A. PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
berbentuk basil tahan asam dan alkohol, serta grampositif. Mycobacterium leprae
berkembang biak dengan baik pada suhu 300C dibawah suhu tubuh rata-rata dari
manusia. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa
replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman
lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 35
tahun. Mycobacterium leprae, pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang
kulit,
mukosa
mulut,
saluran
napas
bagian
atas,
sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat.1-4
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah
interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat
kronik, yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi.
Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II
atau reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral
yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan saraf.1,5
Reaksi reversal (RR), reaksi up grading yang umumnya terjadi pada kusta
tipe borderline. Yang memegang peranan penting pada reaksi ini adalah sistem
imunitas seluler. Reaksi ini termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi tipe I
ini merupakan keadaan dimana terdapat perubahan hipersensitivitas seluler dan
penyakit mengalami pergeseran sepanjang spectrum kusta. Reaksi tipe ini terjadi
sekitar 30-40% penderita kusta tipe borderline.5,6,7
B. EPIDEMIOLOGI
Tahun 2011-2013 sebanyak 42,4% termasuk dalam beban kusta tinggi,
57,6% termasuk dalam beban kusta rendah. Sepanjang tahun 2013, Kementrian
Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per
1.000.000 penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia ke peringkat ke-3 dunia
dengan kasus baru kusta terbanyak setelah india dan brasil.8,9
Prevalensi RR bervariasi antara 8-33% dari seluruh penderita kusta,
umumnya terjadi pada penderita kusta tipe borderline. Penderita tipemid
borderline(BB) danborderline lepromatous(BL) mempunyai prevalensi lebih tinggi
daripada tipe borderline tuberculoid (BT). Prevalensi RR pada penderita BT
bervariasi antara 20-50%.10
Bernink dkk (1997) melaporkan hasil penelitian terhadap 85 penderita
reaksi di Indonesia, dari sejumlah penderita tersebut 46 penderita (55%) mengalami
RR dan 24 penderita (55%) mengalami RR dan 24 penderita (33%) mengalami
silent neuritis.10
C. ETIOPATOGENESIS
Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan CMI secara tiba-tiba sebagai
respon terhadap antigen dari M. lepraeyang dapat diperlihatkan secara in vitro
dengan tes transformasi limfosit. Patogenesis meningkatnya CMI ini tidak
diketahui secara pasti.10
Menurut Jopling, RR merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti
halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Cell. Antigen yang
berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan SIS yang cepat. Pada dasarnya reaksi ini terjadi akibat
perubahan keseimbangan antar CMI dan basil. Sehingga sebagai hasil akhir reaksi
ini dapat terjadi up-grading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid
(terjadi peningkatan SIS) atau down-grading bila menuju ke bentuk lepromatosa
(terjadi penurunan SIS). Meskipun secara teoritis RR dapat terjadi pada semua
bentuk kusta subpolar, tetapi pada bentuk borderline lepromatous (BB) jauh lebih
sering terjadi daripada bentuk yang lain. Bentuk BB, bila terjadi RR akan berubah
tuberculoid indefinite (Ti) disebut tipe borderline atau campuran, campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe ini merupakan tipe
yang labil, sehingga bisa bebas beralih tipe kearah TT atau LL.1
Perubahan tiba-tiba dari yang sebelumnya plak yang mati rasa menjadi lesi
yang baru, dan lesi baru timbul di kulit normal dengan atau tanpa gangguan
neuritis. Warna eritematous yang ungu kehitaman adalah karakteristik delayed
type hypersensitifity (DTH). Varian morfologi meliputi anular, konsentris, dan
perubahan eczematous.11
Gambar 1 : Reaksi Tipe 1, terjadi inflamasi akut pada daerah lesi yang sudah ada,
bersisik, dan tampak ulserasi. Banyak lesi kecil yang baru muncul. Gambar 2 Reaksi
reversal. Tampak lesi lama lebih eritem, udem, berbatas tegas, berukuran besar, disertai
lesi baru dengan ukuran lebih kecil.2,12
Reaksi Ringan
Tambah aktif, menebal merah,
terasa panas dan nyeri tekan;
makula yang menebal dapat
sampai membentuk plak
Reaksi Berat
Lesi membengkak sampai ada
yang pecah, merah, teraba panas
dan nyeri tekan; ada lesi kulit
baru; tangan dan kaki
membengkak, sendi-sendi
4
Saraf Tepi
Keadaan
bengkak
Ada neuritis (nyeri tekan,
dan/atau gangguan fungsi,
misalnya kelemahan otot)
Kadang-kadang ada demam
ringan
Saraf tepi
Gejala konstitusi
Gangguan pada
Reaksi Tipe 1
Ringan
Berat
Bercak putih menjadi merah,
Bercak putih menjadi merah,
yang merah jadi lebih merah.
yang merah jadi lebih merah.
Bercak meninggi
Timbul bercak baru, kadangkadang disertai panas dan
malaise
Ulserasi (-)
Ulserasi (+)
Edema tangan dan kaki (-)
Edema tangan dan kaki (+)
Membesar, tidak nyeri.
Membesar, nyeri.
Fungsi saraf tidak terganggu
Fungsi saraf terganggu.
Demam (-)
Demam ()
Tidak ada
Tidak ada
organ lain
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
perwarnaan terhadap basil tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti orang tersebut
tidak mengadung bakteri M. leprae. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit
yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah terlebih dulu menentukan
jumlah tempat yang akan diambil.
sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4
lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi
di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap
mengandung basil paling banyak.1
M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented),
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Penting untuk membedakan antara bentuk
solid dan non solid karena bentuk solid lebih berbahaya karena dapat
berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun, dalam praktek,
sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh banyak
macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada
sebuah sediaan dinyatakan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0
sampai 6+ menurut RIDLEY.1
Tabel 3. Indeks bakteri menurut RIDLEY1,10
0
1+
2+
3+
4+
5+
6+
Adanya massa
sudah
ada
didalamnya,
bahkan
dijadikan
tempat
berkembangbiak dan disebut sel Virchow/sel lepra/sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.1
Tipe
BB
BL
BB
BL
-
TT
3+
Ti
2+
BT
BT
1+
++
LL
Li
-
LL
-
++
++
+
++
+
++
0 - 1+
1+ - 3+
5 6+
4
5+
-
5 6+
3
4+
+
+++
++
+++
+++
++
+
+
+
++
+
+++
+/-
++
+++
++
+/
3) Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberkulosis.1
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa
lepra yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak
didapatkan lesi kulit, misalnya pada nonkontak serumah. Pemeriksaan
8
serologik,
Gambar 3 : Urtikaria. Pada dorsum manus dan pergelangan tangan tampak lesi urtika
berukuran lentikular, di sekitarnya eritema. 2
3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronis dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan ; disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz, dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak dengan skuama di atasnya). Eritema sirkumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema di tengah menghilang dan hanya
terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarnah putih seperti mika
serta transparan.1
G. PENATALAKSANAAN
10
11
12
tidak menunjukan perbaikan gejala klinis. Penurunan dosis yang lebih lambat
biasanya akan berhasil dan kortikosteroid biasanya dihentikan setelah 6-12
bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari tidak dapat ditoleransi oleh
penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan menjadi 100 mg sehari selama
1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan
reaksi. Penggunaan klofazimin pada reaksi reversal masih controversial dan
tidak bermanfaat pada fase kaut reaksi.4,10
3. Dapson
Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan
efek supresif terhadap RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan penyakit
kusta dibeberapa Negara berkurang setelah WHO menganjurkan penggunaan
MDT yang menggunakan Dapson 100 mg sehari. Prevalensi RR meningkat
setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek imunosupresif
Dapson. Penderita reaksi berat dapat diterapi dengan kombinasi dapson dan
kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih membutuhkan
kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan terapi dengan
mengganti dapson dengan klofazimin.10
4. Azatioprin
Azatioprin digunakan sebagai second line terapi untuk pasien yang
tidak bisa lagi mentolerir atau telah ketergantungan terhadap steroid.
Azatioprin (dengan dosis 3 mg/kg/hari) digunakan dengan kombinasi selama 8
minggu yang menurunkan kerja dari prednisolone telah terbukti efektif selama
12 minggu. Azatioprin bisa direkomendasikan sebagai steroid sparing agent
tetapi penggunaannya dengan dosis yang cukup besar terhambat oleh kurangya
pemantauan untuk tooksitas sumsum tulang.14
13
J. KESIMPULAN
Reaksi reversal merupakan episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan
oleh peningkatan system imun seluler terhadap M.leprae. reaksi ini ditandai dengan
adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada kulit. Reaksi reversal sering muncul
sebelum, selama atau sesudah pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). Gejala klinik
dari RR, antara lain peningkatan inflamasi kulit berupa pembengkakan dan eritem
pada lesi kulit tertentu akan timbul lesi kulit yang baru .
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Juanda A., Hamzah M., Aisah S.2013. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Keenam. Jakarta: FKUI. Hlm.73-88
2. Daili ESS, Sri L. M., I Made W. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia.
Jakarta :Medical Multimedia Indonesia. Hlm. 51-59
3. Barakbah J., Saut S. P., Hari S., Sunarko M,. Indropo A., Hans L., et al. 2008. Atlas
Penyakit Kulit Dan Kelamin FK Unair. Cetakan Ke-5. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Hlm. 41-54
4. James D.M, Timothy G.B, Dirk M.E. Andrews Diseases of The Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. 2006. Philadelphia. Sounders Elseveers. Page 348-350
5. Depkes RI. 2013. Program Pengendalian Penyakit Kusta.
6. Safa G, Laure D, Alain C, Laurent T. Type 1 Leprosy Reversal Reaction Treated With
Topical Tacrolimus Along With Systemic Corticosteroid. Indian journal Med SCI. vol
63 No 8. August 2009
7. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(Reversal) Reactions And Their
Management. Department of Infection and Tropical Disease, London School of
Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December
2008.
8. Depkes RI. 2015. Kusta. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan.
9. Depkes
RI.
2015.
Kusta.
Available
at
URL
16
11. Delphine J. Lee, Thomas H. Rea, & Robert L.M. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8 ed. 2008, New York: McGraw Hill. Page 2253-2260.
th
12. Lockwood J.N.D.2010. Leprosy .in : Rooks Textbook of Dermatology. A Jhon Wiley
& Sons, Ltd. Publication. Page 1469-1488
13. Faber R.W,.A M. Iyer,. T.T. Fajardo,. T. Dekker,. L. G. Villahermosa,. R. M. Abalos,.
P. K. Das. 2004. Serial Measurement of serum Cytokines, Cytokine Receptors and
Neoprotein in Leprosy Patient with Reversal Reactions. Department of Pathology,
Departement of Dermatology, Academic Medical Centre, Amsterdam, The
Netherlands, Leonard Wood Memorial Center for Leprosy Research, Philipines. 13
July 2004
14. Kahawita I. P, Sirimanna G. M, Satgurunathan K, Athukorala D. N. Guidelines on the
17