Anda di halaman 1dari 17

REAKSI REVERSAL

A. PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
berbentuk basil tahan asam dan alkohol, serta grampositif. Mycobacterium leprae
berkembang biak dengan baik pada suhu 300C dibawah suhu tubuh rata-rata dari
manusia. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa
replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman
lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 35
tahun. Mycobacterium leprae, pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang

kulit,

mukosa

mulut,

saluran

napas

bagian

atas,

sistem

retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat.1-4
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah
interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat
kronik, yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi.
Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II
atau reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral
yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan saraf.1,5
Reaksi reversal (RR), reaksi up grading yang umumnya terjadi pada kusta
tipe borderline. Yang memegang peranan penting pada reaksi ini adalah sistem
imunitas seluler. Reaksi ini termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi tipe I
ini merupakan keadaan dimana terdapat perubahan hipersensitivitas seluler dan
penyakit mengalami pergeseran sepanjang spectrum kusta. Reaksi tipe ini terjadi
sekitar 30-40% penderita kusta tipe borderline.5,6,7
B. EPIDEMIOLOGI
Tahun 2011-2013 sebanyak 42,4% termasuk dalam beban kusta tinggi,
57,6% termasuk dalam beban kusta rendah. Sepanjang tahun 2013, Kementrian

Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per
1.000.000 penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia ke peringkat ke-3 dunia
dengan kasus baru kusta terbanyak setelah india dan brasil.8,9
Prevalensi RR bervariasi antara 8-33% dari seluruh penderita kusta,
umumnya terjadi pada penderita kusta tipe borderline. Penderita tipemid
borderline(BB) danborderline lepromatous(BL) mempunyai prevalensi lebih tinggi
daripada tipe borderline tuberculoid (BT). Prevalensi RR pada penderita BT
bervariasi antara 20-50%.10
Bernink dkk (1997) melaporkan hasil penelitian terhadap 85 penderita
reaksi di Indonesia, dari sejumlah penderita tersebut 46 penderita (55%) mengalami
RR dan 24 penderita (55%) mengalami RR dan 24 penderita (33%) mengalami
silent neuritis.10
C. ETIOPATOGENESIS
Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan CMI secara tiba-tiba sebagai
respon terhadap antigen dari M. lepraeyang dapat diperlihatkan secara in vitro
dengan tes transformasi limfosit. Patogenesis meningkatnya CMI ini tidak
diketahui secara pasti.10
Menurut Jopling, RR merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti
halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Cell. Antigen yang
berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan SIS yang cepat. Pada dasarnya reaksi ini terjadi akibat
perubahan keseimbangan antar CMI dan basil. Sehingga sebagai hasil akhir reaksi
ini dapat terjadi up-grading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid
(terjadi peningkatan SIS) atau down-grading bila menuju ke bentuk lepromatosa
(terjadi penurunan SIS). Meskipun secara teoritis RR dapat terjadi pada semua
bentuk kusta subpolar, tetapi pada bentuk borderline lepromatous (BB) jauh lebih
sering terjadi daripada bentuk yang lain. Bentuk BB, bila terjadi RR akan berubah

menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk tuberculoid polar(TT). Sedangkan bila


terjadi down-grading akan berubah menjadi bentuk BL dan dapat ke bentuk LL.1,10
Disamping itu, terdapat beberapa faktor pencetus terhadap kejadian RR, yaitu :
Infeksi yaitu malaria, filariasis, typus abdominalis, TBC dan lain-lain.
Stress mental merupakan penyebab yang paling sering.
Trauma seperti operasi.
Vaksinasi, hasil, melahirkan atau post partum.10
Reaksi-reaksi dapat terjadi spontan, khususnya pada kusta tipe BT, tetapi
biasanya diikuti dengan berkurangnya jumlah kuman sebagai akibat pengobatan.
Keuntungan dari meningkatnya kekebalan seluler yaitu prognosis menjadi lebih
baik dengan lebih cepat terjadinya kemajuan dalam penyembuhan dan menurunnya
kecenderungan untuk terjadi relaps. Indeks bakteriologi juga menurun. Penyebab
peradangan akut yang mana merupakan gambaran penting reaksi tipe ini adalah
meningkatnya transformasi limfosit.10
D. GEJALA KLINIS
Reaksi reversal lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum
borderline (borderline lepromatous, mid borderline, borderline tuberculoid) karena
tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil.5
Gambaran klinis dari RR berupa penambahan atau perluasan lesi yang ada,
tetapi bukan nodus, tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai
berat.10Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin
eritematosa,lesi macula menjadi bertambah luas.1
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS). SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah akan
memberikan gambaran lepromatosa. Tipe I atau indeterminate tidak termasuk
dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,
merupakan tipe yang stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga
lepromatous polar (LL) adalah tipe lepromatosa polar merupakan lepromatosa
100% yang stabil. Sedangkan tipe antara lepromatosa indefinite (Li) dan
3

tuberculoid indefinite (Ti) disebut tipe borderline atau campuran, campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe ini merupakan tipe
yang labil, sehingga bisa bebas beralih tipe kearah TT atau LL.1
Perubahan tiba-tiba dari yang sebelumnya plak yang mati rasa menjadi lesi
yang baru, dan lesi baru timbul di kulit normal dengan atau tanpa gangguan
neuritis. Warna eritematous yang ungu kehitaman adalah karakteristik delayed
type hypersensitifity (DTH). Varian morfologi meliputi anular, konsentris, dan
perubahan eczematous.11

Gambar 1 : Reaksi Tipe 1, terjadi inflamasi akut pada daerah lesi yang sudah ada,
bersisik, dan tampak ulserasi. Banyak lesi kecil yang baru muncul. Gambar 2 Reaksi
reversal. Tampak lesi lama lebih eritem, udem, berbatas tegas, berukuran besar, disertai
lesi baru dengan ukuran lebih kecil.2,12

Tabel 1. Gejala tanda reaksi tipe 1.10


Gejala
Lesi Kulit

Reaksi Ringan
Tambah aktif, menebal merah,
terasa panas dan nyeri tekan;
makula yang menebal dapat
sampai membentuk plak

Reaksi Berat
Lesi membengkak sampai ada
yang pecah, merah, teraba panas
dan nyeri tekan; ada lesi kulit
baru; tangan dan kaki
membengkak, sendi-sendi
4

Saraf Tepi

Keadaan

Tidak ada neuritis (tidak ada


penebalan saraf dan gangguan
fungsi)
Tidak ada demam

bengkak
Ada neuritis (nyeri tekan,
dan/atau gangguan fungsi,
misalnya kelemahan otot)
Kadang-kadang ada demam
ringan

Tabel 2. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena.9


Organ yang
terkena
Kulit

Saraf tepi
Gejala konstitusi
Gangguan pada

Reaksi Tipe 1
Ringan
Berat
Bercak putih menjadi merah,
Bercak putih menjadi merah,
yang merah jadi lebih merah.
yang merah jadi lebih merah.
Bercak meninggi
Timbul bercak baru, kadangkadang disertai panas dan
malaise
Ulserasi (-)
Ulserasi (+)
Edema tangan dan kaki (-)
Edema tangan dan kaki (+)
Membesar, tidak nyeri.
Membesar, nyeri.
Fungsi saraf tidak terganggu
Fungsi saraf terganggu.
Demam (-)
Demam ()
Tidak ada
Tidak ada

organ lain

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
perwarnaan terhadap basil tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti orang tersebut
tidak mengadung bakteri M. leprae. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit

yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah terlebih dulu menentukan
jumlah tempat yang akan diambil.

Jumlah lesi untuk pemeriksaan rutin

sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4
lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi
di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap
mengandung basil paling banyak.1
M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented),
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Penting untuk membedakan antara bentuk
solid dan non solid karena bentuk solid lebih berbahaya karena dapat
berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun, dalam praktek,
sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh banyak
macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada
sebuah sediaan dinyatakan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0
sampai 6+ menurut RIDLEY.1
Tabel 3. Indeks bakteri menurut RIDLEY1,10
0
1+
2+
3+
4+
5+
6+

Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang


1-10 BTA dalam 100 lapang pandang
1-10 BTA dalam 10 lapang pandang
1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang
11-100 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang
101.1000 rata-rata dalam 1 lapang pandang
>1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskopik cahaya dengan minyak


emersi pada pembesaran lensa objektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata
semua lesi yang dibuat pada sediaan. Indeks morfologi (IM) adalah persentase
bentuk solid dibanding dengan jumlah solid dan non solid.1
2) Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologi terdapat infiltrat limfosit yang meningkat
sehingga terjadi udem dan hiperemi. Diferensiasi makrofag ke arah
peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langhans.
Penurunan jumlah basil dari IM, bahkan basil kusta sudah tidak dijumpai lagi.
Kadang-kadang terdapat nekrosis di dalam granulosum, penyembuhan ditandai
dengan fibrosis.1,10
Adanya kuman M.leprae masuk, akibatnya akan bergantung pada
sistem imunitas seluler (SIS) orang itu. Apabila imunitas selulernya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunoligik dengan adanya faktir kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag
akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan
kemudian akan berubah menjadi sel datialanghans.

Adanya massa

epiteloidyang berlebihan dikelilingi oleh lomfosit yang disebut tuberkel akan


menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
imunitas seluler rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.lepraeyang

sudah

ada

didalamnya,

bahkan

dijadikan

tempat

berkembangbiak dan disebut sel Virchow/sel lepra/sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.1

Tabel 4. Karakteristik tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING.1


TT
Reaksi
lepromin
Stabilitas
imunologik
Reaksi
borderline
E.N.L
Basil dalam
hidung
Basil dalam
granuloma
Sel
epiteloid
Sel datia
Langhans
Globi
Sel Virchow
Limfosit
Infiltasi
zona sub
epidermal
Kerusakan
saraf

Tipe
BB
BL
BB
BL
-

TT
3+

Ti
2+

BT
BT
1+

++

LL
Li
-

LL
-

++

++

+
++

+
++

0 - 1+

1+ - 3+

5 6+

4
5+
-

5 6+

3
4+
+

+++

++

+++

+++

++

+
+

+
++

+
+++

+/-

++

+++

++

+/

3) Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberkulosis.1
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa
lepra yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak
didapatkan lesi kulit, misalnya pada nonkontak serumah. Pemeriksaan
8

serologik,

didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang

terinfeksi oleh M. leprae.Macam-macam pemeriksaan serologik lepra ialah:1


a. Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)
b. Uji ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
c. ML Dipstick (mycobacterium leprae dipstick).1
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Relaps Kusta
Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif kepada penderita yang
sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena
itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas yang berwenang. Gambaran klinis
relaps berupa : 1). Biasanya muncul sesudah pengobatan dihentikan, umumnya
sesudah interval satu tahun. 2). Penebalan atau kerusakan saraf atau adanya saraf
baru yang terkena. 3). Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan
atau positif pada lesi yang baru. 4). Meluasnya lesi yang telah ada, menebal,
eritematosa, atau terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang
atau terbentuknya lesi baru. Gejala timbul perlahan-lahan dan tidak pernah disertai
dengan demam atau perasaan kurang enak.10
2. Urtikaria
Urtikaria merupakan reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam
sebab biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan hilang
perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan meninggi dipermukaan kulit,
sekitarnya dapat dikelilingi halo.1
Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak
lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan
serangga, besarnya dapat rentikular, numular, sampai plakat.1

Gambar 3 : Urtikaria. Pada dorsum manus dan pergelangan tangan tampak lesi urtika
berukuran lentikular, di sekitarnya eritema. 2

3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronis dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan ; disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz, dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak dengan skuama di atasnya). Eritema sirkumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema di tengah menghilang dan hanya
terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarnah putih seperti mika
serta transparan.1

Gambar 4 : Bercak eritematosa


berupa plak kronik dengan batas tegas. 11
4

G. PENATALAKSANAAN

10

Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe


reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan
pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat, seperti :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam enam bulan terakhir


Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot berkurang dalam enam bulan terakhir
Adanya rasa raba berkurang dalam enam bulan terakhir
Adanya bercak pecah atau nodul pecah
Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.8
Bila terdapat salah satu dari gejala di atas berarti ada reaksi berat dan perlu

diberikan obat anti reaksi.10


Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang
imunopatologi RR sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen M.
leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah dengan mengurangi
paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat penekanan respon CMI.
Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikobakteri,
tetapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat dan
dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis. Imobilisasi dan tindakan bedah
dapat mencegah dan memulihkan gangguan fungsi saraf.10
Pada RR terjadi nekrosis kaseosa M. leprae yang berisi antigen yang terdapat
pada jaringan. Pendekatan tetapi tidak hanya tergantung pada derajat dan luasnya lesi
tetapi juga pada letak lesi kulit, dan derajat, bentuk dan letak dari lesi saraf yang biasa
muncul secara bersamaan. Lesi kulit wajah yang melibatkan. Lesi saraf menyebabkan
defisit neural yang cukup besar dan gangguan saraf sensoris pada telapak tangan,
telapak kaki, dan kornea serta gangguan motorik lain membutuhkan dengan segera
kortikosteroid sistemik dosis tinggi.10
Obat anti reaksi terdiri atas :
1. Kortikosteroid

11

Predinison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)merupakandrug of choice untuk


pengobatan reaksi tipe 1, menekan proses inflamasi, dan sangat penting untuk
pemulihan fungsi saraf setelah reaksi.6,8,13
Dosis awal prednison 40 mg sehari cukup berhasil mengendalikan 85%
kasus reaksi reversal. Pada wanita hamil diberikan prednison dengan dosis 30
mg sehari. Bila terjadi perbaikan lesi kulit dosis diturunkan 5 mg sehari setiap
1-2 minggu sampai dicapai dosis pemeliharaan 20-25 mg sehari.4,5,10,
WHO merekomendasikan pemberian prednisolon dosis 40 mg sehari
pada minggu pertama dan ke-2, 30 mg sehari pada minggu ke-3 dan ke-4, 20
mg sehari pada minggu ke-5 dan ke-6, 15 mg sehari pada minggu ke-7 dan ke8, 10 mg sehari pada minggu ke-9 dan ke-10, dan 5 mg sehari pada minggu ke11 dan ke-12. Dosis maksimum 1 mg/kgbb/hari.9,10
Sebagian besar reaksi dan neuritis dapat diterapi dengan baik dengan
pengobatan standar prednison selama 12 minggu tetapi Croft dkk (2000)
melaporkan 32% kasus penderita reaksi yang disertai penurunan fungsi saraf
dalam 6 bulan sebelum terapi kortikosteroid, tidak mengalami perbaikan
setelah kontrol pada bulan ke-12 sehingga membutuhkan terapi alternatif.
Apabila dengan terapi kortikosteroid masih terdapat penurunan fungsi saraf,
dilakukan tindakan bedah untuk memulihkan tekanan intraneural. Iridosiklitis
akut diterapi dengan hidrokortison tetes mata 1% setiap jam dan atropine 1%
atau skopalamin 0,`15% 2 kali sehari.10
2. Klofazimin
Klofazimin digunakan pada penderita RR yang membutuhkan terapi
kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul efek samping steroid.
Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah 2-4 minggu dosis
kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis ditingkatkan ke dosis semula
dan dipertahankan selama 2 sampai 4 minggu apabila sampai penurunan dosis

12

tidak menunjukan perbaikan gejala klinis. Penurunan dosis yang lebih lambat
biasanya akan berhasil dan kortikosteroid biasanya dihentikan setelah 6-12
bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari tidak dapat ditoleransi oleh
penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan menjadi 100 mg sehari selama
1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan
reaksi. Penggunaan klofazimin pada reaksi reversal masih controversial dan
tidak bermanfaat pada fase kaut reaksi.4,10
3. Dapson
Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan
efek supresif terhadap RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan penyakit
kusta dibeberapa Negara berkurang setelah WHO menganjurkan penggunaan
MDT yang menggunakan Dapson 100 mg sehari. Prevalensi RR meningkat
setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek imunosupresif
Dapson. Penderita reaksi berat dapat diterapi dengan kombinasi dapson dan
kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih membutuhkan
kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan terapi dengan
mengganti dapson dengan klofazimin.10
4. Azatioprin
Azatioprin digunakan sebagai second line terapi untuk pasien yang
tidak bisa lagi mentolerir atau telah ketergantungan terhadap steroid.
Azatioprin (dengan dosis 3 mg/kg/hari) digunakan dengan kombinasi selama 8
minggu yang menurunkan kerja dari prednisolone telah terbukti efektif selama
12 minggu. Azatioprin bisa direkomendasikan sebagai steroid sparing agent
tetapi penggunaannya dengan dosis yang cukup besar terhambat oleh kurangya
pemantauan untuk tooksitas sumsum tulang.14

13

Azatioprin bekerja lambat dan hanya dapat digunakan pada pengobatan


tahap lanjut karena tidak mempunyai efek pada udem intarneural. Azatioprin
menghambat sintesis asam nukleat, dan mempunyai efek sangat lambat,
tersedia bentuk tablet 50 mg dan vial 100 mg. Penggunaan azatioprin dapat
menimbulkan keracunan berupa leukopenia dan trombositopenia sehingga
dibutuhkan monitoring dan efek tersebut mempengaruhi besarnya dosis
pemberian azatioprin. Keluahan lain yang sering ditemukan adalah mual dan
muntah tetapi tidak membatasi pemberian obat.10
5. Siklosporin A
Secara teoritis merupakan obat ideal RR, sebab Cyclosporin A bekerja
dengan CD4 sel Th, tetapi sampai sekarang belum diketahui apakah
siklosporin A mempunyai efek yang sama cepatnya dengan kortikosteroid pada
udem intraneral. Pengobatan dimulai dengan dosis 5-10 mg/KgBB dan
diturunkan sesuai tingkat penurunan dosis pada penggunaan kortikosteroid. 10
H. KOMPLIKASI
Penderita dengan reaksi kusta terutama reaksi reversal yang terlambat
didiagnosis dan tidak mendapat terapi mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
kerusakan saraf atau kecacatan. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf,
hilang sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Kecacatan yang terjadi tergantung
pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom atau kombinasi
antara ketiganya.1,5
I. PROGNOSIS
Prognosis ditentukan seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan diobati. Semakin
cepat diobati maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi dan
ditangani akan menimbulkan kecacatan reversible pada sistem saraf tepi yang
terkena.1,5
14

J. KESIMPULAN
Reaksi reversal merupakan episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan
oleh peningkatan system imun seluler terhadap M.leprae. reaksi ini ditandai dengan
adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada kulit. Reaksi reversal sering muncul
sebelum, selama atau sesudah pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). Gejala klinik
dari RR, antara lain peningkatan inflamasi kulit berupa pembengkakan dan eritem
pada lesi kulit tertentu akan timbul lesi kulit yang baru .

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Juanda A., Hamzah M., Aisah S.2013. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Keenam. Jakarta: FKUI. Hlm.73-88
2. Daili ESS, Sri L. M., I Made W. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia.
Jakarta :Medical Multimedia Indonesia. Hlm. 51-59
3. Barakbah J., Saut S. P., Hari S., Sunarko M,. Indropo A., Hans L., et al. 2008. Atlas
Penyakit Kulit Dan Kelamin FK Unair. Cetakan Ke-5. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Hlm. 41-54
4. James D.M, Timothy G.B, Dirk M.E. Andrews Diseases of The Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. 2006. Philadelphia. Sounders Elseveers. Page 348-350
5. Depkes RI. 2013. Program Pengendalian Penyakit Kusta.
6. Safa G, Laure D, Alain C, Laurent T. Type 1 Leprosy Reversal Reaction Treated With
Topical Tacrolimus Along With Systemic Corticosteroid. Indian journal Med SCI. vol
63 No 8. August 2009
7. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(Reversal) Reactions And Their
Management. Department of Infection and Tropical Disease, London School of
Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December
2008.
8. Depkes RI. 2015. Kusta. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan.
9. Depkes

RI.

2015.

Kusta.

Available

at

URL

http://www.depkes.go.id/article/view/15012300020/hari-kusta-sedunia-2015hilangkan-stigma-kusta-bisa-sembuh-tuntas.html. Accessed : 22 Juni 2015


10. Amiruddin M.D,. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Cetakkan ke-1.
Surabaya. Brilian international. Hlm 147-164

16

11. Delphine J. Lee, Thomas H. Rea, & Robert L.M. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8 ed. 2008, New York: McGraw Hill. Page 2253-2260.
th

12. Lockwood J.N.D.2010. Leprosy .in : Rooks Textbook of Dermatology. A Jhon Wiley
& Sons, Ltd. Publication. Page 1469-1488
13. Faber R.W,.A M. Iyer,. T.T. Fajardo,. T. Dekker,. L. G. Villahermosa,. R. M. Abalos,.
P. K. Das. 2004. Serial Measurement of serum Cytokines, Cytokine Receptors and
Neoprotein in Leprosy Patient with Reversal Reactions. Department of Pathology,
Departement of Dermatology, Academic Medical Centre, Amsterdam, The
Netherlands, Leonard Wood Memorial Center for Leprosy Research, Philipines. 13
July 2004
14. Kahawita I. P, Sirimanna G. M, Satgurunathan K, Athukorala D. N. Guidelines on the

Management of Leprosy Reaction. Sri Lanka College of Dermatologists.

17

Anda mungkin juga menyukai