KARDIOVASKULER
Oleh :
Alief Abni Bernindra (H1A01023)
Pembimbing:
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan
dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal
(biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Yang akan saya bahas adalah mengenai anestesi
umum intravena.
Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal akan
bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang
diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.
Anestesi umum intravena ini penting untuk diketahui karena selain dapat digunakan
dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan pasien dalam keadaan gawat
darurat.
BAB II
PEMBAHASAN
Cara pemberian dapat berupa : 1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi
atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2) suntikan berulang untuk
prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari dosis
permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi.
Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap
dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk
tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk
memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya,
permukaan bedah dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan
membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan
penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang
cepat.
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik ataupun pelumpuh otot.
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan :
1.) Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat,
eugenol, dan steroid
2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti
pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin),
sedative (contohnya: diazepam).
Obat-obat anestesi intravena yang sampai saat ini ada dan sudah dapat di pasaran
Indonesia serta secara umum digunakan dalam praktik anestesia adalah :
1. Barbiturat (Thiopentone)
2. Benzodiazepin (Diazepam, Midazolam)
3. Opioid (Fentanil, Petidin, Tramadol)
4. fenil sikloheksilamin (Ketamin Hidroklorida)
5. Di-iso propil fenol (propofol)
1. Barbiturat (Tiopenton)
Mekanisme kerja
Barbiturat menyebabkan depresi RAS yang terletak pada batang otak dan mengontrol
beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat lebih
mempengaruhi fungsi sinaps saraf dibandingkan akson. Barbiturat menekan transmisi
neurotransmitter eksitatori (mis. asetilkolin) dan meningkatkan transmisi neurotransmitter
inhibitori (mis. GABA).
Seperti anestetik
inhalasi,
barbiturat
menghilangkan
memfasilitasi pengikatan GABA pada reseptor GABAA di membran neuron SSP. Bersifat
GABA-mimetik dengan langsung merangsang kanal klorida. Barbiturat juga menekan kerja
neurotransmiter sistem stimulasi (perangsang). Kerjanya pada berbagai sistem ini membuat
barbiturat lebih kuat sebagai anestetik, tetapi lebih tidak aman karena sangat kuat menekan
SSP.
Barbiturat yang digunakan untuk anestesia ialah yang termasuk barbiturat kerja sangat
singkat, yaitu tiopental, metoheksital, dan tiamilal yang diberikan secara bolus intravena atau
secara infus. Penyuntikan IV harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi ekstravasasi
atau penyuntikan ke dalam arteri. Pada penyuntikan tiopental, mula-mula timbul hiperalgesia
diikuti analgesia bila dosis terus ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik yang kuat.
Dengan dosis yang memadai untuk induksi, pasien segera akan merasakan rasa bawang
putih di lidahnya, diikuti dengan igauan halus yang menandakan kantuk, kemudian langsung
tertidur pulas. Pemulihan terjadi secara mulus dan pasien segera sadar. Agar pemulihan tidak
terlalu lama, dosis jangan sampai lebih dari 1 gram. Untuk tindakan bedah yang singkat, dan
tidak terlalu menyakitkan, tiopental dapat digunakan secara berjeda (intermiten) bersama
dengan N2O.
Farmakokinetik
Absorpsi
Barbiturat paling sering diberikan secara intravena sebagai induksi anestesi umum pada
orang dewasa dan anak-anak yang tersedia jalur intravena.
Distribusi
4
Durasi kerja barbiturat yang sangat larut dalam lemak (thiopental, thiamylal, dan
methohexital) bergantung pada redistribusi, bukan metabolisme atau eliminasi. Sebagai
contoh, neskipun thiopental terikat kuat dengan protein (80%), solubilitas lipidnya yang
tinggi dan fraksi tidak terionisasinya yang tinggi (60%) membuat barbiturat mudah di-uptake
oleh otak secara maksimal dalam 30 detik. Redistribusi ke bagian perifer seperti otot terjadi
saat konsentrasi plasma dan otak turun hingga 10% dalam 20-30 menit. Sifat farmakokinetik
ini berkorelasi dengan kondisi klinis yakni pasien umumnya kehilangan kesadaran dalam 30
detik dan bangun dalam 20 menit.
Dosis induksi thiopental bergantung berat badan dan umur. Pada lanjut usia, diberikan
dosis induksi yang lebih rendah karena redistribusinya lebih lambat akibat tingginya kadar
obat dalam darah. Berkebalikan dengan dengan waktu paruh distribusi inisial yang
berlangsung hanya dalam beberapa menit, waktu paruh eliminasi thiopental bekisar antara 3-6
jam.
Biotransformasi
Biotransformasi barbiturat melibatkan oksidasi hepatik menjadi metabolit yang larut
dalam air.
Ekskresi
Tingginya ikatan protein menurunkan filtrasi glomerulus terhadap barbiturat, sedangkan
solubilitas yang tinggi cenderung meningkatkan reabsorpsi tubulus renal. Ekskresi renal
terbatas pada produk akhir biotransformasi hepar yang bersifat larut dalam air.
Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada
reseptor GABA.
Farmakokinetik
Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang banyak digunakan dalam anestesi
diklasifikasikan
sebagai
berikut:
1.)
Midazolam
(short-lasting);
2.)
lorazepam
aktif
yaitu,
memperpanjang
efek
Midazolam
mengalami
yang
memperkuat
biotransformasi
dan
menjadi
tersebut di atas terutama usia, usia yang bertambah mengurangi kecepatan bersihan diazepam
dari tubuh secara signifikan, hal ini juga didapatkan pada midazolam namun dalam derajat
yang lebih rendah. Kebiasaan merokok sebaliknya mempercepat klirens diazepam. Klirens
midazolam tidak dipengaruhi kebiasaan merokok tetapi konsumsi alcohol, pada pasien
dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens midazolam akan mengalami percepatan
Farmakokinetik lorazepam tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin ataupun gangguan ginjal.
Ketiga obat ini dipengaruhi oleh obesitas. Volume distribusi meningkat akibat perpindahan
dari plasma ke jaringan adipose. Walaupun tidak mempengaruhi klirens, namun waktu paruh
menjadi lebih panjang, sehingga pemulihan akan didapatkan lebih lambat pada pasien dengan
obesitas.
Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu 30-60 detik dibanding
lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh midazolam berkisar antara 2-3 menit, 2 kali lebih
panjang dibanding diazepam, namun kekuatan lorazepam 6 kali lipat dari diazepam. Sama
seperti onset, durasi kerja juga bergantung kelarutan dalam lemak dan kadar dalam darah.
Redistribusi midazolam dan diazepam lebih cepat dibanding lorazepam yang kemungkinan
diakibatkan dari kelarutan dalam lemak lorazepam yang lebih rendah. Sehingga durasi kerja
lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan midazolam.
Farmakodinamik
Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan
sedasi tanpa efek analgetik. Bergantung dari dosisnya, juga menurunkan kebutuhan oksigen
otak dan aliran darah ke otak serta laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam
bergantung dari dosisnya juga memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek
perlindungan midazolam didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler.
Perubahan yang mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah yang ringan akibat
penurunan resistensi vaskular sistemik. Efek ini didapatkan sedikit lebih nyata pada
pemberian midazolam namun perubahan tekanan darah ini kurang lebih sama seperti
pemberian thiopental. Bahkan dosis 0.2mg/kgBB dilaporkan aman untuk induksi pada pasien
dengan stenosis aorta. Benzodiazepine tidak mempengaruhi mekanisme refleks homeostatik,
karena itu hemodinamik relatif stabil.
Efek samping
8
3. Opioid (Fentanil)
Fentanil, sulfentanil, alfentanil, dan remifentanil adalah opioid yang lebih banyak
digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia anestesia yang lebih kuat dengan
depresi napas yang lebih ringan. Walaupun dosisnya besar, kesadaran tidak sapenuhnya
hilang dan amnesia pascabedahnya tidak lengkap. Biasanya digunakan pada pembedahan
jantung atau pada pasien yang cadangan sirkulasinya terbatas. Opioid juga digunakan sebagai
tambahan pada anestesia dengan anestetik inhalasi atau anestetik intravena lainnya sehingga
dosis anestetik lain ini dapat lebih kecil. Bila opioid diberikan dengan dosis besar atau
berulang selama pembedahan, sedasi dan depresi napas dapat berlangsung lebih lama, ini
dapat diatasi dengan nalokson.
Fentanil yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera didistribusi, tetapi pada pemberian
berulang atau dosis besar akan terjadi akumulasi. Dengan dosis besar (50-100 mg/kgBB),
fentanil menimbulkan analgesia dan hilang kesadaran yang lebih kuat daripada morfin, tetapi
amnesianya tidak lengkap, instabilitas tekanan darah, dan depresi napas lebih singkat. Oleh
karena itu fentanil lebih disukai daripada morfin, khususnya untuk dikombinasi dengan
anestetik inhalasi. Alfentanil dan sulfentanil potensinya lebih besar daripada potensi fentanil
dengan lama kerja yang lebih singkat. Keduanya lebih populer karena stabilitas
kardiovaskularnya sangat menonjol.
Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di seluruh SSP dan jaringan
lain. Empat tipe reseptor opioid telah diidentifikasi, yakni: (-1 dan -2), (kappa),
(delta), dan (sigma). Meskipun opioid memiliki efek sedasi, efek analgesinya yang paling
efektif. Efek farmakodinamik dari opioid tertentu bergantung pada reseptor mana ia
berikatan, afinitas ikatannya, dan apakah reseptor tersebut teraktivasi.
Aktivasi opiat-reseptor menghambat pelepasan presinaps dan respon postsinaps
terhadap neurotransmitter eksitatori (mis. asetilkolin, substansi P) dari neuron nosiseptif.
Mekanisme seluler yang terjadi melibatkan perubahan konduktansi ion kalium dan kalsium.
Transmisi impuls nyeri dapat dihalangi pada tingkat kornu dorsalis medula spinalis dengan
pemberian opioid intratekal atau epidural.
9
Absorpsi
Absorpsi yang cepat dan sempurna berlangsung setelah injeksi morfin intramuskular
dengan kadar puncak dalam plasma dalam 20-60 menit. Berat molekul yang rendah dan
solubilitas lipid yang tinggi membuat fentanil dapat diberikan melalui absorpsi transdermal.
Distribusi
Solubilitas morfin dalam lemak yang rendah memperlambat distribusi melalui sawar
darah otak, sehingga onsetnya kerja lambat tetapi durasi kerjanya lama. Hal ini berkebalikan
dengan fentanil dan sufentanil yang memiliki onset cepat dan durasi kerja singkat. Alfentanil
memiliki onset yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih singkat padahal solubilitasnya
lebih rendah.
Biotransformasi
Biotransformasi opioid terutama berlangsung di hepar. Karena kecepatan ekstraksi
hepar yang tinggi, klirensnya bergantung pada aliran darah hepar. Morfin mengalami
konjugasi dengan asam glukoronat membentuk morfin 3-glukoronida dan morfin
6glukoronida.
Ekskresi
Produk akhir morfin diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena 5-10% morfin
diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin, gagal ginjal akan
memperpanjang durasi kerjanya. Metabolit sufentanil dikeluarkan melalui urin dan empedu.
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Secara umum, opioid tidak mengganggu fungsi kardiovaskuler. Sistem kardiovaskuler
tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh
darah. Dosis tinggi morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil berkaitan dengan
bradikardi yang dimediasi vagus. Kecuali meperidin, opioid lain tidak mendepresi
kontraktilitas jantung. Tekanan darah arteri menurun sebagai akibat bradikardi, venodilatasi
dan penurunan refleks simpatik terkadang membutuhkan vasopresor (mis. efedrin).
10
4. Ketamin Hidroklorida
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non
barbiturate general anesthetic yang populer disebut sebagai Ketalar sebagai nama dagang.
Sifat fisik
Merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan sensitif terhadap cahaya dan
udara. Karena sangat sensitif terhadap cahaya, obat ini disimpan dalam botol (vial) berwarna
cokelat.
Mekanisme kerja
Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman
(batas keamanan lebar). Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan
kerja singkat. Efek anestesianya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan
neurotransmittor eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-Daspartat. Sifat analgesiknya
sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak
menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.
Anestesia dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik
pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesia disosiatif. Disosiasi
ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakangerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 1015 menit,
analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam. Pada
masa pemulihan, dapat terjadi emergence phenomenon yang merupakan kelainan psikis
berupa disorientasi, ilusi sensoris, ilusi perseptif, dan mimpi buruk. Kejadian fenomena ini
dapat dikurangi dengan pemberian diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB 5 menit sebelum pemberian
ketamin.
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-5 mg/kgBB IM. Stadium depresi
dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesia dapat diberikan dosis 25-100
mgIkgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.
Farmakokinetik
11
Absorpsi
Ketamin diberikan secara intravena atau intramuskular. Kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai dalam 10-15 menit setelah injeksi intramuskular.
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lipid dan tidak terikat kuat dengan protein bila
dibandingkan dengan thiopental. Karakteristik ini membuat ketamin mudah di-uptake oleh
jaringan otak dan redistribusi. Pemulihan kesadaran terjadi akibat redistribusi ke kompartmen
perifer.
Biotransformasi
Ketamin mengalami biotransformasi di hati menjadi beberapa metabolit, diantaranya
(mis. norketamin) masih memiliki aktivitas anestetik. Sebagian besar ketamin mengalami
dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian diekskresi terutama dalam bentuk metabolit
dan sedikit dalam bentuk utuh. Ketamin sangat cepat di-uptake oleh hepar sehingga waktu
paruh eliminasinya menjadi sangat singkat.
Ekskresi
Produk akhir biotransformasi diekskresikan melalui renal.
12
darah, frekuensi nadi, dan curah jantung naik sampai 25%, sehingga ketamin bermanfaat
untuk pasien dengan risiko hipotensi dan asma.
Refleks faring dan laring tetap normal atau sedikit meninggi pada anestesia dengan
ketamin. Pada dosis anestesia, ketamin bersifat merang sang; sedangkan dengan dosis
berlebihan akan menekan pernapasan.
Interaksi Obat
Diazepam meningkatkan efek kardiostimulasi ketamin dan memperpanjang waktu
paruh eliminasinya. Ketamin menimbulkan depresi miokardium bila diberikan pada pasien
yang dianestesi dengan halotan.
5. Propofol
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol yang banyak dipakai
sebagai obat anestesia intravena.
Farmakokinetik
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan
sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal. Kurang
dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam
tinja.
Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik)
dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf
pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus
13
intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu
paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang
cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida dan
sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi melalui
urin. Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak
dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat
metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens
dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan
propanolol.
14
DAFTAR PUSTAKA
Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun
2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210218.
Mangku, G, dkk. Buku Ajar Imu Anestesi dan Reanimasi. Denpasar; 2002
Sadikin ZD, Elysabeth. Anastesi Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi FKUI Edisi 5.
Jakarta: Gaya Baru. 2007. hal. 122-38
15