: E3M4V4 = 11
Suhu
: 36,9 C
Pernapasan
: 24 x/menit, reguler
Saturasi O2 : 98%
Keadaan umum : Tampak sakit berat, lemah dan pucat
Status Generalis
Kepala : Nyeri tekan kepala -, rambut tidak mudah dicabut, alopecia Mata
: Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor,
diameter pupil 3 mm/3 mm.
Telinga : Nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, serumen +/+, sekret -/Hidung : Sekret -/-, deviasi septum -, mukosa hiperemis Mulut
Leher
: Simetris, JVP tidak meningkat, distensi vena jugularis -/-, pembesaran KGB -,
pembesaran tiroid -
Thorax :
2
Paru
: I:
P:
P:
P:
P:
Batas jantung kiri di SIC 5 2jari medial linea midklavikula kiri, batas jantung
kanan di ICS 5 linea sternalis kanan.
: E3M4V4 = 11
Suhu
: 36,9 C
Pernapasan
: 24 x/menit, reguler
Saturasi O2 : 98%
Keadaan umum : Tampak sakit berat, lemah dan pucat
Status Generalis
Kepala : Nyeri tekan kepala -, rambut tidak mudah dicabut, alopecia Mata
: Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor,
diameter pupil 3 mm/3 mm.
Telinga : Nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, serumen +/+, sekret -/Hidung : Sekret -/-, deviasi septum -, mukosa hiperemis Mulut
Leher
: Simetris, JVP tidak meningkat, distensi vena jugularis -/-, pembesaran KGB -,
pembesaran tiroid -
Thorax :
4
Paru
: I:
P:
P:
P:
P:
Batas jantung kiri di SIC 5 2jari medial linea midklavikula kiri, batas jantung
kanan di ICS 5 linea sternalis kanan.
Keadaan Umum dengan GCS E3M4V4, tampak sakit berat, pucat, konjungtiva anemis +/+
Hb 4,5 g/dL, GDS 360 mg/dL, Ureum 86 mg/dL, Kreatinin 1,96 mg/dL
3. Assessment(penalaran klinis):
Pada kasus perdarahan saluran cerna, perlu diketahui beberapa kondisi yang dapat terjadi
pada pasien, yakni hematemesis, melena, dan hematoskezia. Pada hematemesis terdapat
perdarahan yang berasal dari lesi di mukosa saluran cerna yang terletak di atas perbatasan
duodenojejunum. Penyebab utama dari hematemesis ada beberapa, yakni ulkus peptikum,
gastritis erosif, sindroma Mallory Weiss, dan varises esofagus. Pada 80-90% kasus, satu dari
keempat diagnosis tersebut dapat dijumpai pada pasien dengan keluhan utama hematemesis.
Diagnosis banding lain untuk hematemesis yang lebih jarang dijumpai meliputi esofagitis,
tumor regio gastroduodenum, diatesis hemoragik, hemobilia, hemangioma, penyakit Osler,
fistula aortointestinal, oklusi arteri mesenterika, dan pseudoxantoma elastikum.
Pada melena didapatkan adanya perdarahan berupa tinja berwarna hitam kental, seperti tar,
yang disebabkan oleh etiologi yang sama dengan hematemesis, yakni ulkus peptikum, gastritis
erosif, sindroma Mallory Weiss, varises esofagus, atau tumor. Hematemesis yang berlangsung
bersama-sama dengan melena mengindikasikan adanya perdarahan yang bersumber proksimal
dari jejunum. Walaupun demikian hematemesis dapat tidak dijumpai pada perdarahan saluran
cerna bagian atas. Perlu dipertimbangkan pula perdarahan saluran cerna yang disebabkan oleh
terapi NSAID, kondisi stres pascabedah dan luka bakar, dan efek dari terapi antikoagulan.
Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya melena, yakni volume perdarahan
yang terjadi (>50 ml), waktu transit usus (>8 jam), serta efek sekresi asam lambung dan flora
6
normal usus terhadap hemoglobin. Lebih lanjut perdarahan per rektal berwarna merah segar
(hematoskezia) mengindikasikan perdarahan yang bersumber dari kolon atau usus halus bagian
distal (karena tumor, divertikulum, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, dan angiodisplasia).
Perdarahan masif dari saluran cerna atas yang disertai dengan pemendekan waktu transit usus
juga dapat menyebabkan terjadinya hematoskezia. Sebaliknya pada perdarahan dari kolon
proksimal yang disertai pemanjangan waktu transit usus dapat menyebabkan melena. Perlu
juga diperhatikan adanya beberapa kondisi yang dapat menyerupai melena, yakni pada
pemberian suplementasi besi, preparat arang, dan konsumsi makanan tertentu (bit atau
blueberry) dalam jumlah besar.
Dalam kasus perdarahan saluran cerna, modalitas endoskopi digunakan untuk menentukan
etiologi
sehingga
dapat
dipilih
terapi
definitifnya.
Umumnya
dilakukan
gaster, biasanya didahului oleh gejala mual, muntah dan rasa perih di ulu hati.
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang
dapat bersifat akut, kronis dan difus atau lokal. Gastritis erosif bila terjadi kerusakan mukosa
lambung yang tidak meluas sampai epitel. Gastritis merupakan penyakit yang sering
ditemukan, biasanya bersifat jinak dan merupakan respon mukosa terhadap berbagai iritan
lokal. Endotoksin bakteri (setelah menelan makanan), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan
pencetus yang lazim. Infeksi Helicobacter pylori lebih sering diangap penyebab gastritis akut.
Obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sulfonamid, steroid juga diketahui
menggangu sawar mukosa lambung.
Etiologi dan Patogenesis
a. Helicobater pylori
Individu sehat dibawah umur 30 tahun mempunyai angka prevalesi koloni H. Pylori pada
lambung sekitar 10 %. Kolonisasi meningkat sesuai umur, pada mereka yang berumur lebih
dari 60 tahun mempunyai tingkat kolonisasi sesuai umur mereka. H. pylori merupakan basil
gram-negatif, spiral dengan flagel multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. H.
Pylori tidak menyerang jaringan, menghuni dalam gel lendir yang melapisi epitel. H. pylori
mengeluarkan urease yang memecah urea menjadi amnion dan CO2 sehingga milieu akan
menjadi basa dan kuman terlindungi terhadap faktor merusak dari asam lambung. Disamping
itu, kuman ini membentuk platelet ectiving faktor yang merupakan pro inflamatory sitokin.
Sitokin yang terbentuk mempunyai efek langsung pada sel epitel melalui ATP-ase dan proses
transport ion.
b. OAINS dan Alkohol
OAINS dan alkohol merupakan zat yang dapat merusak mukosa lambung dengan
mengubar permeabilitas sawar epitel, sehinga memungkinkan difus balik asam klorida yang
mengakibatkan kerusakan jaringan terutama pembuluh darah. Zat ini menyebabkan perubahan
kualitatif mukosa lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mukus oleh pepsin.
Mukosa menjadi edem, dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat
rusak mengakibatkan hemoragi interstisial dan perdarahan. Mukosa antrum lebih rentan
terhadap difusi balik dibanding fundus sehinga erosif serin terjadi di antrum. Difus balik ion H
akan merangsang histamin untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi
dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung.
c. Stress ulkus
Istilah ulkus stress digunakan untuk menjelaskan erosi lambung yang terjadi akibat stress
psikologis atau fisiologis yang berlangsung lama. Bentuk stress dapat bermacam-macam
8
seperti syok hipotensif setelah trauma dan operasi besar, sepsis, hipoksia, luka bakar hebat
(ulkus Curling), atau trauma serebral (ulkus Cushing). Gastritis erosif akibat stress memiliki
lesi yang dangkal, ireguler, menonjol keluar, multiple. Lesi dapat mengalami perdarahan
lambat menyebabkan melena, dan seringkali tanpa gejala. Lesi ini bersifat superficial. Ulkus
stress dibagi menjadi 2. Ulkus cushing karena cedera otak ditandai oleh hiperasiditas nyata
yang diperantarai oleh rangsang vagus dan ulkus curling an sepsis ditandai oleh hipersekresi
asam lambung. Sebagian besar peneliti setuju bila iskemia mukosa lambung adalah faktor
etiologi utama yang menyebabkan terjadinya destruksi sawar lambung dan terbentuk ulserasi.
Secara umum pasien gastritis erosif mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom/
kumpulan gejala berupa mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa
penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang. Secara umum dispepsia dibagi menjadi empat yaitu:
dispepsia akibat tukak, dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia akibat refluks dan
dispepsia tidak spesifik.
4. Plan:
-Penurunan Kesadaran ec suspek Encefalopati Metabolik
-Melena ec suspek Gastritis Erosif
-Hiperglikemi DM
-AKI DD/ CKD
-Anemia Gravis
Terapi:
Pengobatan: pengobatan dan penatalaksaan yang akan dibahas dalam diskusi kasus ini
bertujuan untuk:
1. Mengatasi perdarahan saluran cerna bagian atas
9
Sembari memberikan terapi cairan inisial dilakukan pula pengukuran kadar Hb. Sesuai
dengan perdarahan yang terjadi, kondisi klinis pasien, serta kadar Hb pasien, dilakukan pula
transfusi darah hingga dicapai target Hb 10 g/dl pada kasus ruptur varises atau 12 g/dl pada
kasus non ruptur varises. Pasca transfusi dilakukan kembali pengukuran kadar Hb untuk menilai
apakah perlu transfusi PRC lanjutan atau tidak. Dalam Harrison disebutkan bahwa pemberian
PRC dilakukan untuk menjaga hematokrit dalam rentang 25-30%. Pada kasus perdarahan
dengan transfusi yang masif dapat terjadi trombositopenia. Jika terjadi kondisi koagulopati
tersebut dapat dilakukan pemberian FFP atau TC. Pada pasien dengan sirosis hepar juga perlu
ditambahkan vitamin K 10 mg secara SC atau IV. Apabila terjadi penurunan kadar kalsium
darah (akibat transfusi masif darah yang mengandung sitrat sebagai antikoagulan) dapat
dilakukan pemberian kalsium IV dengan sediaan kalsium glukonas 10% IV sebanyak 10-20 ml
dalam 10-15 menit.
Apabila endoskopi belum dilakukan terapi dapat dilakukan secara empirik, walaupun dalam
Harrison disebutkan bahwa pemberian antasida, penghambat reseptor H2, dan PPI secara
empirik belum terbukti bermanfaat. Algoritma terapi dalam Harrison menyebutkan bahwa
endoskopi dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai terapi agar terapi definitif dapat dimulai
segera. Oleh karena secara klinis masih dipikirkan bahwa perdarahan saluran cerna berasal dari
gastritis erosif (penyebab non varises), terapi yang diberikan mencakup omeprazole
(penghambat pompa proton), sukralfat (sitoprotektor), dan vitamin K (pada pasien dengan
penyakit hepar kronis atau sirosis hepar).
Pantoprazole tergolong dalam penghambat pompa proton. Obat ini tersedia dalam bentuk
tablet bersalut dan sediaan injeksi IV (dapat diberikan baik secara bolus maupun drip).
Pantoprazole menghambat produksi HCl dengan cara memblokade kerja pompa proton di
lambung. Pemberian pantoprazole diindikasikan pada kasus penyakit ulkus gaster dan peptik,
sindroma dispepsia tanpa ulkus, dan untuk pencegahan perdarahan mukosa saluran cerna yang
disebabkan oleh stres.
Sukralfat tergolong dalam agen pelindung mukosa saluran cerna. Sukralfat merupakan
garam sukrosa yang mengalami reaksi sulfasi dengan aluminium hidroksida. Dalam air atau
larutan asam sukralfat akan membentuk lapisan pasta kental yang akan berikatan dengan ulkus
selama 6 jam. Sebanyak 3% sukralfat akan mengalami absorbsi oleh saluran cerna dan sisanya
akan dibuang melalui tinja. Melalui ikatan antara muatan negatif sukralfat dengan protein
bermuatan positif pada ulkus atau erosi, sukralfat akan membentuk sawar fisik yang
menghambat jejas kaustik lain dan merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin mukosa.
Sukralfat diberikan dalam dosis 1 g selama 4 kali sehari dalam kondisi perut kosong (1 jam
11
sebelum makan). Efek samping sukralfat tergolong minimal karena absorpsi obat yang rendah,
walaupun interaksi dengan obat lain dapat terjadi karena adanya ikatan sukralfat dengan obatobat lain.
Pemasangan NGT dilakukan pada pasien dengan perdarahan yang diduga masih
berlangsung dan disertai dengan instabilitas hemodinamik. Tujuan pemasangan NGT adalah
mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan mengevaluasi perdarahan.
Jakarta, Desember 2015
DOKTER INTERNSHIP
DOKTER
PENDAMPING
FOLLOW UP
Tanggal
11/12/15
TD : 122/62 mmHg
N : 120 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T : 37oC
Leukosit 17.500
Hb 7,4
Ht 21 %
Trombosit 226.000
OT/PT 16/4
Albumin 3,2
GDS:
08.00 315
14.00 208
20.00 358
Perjalanan Penyakit
S: Lemes
O : KU somnolen
Kepala: CA (+/+)
Paru : SN vesikuler (+/+), rh (-/-),
wh (-/-)
Jantung : BJ I-II reg, murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen : peristaltik(+) normal,
supel, NT (+) epigastrium
Ekstremitas : Akral hangat, oedem
(-/-), RP (-/-), kaku kuduk (-)
A:
-Penurunan kesadaran ec susp
Encefalopati metabolik
-Melena e.c susp gastritis erosif
-Hiperglikemi DM
-AKI DD/CKD
-Anemia Gravis
Instruksi
IVFD Asering/8 jam
Pantoprazol (Pumpicell) 1x40
mg IV
Ondansetron (Cendantron) 3 x 8
mg IV
Ceftazidin 3 x 1 gr IV
Sukralfat (Episan) 4 x 1 C
NGT
Diet cair 6 x 500 cc
Transfusi PRC 500 cc dengan
target Hb 10 gr/dl
Sliding scale / 8 jam
DC
Konsul Sp.S !!!
12/12/15
TD : 100/58 mmHg
N : 74 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T : 36oC
S: Lemes
O : KU somnolen
Kepala: CA (+/+)
Paru : SN vesikuler (+/+), rh (-/-),
wh (-/-)
Jantung : BJ I-II reg, murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen : peristaltik(+) normal,
Leukosit 22.000
Hb 7,5
12
Ht 25 %
Trombosit 194.000
GDS:
02.00 184
10.00 123
18.00 174
Procalcitonin 0,32
UL; agak keruh, ph
7,0, BJ 1,025, darah
1+, leukosit 2-3,
eritrosit 15-20
14/12/15
TD : 90/60 mmHg
N : 64 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T : 36oC
Leukosit 8.400
Hb 9,0
Ht 22 %
Trombosit 154.000
GDS:
00.00 ?
06.00 241
12.00 240
18.00 ?
APTT kontrol (33,2),
pasien (26,8) N 2040 detik
Ureum 45
Kreatinin 1,41
15/12/15
TD : 110/60 mmHg
N : 86 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T : 36oC
Leukosit 5.400
Hb 10,4
Ht 33 %
Trombosit 161.000
GDS:
06.00 281
S: O : KU compos mentis
Kepala: CA (+/+)
Paru : SN vesikuler (+/+), rh (-/-),
wh (-/-)
Jantung : BJ I-II reg, murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen : peristaltik(+) normal,
supel, NT (-)
Ekstremitas : Akral hangat, oedem
(-/-), RP (-/-), kaku kuduk (-)
A:
-Post Encefalopati metabolik
-Melena e.c susp gastritis erosif
-Hiperglikemi DM
-AKI DD/CKD
-Anemia perbaikan
S: O : KU compos mentis
Kepala: CA (+/+)
Paru : SN vesikuler (+/+), rh (-/-),
wh (-/-)
Jantung : BJ I-II reg, murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen : peristaltik(+) normal,
supel, NT (-)
Ekstremitas : Akral hangat, oedem
(-/-), RP (-/-), kaku kuduk (-)
A:
-Post Encefalopati metabolik
13
12.00 345
16/12/15
TD : 110/60 mmHg
N : 86 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T : 36oC
GDS:
06.00 209
09.00 318
Kreatinin 1,29
HbA1c 5,3
A:
-Post Encefalopati metabolik
-Melena e.c susp gastritis erosif
-Hiperglikemi DM
-AKI DD/CKD perbaikan
-Anemia perbaikan
17/12/15
TD : 120/60 mmHg
N : 80 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T : 36oC
GDS:
06.00 209
09.00 381
16.00 150
S: O : KU compos mentis
Kepala: CA (-/-)
Paru : SN vesikuler (+/+), rh (-/-),
wh (-/-)
Jantung : BJ I-II reg, murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen : peristaltik(+) normal,
supel, NT (-)
Ekstremitas : Akral hangat, oedem
(-/-), RP (-/-), kaku kuduk (-)
A:
-Post Encefalopati metabolik
-Melena e.c susp gastritis erosif
-DM tipe II perbaikan
-AKI DD/CKD perbaikan
-Anemia perbaikan
14
TINJAUAN PUSTAKA
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS
Definisi
Perdarahan saluran cerna dapat bermanifestasi klinis sebagai gejala yang ringan seperti
perdarahan tersamar, namun dapat juga ditemukan dalam kondisi yang mengancam nyawa.
Perdarahan saluran cerna atas adalah kehilangan darah dari saluran cerna atas, dimana saja,
mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas anatomi di ligamentum Treitz),
dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.1,2
Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti
kopi). Melena merupakan feses yang berwarna hitam seperti ter. Akan tetapi, perdarahan saluran
cerna bagian atas, terutama yang berasal dari duodenum, dapat pula bermanifestasi dalam
bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena juga dapat
disebabkan oleh perdarahan usus halus dan proksimal kolon.1
Etiologi dan Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, penyebab terbanyak perdarahan saluran
cerna bagian atas adalah ulkus peptikum (31-67%), diikuti oleh varises esofagus (6-39%),
robekan Mallory-Weiss (2-8%), erosi gastroduodenal (2-18%), esofagitis erosif (1-13%),
neoplasma (2-8%), dan ektasia vaskular (5-14%). Akan tetapi, di Indonesia didapatkan data
15
yang berbeda. Data yang ada menunjukkan bahwa hampir 70% perdarahan saluran cerna bagian
atas di Indonesia disebabkan oleh pecah varises esofagus. Meskipun demikian, karena saat ini
tata laksana penyakit hati kronik semakin berkembang dan jumlah lansia semakin meningkat,
diperkirakan proporsi perdarahan yang disebabkan oleh ulkus juga akan meningkat. Data di
RSUP Sanglah menyatakan bahwa penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah ulkus peptikum, diikuti gastritis erosiva. Studi retrospektif pada 4.154 pasien yang
menjalani endoskopi di Pusat Endoskopi RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2001-2005
menunjukkan bahwa penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian atas adalah ruptur
varises esofagus (280 kasus, 33,4%), diikuti dengan ulkus peptikum (225 kasus, 26,9%) dan
gastritis erosif (219 kasus, 26,2%).1,2
Patofisiologi
Varises Esofagus
Varises esofagus ditemukan pada 50% pasien dengan sirosis hepatis dan perdarahan
akibat varises esofagus timbul sebanyak 5-15% per tahunnya bergantung pada keparahan
penyakit hati yang dimiliki pasien. Pada pasien dengan sirosis hepatis, varises gastroesofageal
timbul karena adanya hipertensi porta sistemik atau segmental akibat sirosis hepatis, yang
menyebabkan terjadinya obstruksi aliran vena porta. Varises muncul untuk mendekompresi
hipertensi pada vena porta dan mengembalikan darah ke sirkulasi sistemik. Taut gastroesofageal
memiliki lapisan jaringan tertipis sehingga menjadi lokasi yang sering untuk perdarahan
varises.3
Pasien dengan varises esofagus memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
pasien dengan etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas yang lain. Endoskopi terapeutik
pada perdarahan akut dan endoskopi terapeutik berulang untuk mengatasi varises esofagus
mengurangi angka perdarahan ulang dan mortalitas secara signifikan.Ligasi merupakan terapi
endoskopi pilihan untuk varises esofagus karena memiliki angka perdarahan ulang, mortalitas,
dan komplikasi lokal yang terendah. Terapi ligasi juga membutuhkan jumlah sesi yang lebih
sedikit dibanding skleroterapi.1
Ocreotide (50 g bolus dan 50 g/jam infus IV selama 2-5 hari) membantu mengontrol
perdarahan akut bila dikombinasikan dengan terapi endoskopi. Agen vasoaktif lainnya seperti
somatostatin dan terlipressin juga efektif. Terapi antibiotik, misalnya ceftriaxone, juga
16
dianjurkan pada pasien sirosis hepatis dengan perdarahan saluran cerna bagian atas karena dapat
menurunkan infeksi bakteri dan mortalitas. Untuk jangka panjang, terapi dengan beta bloker
nonselektif menurunkan angka perdarahan ulang. Terapi jangka panjang menggunakan beta
bloker dan terapi ligasi direkomendasikan untuk mencegah perdarahan varises berulang.1
Pada pasien yang mengalami perdarahan berulang walaupun sudah mendapat terapi
endoskopi dan terapi medikamentosa, direkomendasikan untuk dilakukan transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Penelitian lama menyatakan bahwa pasien dengan
TIPS mengalami stenosis pada shunt-nya dalam 1-2 tahun dan membutuhkan terapi intervensi
ulang untuk mempertahankan patensi shunt. Penggunaan coated stent dapat mengurangi angka
disfungsi shunt dalam 2 tahun pertama. Suatu studi terandomisasi yang membandingkan TIPS
(dengan uncoated shunt) dan shunt splenorenal distal pada pasien sirosis hepatis Child-Pugh A
dan B dengan perdarahan varises refrakter menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam
angka perdarahan ulang, ensefalopati, maupun survival, namun didapatkan angka reintervensi
yang lebih tinggi secara signifikan pada TIPS (82% vs 11%). Oleh karena itu, operasi
dekompresi dapat menjadi pilihan pada pasien dengan sirosis hepatis yang lebih ringan dan
ditoleransi dengan baik.1
Ulkus Peptikum
Infeksi bakteri Helicobacter pylori merupakan penyebab utama ulkus peptikum, diikuti
dengan penggunaan NSAID. Ulkus duodenum lebih sering ditemukan pada pasien dengan
infeksi H. pylori dibandingkan ulkus gaster, namun angka kejadian perdarahan sama untuk
keduanya. Penelitian lama menunjukkan bahwa angka infeksi H. pylori lebih rendah pada
pasien ulkus dengan perdarahan (71%) dibandingkan pasien ulkus tanpa perdarahan (93%).
Akan tetapi, studi lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh penurunan
sensitivitas biopsi pada pasien dengan perdarahan ulkus akut. Hal ini dapat disebabkan oleh
efek alkalinisasi darah yang menetralkan pH lambung sehingga terjadi false-negative pada
pemeriksaan.3
Penggunaan NSAID, termasuk aspirin, masih menjadi penyebab yang sering dari
perdarahan saluran cerna bagian atas. Walaupun sebagian besar ulkus yang disebabkan oleh
penggunaan NSAID bersifat asimtomatik dan tidak mengakibatkan perdarahan, pasien lanjut
usia dengan riwayat perdarahan ulkus dan tetap menggunakan NSAID memiliki risiko
perdarahan ulang yang meningkat. Suatu studi prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa
orang berusia 65 tahun ke atas yang mendapatkan terapi NSAID kronik untuk artritis dan terapi
17
aspirin dosis rendah memiliki risiko komplikasi saluran cerna bagian atas, termasuk
perdarahan.3
Dosis
aspirin
75-300
mg/hari
menunjukkan
peningkatan
risiko
perdarahan
gastrointestinal sebanyak 2-3 kali. Faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas akibat
penggunaan NSAID adalah durasi terapi, dosis NSAID, riwayat gangguan saluran cerna akibat
NSAID, riwayat ulkus peptikum akibat infeksi H. pylori, dan penggunaan kortikosteroid,
antikoagulan, serta bisfosfonat. Faktor predisposisi genetik berupa polimorfisme sitokrom P450
(CYP) 2C9 dapat menghambat metabolisme NSAID sehingga memperlama efek NSAID yang
menyebabkan terjadinya ulkus.3
Selain manifestasi klinis, gambaran endoskopi ulkus peptikum juga menunjukkan
prognosis. Sepertiga pasien dengan perdarahan aktif atau ulkus dengan pembuluh darah yang
terlihat melalui endoskopi akan mengalami perdarahan di masa datang yang membutuhkan
terapi pembedahan bila ditatalaksana menggunakan terapi konservatif. Pasien-pasien ini lebih
baik diterapi dengan endoskopi terpeutik dengan elektrokoagulasi bipolar, heater probe, injeksi
(alkohol absolut, epinefrin 1:10.000), dan/atau klip dengan penurunan angka perdarahan, lama
rawat di rumah sakit, mortalitas, dan biaya. Sebaliknya, pasien dengan ulkus yang berdasar
bersih memiliki angka perdarahan berulang hampir nol sehingga pasien dapat langsung
dipulangkan dari rumah sakit pada hari pertama bila tidak ada indikasi rawat lainnya. Pasien
dengan ulkus yang tidak berdasar bersih biasanya perlu dirawat selama 3 hari karena
kebanyakan perdarahan ulang terjadi dalam waktu tiga hari.1
Studi-studi RCT menunjukkan bahwa infus konstan proton pump inhibitor (PPI) dosis
tinggi (misalnya omeprazole bolus 80 mg dan infus 8 mg/jam) dapat mempertahankan pH
lambung >6 dan meningkatkan stabilitas bekuan darah sehingga menurunkan risiko perdarahan
lebih lanjut dan mortalitas pada pasien dengan ulkus risiko tinggi (perdarahan aktif, dengan
pembuluh darah yang terlihat, dan bekuan darah adheren) bila diberikan setelah dilakukan terapi
endoskopi. Pemberian terapi PPI sebagai terapi awal pada semua pasien dengan perdarahan
saluran cerna bagian atas menurunkan karakteristik ulkus risiko tinggi (misalnya perdarahan
aktif), namun tidak meningkatkan outcome dalam hal perdarahan lebih lanjut, kebutuhan
transfusi, atau mortalitas secara signifikan bila dibandingkan dengan pemberian terapi PPI
hanya saat ulkus risiko tinggi sudah teridentifikasi melalui endoskopi.1
Sepertiga pasien dengan ulkus peptikum akan mengalami perdarahan ulang dalam 1-2
tahun bila terapi preventif tidak dilakukan. Pencegahan perdarahan ulang difokuskan pada tiga
faktor utama yang mempengaruhi patogenesis ulkus, yaitu infeksi H. pylori, NSAID, dan asam.
Eradikasi bakteri H. pylori pada pasien dengan perdarahan pada ulkus peptikum menurunkan
18
risiko perdarahan ulang menjadi kurang dari 5%. Bila perdarahan ulkus terjadi pada pasien yang
menggunakan NSAID, penggunaan NSAID harus dihentikan bila memungkinkan. Bila NSAID
tetap harus digunakan, harus digunakan NSAID tipe inhibitor COX-2 selektif ditambah PPI.1
Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang mengalami perdarahan ulkus peptikum saat
mengonsumsi aspirin dosis rendah harus memulai kembali konsumsi aspirin secepat mungkin
(7 hari). Suatu studi terandomisasi menunjukkan bahwa kegagalan memulai kembali terapi
aspirin tidak memberikan perbedaan angka perdarahan ulang yang signifikan (5% vs 10%
dalam 30 hari), namun meningkatkan mortalitas secara signifikan dalam 30 hari (9% vs 1%) dan
8 minggu (13% vs 1%), dibandingkan dengan segera memulai kembali terapi aspirin. Pasien
dengan ulkus perdarahan yang tidak berkaitan dengan H. pylori maupun NSAID harus terus
mendapatkan terapi antisekretorik.1
Gastropati (Gastritis) Hemoragik dan Erosif
Gastropati hemoragik dan erosif, yang sering juga disebut gastritis, adalah perdarahan
dan erosi yang tervisualisasi melalui endoskopi. Kedua gastropati ini merupakan lesi mukosa
sehingga tidak menimbulkan perdarahan mayor. Gastropati hemoragik dan erosif timbul pada
berbagai keadaan klinis, terutama pada penggunaan NSAID, konsumsi alkohol, dan stres.
Separuh pasien yang menggunakan NSAID dalam jangka panjang memiliki erosi (15-30% di
antaranya memiliki ulkus), sementara 20% pasien yang aktif mengonsumsi alkohol dengan
gejala perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki erosi atau perdarahan subepitelial.1
Cedera mukosa lambung terkait stres dapat timbul pada kondisi trauma serius,
pembedahan mayor, luka bakar yang meliputi sepertiga luas permukaan tubuh atau lebih,
penyakit intrakranial mayor, penggunaan ventilasi mekanik selama lebih dari 48 jam,
koagulopati (trombosit <50.000/mm3 atau INR >1,5), sepsis, penggunaan antikoagulan, dan
kortikosteroid dosis tinggi. Perdarahan yang signifikan mungkin tidak akan terjadi kecuali
timbul ulkus. Mortalitas pada pasien-pasien ini cukup tinggi karena penyakit serius yang
mendasari. Insidens perdarahan pada cedera atau ulkus mukosa lambung terkait stres telah
banyak berkurang pada tahun-tahun terahir ini, terutama karena peningkatan kualitas perawatan
pasien sakit kritis. Pengobatan profilaksis perdarahan dapat diberikan pada pasien-pasien
dengan risiko tinggi tersebut. Pengobatan profilaksis dapat menurunkan angka perdarahan,
namun tidak mengurangi mortalitas.1
Sindrom Mallory-Weiss
19
Sindrom Mallory-Weiss adalah laserasi mukosa longitudinal yang terjadi pada esofagus
distal dan gaster proksimal. Laserasi ini dapat berujung pada perdarahan submukosa. Insidens
sindrom Mallory-Weiss adalah 5% di antara pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian atas. Laserasi ini dihubungkan dengan peningkatan tekanan intraabdominal secara
mendadak sehingga terjadi distensi pada taut gastroesofageal dan timbul robekan. Faktor risiko
dari sindrom Mallory-Weiss antara lain muntah, mengejan untuk buang air besar atau
mengangkat beban berat, batuk, kejang, cegukan, resusitasi jantung-paru, trauma tumpul
abdomen, dan persiapan kolonoskopi menggunakan larutan elektrolit polietilen glikol.Faktor
risiko lainnya antara lain konsumsi alkohol, ketoasidosis diabetik, dan hernia hiatal. Sindrom ini
biasanya didapatkan pada pasien berusia 30-50 tahun dan lebih sering pada laki-laki. Gejala
klasik sindrom Mallory-Weiss adalah muntah atau batuk yang mendahului hematemesis,
terutama pada pasien dengan kebiasaan konsumsi alkohol. Perdarahan pada sindrom ini,
biasanya terjadi pada bagian gaster dari taut gastroesofageal, berhenti spontan pada 80-90%
pasien dan hanya berulang pada 0-7%. Terapi endoskopi diindikasikan pada perdarahan aktif
sindrom Mallory-Weiss.1,3
Penyebab Lainnya
Penyebab lain yang jarang dari perdarahan saluran cerna atas antara lain duodenitis
erosif, neoplasma, fistula aortoenterik, lesi vaskular (telangiektasia hemoragik herediter (OslerWeber-Rendu) dan ektasia vaskular antrum gaster (watermelon stomach), lesi Dieulafoy,
gastropati prolaps, dan hemobilia atau hemosuccus pancreaticus (perdarahan dari duktus biliaris
atau duktus pankreatikus).1
Faal hemostasis pada orang normal
Hemostasis adalah pengehentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak. Hemostasis
melibatkan tiga langkah utama:
1. Spasme vaskuler
Pembuluh darah yang terpotong atau robek akan segera berkonstriksi akibat respons vaskuler
inheren terhadap cedera dan vasokonstriksi yang dilindungi oleh rangsang simpatis. Konstriksi
ini akan memperlambat aliran darah melalui defek, sehingga pengeluaran darah dapat
diperkecil. Karena permukaan endotel (bagian dalam) pembuluh saling menekan satu sama lain
akibat spasme muskular awal ini, endotel tersebut menjadi lengketdan melekat satu sama lain,
kemudian menutup pembuluh yang rusak. Tindakan fisik ini saja tidak cukup untuk secara total
20
mencegah pengeluaran darah selanjutnya, tetapi untuk memperkecil pengeluaran darah dari
pembuluh yang rusak sampai tindakan-tindakan hemostatik lainnya menyumbat defek tersebut.
2. Pembentukan sumbat trombosit
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat ke permukaan endotel pembuluh darah,
tetapi apabila lapisan dalam ini rusak akibat cedera pembuluh, trombosit akan melekat ke
kolagen yang terpajan. Setelah berkumpul ditempat cedera tersebut, trombosit mengeluarkan
adenosin difosfat (ADP) dan tromboksan A2, dimana zat kimia ini menyebabkan permukaan
trombosit dalam sirkulasi yang lewat menjadi lengket dan melekat ke lapisan trombosit pertama.
Trombosit yang baru melekat ini, akan mengeluarkan lebih banyak ADP, sehingga lebih banyak
trombosit yang melekat, sesuai dengan mekanisme umpan balik positif. Proses sumbatan ini
diperkuat juga oleh tromoksan A2 yang secara langsung mendorong agregasi trombosit dan
secara tidak langsung meningkatkan proses tersebut dengan mencetuskan pengeluaran lebih
banyak ADP dari granula trombosit. Trombosit tidak menumpuk di lapisan dalam pembuluh
darah normal disekitarnya oleh adanya prostasiklin yang dikeluarkan oleh sel-sel endotelyang
melapisi bagian dalam pembuluh.
3. Koagulasi darah
Koagulasi darah, atau pembekuan darah, adalah transformasi darah dari cairan menjadi gel
padat. Pembentuakan suatu bekuan diatas sumbat trombosit memperkuat dan menunjang
sumbat, memperkuat tambalan yang menutupi lubang di pembuluh, sehingga darah tidak lagi
dapat mengalir. Jenjang pembekuan dapat dicetuskan oleh jalur intrinsik atau jalur ekstrinsik.
Jalur intrinsik mencetuskan pembekuan intra vaskuler. Jalur ini melibatkan tujuh langkah
terpisah, berjalan saat faktor XII diaktifkan karena berkontak dengan kolagen yang terpajan di
pembuluh yang cedera, kemudian pengaktifan faktor XI, yang selanjutnya terjadi pengaktifan
faktor IX yang melibatkan Ca++ dan faktor IV. Kemudian jalur ekstrinsik, yang memerlukan
kontak dengan faktor-faktor jaringan di luar darah mengawali proses pembekuan darah keluar
jaringan. Jika mendapat trauma, jaringan mengeluarkan tromboplastin jaringan. Tromboplastin
secara langsung mengaktifkan faktor X, sehingga melewatkan semua langkah pendahuluan pada
jalur intrinsik. Setelah faktor X aktif, protombin diubah menjadi trombin yang dibantu oleh Ca +
+
, faktor V dan PF3, setelah trombin terbentuk, akan mengaktifkan faktor XII, yang akan
mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang masih dalam bentuk jaringan ikat longgar, fibrian
yang masih berupa jaring ikat longgar tersebut diubah menjadi jaring fibrin yang lebih stabil
yang dapat menangkap sel-sel darah sehingga terbentuk bekuan darah.
21
hematemesis dan melena. Tiga puluh persen pasien dengan perdarahan ulkus datang dengan
hematemesis, 20% dengan melena, dan 50% dengan keduanya. Pada hematemesis, warna darah
yang dimuntahkan tergantung dari asam hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan
darah. Jika vomitus terjadi segera setelah perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah
dan baru beberapa waktu kemudian penampakannya menjadi merah gelap, coklat atau hitam.
Bekuan darah yang mengendap pada muntahan akan tampak seperti ampas kopi yang khas.
Hematemesis biasanya menunjukkan perdarahan di sebelah proksimal ligamentum Treitz karena
darah yang memasuki traktus gastrointestinal di bawah duodenum jarang masuk ke dalam
lambung.
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan hematemesis biasanya
mengakibatkan melena, kurang dari separuh pasien melena menderita hematemesis. Melena
22
24
Skor Rockall adalah kriteria yang paling sering digunakan untuk memperkirakan risiko
perdarahan dan mortalitas pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Skor Rockall didasarkan
pada tiga faktor klinis dan dua faktor endoskopis. Rentang skor Rockall adalah 0-11. Skor 0-2
dihubungkan dengan prognosis yang baik. Skor Blatchford juga digunakan untuk
memperkirakan prognosis perdarahan saluran cerna atas. Skor Blatchford hanya menggunakan
data klinis dan laboratorium sehingga skor ini direkomendasikan oleh konsensus guideline di
Asia Pasifik. Skor Blatchford dapat memperkirakan perlu atau tidaknya dilakukan intervensi
seperti endoskopi, pembedahan, dan transfusi darah. Rentang skor Blatchford adalah 0-23 dan
skor 6 menandakan perlu dilakukan intervensi.Beberapa faktor risiko yang berhubungan
dengan prognosis yang buruk pada kasus perdarahan ulkus peptikum antara lain usia >60 tahun,
onset perdarahan di rumah sakit, adanya penyakit komorbid, syok atau hipotensi ortostatik,
darah segar di NGT, koagulopati, kebutuhan transfusi berulang, ulkus pada bagian atas
kurvatura minor (di dekat arteri gastrica sinistra), ulkus di bulbus duodenum posterior, dan
ditemukannya perdarahan arteri atau pembuluh darah yang terlihat pada endoskopi. Pasien
dengan skor Blatchford pre-endoskopi 0 dapat dipertimbangkan untuk segera dipulangkan.2,4
atau anemia progresif. Selanjutnya dilakukan stratifikasi risiko berdasarkan skor Rockall atau
Blatchford. Pasien dengan risiko mortalitas atau perdarahan berulang tinggi perlu dirawat di unit
perawatan intensif. Pemasangan NGT dilakukan pada pasien dengan perdarahan yang diduga
masih berlangsung dan disertai dengan instabilitas hemodinamik. Tujuan pemasangan NGT
adalah mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan mengevaluasi perdarahan. Tindakan
resusitasi meliputi pemberian cairan secara intravena, suplementasi oksigen, koreksi
koagulopati serius, dan transfusi darah.2
Keputusan untuk melakukan transfusi darah bergantung pada keadaan umum dan tanda
vital pasien. Transfusi biasanya dilakukan pada kadar hemoglobin 7.0 g/dL kecuali bila
terdapat perdarahan masif, penyakit jantung koroner, instabilitas hemodinamik (hipotensi dan
takikardia), dan usia lanjut. Target transfusi adalah kadar hemoglobin 7 g/dL. 6,7 Kadar
hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah 8 mg/dL, namun bila akan dilakukan
endoskopi terapeutik kadar hemoglobin minimal adalah 10 mg dL dan pasien harus dalam
kondisi hemodinamik yang stabil. Transfusi trombosit dilakukan pada pasien yang masih
mengalami perdarahan aktif dan kadar trombositnya <50.000/mm 3. Transfusi fresh frozen
plasma (FFP) diberikan pada pasien dalam keadaan perdarahan aktif dengan PT (atau INR) atau
aPTT >1,5 kali normal. Bila kadar fibrinogen pasien tetap <1,5 g/dL setelah pemberian FFP,
perlu juga diberikan kriopresipitat. Pada pasien yang menggunakan terapi antikoagulan, koreksi
antikoagulan direkomendasikan, namun tidak boleh menyebabkan ditundanya endoskopi.4,5
Terapi PPI preendoskopik dapat dianjurkan pada pasien dengan perdarahan ulkus
peptikum. Lingkungan yang bersifat asam dapat mengakibatkan inhibisi agregasi platelet dan
koagulasi plasma sehingga dapat terjadi lisis dari bekuan darah yang sudah terbentuk.
Pemberian terapi PPI dapat menetralisir asam lambung intraluminal dengan cepat sehingga
menstabilkan bekuan darah. Akan tetapi, guideline NICE tidak merekomendasikan pemberian
terapi PPI pre-endoskopik bila dicurigai perdarahan non-varises. Dalam jangka panjang, terapi
antisekretorik juga dapat membantu penyembuhan mukosa. Obat-obat promotilitas tidak
dinjurkan untuk diberikan secara rutin sebelum endoskopi untuk meningkatkan kemampuan
diagnostik.5
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi PPI preendoskopik menurunkan stigmata
risiko tinggi pada endoskopi yang dilakukan awal secara signifikan (37% vs 46%, OR 0,67;
95% CI 0.54-0.84). Akan tetapi, terapi ini tidak mengurangi angka perdarahan berulang,
perdarahan, dan mortalitas. Bila endoskopi harus ditunda atau tidak dapat dilakukan, pemberian
PPI direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut. Pasien dapat dipertimbangkan
untuk tidak dirawat inap dan tidak dilakukan endoskopi apabila kadar BUN <18,2 mg/dL, Hb
26
13 g/dL pada laki-laki atau 12 g/dL pada perempuan, tekanan darah sistolik 110 mmHg,
frekuensi nadi <100 kali permenit, dan tidak ada melena, sinkop, gagal jantung, dan penyakit
liver.4,6
Perdarahan Ulkus Peptikum (Non-Varises)
Endoskopi merupakan tindakan utama dalam diagnosis dan tata laksana perdarahan
saluran cerna atas. Endoskopi memungkinkan dilakukannya identifikasi lokasi perdarahan dan
tata laksana perdarahan secara bersamaan. Dengan endoskopi, hemostasis awal dapat dilakukan.
Akan tetapi, dapat timbul komplikasi berupa aspirasi darah atau penurunan saturasi oksigen
pada pasien yang tidak stabil. Selain itu, banyaknya darah dan bekuan darah dapat mengganggu
targeted therapy terhadap fokus perdarahan sehingga dapat menyebabkan diperlukannya
tindakan endoskopi ulang. Pemberian eritromisin intravena (250 mg, 30 menit sebelum
endoskopi) perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan hasil diagnostik.6
Konsensus di negara Asia Pasifik merekomendasikan untuk melakukan endoskopi dalam
waktu 24 jam setelah pasien dirawat inap karena terbukti dapat mengurangi lama rawat inap dan
meningkatkan outcome klinis. Endoskopi yang dilakukan sangat awal (<12 jam) sejauh ini tidak
memberikan efek lebih dalam menurunkan risiko perdarahan berulang, pembedahan, dan
mortalitas. Akan tetapi, endoskopi emergensi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
perdarahan serius. Pada pasien dengan manifestasi klinis yang berisiko tinggi (takikardia,
hipotensi, hematemesis atau darah merah terang di NGT), endoskopi dalam 12 jam dapat
meningkatkan keluaran klinis.2,6
Klasifikasi Forrest digunakan untuk mengelompokkan temuan pada endoskopi: ulkus
dengan perdarahan mengucur (Forrest IA), ulkus dengan perdarahan mengalir (Forrest IB),
ulkus dengan pembuluh darah yang terlihat (Forrest IIA), ulkus dengan bekuan darah adheren
(Forrest IIB), ulkus dengan flat pigmented spot (Forrest IIC), dan ulkus dengan dasar bersih
(Forrest III). Pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami perdarahan ulang tanpa terapi
adalah pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif (90%), ulkus dengan pembuluh darah yang
terlihat (50%), dan ulkus dengan bekuan darah adheren (30%).2,6
27
membutuhkan terapi hemostatik endoskopi segera. Pasien dengan ulkus berdasar bersih atau
ulkus dengan pigmented spot tidak membutuhkan endoskopi terapeutik. Pasien dengan ulkus
berdasar bersih dapat diberi diet lunak dan pulang dari rumah sakit bila status hemodinamik
stabil, kadar hemoglobin cukup, dan tidak ada masalah medis lainnya.2,6
Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif, perlu diberikan terapi hemostatik
kombinasi, misalnya injeksi epinefrin ditambah dengan pemasangan hemoclip, termokoagulasi,
dan elektrokoagulasi. Injeksi epinefrin tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal. Injeksi
penggunaan klip direkomendasikan karena dapat menurunkan perdarahan berulang. Terapi
termal dengan elektrokoagulasi bipolar atau heater probe dan injeksi sklerosan, misalnya
alkohol absolut, direkomendasikan karena dapat menurunkan perdarahan lebih lanjut,
pembedahan, dan mortalitas.
Pasien dengan stigmata risiko tinggi pada hasil endoskopi biasanya dirawat inap selama
tiga hari bila tidak ada perdarahan berulang dan indikasi rawat inap lainnya. Selanjutnya pasien
dapat secepatnya diberi diet lunak dan selanjutnya diet disesuaikan secara bertahap. Pasien
dengan perdarahan berulang biasanya dapat ditatalaksana menggunakan endoskopi terapeutik.
Pembedahan emergensi atau embolisasi angiografik mungkin dibutuhkan pada keadaan tertentu,
misalnya pada :
1.
2.
Titik perdarahan tidak dapat dilihat akibat adanya perdarahan aktif yang massif
3.
Terapi menggunakan PPI lebih superior dibanding menggunakan antagonis reseptor H-2.
PPI dapat diberikan secara oral maupun intravena sesuai dengan stigmata perdarahan
(klasifikasi Forrest). Data yang ada merekomendasikan pemberian PPI intravena dosis tinggi
berkelanjutan pada perdarahan ulkus peptikum dengan stigmata risiko tinggi. Setelah keluar dari
rumah sakit, pasien perlu mendapatkan PPI oral satu kali sehari untuk mengurangi risiko
perdarahan berulang. Durasi dan dosis PPI yang diberikan bergantung pada etiologi dan
riwayatan pengobatan lainnya. Pada pasien dengan ulkus idiopatik dapat dianjurkan pemberian
terapi PPI jangka panjang. Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang disebabkan oleh
penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang, kebutuhan penggunaan aspirin perlu
dipertimbangkan kembali.2,6
Pemeriksaan H. pylori direkomendasikan pada setiap pasien dengan perdarahan ulkus
peptikum. Bila hasilnya positif, terapi eradikasi harus segera diberikan. Triple therapy untuk
eradikasi infeksi H. pylori memiliki angka keberhasilan 80-90% pada pasien tanpa efek samping
29
yang signifikan dan tidak mengalami resisensi antibiotik. Setelah eradikasi H. pylori
dikonfirmasi, terapi PPI berkelanjutan setelahnya tidak diperlukan kecuali pasien menggunakan
NSAID atau antitrombotik.2,6
Perdarahan Varises
Pada perdarahan akibat pecah varises esofagus, obat-obat vasoaktif harus segera
diberikan, idealnya sebelum dilakukan endoskopi dan terapi ini harus dilanjutkan selama 5 hari.
Terapi dengan obat vasoaktif merupakan salah satu prosedur terpenting dalam mengurangi
mortalitas dan hemostasis tercapai dalam 80% kasus. Di Amerika Serikat, satu-satunya obat
yang disetujui untuk perdarahan varises adalah ocreotide. Obat-obat vasoaktif menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi splanknik sehingga menurunkan tekanan porta dan mengurangi atau
menghentikan perdarahan varises.7
Terlipressin adalah analog vasopressin sintetik dengan waktu paruh yang lebih panjang
dan efek samping yang lebih sedikit. Seperti halnya vasopressin, terlipressin dapat
mengakibatkan komplikasi iskemik dan disritmia pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
atau penyakit vaskular perifer. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terlipressin efektif
dalam mengontrol perdarahan dan merupakan satu-satunya obat vasoaktif yang dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan perdarahan varises. Terlipressin diberikan dalam
dosis 2 mg secara intravena setiap 4 jam selama 48 jam pertama. Bila perdarahan terkontrol,
dosis diturunkan menjadi 1 mg setiap 4 jam selama 3 hari berikutnya.7
Somatostatin menyebabkan vasokonstriksi splanknik dan menghambat peningkatan
aliran darah porta dan tekanan porta postprandial. Somatostatin diberikan dalam dosis 250 g
bolus intravena dilanjutkan 250-500 g/jam infus. Ocreotide adalah analog somatostatin sintetik
dengan waktu paruh yang lebih panjang, namun tanpa efek hemodinamik yang lebih panjang.
Ocreotide diberikan dalam dosis 50 g bolus intravena, dilanjutkan infus 50 g/jam. Suatu
review Cochrane yang terdiri dari 21 studi yang melibatkan 2588 pasien menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan angka mortalitas dan risiko perdarahan ulang antara penggunaan
somatostatin dan derivatnya. Penelitian terbaru yang membandingkan terlipressin, somatostatin,
dan ocreotide dalam mengontrol perdarahan varises esofagus akut menunjukkan bahwa ketiga
obat tersebut tidak memiliki perbedaan dalam efikasi hemostatiknya dan tidak ada perbedaan
angka mortalitas pada penggunaan kombinasi masing-masing dari ketiga obat tersebut dengan
endoskopi terapeutik.7
Pada pasien dengan perdarahan varises, angka infeksi bakteri, perdarahan ulang dini,
dan mortalitas berkurang dengan pemberian antibiotik profilaksis. Antibiotik yang
30
direkomendasikan adalah norfloxacin dengan dosis 400 mg oral dua kali sehari atau
ciprofloxacin 200 mg secara intravena bila pemberian secara oral tidak memungkinkan. Pada
pasien dengan sirosis tahap lanjut, Child-Pugh B atau C, ceftriaxone terbukti lebih efektif
dibandingkan norfloxacin oral. Endoskopi dianjurkan dilakukan dalam 12 jam pertama dan
endoskopi terapeutik harus segera dilakukan segera setelah diagnosis perdarahan varises
ditegakkan melalui endoskopi. Penggunaan eritromisin dengan dosis 250 g intravena selama 5
menit sebagai agonis motilin dapat membantu mengosongkan lambung dan memperpendek
durasi endoskopi.7
Jenis endoskopi terapeutik yang dianjurkan adalah ligasi varises karena dapat
memberikan kontrol perdarahan yang lebih baik dan memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan skleroterapi. Komplikasi ligasi varises yang paling sering terjadi adalah ulserasi
superfisial, striktur esofagus, dan perdarahan. Skleroterapi dilakukan bila ligasi varises secara
teknis sulit dilakukan, misalnya bila terlalu banyak darah sehingga mengganggu visualisasi, atau
bila ligasi varises tidak tersedia. Terapi kombinasi obat vasoaktif dengan endoskopi terapeutik
lebih efektif daripada masing-masing terapi tersebut sebagai terapi tunggal.7
Bila kombinasi terapi dengan obat vasoaktif dan ligasi varises gagal mengontrol
perdarahan, pada pasien varises esofagus endoskopi terapeutik yang kedua direkomendasikan
bila kondisi pasien stabil. Akan tetapi pada kasus varises gaster, endoskopi terapeutik hanya
boleh dilakukan sekali dan bila gagal, harus dilakukan pilihan terapi lain. Obat vasoaktif harus
diberikan dalam dosis maksimum. Bila masih gagal, dianjurkan untuk dilakukan transjugular
intrahepatic portosystemic shunts (TIPS). Bila pasien dalam keadaan yang tidak stabil,
sementara dapat dilakukan pemasangan balon tamponade (Sengstaken-Blackmore untuk varises
esofagus atau Linton untuk varises esofagus dan varises gaster). Balon tamponadehanya
dipasang selama 24 jam karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain aspirasi,
migrasi, nekrosis, dan perforasi esofagus serta akan terjadi perdarahan ulang pada separuh kasus
karena deflasi balon.7
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Laine L. Gastrointestinal bleeding. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo JL. Harrisons principles of internal medicine. 18 th ed. McGraw-Hill;
2012.
2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus nasional tata laksana perdarahan saluran
cerna bagian atas non-variseal. Acta Medica Indonesiana; 2014.
3. Jiwon K. Management and prevention of upper GI bleeding. Journal of gastroenterology and
nutrition.2012(7):7-29.
4. National Institute for Health and Excellence (NICE). Acute upper gastrointestinal bleeding in
over 16s: management.2012.
5. Barkun AN, etc. International consensus recommendations on the management of patients
with nonvariceal upper gastrintestinal bleeding. Ann Intern Med 2010;152(2):101-13.
6. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J Gastroenterol
2012;107:345-60.
7. Cremers I, Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014.7(5):206-16.
32