PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi
pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii
dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika
Serikat. Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya
disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier
mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan
limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ).
Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang
saat itu dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006)
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang
sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah
ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes
ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya
negatif, sehingga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret
1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. (Djoerban Z dkk, 2006)
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang
terbebas dari HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru sebanyak 2,6 juta, dan per hari
lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97% dari Negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51%,
usia produktif 41% (15-24 th) dan anak-anak (WHO, 2010). HIV dan AIDS
menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan, dan juga krisis kemanusiaan.
(Djoerban Z dkk, 2006)
BAB II
HIV AIDS
2.1 DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala
atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,
2006)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut
lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun
2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebagian besar
penderitanya adalah usia produktif yaitu 15,9 juta penderita adalah perempuan
dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2,6 juta
jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu diantaranya terjadi pada
anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena
AIDS. (WHO,2010 )
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada
tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat
ini, jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO,
2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat
di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-
populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika
suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur telah tergolong
sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada
Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan.
Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada
pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi
perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada
kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif
kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%),
disusul kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama
jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888
kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa
Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan
sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008)
2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan Thelper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
dendritic-cell
specific
intercellular
adhesion
molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA
untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai
terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA
dan protein virus ini
menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat
defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhadap berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)
10
Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonselfantigen, dan Tc dapat dibedakan dengan Th karena Tc mempunyai molekul CD8
dan akan mengenal antigen asing melalui molekul MHC class I. Seperti sel Th,
sel Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi
reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitope benda asing dan molekul MHC Class
I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah
rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th tersebut.
Tangan ke tiga dari imunitas seluler di lakukan oleh sel NK (natural
killer), yaitu sel limfosit dengan granula kasar dengan petanda CD16 dan CD56.
Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung sel-sel asing, sel tumor
atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang di lapisi
olehantibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).
Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu
pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya
adalah limfokin BCDF (B cell differentiaton factor ) dan BCGF (B cell growth
factor) yang di produksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit
B, maka akan terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel
plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibodi.
2.7.1 Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun
HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari
waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin
menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh.
Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler
maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh.
Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler.
Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang
menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung
normal.
11
mekanisme antibody
dependent
cell
mediated
cytotoxicity
12
meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui
proses opsonisasi.
HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan nonspesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG.
Disamping memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada odha
(orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat. Terjadi
perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi
bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat,
misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan
pembentukan immunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi
dengan antigen protein atau polisaccharide sangat lemah, misalnya vaksinasi
Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dll. Fungsi neutrofil juga terganggu,
karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan
infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti
zidovudine atau anti virus sitomegalo yaitu ganciclovir dapat menimbulkan
terjadinya neutropenia.
Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah
antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV didalam tubuh, atau paling tidak
berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutamaneutralizing
antibodi kasus AIDS stadium lanjut (dimana limfosit CD4 < 200/uL) bila
dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat berbeda. Sedangkan pada
stadium sebelumnya dimana sel Th masih diatas 200-500/ uL, produksi anitibodi
tidak begitu berbeda. Antibodi spesifik terutama neutralizing antibody baru
mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa
bulan setelah infeksi.
Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah,
dan hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi
HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan
hidup dan menginfeksi sel lainnya.
13
nave.
Hal
ini
terjadi
karena
DC mengekpresikan
molekul major
14
menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistim
imun. Dalam 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang
disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari respon
imunitas seluler terhadap HIV. Diperkirakan paling sedikit 10 milyard HIV
diproduksi dan dihancurkan setiap harinya, karena waktu paruh virus dalam
plasma adalah sekitar 6 jam. Tapi ada yang mengatakan turnover HIV adalah
2x10 milyard perhari, sedangkan sebagai bandingan, estimasi penurunan CD4
limfosit adalah 20-200 x 1 juta perhari dengan klirens waktu paruhnya sekitar
dua hari.
Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma
maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi
analogi dengan infeksi virus pada umumnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang
sebagai efektor sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa
mengenal dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi (ini kadang-kadang dapat
merugikan juga), sehingga dapat mencegah replikasi dan pembantukan virus baru.
Pada infeksi HIV sejak awal ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik
(TCLs atau Tc). Sel limfosit sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan
teraktivasi oleh HIV dan akan mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk
CAF), yang dapat menghambat replikasi HIV dalam limfosit CD4. Keadaan
seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV akut, bahkan sebelum serokonversi.
Disamping jumlahnya menurun, maka fungsi limfosit CD4 juga terganggu,
bahkan pada stadium dimana jumlahnya masih diatas 500/ml. Ternyata
kemampuannya untuk proliferasi karena rangsangan berbagai macam antigen dan
kemampuannya
untuk
memproduksi
sitokin
untuk
fungsi
helper
juga
15
2.8 DIAGNOSIS
2.8.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA
(table 3 dan table 4).
Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV
-
16
17
18
memastikan
diagnosis
terinfeksi
HIV, dilakukan
dengan
19
sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes
positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang
berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada
kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
2.8.4 Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan
meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)
20
21
22
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada
fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan
tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah bila
ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebabsebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian
kortikosteroid yang lama pada orang dewasa.
1. Gejala Mayor
2. Gejala Minor
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi
lain.
1. Gejala Mayor
23
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Batuk parsisten
Dermatitis
24
kronis
25
karena obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai
terapi ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi
ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup,
adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan
keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika
membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi
HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
26
Stadium
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis
1
2
Jika
tidak
tersedia
pemeriksaan CD4
Terapi
ARV
tidak
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan
<200
Bila jumlah total limfosit
<1200
3
Jumlah CD4
200 350/mm ,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi
ARV dimulai
Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350
limfosit total
Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
jumlah CD4
Sumber : Depkes RI, 2007
27
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif
selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan
sesegera
mungkin
(AIII).
Contohnya
pada
kriptosporidiosis,
28
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,
2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
Tabel 11 : Terapi ARV
stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing
29
masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada
tabel 12.
Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR
30
31
32
untuk
mencegah
Pneumocystis
carinii
pneumonia
(PCP).
33
TB
Mulai
Obat yang digunakan
o
1
CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH
300mg/hari
+
PPD > 5 ml
Piridoksin
Kontak Positif
T. Gondii
TMP.SMX 1 DS/hari
S. pneumoniae
Vaksinasi pneumovax
Hepatitis B
Vaksinasi Hepatitis B
Hepatitis A
Vaksinasi Hepatitis A
tinggi
(IDU,
34
BAB III
KESIMPULAN
janin.
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat
35
kesehatan.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
menegakkan
diagnosis,
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan
dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,
Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].
Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib
AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009
8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:
executive summary. Geneva. 2010.
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
37