angiogenesis

1.3. faktor genetic yang dihubungkan dengan kebiasaan merokok


1.3.1. Pembahasan
Merokok merupakan kebiasaan kompleks antara kedua pengaruh genetic dan lingkungan mulai
dari inisisi hingga penghentian dan pada akhirnya resiko perkembangan kanker paru (Bagian
1.4).Bagian ini focus pada faktor genetic yang memengaruhi prilaku merokok seperti lamanya
merokok (contoh. Inisiasi,penghentian) dan jumlah merokok (contoh rokok per hari),
sebagaimana perilaku merokok secara kuat berimpliaksi pada resiko kanker paru (Bagian 1.1.3).
Berdasarkan penelitian dari kembar monozigot dan dizigot, yang memfasilitasi pemisahan dari
pengaruh genetik yang berasal dari lingkungan, secara turun-temurun inisiasi dan penghentian
merokok dengan rentang dari 36-75% dan 50-58% (Koopmans et al.1999, Li et al.2003,Maes et
al.2004, Vink et al.2004), sementara secara turun temurun konsumsi rokok dan ketrgantungan
nikotin dengan rentang 51-86% dan 59-75% (Koopmans et al.1999, Li et al.2003, Maes et
al.2004, Vink et al.2005, Broms et al.2006). rentang yang luas dalam memprediksi secara turun
temurun mencerminkan perbedaan dalam kohort, usia, etnis, dan konteks social-budaya (Heath et
al.1993, Kendler et al.2000, Lessov et al.2004, Boardman et al.2010, Baker et al.2011).
Berdasarkan keadaan umum dari faktor genetic yang mendasari estimasi turun temurun, variasi
gen ddalam jalur metabolism nikotin dihubungkan dengan konsumsi rokok, biomarker dari
pengambilan nikotin, ketergantungan nikotin dan penghentian merokok. Merokok berhubungan
dengan sistem neurotransmitter multiple didalam otal, dan variasi genetic pada system ini
dihubungkan dengan spectrum luas dari perilaku merokok mulai dari inisiasi hingga jumlah
rokok dan ketergantngan dalam penghentian. System kolinergik nikotin, secara umum
dihubungkan dengan konsumsi rokok, biomn.arker pengambilan nikotin dan ketergantungan
nikotin. Disamping gen dalam jalur neurotransmitter, variasi gen terlibat dalam pembentukan dan
penguatan hubungan neural juga dihubungkan dengan perilaku merokok.
Bukti yang membangun gen yang umum dan variasi gen sebagai kunci berkontribusi dalam
perbedaan antar-individu dalam perilaku merokok merupakan sebuah penggabungan dari

investigasi pelengkap pada hewan coba, yang berdampak pada genetic dan/atau manipulasi
farmakologi dari jalur kandidat pada fenotip yang dihubungkan dengan merokok
( contoh.pemberian nikotin) dan penelitian terhadap genetic manusia (dan BAgian 1.4) berasal
dari penelirian gen kandidat yang meneliti pilihan gen untuk tujuan peran biologi dan secara
umum membangun peran untuk gen spesifik dan variasi gen, dan dari penelitian yang
dihungungkan luas dengan genom, yang berhubungan dengan bagian genomic dengan perilaku
merokok menggunakan polimorfisme nukleotida tunggal (PNT), PNT telah dipilih sebagai
variasi tanda dari genom (Pearson dan Manolio 2008). Penelitian kandidat gen, pada keadaan
tersebut, juga digunakan dalam penanda PNT, terutama ketika beberapa polimorfisme telah
diidentifikasi dan dicirikan dalam ketertarikan gen.
Walauppun merokok menjadi perhatian dunia, memengaruhi seluruh etnik individu (Erksen et
al.2012), sebagian besar bukti perhatian pada faktor genetic yang dating dari penelitian pada
populasi warga eropa. sedangkan faktor genetik diidentifikasi dalam populasi etnik umum dan
konteks lingkungan cenderung berfungsi secara lebih luas, prevalensi varisi genetic dan faktor
ligkungan lain (conh, kemampuan sosial menerima rokok) dapat membentuk kontibusi besr dan
relative terhadap faktor genetic (Heath et al.1993, Kendler et al.2000, LEssov et al.2004).

1.3.2. Faktor genetik dalam farmakokinetik nikotin dan merokok


1.3.2.a. Variasi di CYP2A6
Variasi genetic dalam CYP2A6 merupakan faktor genetic paling banyak yang terbentuk yang
memengaruhi metabolism nikotin, dan secara konsekuensi klirens nikotin,oleh karena kontribusi
substansial dari CYP2A6 terhadap metabolism nikotin (Bagian 1.2.2.a) dan karakteristi alel
CYP2A6 dengan perubahan aktivitas. Genotip CYP2A6 memengaruhi pengukuran multiple
terhadapa metabolism dan klirens nya,seperti klirens total dan klirens non-renal, klirens kotinin,
waktu paruh nikotin, dan rasio trans-3-hydroxycotininr terhadap kotinin (Dempsey et
al.2004,Benowitz et al.2006).
Gen CYP2A6 ditemukan pada kromosom 19q13 didalam kelas gen CYP2, yang dibagi dalam
tinggkatan tinggi dari sekuens homolog dan telah meningkat dari lokus tunggal menuju kejadian
duplikat (Hoffman et al.2001). sampai saat ini, alel 45 CYP2A6 dinomori dan didaftarkan secara
online
di
database
nomenklatur
alel
P450
sitokrom
manusia
(http://www/cypalleles.ki.se/cyp2a6.htm{accessed 14-May-2014}),

Anda mungkin juga menyukai