Anda di halaman 1dari 40

KANKER KOLOREKTAL

Epidemiologi
Kanker Colorectal menempati urutan keempat dalam jumlah insiden kanker di Amerika Serikat
dengan 153. 760 kasus baru terjadi pada tahun 2007. Angka kematian 52.180 pada tahun 2007
menempati peringkat kedua penyebab kematian akibat kanker di AS. Di seluruh dunia estimasi
kasus baru CRC sekitar 1.023.152 kasus dan angka mortalitasnya mencapai 528.978 (55 %). Ras
afrika-amerika menduduki posisi pertama insiden CRC. 90 persen kasus ditemukan pada usia 50
tahun ke atas. Insiden dan mortalitas didapatkan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada
tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada
pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus
kanker.4 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat
kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang
mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju
dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada
frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda;
dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat
frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak
terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50%
yang berada pada kolon rektosigmoid.
Faktor Risiko
Faktor-faktor berikut telah dibuktikan dalam penelitian klinik dapat meningkatkan resiko CRC,
dan diklasifikasikan oleh The American Gastroenterological Association sebagai berikut :
Resiko ringan-sedang:
1. Usia diatas 60 tahun
2. Ras Afrika-Amerika

3. Pria perokok di atas 50 tahun [RR = 1.05 (95% CI = 0.751.47)]


4. Wanita post menopausal di atas 50 tahun [HR = 1.08 (95% CI = 0.901.29)]
Resiko moderat:
1. Pasien Polyposis Adenomatosa
2. Riwayat keluarga polip colon atau kanker colon
3. Mempunyai riwayat kanker endometrium atau kanker ovarium sebelum umur 60 tahun
Resiko Tinggi:
1. Pasien Hereditary Non-polyposis Colorectal Cancer
2. Pasien familial Polyposis Adenomatosa
Patogenesis Molekuler
Perkembangan kanker Colorectal merupakan akumulasi gangguan genetik dan epigenetik yang
mempengaruhi fungsi seluler dan jaringan. Mutasi genetik awal terjadi pada tumor suppressor
gen APC, yang terletak pada kromosom 5q. Mayoritas mutasi gen APC menyebabkan kehilangan
fungsi normalnya untuk mendegradasi -catenin sitoplasma. Degradasi ini terjadi ketika catenin berikatan pada kompleks APC/AXIN/GSK-3b. GSK-3b bekerja pada phosphorilasi catenin menyebabkan konjugasi dengan protein ubiquitin dan terdegradasi. Stabilitas -catenin
diregulasi oleh diacylglycerol-independent protein kinase C, yang diperlukan untuk Ubiquinasi
-catenin. Ketiadaan fungsi protein APC menyebabkan akumumulasi -catenin dalam sitoplasma
dan bertranslokasi ke nukleus. -catenin memiliki peran penting dalam adhesi sel ke sel dengan
menghubungkan reseptor cadherin dengan sitoskeleton aktin. -catenin juga berhubungan pada
jalur persinyalan Wnt. Jika persinyalan Wnt diaktivasi akan menyebabkan aktivasi reseptor Wnt,
phosforilasi dan inaktivasi GSK-3b, yang mencegah GSK-3b dari -catenin terphosporilasi.
Akumulasi

-catenin dalam nukleus menyebabkan terbentuknya komplekdengan Tcf/LEF

(Faktor sel T/Limfosit Enhance Factor). Komplek protein - catenin LEFdapat mengaktifan gen
dengan promoter region Tcf/LEF yang meliputi c-Myc, cyclin D1, PPARS, matrilysin, Fra-1,
UPAR, c-Jun, PML, dan gastrin. Perubahan ini menstimulasi proliferasi sel dan menghambat
apoptosis.

Dalam perkembangan CRC, progresi dari adenoma menjadi karsinoma bergantung pada
akumulasi kerusakan genetik dan epigenetik. Faktor genetik lain yang berkontribusi terhadap
perkembangan CRC adalah mutasi pada K-ras proto-oncogene, dan hipometylasi DNA. Selain
itu delesi lengan 18q21, lokasi gen SMAD2 juga diketahui berkontribusi penting terhadap
insiden CRC. SMAD2 adalah gen pengatur reseptor dan diaktivasi oleh transforming growth
factor- dan sinyal dari aktivin. Gangguan gen ini menyebabkan sel kanker berproliferasi tidak
terkontrol. Terakhir, mutasi kromosom 17p, diketahui berhubungan dengan tumor supressor
gene p53. Mutasi kromosom 17p memicu degradasi p53 yang menyebabkan sel kanker tidak bisa
mati.
Morfologi
Sekitar 25% karsinoma colorektal ditemukan di cecum atau kolon ascending dengan proporsi
yang sama pada rektum dan sigmoid distal. 25 % berikutnya ditemukan di kolon descending dan
sisanya tersebar di lokasi yang berbeda-beda dalam kolon.

Karsinoma Colorektal diawali

dengan lesi in situ dengan pola morfologi yang bervariasi. Tumor pada kolon proksimal
cenderung tumbuh sebagai massa exophytic dan poliploid yang memanjang sepanjang satu
dinding cecum capacious dan kolon ascending. Pada tumor proksimal penyumbatan lumen
jarang terjadi. Karsinoma pada kolon distal cenderung lesi annular mengelilingi lumen yang
menyebabkan konstriksi dan kekakuan dinding muskular usus. Konstriksi yang kuat akan
mempersempit lumen kolon dan berpotensi menimbulkan obstruksi. Kedua bentuk neoplasma di
atas mempenetrasi secara langsung dinding kolon dalam jangka waktu tertentu (biasanya
tahunan) dan bisa tampak sebagai massa keras pada permukaan serosa.
Berdasarkan penampakan secara mikroskopis karsinoma colorectal penampakannya serupa.
Hampir semua jenis kanker adalah adenokarsinoma yang bervariasi dari grade well differentiated
sampai undifferentiated, Franky anaplastic masses. Beberapa tumor memproduksi mucin, yang
disekresikan ke dalam kelenjar lumina menuju interstitial dari dinding kolon. Karena sekresi
melewati dinding kolon, mucin ini memfasilitasi ekstensi kanker dan memperburuk prognosis.
Kanker pada zona anal kebanyakan adalah squamus cell carcinoma.

Manifestasi Klinik
Lokasi Kanker
Dua pertiga dari kanker kolorektal muncul pada kolon kiri dan sepertiga muncul pada kolon
kanan. Sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon
descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal
(0,28%). Data dari kanker statistik di Amerika Serikat terlihat bahwa sekitar 60% dari kanker
kolorektal ditemukan pada rektum, hal ini juga terlihat di China yaitu sekitar 80% dari kanker
kolorektal ditemukan di rektum, dengan > 60% kanker kolorektal hanya terdapat pada rektum.

Gambar Letak Kanker Kolorektal.

Gejala
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang
diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon
ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang
memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid,

dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi
dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung
tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen
usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen,
perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi
sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi
karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.
Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air
besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien
mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali
menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan
kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan
yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar.
Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah
yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah
penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat
menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai
gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium
enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.

Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien
usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.
Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah
keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram
perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi
iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis.
Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut
divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan
pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama
kali yang muncul dari kanker kolon.
Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke
pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum
peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat
jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka
metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon
dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali
paling sering di hepar.
Pemeriksaan Penunjang
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah
obstruksi maka tidak memungkinkan dilakukannya biopsi.

Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening


CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam
peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif
dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai
CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase
ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah
pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan
untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor
prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan
nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang
bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.
Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru oleh
oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna dengan
adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet.
Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari
hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg hb/gr feses,
Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati
dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber perdarahan akan
menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak
berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan mempengaruhi

keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood dalam menurunkan
mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker
kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina iskiadika
dan sakrum dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian
anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi
sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun
telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal
examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu
saja diabaikan.
Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang
sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika
digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai
alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau
kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah,
yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius
yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah
kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada
mukosa kolon.
Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.

Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari
rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.
Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm ke dalam lumen kolon dan dapat mencapai
bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi dengan
menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi
terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya kecuali pada keadaan khusus, seperti pada
ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang
berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip
adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk
dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal
kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.
Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum.
Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara
yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan
keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi,
polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur
yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi)
hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna
untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis,
sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma.

Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi,
perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.
Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan
merupakan screening tes.
CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon preoperatif. CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya
di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA
yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan
stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening
>1 cm pada 75% pasien. Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat
mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.
MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang
lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar.
Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih
untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital
rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor

dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan
keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa
dilakukan di bawah bimbingan EUS.
Stadium dan Prognosis
Stadium
Jika metastasis tidak ada, stadium pasti dari kanker kolorektal hanya dapat dipastikan setelah
pembedahan dan analisis histopatologi. Tidak seperti tumor yang lain, ukuran dari tumor primer
kecil sekali pengaruhnya pada prognosis kanker kolorektal. Faktor yang menentukan tingkat
prognosis adalah kedalaman penetrasi tumor ke dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa regional
dan ada tidaknya metastasis. Berbagai sistem staging telah dibuat pada beberapa dekade terakhir,
tetapi sistem pengklasifikasian yang diajukan oleh Dukes pada tahun 1982 terus dipakai secara
luas karena kemudahannya. Tetapi sistem ini tidak memperlihatkan informasi penting untuk
informasi prognosis, seperti invasi vaskuler, diferensiasi histology dan DNA dari sel tumor.
Pada Dukes stage A >90% pasien selamat dalam 5 tahun. Pada Dukes stage B terjadi penurunan
prognosis menjadi 60-80%. Jika terdapat keterlibatan kelenjar limfa regional (Dukes stage C)
maka prognosanya adalah 20-50%, dan jika terdapat metastasis (Dukes stage D) maka
prognosanya hanya <5%. Direkomendasikan menggunakan staging system TNM dengan Dukes
system yang telah dimodifikasi oleh Astler Coller.

Tabel MAC : Modified Astler Coller


Prognosis
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan pada
tabel di atas. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping
stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival
yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi
kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan
tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan
tumor yang berada di kolon.
Tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa yang
lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon
rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk
bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan
allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan
allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic
pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada
kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada
kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk

adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan
efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.
Screening dan Pencegahan
Screening
National Cancer Institute (NCI), American College of Surgeons, American College of
Physicians, dan American Cancer Society merekomendasikan pada pasien asymptomatic yang
berumur 50 tahun atau lebih untuk dilakukan pemeriksaan sigmoidoskopi setiap 3 sampai 5
tahun. Screening dengan menggunakan kolonoskopi juga direkomendasikan untuk seseorang
dengan risiko sedang setiap 10 tahun. Screening kolonoskopi pada seseorang yang mempunyai
risiko tinggi dengan riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal tetapi tidak ada bukti
yang jelas dari FAP atau HNPCC harus mulai screening pada saat umur 40 tahun.
Pencegahan
Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan menurunkan
insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi polipektomi.
Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan
sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.
Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet
tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik
daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet.
Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori, (b)
meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi makanan yang
diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung bahan
pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.

Hormon Replacement Therapy (HRT)


Penelitian oleh the Nurses Health Study pada wanita menopause menunjukkan hubungan antara
pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan
penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT
menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT dihentikan.

NEOPLASMA USUS HALUS

Neoplasma Benigna
Neoplasma usus halus umumnya membentuk 3% hingga 6% dari seluruh tumor saluran cerna.
Tumor jinak tersering yaitu tumor stroma dari otot polos, adenoma, dan lipoma, diikuti berbagai
lesi epitel hamartomatosa, neurogenik, dan vaskular. Tumor lain meliputi tumor karsinoid,
limfoma atau sarkoma/ gastrointestinal stromal tumor (GIST). 64% dari tumor usus halus
mengarah ke keganasan.
Neoplasma Maligna
Neoplasma usus halus sangat jarang. Hanya sekitar 2% dari kanker GI. Kanker usus halus
mempunyai beberapa tipe seperti adenokarsinoma, karsinoid, sarkoma, and limfoma. 40% dari
kanker usus halus tersebut merupakan adenokarsinoma yang berasal dari kelenjar mukosa dan
merupakan keganasan tersering daripada jenis lainnya (emedicine, 2008). Adenokarsinoma usus
halus akan lebih banyak dibahas dalam tulisan ini.

Epidemiologi
Insiden puncak neoplasma pada dekade keenam, tetapi tumor dapat timbul di segala usia. Secara
umum, prevalensi kanker usus halus sangat rendah di Asia dan negara yang industrinya kurang
berkembang. Paling banyak ditmukan di negara barat seperti di Amerika 5640 kasus pada tahun
2007, dengan 2940 kasus pada pria dan 2700 pada wanita. Sekitar 1090 orang (570 pria dan 520
wanita) meninggal pada tahun 2007. (Emedicine, 2008)
Angka survival rate 5 tahun pasien dengan adenokarsinoma sekitar 30-35%. Prevalensi
berdasarkan studi di Amerika Serikat menunjukkan angka yang tinggi pada ras kulit hitam
daripada kulit putih dengan perbandingan 10,6:5,6 per juta populasi penduduk. Pria lebih sering
terkena daripada wanita dengan perbandingan 1,4:1. Prevalensi kanker usus halus cenderung
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Diagnosis rata-rata berada pada umur 60 tahun.
Adenokarsinoma cenderung didiagnosis pada orang-orang yang lebih tua lagi. (Emedicine, 2008)

Faktor Risiko
Faktor lingkungan:
Diet meliputi konsumsi lemak, daging merah, garam, makanan yang diasapi. Rokok dan alkohol
juga diduga berkolerasi dengan kanker ini.
Faktor Klinik:
1. Familial Adenomatous Polyposis (FAP)
Banyak peneliti menyebutkan bahwa FAP berisiko terhadap perkembangan adenoma dan
adenocarcinoma pada usus halus. FAP yang menjalani total colonic resection dapat
menyebabkan periampullary adenokarsinoma yang merupakan salah satu penyebab kematian
pasien. Sebagian besar tumor ini membentuk cluster di periampullary duodenum, tapi bisa juga
terjadi di semua bagian usus halus. Familial Adenomatous Poliposis dapat berkembang
menjadi adenoma sepanjang usus halus dan kolon. Ditemukan tingginya kadar p53 yang
diekspresi secara berlebihan pada adenoma displastik, walaupun frekuensi mutasi gen TP53
dan k-ras lebih rendah.
2. Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC)
Pasien dengan HNPCC juga berisiko tinggi terhadap kanker usus halus. Berdasarkan review
baru-baru ini menyebutkan bahwa tumor usus halus pada pasien ini tampak pada usia yang
muda < 30 tahun.

Risikonya sekitar 1-4% atau sekitar 100 kali populasi umum akan

menderita adenokarsinoma pada usus halus akibat penyakit ini. Terjadi pada umur yang lebih
muda dan mempunyai prognosis lebih baik daripada kanker usus halus sporadis. Terjadi
mutasi pada gen HMLH1 dan HMSH2 yang terlibat dalam mismatch repair.
3. Crohns disease
Voon Roon et.al menunjukkan suatu meta analisis terhadap 62.000 pasien Crohns disease
untuk menilai risiko keganasan. Pada meta analisis tersebut ditemukan bahwa Crohns disease
terkait dengan tumor yang terdapat di ileum. Pada Crohn disease, risiko tidak muncul sampai
setelah 10 tahun setelah onset Crohn disease, dan adenocarcinoma muncul setelah 20 tahun
setelah onset Crohn disease

4. Celiac disease
Menurut survey terhadap keganasan usus halus di United Kingdom menyatakan bahwa dari
395 kasus kanker usus halus yang dilaporkan, tercatat 107 lymphoma, 175 adenocarcinoma,
dan 79 carcinoid tumor. Tiga belas persen adenocarcinoma dan 39% lymphoma terkait dengan
celiac disease. Secara histologi, adenocarcinoma pada kasus ini mirip dengan adenocarcinoma
yang terjadi secara spontan. Pada Celiac disease dengan gluten intoleransi berisiko menderita
limfoma dan adenokarsinoma. Defek terjadi pada DNA mismatch repair.
5. Peutz-Jeghers
Peutz-Jeghers merupakan penyakit autosomal dominan yang ditandai oleh multiple
hamartomatous`like polyps pada usus halus dan endapan fokal melanin pada kulit dan
membran mukus. Polip tersebut dapat menimbulkan obstruksi, perdarahan dan intususepsi
usus halus. Pada pasien Peutz-Jeghrs secara sekunder ditemukan germ-line defect di LKB1
tumor suppressor gene. Tapi transformasi keganasan penyakit ini belum jelas. Pada PeutzJegher syndrome berisiko 18 kali terkena kanker ini dibandingkan populasi umum.
Patogenesis dan patofisiologi
Insiden kanker pada usus halus 40-60 kali lebih kecil daripada di kolon. Beberapa teori dalam
literature menyebutkan proses perlindungan usus halus dari karsinogen yaitu:
1. kandungan usus halus adalah liquid dan dengan demikian mempercepat waktu transit, yang
mengakibatkan sedikitnya waktu paparan terhadap karsinogen potensial.
2. pH usus halus cenderung netral ke basa sehingga kurang rentan terhadap aktivitas karsinogen
yang sebagian besar bekerja pada kondisi asam
3. usus halus memiliki reseptor tinggi untuk mengangkut folat, dimana level folat yang tinggi
diyakini memberi efek proteksi melawan karsinogen
4. usus halus proximal mensekresi benzopyrene hydroxylase level tinggi, yang memicu
pemecahan benzopyrene dan mendetoksifikasi karsinogen potensial yang dipakai sebagai
tambahan dalam makanan

5. usus halus memiliki banyak jaringan lymphoid. Adanya sel B dan limfosit khususnya IgA
memiliki sifat imunoprotektif terhadap perkembangan kanker.
6. usus halus mengandung sedikit stem cell, yang merupakan target karsinogen dan dengan
demikian berkuranglah predisposisi perkembangan kanker.
Dengan demikian, proses terjadinya karsinoma terjadi karena tidak terdapatnya mekanisme
proteksi seperti yang dijelaskan di atas. Selain itu, faktanya prevalensi tertinggi kanker terjadi di
duodenum (50% di duodenum, 30% di jejunum, dan 20% di ileum) mengindikasikan substansi
seperti zat kimia yang dicerna dan sekresi pankreatikobilier mungkin bersifat karsinogenik
karena duodenum bagian yang pertama kali terekspos.
Dari segi molekuler :
Ki-ras
Mutasi ki-ras terjadi pada 14-83% kasus adenokarsinoma usus halus. Terdapat persamaan
genetik pada adenocarcinoma usus halus dan usus besar. Mutasi Ki-ras di codon 12 dilihat pada
duodenal adenocarcinoma, yang secara patogenesis mirip dengan yang ada di kanker kolorektal
dan pankreatik. Ki-ras ini mengkode protein binding yang bertindak sebagai pencetus
extracellular growth signal transmission ke nukleus sehingga mengatur transduksi sinyal seluler.
p53
Fungsi p53 untuk memfasilitasi perbaikan DNA saat replikasi atau pada kasus kerusakan yang
hebat ikut mendorong induksi apuptosis. Pada adenokarsinoma usus halus yang bersifat sporadis,
overekspresi atau mutasi p53 bisa ditemukan dengan frekuensi bervariasi dari 20% sampai 50%.
SMAD4/DPC
Protein Smad4 dikode oleh deleted pancreatic carcinoma 4 (DPC4) gene yang dipertimbangkan
sebagai mediator dari supresi pertumbuhan melalui transforming growth factor (TGF). Gen
SMAD4/DPC4 yang sering bermutasi pada pankreatik karsinoma juga menjadi inaktif pada
adenokarsinoma usus halus.
APC
Mutasi APC tumor supressor gen jarang muncul di adenokarsinoma usus halus.

Seperti yang ditunjukkan pada keganasan colorectal dan lainnya, ekspresi berlebih dari p53 in de
novo adenocarcinoma usus halus terkait dengan prognosis yang buruk. Meningkatnya ekspresi cerbB-2, Ki-67 dan tenascin terkait dengan survival rate yang buruk pada pasien duodenal
adenocarcinoma. Gambaran CEA ditemukan pada duodenal adenocarcinoma. CEA dan CA19-9
positif secara mayor ampullary dan setengahnya nonapullary duodenal small bowel carcinoma.
Diagnosis :
Manifestasi klinis
Pada stadium awal bersifat asimptomatik. Gejala yang nonspesifik menyebabkan diagnosis
tertunda sekitar 6-8 bulan. Presentasi tipikal untuk kanker ini seringkali samar-samar dan
nonfokal, seperti yang disebutkan pada beberapa literatur :
1. Setengah dari neoplasma usus halus merupakan peristiwa akut. 77% mengalami obstruksi dan
perforasi. Setengah dari pasien yang menjalani pembedahan gawat darurat disebabkan oleh
obstruksi usus.
2. Tanda dan gejala yang tampak tidak spesifik dan meliputi nyeri abdomen, mual dan muntah,
perut terasa kembung, hilang nafsu makan, kehilangan berat badan, dan perdarahan
gastrointestinal namun jarang terjadi.
Adenocarcinoma lebh sering menampakkan nyeri dan obstruksi jika dibandingkan dengan
sarkoma atau karsinoid. GIST (gastrointestinal stromal tumor) lebih sering terkait dengan
perdarahan gastrointestinal akut daripada lymphoma yang lebih sering menampakkan perforasi
atau obstruksi usus.
Pemeriksaan fisik ditemukan kekakuan dan distensi pada abdomen, peritoneal signs
mengindikasikan perforasi. Jaundice terjadi bila terjadi obstruksi bilier dan metastasis hati jarang
terjadi. Tes darah samar guaiac positif atau perdarahan GI akut menunjukkan perdarahan usus
halus.
Diagnosis dini pada tumor usus halus terhambat oleh keterbatasan gejala klinis dini dan spesifik.
Dengan demikian, para dokter harus memiliki kecurigaan tinggi bagi pasien yang secara
berulang ulang mengalami gejala-gejala nonspesifik dan memerlukan alat tambahan untuk
membantu diagnosis.

Pemeriksaan lab
CBC menunjukkan anemia ringan sehubungan kehilangan darah kronis. Tes fungsi hati mungkin
menunjukkan hiperbilirubinemia sehubungan obstruksi bilier. Peningkatan level transaminase
menunjukkan munculnya metastasis hati. Level antigen karsinoembryonik mungkin meningkat.
Imaging
Plain abdominal x-ray menunjukkan obstruksi usus halus parsial atau komplit. Upper GI series
dengan small-bowel followthrough menunjukkan abnormalitas. Small bowel enteroclysis studies
dilakukan dengan double contrast barium enema. Abdominal CT scan menunjukkan lokasi dan
ukuran dan munculnya metastasis ke hati.
Tes lain
Pendekatan pemeriksaan perdarahan pada neoplasma usus halus sama seperti pendekatan
diagnostik perdarahan GI bawah. Pada endoskopi atas dan bawah yang negatif, red blood cell
scan dan angiografi bisa membantu. Teknologi terbaru menggunakan capsule endoscopy dengan
pil yang memiliki video kamera kecil.
Penemuan patologi anatomi
Kebanyakan adenokarsinoma usus halus merupakan soliter, sesile (melekat pada dasarnya)
lession dan ditemukan acid mucin positif. Penemuan tipe adenokarsinoma (40%) meliputi Grade
I (well differentiated, 0-42%), grade II (moderately differentiated, 24-45%), dan grade III (poorly
differentiated, 34-42%). Dalam duodenum 15% tumor ini terletak di bagian pertama, 40% di
bagian kedua, dan 45% di duodenum distal. Sebagian besar tumor ini bersifat sporadic,
trekecuali familial adenomatous polyposis. Secara morfologi, adenokarsinoma usus halus
tumbuh dalam pola melingkar mirip sebuah popok atau sebagai sebuah masa polipoid mirip
jamur, serupa dengan kanker kolon. Sebagian besar karsinoma tumbuh di duodenum termasuk
ampula Vater.

Diagnosis banding penyakit ini meliputi neoplasma benigna usus halus, adenokarsinoma kanker
kolon, Crohn disease, kanker gaster, dan kronik gastritis.

Staging
Staging radiologi kanker menggunakan CT dan MRI. Sistem staging kanker yang digunakan saat
ini adalah TNM system. Tumor primer (T) dikategorikan berdasarkan kedalaman penetrasinya
dan keterlibatan struktur didekatnya ataupun lokasi yang jauh. Tidak ada pembagian dalam
kategori N berdasarkan jumlah node yang terlibat. Metastase hematogen ataupun peritoneal
diberi kode M1. Kanker usus halus dapat bermetastase ke organ lain, khususnya liver ataupun
permukaan peritoneal.
Staging didasarkan pada American Joint Committee on Cancer staging system.
Tumor Primer (T)
TX

Tumor primer tidak dapat dideteksi

T0

Tidak ada bukti tumor primer

TIS

Tumor in situ

T1

Tumor menginvasi lamina propria atau submukosa

T2

Tumor menginvasi muscularis propria

T3

Invasi tumor melalui muscularis propria ke dalam subserosa atau ke nonperitonealized


perimuscular tissue (mesentery or retroperitoneum) dengan perluasan 2cm

T4

Perforasi tumor ke visceral peritoneum atau secara langsung menginvasi organ lain
(meliputi usus kecil, mesenterium, retroperitoneum lebih dari 2 cm, serta invasi ke
pancreas)

REGIONAL LYMPH NODES (N)


NX

Regional lymph node tidak dapat dideteksi

N0

Tidak ada metastase ke lymph node

N1

Metastase ke lymph node

DISTANT METASTASIS (M)


MX

Metastase jauh tidak dapat dideteksi

M0

Tidak ada metastase jauh

M1

Ada metastase jauh

Stage T

TIS

N0

M0

T1

N0

M0

T2

N0

M0

T3

N0

M0

T4

N0

M0

III

AnyT N1

M0

IV

AnyT Any N Ml

II

Manajemen
Modalitas pembedahan merupakan terapi yang penting seperti pada semua jenis keganasan
lainnya ditambah medikasi, kemoterapi dan radioterapi.
Medikasi seperti 5-fluorouracil (5-FU) yaitu Adrucil dapat dikombinasi dengan irinocetan atau
oxaliplatin. Obat lain seperti Leucovorin (Wellcovorin) dapat digunakan. Kemoterapi dan
radioterapi dapat berguna sebagai prosedur paliatif penghilang nyeri dan gejala obstruktif pada
penyakit lanjut. Pembedahan meliputi wide local excision pada lesi di distal duodenum, jejunum,
atau ileum. Palliative surgery juga diinikasikan pada obstruksi intestinal.
Prognosis
Faktor yang berkorelasi dengan survival rate meliputi umur pasien, letak tumor, stadium klinis,
dan apakah reseksi kuratif telah dilakukan. Selain itu faktor prognosis seperti margin bedah
positif, penyebaran vena ekstramural, adanya metastase ke lymph node, dan diferensiasi tumor.

Eksisi luas en bloc menghasilkan angka harapan hidup 5 tahun sebesar 70%. 5 tahun survival
rate setelah terdiagnosa adenokarsinoma usus halus pada stage I meliputi 65%, pada stage I
sebesar 48%, pada stage III sebesar 35%, pada stage IV sebesar 4%.

POLIP KOLON
1.

DEFINISI

1.1

DEFINISI POLIP KOLON


Istilah polip kolon dalam klinik dipakai untuk menggambarkan tiap kelainan/lesi yang nampak

jelas dan menonjol di atas permukaan mukosa yang mengelilinginya (Sudoyo dkk, 2006). Namun secara
patologis polip berarti suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus (Kumar dkk,
2007).
Bentuk, ukuran, dan kontur permukaan polip dapat berbeda-beda. Ada yang bertangkai akibat
terjadi traksi pada massa disebut pedunculated polyp, ada juga polip yang memiliki dasar lebar dan tidak
bertangkai disebut sessile polyp. Secara umum gambaran makroskopis beberapa jenis polip dapat
diketahui, namun untuk mengetahui secara pasti jenis polip dibutuhkan penerapan ilmu histologi. Jenisjenis polip berbeda secara klinis dan berpotensi untuk menjadi ganas. Termasuk polip kolon-rektum yang
paling sering ditemukan di usus besar.
Mengenal polip pada usus besar lebih jauh lagi, mereka terbagi menjadi polip non-epitelial dan
polip epitelial. Polip non-epitelial berasal dari jaringan limfoid, otot halus, lemak dan saraf. Sedangkan
polip epitelial merupakan polip yang sering kali ditemukan dan berasal dari jaringan epitel. Secara umum
polip epitel terbagi menjadi 4 golongan : polip adenomatosa, hamartoma, inflammatory polyps (polip
yang disebabkan oleh peradangan), dan polip hiperplastik. Untuk lebih lanjut akan dibahas lebih
terperinci mengenai adenomatous polyp/polip adenomatosa yang terdapat di kolon, sebab golongan ini
tergolong polip neoplastik yang memungkinkan untuk berkembang menjadi suatu keganasan (Sudoyo
dkk, 2006).
1.2

DEFINISI POLIP ADENOMATOSA/ADENOMA KOLON


Polip adenomatosa atau yang dikenal dengan sebutan adenoma, merupakan suatu neoplasma

jinak yang berasal dari epitel mukosa. Polip semacam ini biasanya tersusun atas sel-sel kripta yang
bermigrasi ke permukaan dan terakumulasi berlebihan menuju lumen (Sudoyo dkk, 2006).
Semua lesi adenomatosa dapat terjadi akibat proliferasi dan displasia epitel, yang mungkin
bersifat ringan sampai sedemikian berat, sehingga mencerminkan transformasi dari jinak menjadi
karsinoma. Polip adenomatosa dibagi menjadi tiga subtipe berdasarkan struktur epitelnya :

1.2.1

Adenoma Tubular
Adenoma tipe ini dapat timbul dimana saja di kolon, tetapi sekitar separuh kasus ditemukan
di rektosigmoid, dengan proporsi meningkat seiring usia. Sekitar separuh kasus adenoma
timbul tunggal, sisanya terbentuk dua atau lebih lesi yang tersebar acak. Adenoma terkecil
bersifat sessile; lesi yang berukuran 0,3 cm dapat diidentifikasi dengan endoskopi. Diantara
adenoma tubular yang garis tengahnya hingga 2,5 cm, sebagian besar memiliki tangkai
ramping dengan panjang 1-2 cm dan kepala mirip buah frambus. Secara histologis tangkai
terbungkus oleh mukosa kolon normal tetapi kepala terdiri atas epitel neoplastik, membentuk
kelenjar bercabang, yang dilapisi oleh sel jangkung, hiperkromatik, sedikita acak, dan
mungkin mengeluarkan musin. Pada sebagian kasus terdapat fokus kecil arsitektur vilosa.
Pada lesi yang jelas jinak, kelenjar bercabang dipisahkan oleh lamina propria, dan derajat
displasia atau atipia sitologiknya ringan. Namun semua tingkatan displasia dapat ditemukan,
berkisar hingga kanker yang terbatas di mukosa (karsinoma intramukosa) atau karsinoma
invasif yang meluas ke dalam submukosa tangkai. Yang sering ditemukan di setiap adenoma
adalah erosi superfisial epitel akibat trauma mekanis.

1.2.2

Adenoma Vilosa
Adenoma tipe vilosa merupakan polip epitel yang lebih besar dan lebih merugikan.
Cenderung timbul pada usia lanjut, terutama di rektum dan rektosigmoid, walaupun dapat
ditemukan dimana saja. Lesi umumnya berupa masa tidak bertangkai (sessile), bergaris
tengah hingga 10 cm, seperti kembang kol yang menonjol 1-3 cm di atas mukosa normal
disekitarnya. Histologisnya berupa tonjolan mukosa dan viliformis mirip daun pakis yang
dilapisi oleh epitel kolumnar displastik, kadang-kadang sangat tidak teratur, dan kadangkadang bertumpuk-tumpuk. Semua tingkatan displasia dapat ditemukan, dan karsinoma
invasif ditemukan pada hampir 40% lesi, yang frekuensinya berkaitan dengan ukuran polip.

1.2.3

Adenoma Tubulovilosa
Tipe ini memperlihatkan campuran daerah tubular dan vilosa. Adenoma ini juga merupakan
bentuk intermediat antara lesi tubular dan vilosa dalam hal frekuensi memiliki tangkai atau
tidak bertangkai, ukuran, derajat displasia, dan risiko mengandung karsinoma intramukosa
atau invasif (Kumar dkk, 2007).

2.

EPIDEMIOLOGI
Karena insidensi adenoma di usus halus sangat rendah, pembahasan difokuskan pada adenoma

yang timbul pada kolon. Kasus adenoma kolon tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Baik laki-laki
dan perempuan terkena sama seringnya untuk kasus tersebut (Kumar dkk, 2007).
Di Amerika Serikat ditemukan sekurangnya satu kasus adenoma yang terjadi pada sebagian
populasi dewasa (Rubin, 2001). Secara umum jika ditinjau dari rentang usia, prevalensi adenoma kolon
adalah 20% hingga 30% terjadi pada usia kurang dari 40 tahun, kemudian meningkat 40% hingga 50%
setelah usia 60 tahun (Kumar dkk, 2007). Tidak mengherankan apabila kasus adenoma kolon di Amerika
Serikat akan meningkat sebesar dua pertiga dari biasanya pada orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun
(Rubin, 2001).
Adenoma kolon memiliki prevalensi yang tinggi di negara-negara barat. Telah diidentifikasi
bahwa faktor diet memberikan kontribusi terhadap perkembangan adenoma. Temuan tersebut berasal dari
hasil identifikasi pada dua populasi yang memiliki kesamaan dari segi lingkungan dan sama-sama
berisiko untuk mengalami polip. Selain itu masih banyak lagi faktor lain yang memberikan kontribusi
terhadap kejadian polip adenoma yang juga mempengaruhi persebaran penyakit tersebut (Rubin, 2001).
Adenoma sporadic memiliki predisposisi familial yang menyebabkan peningkatan risiko empat
kali lipat untuk adenoma pada keluarga dekat dan peningkatan empat kali lipat risiko karsinoma
kolorektum pada semua pasien dengan adenoma (Kumar dkk, 2007). Di Indonesia sendiri kasus adenoma
yang sifatnya familial cukup jarang ditemukan, khusunya poliposis kolon yang diturunkan sesuai dengan
hukum Mendel. Bila salah satu dari orang tua menderita poliposis, kira-kira 50% dari keturunannya akan
menderita penyakit ini (Sudoyo dkk, 2006).
3.

ETIOLOGI DAN PATHOGENESIS


Instabilitas kromosom (Cromosomal Instability atau CIN) yang merupakan hasil perubahan-

perubahan besar pada kromosom seperti translokasi, amplifikasi, delesi dan berbagai bentuk kehilangan
alel lainnya disertai dengan hilangnya heterozigisitas (LOH) pada DNA yang berdekatan dengan lokasi
kelainan-kelainan tersebut, menyebabkan akumulasi bertahap mutasi di serangkaian onkogen dan gen
penekan tumor (Sudoyo dkk, 2006).
Pada awalnya terjadi proliferasi epitel kolon lokal. Hal ini diikuti dengan pembentukan adenoma
kecil yang secara progresif membesar, menjadi lebih displastik, dan hingga pada akhirnya lesi jinak ini
dapat berkembang menjadi kanker invasif.

Proses genetik yang berperan dalam jalur ini adalah :


1. Hilangnya Fungsi Gen Penekan Tumor Adenomatous Poliposis Coli (APC)
Hal ini diperkirakan merupakan kejadian paling awal dalam pembentukan adenoma. Misalnya
pada familial adenomatous polyposis/sindrom poliposis (FAP), mutasi sel germinativum di gen
APC pada kromosom 5q21 menyebabkan keberadaan APC beserta fungsinya lenyap, sehingga di
kolon dapat terbentuk ratusan adenoma yang bisa berkembang menjadi kanker. Dimana diagnosis
hanya membutuhkan jumlah minimum 100 polip pada pasien. Sebagian besar polip adalah
adenoma tubular, terkadang polip juga memperlihatkan gambaran vilosa. FAP biasanya akan
nampak pada masa dewasa muda atau awal dewasa.
Gen APC yang sering hilang pada neoplasia kolon, menimbulkan efek antiproliferasi melalui cara
yang tidak lazim. Ini merupakan suatu protein sitoplasma yang fungsi utamanya mengatur kadar
intrasel -katenin, suatu protein yang memiliki banyak fungsi. Di satu pihak -katenin berikatan
dengan bagian sitoplasma dari E-kaderin, suatu protein permukaan yang mempertahankan
perlekatan antarsel. Di pihak lain, -katenin dapat mengalami perpindahan ke inti sel dan
mengaktifkan proliferasi sel.
-katenin adalah suatu komponen penting dari apa yang disebut sebagai jalur sinyal WNT. WNT
adalah suatu faktor larut yang dapat memicu proliferasi sel. WNT melakukannya dengan
berikatan pada reseptornya dan menyalurkan sinyal yang mencegah penguraian -katenin. katenin kemudian dapat masuk ke dalam inti sel dan bekerja sebagai activator transkripsi bersama
dengan molekul lain yang disebut TcF. Pada sel yang tenang, yang tidak terpajan WNT, -katenin
di sitoplasma terurai oleh kompleks destruksi, yang APC-nya merupakan salah satu bagian
integral. Pada sel normal dalam keadaan istirahat, APC mencegah sinyal -katenin dengan
mendorong penguraian zat tersebut. Dengan hilangnya APC, penguraian -katenin terhambat dan
respon terhadap sinyal WNT terus diaktifkan. Hal ini menyebabkan terjadinya transkripsi gen
yang mendorong pertumbuhan, seperti siklin D1 dan MYC.
APC berperilaku sebagai suatu gen penekan tumor. Orang yang lahir dengan satu alel mutan
membentuk ratusan sampai ribuan polip adenomatosa di kolon pada masa remaja atau usia 20-an
tahun. Satu atau lebih polip, hampir selalu berubah ganas. Seperti gen penekan tumor lainnya,
kedua salinan gen APC harus lenyap, agar fungsi APC dapat kembali sebelum adenoma dapat
terbentuk.

2. Mutasi pada proto onkogen selular K-RAS


Sekitar 30% dari semua tumor manusia mengandung versi mutan gen RAS. Pada beberapa tumor
seperti adenoma kolon dan kanker kolon, insiden mutasi RAS bahkan lebih tinggi. Mutasi gen
RAS adalah kelainan onkogenik yang paling umum pada tumor manusia.
Famili protein RAS berikatan dengan nukleotida guanosin (guanosin trifosfat [GTP] dan
guanosin difosfat [GDP]). Protein RAS normal berpindah bolak-balik antara keadaan tereksitasi
(menyalurkan sinyal) dan keadaan tenang (inaktif). Pada keadaan inaktif, protein RAS berikatan
dengan GDP. Saat sel terangsang oleh factor pertumbuhan maka RAS inaktif akan aktif dengan
menukar GDP untuk GTP. RAS aktif kemudian mengaktifkan berbagai regulator proliferasi di
bagian hilir, termasuk jenjang mitogenik RAF-MAP kinase, yang membanjiri inti sel dengan
sinyal untuk proliferasi sel. Namun keadaan tereksitasi penyalur sinyal pada protein RAS normal
berlangsung singkat karena aktivitas intrinsic guanosin trifosfatase (GTPase) menghidrolisis GTP
menjadi GDP, membebaskan satu gugus fosfat, dan mengembalikan protein ke keadaan basalnya
yang inaktif. Aktivasi GTPase pada protein RAS aktif diperkuat secara dramatis oleh suatu famili
protein pengaktif-GTPase (GAPs). GAPs berfungsi sebagai rem molecular yang mencegah
pengaktifan RAS tak terkontrol dengan mendorong hidrolisis GTP menjadi GDP. Protein RAS
mutan dapat berikatan dengan GAPs, tetapi aktivasi GTPase-nya tidak mengalami penguatan.
Oleh karena itu, RAS mutan terperangkap dalam bentuk aktif (terikat dengan GTP), dan sel
didorong untuk percaya bahwa proliferasi harus terus berlanjut. Dapat disimpulkan bahwa mutasi
pada protein RAS akan sama dengan akibat mutasi di GAPs yang gagal menahan protein RAS
normal (Kumar dkk, 2007).
3. Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor
tumor p53 (Sudoyo dkk, 2006).

4. MANIFESTASI KLINIS

Bila polipnya kecil, sering tanpa keluhan. Apabila sampai terjadi perdarahan akan muncul
gejala anemia (anemia mikrositik), hematokezia dan terkadang nyeri di perut. Bila polip sampai
menumbulkan obstruksi, maka akan terjadi perubahan defekasi (Sudoyo dkk, 2006). Villous
adenoma paling sering menimbulkan keluhan karena sering terjadi pendarahan rektum. Bila
vilousnya agak ke distal dia bisa mengeluarkan sekret yang berisi sejumlah besar materi mucoid
yang kaya protein dan potasium, sehingga mengakibatkan penderita mengalami hipokalemia dan
hipoproteinemia (Kumar dkk, 2007).

5. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa factor yang berpengaruh terhadap munculnya polip adenoma, diantaranya :
5.1 Faktor Lingkungan
1.

Diet
Asupan makanan yang miskin akan serat telah diketahui sebagai factor penyebab
neoplasma kolon termasuk polip adenoma. Akan tetapi, laporan terkini yang berasal dari
National Research Council Committee on Diet, Nutrition, and Cancer menyatakan bahwa
tidak ada bukti ilmiah yang mengindikasikan bahwa diet yang cukup akan serat dapat
menjadi faktor protektif melawan neoplasma pada manusia.
Disamping itu peningkatan jenis konsumsi lemak hewani yang berasal dari daging merah
disinyalir memiliki keterkaitan terhadap neoplasma di kolon, dibandingkan dengan yang
tidak.
Meskipun anti-oksidan seperti vitamin A, E, dan C dianggap dapat menurunkan risiko
kejadian neoplasia dibandingkan dengan tidak mengkonsumsinya, namun sebuah
penelitian prospektif gagal membuktikan penurunan insiden polip pada kelompok yang
mendapat suplemen vitamin tersebut

2.

Usia
Umur seseorang merupakan faktor risiko penting dalam kasus neoplasma pada kolon.
Seseorang akan memiliki risiko yang kecil untuk mengalami polip adenoma pada usia di
bawah 40 tahun, tapi akan meningkat risikonya pada usia 50 tahun. Lalu risiko akan
meningkat menjadi dua kali lipat dalam setiap dekadenya hingga mencapai usia
maksimal 75 tahun.

5.2 Faktor Predisposisi


1.

Sindrom poliposis herediter


Kelainan genetik ini sangat terkait dengan neoplasma yang terjadi di bagian kolon.
Dimana lesi pada kelainan ini memiliki keterkaitan yang lebih tinggi terhadap polip
adenoma untuk menjadi kanker kolon. Bila kelainan seperti ini ada pada salah satu orang
tua, maka akan meningkatkan risiko pada keturunannya mendapat polip pada kolon
(Rubin, 2001).

6.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditentukan lewat beberapa hal berikut :
1. Manifestasi Klinis
Dengan memperhatikan gejala dan tanda seperti : anemia (anemia mikrositik), hematokezia, nyeri
di perut, dan perubahan defekasi bila polip sampai menimbulkan obstruksi.
2. Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil normal.
Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui darah samar feses atau
anemia defisiensi besi.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon dengan
spesifisitas 85%. Bagian rekto sigmoid sering sulit untuk divisualisasi. Oleh karena itu
pemeriksaan rektosigmoidoskopi perlu dilakukan. Bilamana ada lesi yang mencurigakan, maka
pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium dengan teknik
kontras ganda merupakan alternative lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak
bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon
dibalik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.
4. Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien yang diperkirakan ada polip kolon.
Kolonoskopi mempunyai sensitivitas (95%) dan spesifisitas (99%) paling tinggi dibandingkan
dengan modalitas lain untuk mendeteksi polip adenomatosa.
Berhubungan dengan kemunkinan keganasan, tiap polip perlu diangkat dan dikirim ke bagian
patologi anatomi untuk pemeriksaan, termasuk polip yang berukuran kecil. Oleh karena itu
dibutuhkan pengerjaan polipektomi endoskopi dalam manajemen kasus polip adenoma.
Sejak tahun tujuh puluhan, polipektomi secara endoskopik (kolonoskopi) dapat dikerjakan
dengan koagulasi-elektris. Prosedur pengerjaan polipektomi cukup aman dan tidak sulit
dikerjakan oleh seorang ahli endoskopi yang terlatih dan berpengalaman. Polipektomi juga dapat
digunakan sebagai alat terapi, selain untuk mendiagnosis. Sebaiknya polip tidak dibiopsi karena
spesimennya kurang representatif.

5. Evaluasi Histologi
Adenom diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histology yang dominan. Paling sering adalah
adenoma tubular (85%), adenoma tubulovilosum (10%), dan adenoma serata (1%). Temuan sel
atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan berat. Gambaran atipik berat
menunjukkan adanya focus karsinomatosus namun belum menyentuh membrane basalis.
Bilamana sel ganas menembus membrane basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut
karsinoma intramukosa. Secara umum, risiko displasi berat atau adenokarsinoma berhubungan
dengan ukuran polip dan dominasi jenis vilosum (Sudoyo dkk, 2006).
7.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari adenoma atau polip adenomatosa adalah beberapa polip nonneoplastik

seperti polip hiperplastik, polip hamartomatosa (polip juvenilis dan polip Peutz-Jeghers), polip inflamasi,
polip limfoid dan lesi epitel neoplastik ganas seperti adenokarsinoma kolon.
8.

MANAJEMEN
8.1 POLIPEKTOMI
Sebelum polipektomi, usus harus dibersihkan dengan baik. Usus yang tidak bersih biasanya
banyak mengandung gas-gas seperti hydrogen dan metan yang dapat meledak bila terkena aliran
listrik. Premedikasi biasanya tidak diperlukan, tapi kadang-kadang dibutuhkan diazepam atau
buskopan intravena. Mengawali polipektomi, endoskop dimasukkan sampai ke dekat polip yang akan
dikeluarkan. Bila lebih dari satu polip yang akan diangkat dalam satu tahap, maka pengerjaan dimulai
dari polip yang letaknya lebih proksimal. Kolon selanjutnya dikembangkan dengan suatu inert gas
seperti CO2 yang tidak mudah terbakar untuk menghindari eksplosi gas-gas yang ada di usus besar.
Dengan menggunakan metal snare polip ditangkap dan dijerat pada tempat yang tidak terlalu dekat
dasarnya karena bahaya heat necrosis pada dinding usus, akan tetapi juga tidak boleh terlalu tinggi dan
perlu cukup ke bawah supaya sebanyak mungkin dapat terpotong tangkainya. Kemudian dengan aliran
listrik polip dapat dipotong.
Cara ini efektif untuk mengangkat polip bertangkai besar dengan diameter 2 cm, tapi tidak
untuk yang berukuran lebih besar dari 2 cm sampai 4 cm karena sulit ditangkap dengan snare. Untuk
mengangkatnya dapat menggunakan cara polipektomi secara piece meal (diangkat sedikit demi
sedikit) bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. Bisa juga menggunakan
cara bertahap, untuk mengeluarkan polip yang sudah dipotong dapat dilakukan dengan penyedotan
pada ujung endoskop. Kelemahan dari cara ini adalah sering kali polip yang akan diangkat terlepas

sehingga harus mencarinya lagi. Jadi, dibutuhkan retrieval forceps atau snare tanpa aliran listrik untuk
menangkap polip. Suatu adenoma villosa yang lebih besar dari 2 cm lebih baik tidak dikeluarkan
secara polipektomi endoskopik, tetapi dikeluarkan dengan cara reseksi oleh ahli bedah.
Komplikasi yang bisa terjadi pada polipektomi endoskopik adalah perdarahan, perforasi,
reflex vago-vagal, dan eksplosi bila sebelumnya usus tidak dibersihkan. Komplikasi berupa perdarahan
ataupun perforasi akan berkurang bila memperhatikan semua petunjuk-petunjuk teknis.
Bila polip ternyata ditemukan mengganas, maka dibutuhkan reseksi. Bila hanya in situ tidak
perlu melakukan hal tersebut, hanya membutuhkan control endoskopi secara teratur. Pada adenoma
walaupu tidak ganas, diperlukan juga control endoskopi, namun tidak perlu dilakukan secara teratur.
Cukup sekali dalam setahun. Polipektomi memiliki banyak keuntungan antara lain :
1.

mencegah perdarahan

2.

mencegah terjadinya suatu keganasan, dan

3.

tidak jarang dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis juga pengobatan dini karsinoma kolon
atau rectum (Sudoyo dkk, 2006).

8.2 OPERASI
Indikasi untuk melakukan hemikolektomi adalah bila terdapat tumor di caecum, kolon
asenden, dan kolon transfersum. Kemudian untuk lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden diatasi
dengan hemikolektomi kiri.
Tumor di sigmoid dan rectum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low
Anterior Resection). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5%, tetapi bila dikerjakan secara
emergensi maka angka mortalitas akan semakin tinggi (Sudoyo dkk, 2006).
9. PROGNOSIS
Risiko kanker berkaitan secara langsung dengan jumlah adenoma sehingga pasien dengan
sindrom poliposis familial, hampir pasti mengidap kanker. Pasien yang mengikuti program secara teratur
mencari ada tidaknya adenoma, dan mengangkat semua adenoma yang teridentifikasi, dapat mengurangi
risiko mengalami kanker kolorektum (Kumar dkk, 2007).

ANAL CANAL CARCINOMA


Epidemiology
Insiden tiap tahun dari anal canal carcinoma di United State adalah 1,3 per 100.000 orang pada
pria berkulit putih dan 1,8 per 100.000 orang pada wanita berkulit putih. Resiko dari anal canal
carcinoma meningkat. Umur untuk diagnosis yaitu 62 tahun, tetapi banyak kasus yang terlihat
pada penderita HIV yang muda. Pada wanita biasanya terdapat lesi di bagian atas dentate line.
Pada pria terlihat bagian distal dari dentate line. Insiden anal canal tertinggi pada populasi
perkotaan daripada populasi pedesaan.
Etiologi dan Faktor Resiko
Insiden kanker anal canal dan lesi (seperti neoplasia intraepitel anal) meningkat pada penderita
HIV-positif. Resiko pada orang dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah
1:1000. Meningkatnya resiko ditemukan dalam pria homoseksual muda yang tidak peduli
terhadap status HIV. Aktivitas seksual anal ini dikenal sebagai faktor etiologi. Hubungan Orang
dengan positif HIV samadengan immunosuppresi kronik berhubungan dengan meningkatnya
resiko kanker anal canal. HPV merupakan agen transmisi secara seksual yang juga terlibat.
Subtipenya HPV 16, 18, 31, 33, dan 35 berhubungan dengan keganasan dan dysplasia. Kondisi
premalignan dari cervical intraepithelial neoplasia (CIN) berhubungan dengan infeksi HPV juga
terjadi dengan infeksi HPV yang melibatkan anus (anal squamous intraepithelial lesions
[ASILs]). Dalam CIN, ASILs dapan menjadi tingkat rendah ataupun tingkat tinggi secara
morfologi.
HPV-6 dan HPV-11 mempunyai hubungan dengan benign genital condylomata. Agen infeksi lain
juga berhubungan dengan kanker anal, seperti sfilis dan gonore pada pria serta infeksi klamidia
dan herpes simplex tipe 2 pada pria dan wanita. Ini terlihat bahwa kanker dari traktus genitalia
merupakan bagian factor etiologi dari kanker anal. Sebuah hubungan antara kanker anal dan
partner seksual yang meningkat terlihat pada wanita, dan pasien kanker anal mempunyai
diagnosis sebelumnya yaitu CIN.
Merokok dan kanker anal mempunyai hubungan dalam beberapa studi. Kanker anal canal
berkorelasi positif dengan jumlah rokok yang dihisap per hari dan durasi dari merokok.
Kemungkinan adanya kondisi jinak yang mengarah pada perkembangan kanker anal. Kerusakan

molekul juga merupakan bagian penting dalam penyebab kanker anal canal yaitu kerusakan
protein p53. Overekspresi dari c-myconcogene juga mempengaruhi di dalam pathogenesis dari
kanker sel skuamosa daerah anal.
Faktor resiko lainnya adalah berumur lebih dari 50 tahun, kemerahan, pembengkakan, dan lukaluka anal, serta mempunyai anal fistula.
Riwayat Alamiah
Kanker anal merupakan penyakit locoregional, yaitu meluas sampai mengelilingi jaringan dan
penyebaran limpa sampai di nodul inguinal dan pelvic. Metastase jauh lewat hematogen
kejadiannnya jarang terjadi. Kanker anal canal 75% berupa lesi dan hanya 25% berupa tumor
pada margin anal. Penyebaran lokal dari kanker ini berupa pembesaran spincter anal atau
perluasan jaringan lunak. Penyebaran juga terjadi sampai ke rectum dan perianal. Invasi di
vaginal septum sering terjadi daripada invasi di kelenjar prostate karena pada pria terdapat
Denonvillier's fascia yang bekerja sebagai barrier.
Penyebaran secara limpa tergantung dari lokasi anatomi tumor primernya. Tumor yang timbul
dari distal ke dentate line mengalir ke nodul inguinal (superficial atau dalam) dan diatas dentate
line mengalir ke system iliaka internal dan dengan banyak lesi proksimal mengalir ke mesentrik
inferior. Metastase jauh terjadi ke beberapa organ, tapi liver dan paru kebanyakan yang terlibat.
Metastase jauh jarang terjadi karena kanker anal canal terjadi melalui proses locoregional.
Resiko metastase jauh mengalami peningkatan tergantung dari jumlah dari nodul regional yang
terlibat.
Morfologi :
Makroskopis:
Awalnya ulkusnya kecil dan berbatas jelas,ketebalannya irregular, terjadi kronik
dermatitis.berkembang menjadi cancer:
Ulkusnya besar dan luas
Tidak berbatas tegas
Sel eosinophiliknya pucat
Terdapat infiltrate limfosit pada otot sphincher

Presentasi Klinis dan Diagnosis


Kebanyakan pasien dengan kanker anal pertama terlihat adanya pendarahan rectum. Kejadian ini
terjadi pada 50% pasien, 30% ada sensasi massa rectal.
Orang dengan kanker anal sering mengalami pendarahan sewaktu buang a ir besar, rasa sakit,
dan kadang-kadang gatal seputar dubur. Sekitar 25% dari orang dengan kanker anal tidak
mempunyai gejala. Dalam keadaan ini, kanker ditemukan hanya selama pemeriksaan rutin.
Pada interval 4 6 bulan terjadi onset dari keluhan dan diagnosis (50% dari pasien). Evaluasi
pada setiap pasien dengan lesi anal canal disarankan. Evaluasi ini seperti DRE, palpasi nodul
inguinal, pemeriksaan anoscopic dengan biopsy lesi, termasuk pembesaran kelenjar limfe yang
mungkin meyebabkan tumor atau hyperplasia yang aktif kembali terjadi pada 50% nodul yang
teraba. CT scan dan MRI digunakan untuk menilai nodul pelvic dan inguinofemoral.
Pemeriksaan USG rectum merupakan pemeriksaan akurat yang digunakan untuk menilai
kedalaman penetrasi tumor sampai dinding anal. Ini juga melayani visualisasi nodus limfe lokal.
Ct sacan abdomen dan pelvic dan radioghrapi dada disarankan untuk menilai panyakit
locoregional dan metastase jauh. PET scan disarankan juga untuk staging. Test HIV juga
disarankan pada pasian dengan factor resiko seperti riwayat seksual dan riwayat penyalahgunaan
obat.
Tes-tes yang memeriksa rectum dan anus digunakan untuk mendeteksi dan mendiagnosa kanker
anal.
Tes-tes dan prosedur-prosedur berikut mungkin digunakan:

Pemeriksaan fisik dan sejarah: Pemeriksaan dari tubuh untuk memeriksa tanda-tanda
umum dari kesehatan, termasuk memeriksa tanda-tanda dari penyakit, seperti gumpalangumpalan atau apa saja yang terlihat tidak biasa. Sejarah dari kebiasaan-kebiasaan
kesehatan pasien dan penyakit-penyakit dan perawatan-perawatan yang lalu akan juga
diambil.

Digital rectal examination (DRE): Pemeriksaan dari anus dan rectum. Dokter atau
suster memasukan jari tangan yang bersarung tangan dan dilumasi kedalam bagian bawah
dari rectum untuk merasakan gumpalan-gumpalan atau apa saja yang nampak tidak biasa.

Anoscopy: Pemeriksaan dari anus dan rectum bagian bawah menggunakan tabung yang
pendek dan diterangi yang disebut anoscope.

Proctoscopy: Pemeriksaan dari rectum menggunakan tabung yang pendek dan diterangi
yang disebut proctoscope.

Endo-anal atau endorectal ultrasound: Prosedur dimana ultrasound transducer (probe)


dimasukan kedalam anus atau rectum dan digunakan untuk memantulkan gelombanggelombang suara yang bertenaga tinggi (ultrasound) dari jaringan-jaringan internal atau
organ-organ dan membuat gema-gema. Gema-gema (echoes) membentuk gambaran dari
jaringan-jaringan tubuh yang disebut sonogram.

Biopsi: Pengangkatan dari sel-sel atau jaringan-jaringan sehingga mereka dapat dilihat
dibawah mikroskop oleh pathologist untuk memeriksa tanda-tanda dari kanker. Jika area
yang abnormal terlihat sewaktu anoscopy, biopsi mungki dilakukan pada saat itu.

RT=radioterapi; 5-FU=5-fluorouracil

DIAGNOSIS KERJA
Komponen penting dalam evaluasi
o Riwayat
o Pemeriksaan fisik
Nodul limfe regional
Organ sekitarnya yang terinvasi langsung
Daerah anogenital untuk keganasan berulang
o Proctoscopy
o Bopsi tumor primer
o FNAB atau eksisi dari pembesaran nodul inguinal
o Radioghrapi dada
o CT abdomen dan pelvis
o Kimia ginjal dan hati
o CBC
o Uji antibody HIV, jika ada faktor resiko
Penunjang lainnya

Colonoscopy atau dengan kontras barium enema (untuk menyingkirkan

sumber lain dari pendarahan traktus genitalia bawah)


Bipedal lymphangioghrapy

STAGING
Staging dari kanker anal canal berdasarkan pada American Joint Committee on Cancer (AJCC)
tumor-node-metastasis (TNM) staging system. Klasifikasi TNM untuk tumor berdasarkan pada
temuan klinis atau histopatologi atau keduanya dengan hasil dari radiograpi.
PROGNOSIS
Kombinasi radiasi dengan kemoterapi, atau radiasi dengan pembedahan, menyembuhkan banyak
kanker anal, dengan 70% atau lebih banyak orang yang hidup terus lebih dari 5 tahun.
Pembedahan yang lebih menyeluruh kadang-kadang diperlukan jika hasil peninjauan biopsi yang
dilakukan setelah pengobatan pertama menunjukkan kambuhnya kanker.
Prognosis (kesempatan penyembuhan) tergantung pada yang berikut:

Ukuran dari tumor.

Dimana tumor berada pada anus.

Apakah kanker telah menyebar ke nodul-nodul limfa.

DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku
Ajar Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. Jakarta Pusat. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7
Volume 1
Bruce Furie, MD, Peter A. Cassileth, MD, Michael B. Atkins, MD, Robert J. Mayer, MD. 2003.
Clinical Hematology and Oncology Presentation, Diagnosis, and Treatment. Penerbit
Churchill Livingstone. Philadelphia, Pensylvania, USA
Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams & Wilkins:
USA.p 201
Chen SC, Yen ZS, Wang HP.dkk. Ultrasonography in Diagnosing Colorectal Cancers in Patiens
Presenting with Abdominal Distention. Medical Journal of Australia. (online). 2006 jun 19;
184(12):614-6, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).
Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2001. Cancer Principles & Practice of Oncology 6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. USA.
Emanuel Rubin. 2001. Essential Pathology Third Edition. Penerbit Lippincott Williams &
Wilkins Philadelphia, Pensylvania, USA
Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A reanalysis of
systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2): 380-4,
(www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).
Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of colorectal
cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5 suppl): American
Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).
Syah E. 2002. Karsinoma Rekti. referat sub bagian bedah digestif: jakarta.
Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, (http://www.apocp.org/
cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 13 September 2009).
Semmens JB et al. A Population Based Study of the Incidence, Mortality and Outcomees in
Patient Following Surgery for Colorectal Cancer in Western Australia. Aust N Z J Surg,
(Online), 2000 Jan; 70(1):11-8, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).
Swartz MH. 1995. buku ajar Diagnostik Fisik. Jakarta:EGC. p.257-258
Vinay Kumar, MD, FRCPath, Ramzi S. Cotran, MD, Stanley L. Robbins, MD. 2007. Buku Ajar
Patologi Robbins Edisi 7. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai