Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi
pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii
dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika
Serikat. Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya
disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier
mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan
limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ).
Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang
saat itu dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006)
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang
sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah
ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes
ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya
negatif, sehingga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret
1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. (Djoerban Z dkk, 2006)
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang
terbebas dari HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru sebanyak 2,6 juta, dan per hari
lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97% dari Negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51%,
usia produktif 41% (15-24 th) dan anak-anak (WHO, 2010). HIV dan AIDS
menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan, dan juga krisis kemanusiaan.
(Djoerban Z dkk, 2006)

Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada


tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664
orang (Depkes RI, 2008). Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara
dengan pertunbuhan epidemik tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati
urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan
stigmata sosial masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan
pengobatan. (UNAIDS, 2010)
Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan
pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus
AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS
dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan,
dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan kontribusi 3 dari 5 inisiasi global
yang direncanakan oleh WHO di UNAIDS, Indonesia secara nasional telah
memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan
risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat dapat menimbulkan kematian
pada odha. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup odha akan meningkat. .
(Djauzi S dkk, 2002)

BAB II
HIV AIDS
2.1 DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala
atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,
2006)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut
lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun
2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebagian besar
penderitanya adalah usia produktif yaitu 15,9 juta penderita adalah perempuan
dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2,6 juta
jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu diantaranya terjadi pada
anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena
AIDS. (WHO,2010 )
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada
tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat
ini, jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO,
2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat
di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-

populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika
suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur telah tergolong
sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada
Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan.
Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada
pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi
perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada
kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif
kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%),
disusul kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama
jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888
kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa
Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan
sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008)
2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan Thelper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). ( Merati TP dkk,2006)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005


Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP
dkk,2006)
2.4 CARA PENULARAN
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko tinggi
Darah, serum
Semen
Sputum
Sekresi vagina

Risiko masih sulit Risiko rendah selama


ditentukan
tidak
terkontaminasi
darah
Cairan amnion
Mukosa serviks
Cairan
Muntah
serebrospinal
Feses
Cairan pleura
Saliva
Cairan peritoneal
Keringat
Cairan perikardial
Air mata
Cairan synovial
Urin
Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan


cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat
tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar
0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV
pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)
2.5 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting
sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan
gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
(Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai

dendritic-cell

specific

intercellular

adhesion

molecule-grabbing

nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA
untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai
terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA
dan protein virus ini

akan membentuk partikel virus yang nantinya akan

menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat
defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhadap berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan


kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi
sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan
proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

2.6 PERJALANAN PENYAKIT


Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan
gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,
2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala)
yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului
oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala
klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan
hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari sistem imun tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas

ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.


Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah
tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,
HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.
2.7 MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL
Aktivasi sel Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respon
imunitas. Th dapat teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya
reseptor Ag -TCR (T Cell Receptor) dengan kompleks Antigen- molekul MHC
Clas II yang dipresentasikan oleh makrofag sebagai antigen presenting
cells (APCs) yang teraktivasi oleh antigen. Sinyal kedua berasal dari Sitokin IL-1
yang dihasilkan oleh APC yang teraktivasi tadi. Kedua sinyal tadi akan
merangsang Th mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain
yang dapat mengaktivasi makrofag, CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC) dan
sel limfosit B. IL-2 juga akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel Th semula dan
sel Th lainnya yang belum memproduksi IL-2 untuk berproliferasi. Jadi dengan
demikian akan terjadi amplifikasi respon yang diawali oleh kontak APCs dengan
sel Th semula.

10

Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonselfantigen, dan Tc dapat dibedakan dengan Th karena Tc mempunyai molekul CD8
dan akan mengenal antigen asing melalui molekul MHC class I. Seperti sel Th,
sel Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi
reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitope benda asing dan molekul MHC Class
I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah
rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th tersebut.
Tangan ke tiga dari imunitas seluler di lakukan oleh sel NK (natural
killer), yaitu sel limfosit dengan granula kasar dengan petanda CD16 dan CD56.
Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung sel-sel asing, sel tumor
atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang di lapisi
olehantibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).
Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu
pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya
adalah limfokin BCDF (B cell differentiaton factor ) dan BCGF (B cell growth
factor) yang di produksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit
B, maka akan terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel
plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibodi.
2.7.1 Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun
HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari
waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin
menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh.
Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler
maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh.
Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler.
Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang
menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung
normal.

11

2.7.2 Abnormalitas pada Imunitas seluler


Untuk mengatasi organisme intra seluler seperti parasit, jamur dan
bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang
disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag
dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang
dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang
berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non
spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody
melalui

mekanisme antibody

dependent

cell

mediated

cytotoxicity

(ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV.


Sel Th : Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit
indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan
sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL.
Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga
kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida
albikans dan toksoplasma gondii.
Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang
terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi
reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo.
Demikian juga sering terjadi differensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi.
Sel NK : Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen
asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas
apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek
langsung HIV.
2.7.3 Abnormalitas pada Imunitas Humoral
Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel
plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh
limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan
BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan
berdifferensiasi menjadi sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan akan

12

meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui
proses opsonisasi.
HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan nonspesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG.
Disamping memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada odha
(orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat. Terjadi
perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi
bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat,
misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan
pembentukan immunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi
dengan antigen protein atau polisaccharide sangat lemah, misalnya vaksinasi
Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dll. Fungsi neutrofil juga terganggu,
karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan
infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti
zidovudine atau anti virus sitomegalo yaitu ganciclovir dapat menimbulkan
terjadinya neutropenia.
Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah
antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV didalam tubuh, atau paling tidak
berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutamaneutralizing
antibodi kasus AIDS stadium lanjut (dimana limfosit CD4 < 200/uL) bila
dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat berbeda. Sedangkan pada
stadium sebelumnya dimana sel Th masih diatas 200-500/ uL, produksi anitibodi
tidak begitu berbeda. Antibodi spesifik terutama neutralizing antibody baru
mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa
bulan setelah infeksi.
Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah,
dan hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi
HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan
hidup dan menginfeksi sel lainnya.

13

2.7.4 Fase Infeksi Akut


Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi
utama, sel dendritic (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan
menangkap HIV. DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan
mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit
T

nave.

Hal

ini

terjadi

karena

DC mengekpresikan

molekul major

histocompatibility complex (MHC) klas I, MHC klas II dan molekul kostimulator


lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap DC akan menuju kelenjar
limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Disamping
mengangkut HIV kekelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4,
dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit
Th.
Perlu diketahui terikatnya HIV ke DC melalui pengikatan protein envelop
gp 120 pada sekelompok molekul yang disebut C-type lectin receptor. Termasuk
dalam C-type lectin receptor adalah dendritic celspecific ICAM-3-grabbing nonintegrin (DC-SIGN), mannose receptor dan Langerin. Masing-masing molekul ini
dapat mengikat gp 120 dan ini lalu dipresentasikan pada sel DC yang berbeda. DC
sel mengekspresikan molekul CD4 dan molekul CCR5 tapi tidak mempunyai
CXCR4. Mungkin ini berpengaruh dan dapat menjelaskan mengapa hampir 95%
strain HIV yang ditemukan pada infeksi primer adalah strain M- tropik atau R5
HIV strain. Sama seperti transmisi mukosa, transmisi HIV secara vertikal juga
terutama Strain R5. Pada manusia waktu lama dari infeksi mukosa sampai terjadi
viremia, berkisar antara 4-11 hari. Hal ini juga tergantung dari apakah ada hal-hal
lain yang merusak barier mukosa, seperti misalnya inflamasi dan infeksi
(cervisitis, urethritis, ulkus genitalis, dsb).
HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang
terinfeksi akan menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respon imun
seluler maupun humoral. Mobilisasi limfosit ke kelenjar ini justru menyebabkan
makin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Dalam beberapa hari akan terjadi
limfopenia dan menurunnya limfosit CD4 dalam sirkulasi. Dalam fase ini didalam
darah akan ditemukan HIV bebas titer tinggi dan komponen inti p24, yang

14

menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistim
imun. Dalam 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang
disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari respon
imunitas seluler terhadap HIV. Diperkirakan paling sedikit 10 milyard HIV
diproduksi dan dihancurkan setiap harinya, karena waktu paruh virus dalam
plasma adalah sekitar 6 jam. Tapi ada yang mengatakan turnover HIV adalah
2x10 milyard perhari, sedangkan sebagai bandingan, estimasi penurunan CD4
limfosit adalah 20-200 x 1 juta perhari dengan klirens waktu paruhnya sekitar
dua hari.
Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma
maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi
analogi dengan infeksi virus pada umumnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang
sebagai efektor sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa
mengenal dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi (ini kadang-kadang dapat
merugikan juga), sehingga dapat mencegah replikasi dan pembantukan virus baru.
Pada infeksi HIV sejak awal ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik
(TCLs atau Tc). Sel limfosit sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan
teraktivasi oleh HIV dan akan mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk
CAF), yang dapat menghambat replikasi HIV dalam limfosit CD4. Keadaan
seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV akut, bahkan sebelum serokonversi.
Disamping jumlahnya menurun, maka fungsi limfosit CD4 juga terganggu,
bahkan pada stadium dimana jumlahnya masih diatas 500/ml. Ternyata
kemampuannya untuk proliferasi karena rangsangan berbagai macam antigen dan
kemampuannya

untuk

memproduksi

sitokin

untuk

fungsi

helper

juga

menurun.Terjadi penurunan respon pengenalannya terhadap antigen bakteri, virus


atau toksin yang pernah dikenal, lalu hilangnya respon terhadap sel asing
(allogeneic response), terakhir juga kehilangan

kemampuan untuk respon

mitogen non-spesifik seperti fitohaemaglutinin.


Risiko infeksi oportunistik dipengaruhi oleh jumlah CD4. Pada jumlah
CD4 dibawah 100 dapat terjadi infeksi toksoplasma sedangkan pada jumlah CD4
dibawah 50 dapat terjadi infeksi Sitomegal.

15

2.8 DIAGNOSIS
2.8.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA
(table 3 dan table 4).
Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV
-

Penjaja seks laki-laki atau perempuan


Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan
transgender (waria)
Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
Sumber : Depkes RI 2007

Tabel 4: Daftar tilik riwayat pasien

16

Sumber :Depkes RI 2007


2.8.2 Pemeriksaan fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 6

17

Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007


Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik
atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma
malignum dan karsinoma serviks invasif.

18

2.8.3 Pemeriksaan penunjang


Untuk

memastikan

diagnosis

terinfeksi

HIV, dilakukan

dengan

pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain


dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus
HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan
PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan
untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,
2007)
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma
gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi
terapi (AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan
biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis
aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes
juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi
3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang
memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan
hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang

19

sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes
positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang
berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada
kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
2.8.4 Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan
meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)

2.8.5 Stadium Klinis

20

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I


(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium
IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan
jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi
ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa
saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada
stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi
Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor
Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan seharihari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 34 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan
di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan
tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi,
bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS
belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulangulang dan
pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah
AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan
perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh
peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :

21

a. Infeksi Akut : CD4 : 750 1000


Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3
bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa
penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa
denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak
terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah
sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih
pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas penderita.
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan
misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh
total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase
yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya,
demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200

22

Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada
fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan
tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah bila
ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebabsebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian
kortikosteroid yang lama pada orang dewasa.
1. Gejala Mayor

Penurunan berat badan lebih dari 10%

Diare kronik lebih dari satu bulan

Demam lebih dari satu bulan

2. Gejala Minor

Batuk lebih dari satu bulan

Dermatitis preuritik umum

Herpes zoster recurrens

Kandidias orofaring

Limfadenopati generalisata

Herpes simplek diseminata yang kronik progresif


Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor

dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi
lain.
1. Gejala Mayor

Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal

Diare kronik lebih dari 1 bulan

Demam lebih dari 1 bulan

23

2. Gejala minor

Limfadenopati generalisata

Kandidiasis oro-faring

Infeksi umum yang berulang

Batuk parsisten

Dermatitis

2.8.6 Penilaian Imunologi


Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam
menilai status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan
dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang

24

Penurunan berat badan > 10%


Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni
(<50.000/ml)

kronis

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007
2.9 PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .
(Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

25

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang


lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
2.9.1 Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni
(Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:

zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir


Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti

evafirens dan nevirapin


Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama

karena obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai
terapi ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi
ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup,
adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan
keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika
membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi
HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa

26

Stadium
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis
1
2

Jika
tidak
tersedia
pemeriksaan CD4
Terapi
ARV
tidak
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan
<200
Bila jumlah total limfosit
<1200
3
Jumlah CD4
200 350/mm ,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi
ARV dimulai
Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350
limfosit total
Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
jumlah CD4
Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm 3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat
CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah
tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai
sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai

27

terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif
selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan

sesegera

mungkin

(AIII).

Contohnya

pada

kriptosporidiosis,

mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi


M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes
RI, 2007)
2.9.2 Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV
yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan

28

yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,
2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
Tabel 11 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena
dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa
digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.

Namun AZT lebih disukai daripada

stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing

29

masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada
tabel 12.
Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007


Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan
kerugian obat ARV golongan ini.

30

Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007


PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa
PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di
Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat
digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada
terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat
ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

31

2.9.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh
selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing
(hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami
pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan
sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang
mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 /
mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.
Tabel 14: Pedoman Tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

32

2.9.4 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan
kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus)
yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E,
2005)
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh
yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200
sel/L ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati
namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah
kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya
kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini
perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.
2.9.5 Pencegahan Infeksi Oportunistik
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua
kelompok besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi
terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <
200/mm3

untuk

mencegah

Pneumocystis

carinii

pneumonia

(PCP).

Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.


2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi
terjadi. Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat
pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan
PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko
terkena infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi
oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat
infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara
ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa

33

upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi


pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)
Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik
Penyakit
PCP

TB

Mulai
Obat yang digunakan
o
1
CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH
300mg/hari
+
PPD > 5 ml
Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii

CD4 < 100


IGG Toksoplasma aviditas rendah

TMP.SMX 1 DS/hari

S. pneumoniae

CD4 > 200

Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B

Anti HBs (-)


HBs Ag(-)

Vaksinasi Hepatitis B

Hepatitis A

Anti HAV (-)


Risiko paparan
MSM, dll)

Vaksinasi Hepatitis A
tinggi

(IDU,

Sumber : Djauzi S dkk, 2002

34

BAB III
KESIMPULAN

AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena


penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS

merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.


Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia

ini yang terbebas dari HIV.


Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan

epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.


Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke

janin.
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat

menyebabkan gangguan imun yang progresif.


Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,

dan kemudian meninggal


Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko
pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling
perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana

35

kesehatan.

Hal

ini

dimaksudkan

untuk

menegakkan

diagnosis,

diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,


memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan

tata laksana selanjutnya.


Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan.

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside

reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP

36

DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan
dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,
Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].
Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib
AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009
8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:
executive summary. Geneva. 2010.
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

37

Anda mungkin juga menyukai

  • Vitamin C Nita
    Vitamin C Nita
    Dokumen2 halaman
    Vitamin C Nita
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Vitamin
    Vitamin
    Dokumen9 halaman
    Vitamin
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen2 halaman
    Bab 4
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Skabies
    Lapkas Skabies
    Dokumen22 halaman
    Lapkas Skabies
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • PTM
    PTM
    Dokumen1 halaman
    PTM
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Minipro
    Minipro
    Dokumen17 halaman
    Minipro
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Demam
    Demam
    Dokumen1 halaman
    Demam
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Demam Tifoid
    Demam Tifoid
    Dokumen4 halaman
    Demam Tifoid
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • PTM
    PTM
    Dokumen1 halaman
    PTM
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen2 halaman
    Bab 4
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi Dalam Kehamilan
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Dokumen24 halaman
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Peskas Nita Juliana Scabies
    Peskas Nita Juliana Scabies
    Dokumen22 halaman
    Peskas Nita Juliana Scabies
    Moerdono Pambudi
    Belum ada peringkat
  • Tindakan Medis Partus
    Tindakan Medis Partus
    Dokumen2 halaman
    Tindakan Medis Partus
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen4 halaman
    Cover
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Minipro
    Minipro
    Dokumen21 halaman
    Minipro
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Minipro
    Minipro
    Dokumen22 halaman
    Minipro
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Minipro
    Minipro
    Dokumen22 halaman
    Minipro
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Daftar Hadir Penyuluhan Balita Bawah Garis Kuning
    Daftar Hadir Penyuluhan Balita Bawah Garis Kuning
    Dokumen1 halaman
    Daftar Hadir Penyuluhan Balita Bawah Garis Kuning
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Dafpus
    Dafpus
    Dokumen3 halaman
    Dafpus
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • KERANGKAPENELITIAN
    KERANGKAPENELITIAN
    Dokumen2 halaman
    KERANGKAPENELITIAN
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • No 2
    No 2
    Dokumen14 halaman
    No 2
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab Viii
    Bab Viii
    Dokumen8 halaman
    Bab Viii
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Patofisiologi
    Patofisiologi
    Dokumen1 halaman
    Patofisiologi
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • 2.daftar Isi
    2.daftar Isi
    Dokumen4 halaman
    2.daftar Isi
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • BAB I Print
    BAB I Print
    Dokumen6 halaman
    BAB I Print
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • No. 1
    No. 1
    Dokumen10 halaman
    No. 1
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    Nita Juliana Anggraini
    Belum ada peringkat