Anda di halaman 1dari 16

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upaya

memperbaiki

produktivitas

ekosistem

Ultisols

dengan

menitikberatkan pada teknologi ramah lingkungan dapat dilakukan, di antaranya


berupa teknik pengolahan tanah dan sistem pertanaman. Sistem pertanaman
berpengaruh terhadap sifat tanah karena adanya sisa-sisa tanaman dan perakaran
yang ditinggalkan. Pengaruh sistem pertanaman ini akan meningkatkan bahan
organik tanah dari sisa tanaman dan perakaran, sehingga akan meningkat-kan
aktivitas mikroba tanah (Margarettha, 1939).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen antara lain
temperatur, spesies hewan, ukuran badan, dan aktivitas (Tobin, 2005). Laju
konsumsi oksigen dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
menggunakan

mikrorespirometer,

metode

Winkler,

maupun

respirometer

Scholander. Penggunaan masing-masing cara didasarkan pada jenis hewan yang


akan diukur laju konsumsi oksigennya (Biofagri., 2006).
Laju pelapukan mineral ataupun bahan organik (BO), erosi tanah, dan
pencucian hara berlangsung intensif serta memiliki laju fotosintesis dan
fotorespirasi yang tinggi. Sebagian besar tanah lahan kering memiliki kesuburan
tanah dan kandungan bahan organik rendah. Fotorespirasi yang tinggi
mengakibatkan produk biomassa (bahan organik) yang dihasilkan yang
merupakan selisih antara hasil fotosintesis terhadap fotorespirasi per individu
tanaman/hewan relatif rendah/kecil. Pengadaan biomasa sebagai sumber bahan
organik tanah secara insitu sangat terbatas (Subowo, 2010).

Respirasi tanah merupakan oksidasi biologi dari senyawa organik pada


mikroorganisme, akar, organ atau bagian lain dari tumbuhan serta organisme yang
hidup pada tanah dengan energi untuk pemeliharaan, pertumbuhan dan
pengambilan bahan nutrien aktif (Amstrong 1979; Drew 1990 diacu dalam
Simojoki A 2001). Respirasi tanah merupakan indikator yang sensitif dan penting
pada suatu ekosistem, termasuk aktivitas yang berkenaan dengan proses
metabolisme di tanah, pembusukan sisa tanaman pada tanah, dan konversi bahan
organik tanah menjadi CO2. Melalui respirasi tanah ini, karbon dilepas dari tanah
ke atmosfer (Rochette et al. 1997). Raich & Tufekciogul (2000) menyatakan
respirasi tanah merupakan suatu indikator yang baik terhadap mutu tanah (Fitri,
2002).
Aktivitas biologi tanah telah lama dikenal sebagai penanda ataupun
sebagai indikator kesuburan tanah. Respirasi tanah lebih dapat merefleksikan
keberadaan kehidupan atau aktivitas mikroba tanah, dibanding estimasi total C
mikroba ditanah (Antonius dan Dwi, 2011).
Berdasarkan pernyataan pernyataan diatas maka dapat dilakukan
percobaan respirasi tanah dengan menggunakan cacing tanah sebagai organisme
yang akan melakukan respirasi untuk dapat mengetahui tingkat respirasi tanah
dengan berbagai perlakuan. Dengan demikian dapat diketahui perlakuan mana
yang lebih sesuai ntuk suatu tanah.
Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui tingkat
oksidasi berberapa jenis bahan organik pada kondisi cahaya yang berbeda.

Hipotesis Percobaan
Ada pengaruh tingkat oksidasi beberapa jenis bahan organik pada kondisi
cahaya yang berbeda.
Kegunaan Percobaan
- Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikum di Laboratorium
Ekologi dan Biologi Tanah Program Studi Agroekoteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
- Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanah merupakan campuran bahan padat (organik dan anorganik) dan
udara. Kedua fase ini saling mempengaruhi satu sama lain. Tanah terlibat dalam
aktivitas penyerapan semua unsur hara esensial. Secara umum karbon (C),
hidrogen (H) dan oksigen (O) diperoleh tanaman dari udara dan air, tetapi tanah
juga mempunyai ruang berpori-pori tempat pergerakan O2 dan CO2. Pengaruh
tanah terhadap reaksi-reaksi komposisi air sangat besar. Tanah dapat menahan
kelembaban

yang

diperlukan

tanaman

dan

mempengaruhi

suhu

tanah

(Kustiyaningsih, 2003).
Respirasi adalah proses metabolisme yang menghasilkan CO2 dan H2O
dan pelepasan energi. Metabolisme ini merupakan proses dekomposisi bahan
organik yang secara umum mengindikasikan kegiatan mikroorganisme, dengan
tujuan menyediakan karbon yang merupakan sumber utama bagi pembentukan
material-material baru. Hasil proses dekomposisi sebagian digunakan organisme
untuk membangun tubuh, akan tetapi terutama digunakan sebagai sumber energi
atau sumber karbon utama, dimana proses dekomposisi dapat berlangsung dengan
mediasi mikroorganisme, sehingga mikroorganisme merupakan tenaga penggerak
dalam respirasi tanah (Azizah, dkk., 2007).
Aktivitasnya tercermin pada kondisi respirasi atau produk CO2 yang
dihasilkan. Oleh sebab itu pengukuran respirasi ini dilakukan pada permulaan
analisis sebelum menentukan pengukuran aktivitas mikrob lainnya, seperti dalam
pengukuran aktivitas urease dan fofomonoesterase. Pengukuran respirasi ini
dilakukan untuk keperluan estimasi aktivitas mikrob tanah oleh sebab itu
persiapannya dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi pengeringan tanah,

pembersihan dari unsur bukan tanah yang secara jelas dapat dibedakan seperti
batu, serpihan bahan organik dan sebagainya. Tanah kemudian disaring sehingga
partikelnya menjadi seragam (Mailani, 2006).
Respirasi tanah merupakan salah satu indikator aktivitas mikroba di dalam
tanah. Pada proses respirasi terjadi penggunaan O2 dan pembebasan CO2,
sehingga tingkat respirasi dapat ditentukan dengan mengukur O2 yang digunakan
oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi dapat dilakukan pada tanah tidak
terganggun (undisturbed soil sample) di lapangan maupun dari contoh tanah yang
diambil (disturbed soil sample) (Widati, 2007).
Pengukuran respirasi di lapangan dilakukan dengan memompa udara tanah
atau dengan menutup permukaan tanah dengan bejana yang volumenya diketahui.
Selain itu, bisa juga dengan membenamkan tabung untuk mengambil contoh
udara di dalam tanah. Pengukuran di laboratorium meliputi penetapan CO2 yang
dihasilkan dari sejumlah contoh tanah yang kemudian diinkubasi dalam jangka
waktu tertentu. Tingkat respirasi tanah ditetapkan dari tingkat evolusi CO2.
Evolusi CO2 tanah dihasilkan dari dekomposisi bahan organik. Dengan demikian,
tingkat respirasi adalah indikator tingkat dekomposisi bahan organik yang terjadi
pada selang waktu tertentu. Penetapan CO2 yang berlangsung dengan KOH
sebagai penangkap CO2, adalah sebagai berikut:
KOH + CO2

K2CO3 + H2O

K2CO3 + HCl

KCl + KHCO3

KHCO3 + HCl

KCl + H2O + CO2

(Widati, 2007).

Molekul nutrien kompleks seperti glukosa mengandung banyak energi


potensial karena derajat tingkat struktural yang tinggi. Jika glukosa terurai oleh
oksidasi akan membentuk produk akhir yang sederhana yaitu CO2 dan H2O,
banyak energi yang dilepas dan menjadi tersedia bagi reaksi lain (Kustiyaningsih,
2003).
Aktivitas tanah secara biologis ini terdiri dari beberapa aktivitas individu,
dan CO2 merupakan tahap akhir mineralisasi karbon. Pada tanah alami yang tidak
terkontaminasi, terdapat keseimbangan ekologi antara mikroorganisme dan
aktivitasnya. Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah
substrat yang hilang, O2 yang diserap atau CO2 yang dikeluarkan, dan energi
yang dihasilkan. Cara yang umum digunakan untuk mengetahui laju respirasi
adalah dengan mengukur jumlah O2 yang dikonsumsi atau jumlah CO2 yang
dikeluarkan. Pengukuran O2 jarang dilakukan, karena jumlahnya relatif kecil
sehingga harus menggunakan instrumen yang mempunyai nilai ketelitian tinggi
dan peka terhadap O2. Oleh karena itu, pengukuran laju respirasi yang sering
dilakukan adalah dengan mengukur jumlah CO2 yang dilepaskan. Banyaknya
CO2 yang dilepaskan menggambarkan aktivitas mikrob yang ada di dalam tanah
(Mailani, 2006).
Jumlah CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh
kondisi lembab dan temperatur yang sesuai. Pada kondisi lembab dan temperatur
yang baik 1 kilogram tanah dapat mengeluarkan atau membebaskan sekitar 1
sampai 30 miligram karbon sebagai CO2 (Ardi, 2009).
Respirasi tanah terjadi akibat proses degradasi substansi organik. Aktivitas
tanah secara biologis ini terdiri dari beberapa aktivitas individu, dan CO2

merupakan tahap akhir mineralisasi karbon. Pada tanah alami yang tidak
terkontaminasi, terdapat kesetimbangan ekologi antara mikroorganisme dan
aktivitasnya, proses respirasinya dinamakan dengan respirasi basal. Pada saat
penambahan substansi organik terjadi peningkatan respirasi tanah yang
menandakan peningkatan proses mineralisasi oleh mikroorganisme akibat induksi
bahan organik tersebut (Fitri, 2002).
Respirasi mikroba tanah menunjukkan aktivitas biologi total mikroba
tanah. Pengambilan O2 menentykan mineralisasi C dan mineralisasi P oleh enzim
fosfatase. Adanya CO2 sebagai sumber C dan P yang digunakan sebagai indikasi
populasi mikroba tanah dan penentuan biomassa tanah. Penentuan respirasi dan
jumlah biomassa mikroba tanah dilakukan dengan titrasi (Da`dun, 2001).
Penentuan respirasi tanah dapat dilakukan di lapangan atau di
laboratorium. Penentuan dalam laboratorium antara lain dengan cara pengukuran
CO2 dalam sistem tertutup, pengukuran CO2 dengan proses aerasi secara
kontinyu, dan pengukuran secara kontinyu penggunaan oksigen dengan
menggunakan respirator sapromat. Penentuan CO2 dalam sistem tertutup dapat
dilakukan dengan mengabsorbsi CO2 yang dihasilkan selama respirasi tanah pada
sistem tertutup. Absorben alkali, seperti larutan NaOH umum digunakan pada
metode ini (Fitri, 2002).

BAHAN DAN METODE


Tempat dan Waktu Percobaan
Adapun percobaan ini dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Biologi
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada tanggal 3
Desember 2014 sampai dengan 10 Desember 2014.
Bahan dan Alat
Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tanah
digunakan sebagai bahan percobaan, bahan organik seperti sekam padi, jerami
padi, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa, kotoran ayam dan kotoran
kambing sebagai sumber energi, NaOH 0,1 M digunakan sebagai penangkap gas
CO2, BaCl2 50 % digunakan sebagai penetralisir kelebihan basa, HCl 0,1 M
digunakan sebagai bahan titrasi untuk menetralkan NaOH, Phenolphthalein
digunakan sebagai indikator perubahan warna, aquadest sebagai pelarut bahan dan
pelembab tanah, kertas putih digunakan sebagai penutup erlenmeyer, dan label
nama sebagai penanda perlakuan.
Alat
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah erlenmeyer
digunakan sebagai wadah percobaan, timbangan analitik digunakan untuk
menimbang bahan-bahan yang akan digunakan, gelas ukur untuk mengukur air,
pipet volumetric untuk memipet bahan, pipet tetes untuk memipet larutan
phenolphthalein, buret digunakan untuk mentitrasi bahan percobaan, botol kaca
kecil sebagai wadah NaOH, dan kawat untuk menggantungkan botol kecil di
dalam erlenmeyer, botol aqua sebagaiwadah percobaan.
Metode Percobaan

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan


3 ulangan :
Faktor 1

C : Bahan Organik
C0 : Tanpa Bahan Organik
C1: Tandan Kosong Kelapa Sawit
C2: Sabut Kelapa
C3 : Sekam Padi
C4 : Kotoran Kambing
C5 : Jerami padi
C6 : Kotoran Ayam

Faktor 2 : L : Cahaya
L0 : Kondisi Gelap
L1 : Kondisi terang
Sehingga diperoleh 42 kombinasi yaitu sebagai berikut :
C0L0

C1L0

C2L0

C3L0

C4L0

C5L0

C0L1

C1L0

C2L1

C3L1

C5L0

C5L1

C6L0
C6L1
Data hasil percobaan, dianalisis dengan sidik ragam berdasarkan model
linier dengan rumus sebagai berikut:
Yijk = + i + j + k + ijk

10

i = 1,2,3,4,5,6,7,8,9

j = 1,2

k = 1,2

Dari hasil percobaan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji beda
rataan berdasarkan DMRT pada taraf 5%.
Prosedur Percobaan
- Ditimbang tanah 100 g.
- Ditempatkan masing masing dalam botol aqua yang terbuka.
- Dimasukkan 10 g bahan organik sesuai dengan perlakuan.
- Digantungkan kawat pada botol aqua yang berisi 15 mL NaOH 1 N
- Ditutup wadah dengan kertas putih atau manila.
- Diletakkan pada kawat untuk setiap erlenmeyer.
- Diletakkan percobaan sesuia dengan perlakuan cahaya.
- Diinkubasikan selama 1 minggu.
- Dibuka wadah aqua dan dipindahkan pada erlenmeyer. Ditambahkan 1 mL
larutan BaCl2 50% dan ditambahkan 2 atau 3 tetes phenolphthalein ke dalam
-

mangkok.
Dititrasi larutan yang ada di dalam mangkok dengan 0,1 M HCl, ditambahkan
asam ini sampai warna merah jambu berubah menjadi tidak berwarna (warna

merah jambu hilang).


Dicatat berapa volume HCl yang dipergunakan.
Dihitung mg CO2 yang diproduksi tanah tersebut dengan mempergunakan
rumus sebagai berikut:
(HCl pada erlenmeyer kontrol, mL) (HCl pada tanah normal, mL) x 2,2 =
mg CO2 yang diproduksi oleh 100 g tanah.

11

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Hasil analisis sidik ragam antara pemberian berbagai perlakuan
menunjukkan bahwa tanah tanpa perlakuan dan pemberian gula serta cacing tanah
berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 yang diproduksi tanah. Rataan produksi
CO2 yang diproduksi tanah disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Rataan Produksi CO2 yang Diproduksi Tanah (mg CO2/100 g tanah)
Kondisi
Jenis
I
II
III
Total
Rata-rata
cahaya
biochar
L0
C0
0
2,2
0
2,2
0,733333
C1
4,4
8,8
0
13,2
4,4
C2
0
4,4
4,4
8,8
2,933333

12

C3
C4
C5
C6
Total L0

L1

Total L1
Total

C0
C1
C2
C3
C4
C5
C6

2,2
0
2,2
2,2
11
2,2
8,8
4,4
6,6
4,4
0
4,4
30,8
41,8

4,4
4,4
0
2,2
26,4
11,2
4,4
0
4,4
0
0
4,4
24,4
50,8

2,2
2,2
2,2
0
11
4,4
2,2
0
0
4,4
0
2,2
13,2
24,2

8,8
6,6
4,4
4,4
48,4
17,8
15,4
4,4
11
8,8
0
11
68,4
116,8

2,933333
2,2
1,466667
1,466667
5,933333
5,133333
1,466667
3,666667
2,933333
0
3,666667
2,780952

Berdasarkan analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan tertinggi


menhasilkan carbon yaitu pada perlakuan C0L1 sebesar 5,93 mg CO 2/100 g tanah
sedangkan perlakuan terendah terdapat pada perlakuan C5L0 sebesar 0 mg
CO2/100 g tanah.
Pembahasan
Dari hasil percobaan dapat diketahui bahwa respirasi pada bahan
organikyang paling tinggi, yaitu sebesar 5,93 mg CO2/100 g. Hal ini dapat diduga
bahwa bahan organik tersebut berespirasi sehingga banyak cadangan karbon yang
diuraikan dengan melakukan respirasi menggunakan O2 dan melepaskan CO2
untuk menghasilkan energi. Hal ini sesuai dengan literatur (Kustiyaningsih,
2003).yang menyatakan bahwa jika glukosa terurai oleh oksidasi akan membentuk
produk akhir yang sederhana yaitu CO2 dan H2O, banyak energi yang dilepas dan
menjadi tersedia bagi reaksi lain.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa respirasi
pada perlakuan tanah yang paling rendah, yaitu sebesar 0 mg CO 2/100 g. Hal
dapat dibabkan karena kondisi lingkungan pada tanah tersebut tidak sesuai dengan

13

aktivitas mikroba tanah, sehingga respirasi mikroba pada tanah tersebut rendah.
Hal ini sesuai dengan literatur Ardi (2009) yang menyatakan bahwa jumlah CO 2
yang dihasilkan mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh kondisi lembab dan
temperatur yang sesuai.
Prinsip dari titrasi asam basa adalah melibatkan asam maupun basa
sebagai titer atau titran. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar
larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya. Pada
titik akhir titrasi dimana reaksi telah berjalan dengan sempurna yang biasanya
ditandai dengan pengamatan visual dengan melalui perubahan warna indikator.
Indikator yang digunakan pada titrasi asam basa adalah asam lemah atau basa
lemah.
Dari hasil percobaan, fungsi phenoptalin adalah sebagai indikator dalam
titrasi atau bisa juga dibilang sebagai indikator perubahan pH. Sifat kimianya
adalah membentuk larutan yang berwarna merah pada suasana basa, yaitu pH 8,2
12,0. Hal ini sesuai dengan literatur Ardi (2009) yang menyatakan bahwa
phenoptalin

berupa kristal tidak berwarna, larut dalam alkohol dan pelarut

organik,digunakan sebagai indikator asam dan basa, tak berwarna dalam larutan
asam danmerah muda pada larutan basa, trayek pH 8,2 - 10,00.
Peranan CO2 di dalam tanah adalah untuk respirasi tanah. Tanah
melepaskan karbon dalam bentuk CO2, yang kemudian akan digunakan untuk
proses fotosintesis. Hal ini sesuai dengan literatur Yulipriyanto (2010) yang
menyatakan bahwa respirasi tanah mengacu pada produksi karbon dioksida ketika
organisme tanah bernafas. Ini termasuk respirasi akar tanaman, rizosfer , mikroba
dan fauna. Respirasi tanah adalah proses ekosistem kunci yang melepaskan

14

karbon dari tanah dalam bentuk CO2. CO2 diperoleh dari atmosfer dan diubah
menjadi senyawa organik dalam proses fotosintesis. Tanaman menggunakan
senyawa organik untuk membangun komponen struktural atau bernafas mereka
untuk melepaskan energi. CO2 yang dilepaskan oleh organisme bawah-tanah, itu
dianggap respirasi tanah.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Tingkat respirasi yang tertinggi adalah pada perlakuan cacing, yaitu sebesar
5,93 mg CO2/100 g.
2. Tingkat respirasi yang terendah adalah pada perlakuan tanah, yaitu sebesar
0 mg CO2/100 g.
3. Fungsi phenoptalin adalah sebagai indikator dalam titrasi atau bisa juga
dibilang sebagai indikator perubahan pH.
4. Prinsip dari titrasi asam basa adalah melibatkan asam maupun basa sebagai
titer atau titran.
5. CO2 di dalam tanah adalah sebagai hasil dari proses respirasi diddalam
tanah

15

Saran
Diharapkan bahwa agar lebih teliti dalam melakukan titrasi agar tidak
terjadi kesalahan yang fatal.

DAFTAR PUSTAKA
Antonius, Sarjiya., And Dwi, A., 2011. Pengaruh Pupuk Organik Hayati Yang
Mengandung Mikroba Bermanfaat Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil
Panen Tanaman Semangka Serta Sifat Biokimia Tanahnya Pada Percobaan
Lapangan Di Malinau Kalimantan Timur. Berk. Penel. Hayati: 16
(203206), 2011.
Ardi, R. 2009. Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah Pada Berbagai Kelerengan
dan Kedalaman Hutan Alam. USU, Medan.
Azizah, R., T. N. Subagyo dan E. Rosanti. 2007. Pengaruh Kadar Air Terhadap
Laju Respirasi Tanah Tambak Pada Penggunaan Katul Padi Sebagai
Priming Agent. UNDIP, Semarang. 12(2):67-72.
Biofagri., 2006. Respirasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Da`dun, U. M. 2001. Analisis Enzim Fosfomonoesterase Tanah Dari Berbagai
Tingkat Kebaran Hutan Taman Nasional Bukit Bangkirai Kalimantan
Timur. IPB, Bogor.

16

Fitri,

F. M. 2002. Hubungan Respirasi Mikroba dengan Aktivitas


Fosfomonoesterase dan Karboksilmetilselulase Tanah Pada Berbagai
Tingkat Kebakaran Hutan. IPB, Bogor.

Kustiyaningsih. 2003. Pengaruh Sumber Karbon Terhadap Aktivitas Bakteri


Pelarut Fosfat dari Isolat Tanah Bukit Bangkirai, Kaimantan Timur.IPB,
Bogor.
Mailani. 2006. Aktivitas Enzimatik dan Respirasi Pada Tanah Tercemar Pestisida
Yang Diberi Serbuk Jerami dan Bakteri Pendegradasi Nitril. IPB, Bogor.
Margarettha., 1939. Studi Biologi Tanah Dalam Penerapan Beberapa Teknik
Pengolahan Tanah Dan Sistem Pertanaman Pada Ultisol. Jurnal Agronomi
8(2): 117-120.
Subowo, G., 2010. Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik Untuk
Kesuburan Dan Produktivitas Tanah Melalui Pemberdayaan Sumberdaya
Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010.
Widati, S. 2007. Respirasi Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai