Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Kesadaran adalah pengatahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Agar
sadar penuh maka diperlukan system pengaktifan retikuler yang utuh dan
fungsinya pusat-pusat otak di korteks sereberi serta utuhnya hubunganhubungan melalui thalamus. Kesadaran dapat didefiniskan sebagai suatu
keadaan dimana seseorang mengenali diri dan lingkungannya. Serta respon
trehadap stimulus dari luar dan kebutuhan dirinya. Kesadaran mempunyai dua
komponen, yaitu derajat dan kualitas. Derajat kesadaran menunjukan tingkat
kesadaran ditentukan oleh jumlah atau kuantitas input susunan saraf pusat,
sedangkan kualitas kesadaran yang menunjukan isi pikiran dan tingkah laku
ditentukan oleh cara pengolahan input sehingga menghasilkan pola-pola
output susunan system saraf pusat. Secara sederhana derajat kesadaran dibagi
menjadi komposmentis, somnolen, spoor dan koma. Untuk menilai derajat
kesadaran dapat digunakan suatu skala yang dikenal dengan nama skala koma
glasglow. Perubahan kedasaran biasanya berawal dari gangguan fungsi
diensefalon, yang ditandai oleh kebingungan, letargi dan akhirnya stupor
seiring dengan makin sulitnya seseorang untuk terjaga. Penurunan kesadaran
yang berlanjut terjadi pada disfungsi otak tengah, dtandai oleh semakin
dalamnya kesadaran stupor dan pada akhirnya dapat terjadi disfungsi medulla

serta pons yang menyebabkan keadaan koma sejati. Penurunan progresif


kesadaran ini digambarkan sebagai perkembangan rostralkaudal.
Koma adalah keadaan hilangnya respon fisiologis terhadap stimulus dari
luar atau kebutuhan dirinya. Koma merupakan derajat kesadaran yang
terrendah, dimana pasien tidak dapat dibangunkan dengan rangsangan verbal
maupun rangsangan nyeri.
Penurunan kesadaran dan koma termasuk masalah yang paling sering
ditemui dalam kedokteran. Kedua keadaan ini tercatat sebagi kasus yang
sering menyebabkan pasien dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit dan
menyebabkan ketegangan dalam penanganannya. Para dokter memberikan
perhatian khusus pada gangguan tingkat kesadaran (koma).

B. Tujuan
1.

Memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya

2.

Memperbaiki keadaan patologis

3.

Mempertahankan sirkulasi oksigen dan sirkulasi aliran darah dalam otak

4.

Mempertahankan diffus dan metabolik pada otak

5.

Mempertahankan homeostasis otak

C. Definisi.
Koma adalah suatu keadaan tidak sadar atau hilangnya kesadaran pasien,
dimana diberi rangsangan dari luar seberapa keraspun tidak bereaksi dan juga
tidak mampu berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya.

Koma bukanlah suatu penyakit tertentu akan tetapi suatu keadaan yang
mempunyai banyak macam penyebab. Serangan anoksik-iskemik akut yang
fokal atau total, gangguan traumatik, peradangan, kelainan metabolik,
perdarahan atau neoplasma, dapat mengakibatkan edema dan menurunkan
aliran darah otak (ADO), menimbulkan gangguan neurologik dan kesadaran,
menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Kerusakan atau cedera pertama (lesi primer), pada jaringan otak itu
sendiri yang tidak dapat diobati sering diikuti oleh perubahan sekunder (lesi
sekunder) yang disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, hipotensi atau
peninggian tekanan intrakranial (TIK). Perubahan sekunder itulah yang harus
segera di cegah dan diobati.
Yang menonjol pada keadaan koma atau hilangnya kesadaran adalah
ketidakmampuan penderita untuk berkomunikasi dengan orang-orang
disekitarnya, malah dalam keadaan yang berat tidak bereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan dari luar.
Keadaan koma berarti gangguan berat fungsi susunan syaraf pusat yang
perlu ditangani secara tepat, karena makin lama keadaan koma berlangsung,
makin parah keadaan susunan syaraf pusat dan makin kecil kemungkinan
akan penyembuhan yang baik.

BAB II
RUANG LINGKUP

Secara struktur anatomi yang berperan dalam kesadaran adalah:


A. Ascending Reticular Activating System ( ARAS )
Fungsi ARAS adalah menyampaikan implus ke inti nucleus intralaminaris
Talami Kanan & kiri implus kemudian diteruskan secara difus ke seluruh
korteks serebri. Jumlah impuls yang disampaikan ke korteks serebri
menentukan derajat kesadaran.

Jadi ARAS merupakan PENGGALAK

KESADARAN. Apabila fungsi ARAS terganggu maka akan menimbulkan


koma yang disebut Koma Diencefalik. Gangguan ini dapat disebabkan oleh
proses desak ruang di supratentorial maupun infra tentorial. Keadaan ini
sering disebabkan oleh, tumor serebri, stroke, abses serebri dan meningitis
B. KORTEKS SEREBRI
Berfungsi mengelola impuls yang dikirim lewat ARAS. Pengelolaan impuls
aferen ini menentukan kualitas kesadaran. Jadi Korteks Serebri sebagai
PENGEMBAN KESADARAN. Apabila neuron-neuron kortikal kedua
hemisferium tidak dapat bekerja akan menimbulkan koma yang disebut koma
Bihemisferik. Koma bihemisferik dapat dibedakan dua yaitu kelompok
ensepalopati metabolic primer dan ensefalopati metabolic sekunder. Keadaan
yang

dapat

menimbilkan

koma

bihemisferik

adalah

perdarahan

hebat,gangguan respirasi,diare hebat, toksemia dan intoksikasi. Biasanya


koma ini didahului oleh gejala syndrome otak oraganik

Etiologi Koma
Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori besar:
1.

Kelainan struktur intrakranial (33%); Kebanyakan kasus ditegakkan melalui


pemeriksaan imajing otak (computed tomography [CT] or magnetic
resonance imaging [MRI] atau melalui lumbal punksi [LP]).

2.

Kelainan metabolik atau keracunan (66%); Dikonfirmasi melalui pemeriksaan


darah, tapi tidak selalu positif

3.

Kelainan psikiatris (1%); Stupor atau koma disebabkan oleh penyakit


mempengaruhi kedua hemisfer otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu
hemisfer tidak menyebabkan stupor atau koma kecuali massa tersebut besar
hingga menekan hemisfer kontralateral atau batang otak. Koma yang
disebabkan kelainan fokal di batang otak terjadi karena terganggunya
reticular activating system. Kelainan metabolik dapat menyebabkan
gangguan kesadaran karena efek yang luas terhadap formasio retikularis dan
korteks serebral.

Tiga penyebab koma yang dapat cepat menyebabkan kematian dan dapat
ditangani antara lain:
1.

Herniasi dan penekanan batang otak: space ocupying lession yang


menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi bedah saraf.

2.

Peningkatan tekanan intrakranial (TIK): peningkatan TIK dapat menyebabkan


gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury.

3.

Meningitis atau encephalitis: kematian akibat meningitis bakterialis atau


herpes encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.

Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan


penyakit melalui keluarga, teman atau orang lain yang terakhir kontak dengan
pasien dengan menanyakan:
1.

Kejadian terakhir

2.

Riwayat medis pasien

3.

Riwayat psikiatrik

4.

Obat-obatan

5.

Penyalahgunaan obat-obatan atau alcohol

Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada
beberapa pertanyaan sebagai pertimbangan yaitu:
1.

Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut?

2.

Apakah jalan napas baik?

Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang
disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi
karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT)
dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas
baik dan oksigenasi yang adekuat. Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam
atau adanya tanda gangguan respirasi lebih baik dilakukan intubasi. Pada pasien
stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen dengan
face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan
terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara
lain:

1.

Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi


bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)
ataupun Advance Cardiac Life Support (ACLS).

2.

Pasang jalur intrravena (iv line)

3.

Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini
harus dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang
dapat ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat
disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)

4.

Lakukan pemeriksaan darah antara lain:


a. Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum, kreatinin)
b. Hitung darah lengkap
c. Analisa gas darah
d. Kalsium dan magnesium
e. Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)

5.

Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining


toksikologi, tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar
ammonia.

6.

Lakukan pemasangan folley catheter

7.

Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen


thoraks.

8.

Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan dilapangan atau bila
etiologi dari penyebab koma tidak jelas

Pemeriksaan Fisik:
1.

Tanda vital: hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial
dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.

2.

Kulit: tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness
( keracunan CO), atau kuning

3.

Nafas: alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk

4.

Kepala: tanda fraktur, hematoma, dan laserasi

5.

THT: otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya


duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan
serangan kejang.

6.

Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine):
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.

7.

Pemeriksaan neurologis: untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi


dari penyebab koma.

Pemeriksaan Neurologis
1.

Status generalis: terbukannya kelopak mata dan rahang yang lemas


menandakan dalamya koma. Deviasi dari kepala dan gaze menandakan suatu
lesi hemisfer ipsilateral yang luas. Myoklonus menandakan suatu proses
metabolik), twitching otot yang ritmik (indikasi dari kejang), tetani.

2.

Tingkat kesadaran: dapat ditentukan melalui skala koma Glasgow untuk


memudahkan kita untuk mencatat perkembangan pasien. Untuk lebih

mudahnya gangguan kesadaran pada pasien dapat dideskripsikan berdasarkan


letargi, stupor, dan koma.
SKALA KOMA GLASGOW
Membuka Mata ( E )

Skor

Spontan 4

Atas perintah ( lisan ) ............ 3

Atas rangsangan ( Nyeri ) ................. 2

Tidak dapat mebuka mata .................. 1

Bicara : ( V )
o

Orientasi baik ...... 5

Orientasi buruk / bingung ...................4

Kata baik, kalimat tidak .............. 3

Kata tak dapat dimengerti ................... 2

Tidak keluar suara .......... 1

Gerakan Motorik
o

Mengikuti Perintah .. 6

Dapat menunjuk lokasi 5

Penarikan ( menarik diri ) .... 4

Flexi .. 3

Ekstensi 2

Tidak ada gerakan 1

3.

Pernafasan: pola pernafasan yang abnormal dapat membantu kita menentukan


lokalisasi dari koma. Diantaranya :
a. Cheyne-Stokes: lesi bihemisfer atau ensefalopati merabolik
b. Central neurogenic hiperventilation: CNS limfoma atau kerusakan batang
otak karena herniasi tentorial
c. Apneustic breathing: kerusakan pons
d. Cluster breathing: kerusakan pons dan cerebellar
e. Ataxic breathing: kerusakan pusat pernafasarn medular (lesi di fosa
posterior)

4.

Lapang pandang: dapat diperiksa dengan melakukan refleks ancam terhadap


mata sehingga berkedip. Kehilangan refleks ancam pada salah satu sisi mata
menandakan terjadinya suatu hemianopia.

5.

Funduskopi: edema papil terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12
jam dan jarang terjadi secara akut. Tidak adanya suatu edema papil
menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit
diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal.
Perdarahan subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada
permukaan retina biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan
subarakhnoid.

6.

Pupil: pastikan bentuk, ukuran, dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya.
a. Simetris dan reaktif terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain
dalam keadaan intak. Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea

10

dan okulosefalik menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan


kelainan metabolik.
b. Midposition (2-5 mm) terfiksir atau pupil ireguler menandakan suatu lesi
fokal di midbrain.
c. Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons.
Intoksikasi

dari

opiat

dan

kholinergik

(pilokarpin)

juga

dapat

menyebabkan pupil seperti ini.


d. Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap CN III pada
herniasi unkus. Ptosis dan exodeviasi juga terlihat pada kejadian tersebut.
e. Pupil terfiksir dan dilatasi menandakan suatu herniasi sentral, iskemia
f. hipoksia global, keracunan barbiturat, scopolamine, atau gluthethimide
7.

Pergerakan bola mata (gaze):


a. Perhatikan posisi saat istirahat :
o Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
o Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan, lesi di pons
kontralateral

hemiparesis,

lesi

di

thalamus

kontralateral

dari

hemiparesia, dan aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari


hemiparesis
o Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud

11

b. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
c. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke
arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan
kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
d. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan
suatu psikogenik unresponsive.
e. Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus menandakan
koma disebabkan disfungsi bihemisfer
f. Paresis konjugae dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau pons
g. Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak
h. Refleks okulovestibular negatif menandakan koma yang dalam yang
mendepresi fungsi batang otak.
8.

Perintah verbal: normal

9.

Rangsang nyeri: dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa pada


sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan handel dari
hammer.

10. Refleks okulosefalik (dolls eye), respons yang intak terjadi pergerakan bola
mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila tidak terjadi refleks ini
menunjukkan disfungsi dari bilateral hemisfer serebri dan gangguan integritas
dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada koma metabolik.

12

11. Refleks okulovestibular (kalori dingin), respons yang normal terdiri dari
deviasi tonik kearah rangsangan air dingin yang dimasukkan ke lubang
telinga dan terjadi nistagmus cepat ke arah kontralateral.
12. Refleks kornea: menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5 (aferen) dan
CN (eferen)
13. Refleks muntah: dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.
14. Respons motorik: merupakan indikator terbaik dalam menentukan dalam dan
beratnya keadaan koma. Yang diperhatikan yaitu:
a. Pergerakan spontan: lihat adanya suatu asimetr
b. Tonus otot: peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah
merupakan tanda penting terjadinya suatu herniasi serebri.
c. Induksi pergerakan
15. Respon sensoris: respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu
lateralisasi deficit sensori
16. Refleks:
a. Refleks tendon dalam: bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit
motoris yang disebabkan lesi structural
b. Refleks plantar: respon bilateral Babinskis menunjukkan coma akibat
struktural atau metabolic

Pemeriksaan Interna
1.

Frekuensi, isi, ritme nadi

2.

Tekanan darah

13

3.

Suhu badan

4.

Bau Pernafasan penderita

5.

Warna dan permukaan kulit

6.

Luka luka karena Trauma

7.

Selaput mulut dan bibir

8.

Turgor kulit

9.

Kepala: darah/liquor dari telinga, hidung, hematomdsb

10. Leher
11. Thoraks
12. Abdomen

MANEJEMEN PASIEN KOMA


Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying
lesions/SOL) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
1.

Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya


:
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor
atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.

14

2.

Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam

3.

Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan


ceftriaxon 21 g iv dan ampicillin 41 g iv sambil menunggu hasil kultur

Perawatan secara Umum


1.

Proteksi jalan nafas: adekuat oksigenasi dan ventilasi

2.

Hidrasi intravena: gunakan normal saline pada pasien dengan edema


serebri atau peningkatan TIK

3.

Nutrisi:

lakukan

pemberian

asupan

nutrisi

via

enteral

dengan

nasoduodenal tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya


ancaman aspirasi dan refluks
4.

Kulit: hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam,
dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung
tumit

5.

Mata: hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata
dengan plester

6.

Perawatan bowel: hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate


sodium 100 mg 31) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk
menghindari stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi

7.

Perawatan bladder: indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6


jam

8.

Mobilitas joint: latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur

15

9.

Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,


penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Perawatan secara khusus


1.

Pasien harus dirawat diruang intensif dengan pengawasan 24 jam

2.

Bila ada gangguan pernapasan maka pasien dibantu dengan alat bantu hidup
dasar dan lanjut (ventilator)

3.

Alat bantu hidup dasar untuk adalah alat untuk membantu mempertahankan
terbukanya jalan napas,dapat digunakan pada awal penangann pasien yang
tidak responsip dan dilanjutkan sepanjang pernapasan. Alat bantu jalan napas
tersebut adalah pipa orofaring dan pipa nasofaring.
Cara pemasangan OPA:
a.

Menentukan ukuran OPA yang tepat bagi pasien dengan


meletakkan OPA disamping pipi pasien dan memilih OPA yang
panjangnya sesuai dari sudut mulut hingga ke sudut rahang bawah
(angulus mandibulae)

b.

Memasang alat, terdapat 2 cara:


o

Cara pertama:
Membuka mulut dan memasukkan OPA terbalik
Memutar/merotasi OPA jika telah mencapai palatum molle.

16

Cara kedua
Membuka mulut dengan spatel dengan hati-hati memasukkan
OPA hingga ke belakang.
Pada anak-anak, sebaiknya memakai cara ini, karena rotasi
dapat menyebabkan patahnya gigi dan kerusakan faring

c.

Mengecek ketepatan pemasangan OPA dengan memberikan


ventilasi pada pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak
pengembangan dada dan suara napas terdengar melalui auskultasi
paru dengan stetoskop selama ventilasi

Cara Pemasangan Naso-pharingeal Airway (NPA)


a.

Menentukan ukuran NPA yang tepat bagi pasien:


o

Meletakkan NPA di samping pipi pasien dan memilih NPA


yang panjangnya sesuai dari pangkal cuping hidung sampai
cuping telinga

NPA yang terlalu panjang dapat menstimulasi gag reflex


sedangkan NPA yang telalu pendek tidak dapat menjauhkan
lidah dari faring anterior

b.

Melubrikasi ujung NPA dengan lubrikan larut air (water-soluble


lubricant) untuk meminimalkan tahanan dan menurunkan iritasi
pada saluran lubang hidung

17

c.

Memasukkan NPA dengan cara memegang NPA seperti memegang


pensil dan secara perlahan dimasukkan ke dalam lubang hidung
pasien dengan bevel menghadap ke nasal septum

d.

Mendorong alat sepanjang dasar lubang hidung, mengikuti lekukan


saluran lubang hidung, hingga pinggiran pangkal NPA rata dengan
lubang hidung

e.

Jika terjadi tahanan selama insersi, merotasi NPA bolak balik


dengan lembut di antara kedua jari

f.

Jika tahanan tetap terjadi, tidak memaksakan pemasangan alat


karena dapat menyebabkan abrasi dan laserasi mukosa hidung yang
dapat mengakibatkan perdarahan dan risiko aspirasi

g.

Mengecek ketepatan pemasangan NPA dengan memberikan


ventilasi pada pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak
pengembangan dada dan suara napas terdengar melalui auskultasi
paru dengan stetoskop

Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
Indikasi pemasangan ventilator
1.

Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)


a. Penyebab sentral
o Trauma kepala: Contusio cerebri.
o Radang otak: Encepalitis.

18

o Gangguan vaskuler: Perdarahan otak, infark otak.


o Obat-obatan: Narkotika, Obat anestesi.
b. Penyebab perifer
o Kelainan Neuromuskuler
o Kelainan jalan napas
o Kelainan di paru
o Kelainan tulang iga / thorak
o Kelainan jantung
2.

Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.

3.

Post Trepanasi dengan black out.

4.

Respiratory Arrest.

19

BAB III
TATA LAKSANA
Tata laksana pelayanan pasien koma
1.

Pasien dilakukan pemeriksaan anamnesa, fisik dan ditentukan diagnose oleh


dokter DPJP

2.

Dokter menentukan apakah pasien koma ada indikasi pemakaian ventilator


atau tidak

3.

Jika pasien tidak memerlukan ventilator maka pasien dirawat di HCU

4.

Bila pasien koma memerlukan ventilator maka pasien dirujuk ke rumah sakit
yang lebih tinggi yang mempunyai fasilitas ventilator
a. Secara Umum:
1) Breathing:
o Bersihkan jalan napas
o Gunakan pipa orofaring
o Posisi dirubah-ubah terlentang/miring
o Kepala ekstensi >20-30
o Lender dihisap
20

o Pemberian oksigen 2-4 lt/mnt


2) Blood (Mengatur Tekanan darah)
o furosemide 40-80 mg iv
o Nifedipine 20-30 mg
3) Blader
o Mengosongkan blaas 3x/hari
o Dower kateter ganti tiap 48 jam
4) Bowel
o infus dan pemberian sonde makanan hr ke 3-4
o nutrisi 2000 kalori
o nutrisi parenteral : 30-40 ml/kg BB/hr
o BAB dengan laksativum gliserin atau yang lain bila 2-3 hr pasien
tidak BAB
b. Secara Khusus
1) Terapi etiologi
2) Pasien dirawat diruang HCU bila membutuhkan alat bantu hidup dasar
atau ventilator pasien dirujuk.

21

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Lembar Pencatatan/monitoring pasien di HCU/ICU


2. Semua perkembangan pelayanan pasien ditulis dalam catatan terintegrasi di

rekam medis

22

Anda mungkin juga menyukai