Anda di halaman 1dari 8

1.

Definisi
Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2001).
Stroke adalah defisit neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung 24
jam sebagai akibat dari CVA (Corwin, 2000). Menurut Mansjoer (2000) stroke adalah
sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis
fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan
kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.
2. Etiologi
Etiologi dari stroke adalah trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak),
embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa keotak dari bagian tubuh
yang lain), iskemia (menurunnya aliran darah kearah otak), hemoragia serebral (pecahnya
pembuluh darah serebral dengan pendarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar
otak) (Smeltzer & Bare, 2001).
Faktor resiko terjadinya stroke adalah merokok, mengkonsumsi alkohol, obesitas,
hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, kelainan jantung, hiperlipidemia, efek samping
penggunaan kontrasepsi (Corwin, 2000).
3. Patofisiologi
Trombosis serebral merupakan penyebab utama dari cerebrovaskuler accident proses
terjadinya berhubungan dengan sklerosis pada arteri carotis dan percabangannya. Namun
kadang-kadang dapat disebabkan oleh reaksi peradangan dinding pembuluh darah yang
selanjutnya menyebabkan terhambatnya suplai darah dan iskemik jaringan otak, yang bila
berlangsung lama akan mengakibatkan nekrosis (infark) jaringan otak, DM, usia dan
merokok merupakan faktor resiko aterosklerosis.
Ateroskerosis merupakan kombinasi dari perubahan tumka intim dengan penumpukan
lemak, komposisi darah maupun defisit Ca dan disertai pula oleh perubahan pada tumka
media dipembuluh darah besar yang mengakibatkan permukaan menjadi tidak rata. Pada
aliran darah lambat atau saat tidur makan terjadi penyumbatan untuk pembuluh darah
kecil dan arterior terjadi penumpukan lipohyalinosis yang dapat menyebabkan miokard
infark. Emboli berasal dari trombus yang rapuh atau kristal dalam arteri carotis dan arteri
vertebralis yang sklerotik, bila terlepas dan mengikuti aliran darah akan menimbulkan

emboli arteri intrakranium yang akhirnya mengakibatkan iskemik otak yang bila
berlangsung lama akan menyebabkan nekrosis (infark) jaringan otak dan akan
menyebabkan kematian.
4. Manifestasi Klinis
Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan
kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). Kemudian stroke menjadi
bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan
otak yang mati (stroke in evolution).
Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil,
dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan.
Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena.
Membaca isyarat stroke dapat dilakukan dengan mengamati beberapa gejala stroke
berikut seperti kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh,
hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda, pusing, bicara tidak
jelas (rero), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu
mengenali bagian dari tubuh, pergerakan yang tidak biasa, hilangnya pengendalian
terhadap kandung kemih, ketidakseimbangan dan terjatuh, pingsan.
Kelainan neurologis yang terjadi akibat serangan stroke bisa lebih berat atau lebih luas,
berhubungan dengan koma atau stupor dan sifatnya menetap. Selain itu, stroke bisa
menyebabkan depresi atau ketidak mampuan untuk mengendalikan emosi.
Stroke juga bisa menyebabkan edema atau pembengkakan otak. Hal ini berbahaya
karena ruang dalam tengkorak sangat terbatas. Tekanan yang timbul bisa lebih jauh
merusak jaringan otak dan memperburuk kelainan neurologis, meskipun strokenya sendiri
tidak bertambah luas (Smeltzer & Bare, 2001).
5. Klasifikasi Stroke
a. Stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng
disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan
aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya
menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak
terkontrol.

b. Stroke non hemoragik


Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak.
Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena
hipoksia jaringan otak.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
-

Kesadaran: umumnya mengalami penurunan kesadaran

Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang


tidak bisa bicara

Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi

b. Pemeriksaan integument
-

Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan
cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda
dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien CVA Bleeding
harus bed rest 2-3 minggu

Kuku: perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis

Rambut: umumnya tidak ada kelainan

c. Pemeriksaan kepala dan leher


-

Kepala: bentuk normocephalik

Muka: umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi

Leher : kaku kuduk jarang terjadi

d. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun
suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan
menelan.
e. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang
terdapat kembung.
f. Pemeriksaan inguinal, genitalia, anus

Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.


g. Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h. Pemeriksaan neurologi
-

Pemeriksaan nervus cranialis: umumnya terdapat gangguan nervus cranialis


VII dan XII central.

Pemeriksaan motorik: hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan pada salah


satu sisi tubuh.

Pemeriksaan sensorik: dapat terjadi hemihipestesi.

Pemeriksaan reflek: pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita stroke meliputi:
1)

Angiografi Serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara


spesifik, seperti perdarahan atau adanya obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur.

2)

CT Scan. Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya


infark.

3)

Fungsi Lumbal. Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada


trombosis, emboli serebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung
darah menunjukkan adanya hemoragik subaraknoid atau perdarahan intrakranial. Kadar
protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.

4)

MRI. Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, Malformasi


Arteriovena (MAV).

5)

Ultrasonografi Doppler. Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

6)

EEG. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan


mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

8. Perawatan Penderita Stroke


Pasca serangan stroke penderita stroke biasanya mengalami berbagai gangguan atau
kecacatan (disability). Kecacatan yang dialami oleh penderita perlu kiranya mendapat
perhatian yang khusus agar dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Perawatan pasien
stroke lebih merujuk kepada recovery (penyembuhan) dan rehabilitasi. Recovery dan
rehabilitasi biasanya dilakukan secara bersama. Recovery dan rehabilitasi adalah dua
proses yang saling berhubungan. Recovery dapat diartikan sebagai pengembalian dengan
cepat fungsi sistem neurologi setelah stroke, sedangkan rehabilitasi diartikan sebagai
sebuah proses untuk membantu penderita stroke untuk memperoleh kembali kemampuan
untuk melakukan fungsi kehidupan sehari-hari dan lingkungan. Sasaran utama pada fase
rehabilitasi meliputi perbaikan mobilitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan
diri, perbaikan proses fikir, mendapatkan kontrol kandung kemih, pencapaian beberapa
bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, perbaikan fungsi keluarga dan tidak
adanya komplikasi (Smeltzer & Bare, 2001).
9. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d gangguan oklusi, hemoragik, edema serebral
b. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskuler, kelemahan, parestesia,
paralysis
c. Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan sirkulasi serebral; kerusakan
neuromuskuler, kehilangan tonus/ kontrol farsial,kelemahan dan kelelahan umum
d. Gangguan rasa nyaman : nyeri bahu berhubungan dengan hemiplegia.
e.

Inkontinensia urin berhubungan dengan kandung kemih flaksid, ketidakstabilan


detrusor, kesulitan dalam berkomunikasi.

f. Perubahan proses fikir berhubungan dengan kerusakan otak, konfusi,


ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
g. Kurang perawatan diri: kebersihan, mobilitas, makan berhubungan dengan gejala
sisa respon
10. Intervensi Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d gangguan oklusi, hemoragik, edema serebral
1.

Intervensi
Pantau status neurologi

Rasional
1.
Mengetahui tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan TIK

2.

Pantau TTV

2.

Mungkin terjadi variasi


oleh karena tekanan atau trauma serebral
pada daerah vasomotor otak

3.

Evaluasi pupil, ukuran


bentuk dan reaksi terhadap cahaya

3.

Reaksi pupil diatur oleh N


III untuk menentukan apakah batang
oitak masih baik

4.

Tinggikan kepala
dengan posisi anatomis

4.

Menurunkan tekanan arteri

5.

Bantu meningkatakan
fungsi, termasuk bicara jika pasien
mengalami gangguan fungsi

5.

Perubahan dalam isi


kognitif dan bicara merupakan indikator
dari lokasi atau derajat gangguan
serebral.

6.

Aktivitas yang kontiniu


dapat meningkatkan TIK

6.

Pertahankan tirah baring


, sediakan lingkungan yang tenang ,
atur kunjungan sesuai indikasi
Kolaborasi
1. Berikan oksigen sesuai indikasi

1. Menurunkan hipoksia yang dapat


menyebabkan vasodilatasi serebral
2. Berikan medikasi sesuai indikasi:
antifibrolitik, antihipertensi,
vasodilator perifer.

2. Antifibrolitik untuk mencegah lisis bekuan


darah yang terbentuk, penanganan
hipertensi yang berlebihan meningkatkan
resiko kerusakan jaringan, memperbaiki
sirkulasi kolateral

3. Pantau laboratorium
3. Memberikan informasi tentang keefektifan
terapi

b. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskuler, kelemahan, parestesia,


paralysis.
Intervensi
Rasional
1. Pantau tingkat kemampuan mobilisasi klien 1. Mengidentifikasi kelemahan otot
2. Rubah posisi tiap 2 jam

2. Mencegah kontraktur fleksi bahu

3. Pasang trochanter roll pada daerah yang


lemah

3. Mencegah rotasi eksternal pada pinggul

4. Lakukan ROM pasif atau aktif sesuai


kemampuan dan jika TTV stabil

4. Meningkatkan keseimbangan
ekstermitas dalam posisi normal

5. Observasi daerah yang tertekan

5. Mencegah luka dekubitus

6. Lakukan mesase pada daerah tertekan


Kolaborasi:
1. Konsultasi dengan ahli fisioterapi
2. Berikan obat relaksan otot, antispasmodik
sesuai indikasi

6. Membantu memperlancar sirkulasi


darah
1. Mengembangkan program khusus
2. mungkin diperlukan untuk
menghilangkan spastisitas pada
ekstremitas yang terganggu

c. Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi darah otak


Intervensi
Rasional
2. Berikan metode alternatif komunikasi,
1. Memenuhi kebutuhan komunikasi
misal dengan bahasa isyarat.
sesuai dengan kemampuan klien.
3. Antisipasi setiap kebutuhan klien saat
berkomunikasi.

2. Mencegah rasa putus asa dan


ketergantungan pada orang lain.

4.

3. Mengurangi kecemasan dan


kebingungan pada saat komunikasi.

Bicaralah dengan klien secara pelan dan


gunakan pertanyaan yang jawabannya ya
atau tidak

5. Anjurkan kepada keluarga untuk tetap


berkomunikasi dengan klien.

4. Mengurangi rasa isolasi social dan


meningkatkan komunikasi yang efektif.

6. Hargai kemampuan klien dalam


berkomunikasi.
Kolaborasi
Konsultasi dengan fisioterapis untuk latihan
wicara.

5. Memberi semangat pada klien agar


lebih sering melakukan komunikasi.
Melatih klien belajar berbicara secara
mandiri dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. J. (2000). Buku saku patofisiologis. Jakarta: EGC
Doenges. (1999). Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Mansjoer, A. (2000). Buku kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC
Sherwood. L. (2001). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2001) Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner &
Suddarth. Edisi, 8. Volume 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai