Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah
satu

faktor

yang

sangat

menentukan

kualitas

sumber

daya

manusia.Oleh karena itu, kesehatan perlu dipelihara dan ditingkatkan


kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikannya. Derajat
kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor: lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku
sangat mempengaruhi derajat kesehatan.Termasuk lingkungan adalah
keadaan pemukiman / perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat
umum, air dan udara bersih, juga teknologi, pendidikan, sosial dan
ekonomi. Sedangkan perilaku tergambar dalam kebiasaan sehari hari
seperti: pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku
terhadap upaya kesehatan (Depkes RI, 2009).
Kesehatan sangat diidamkan oleh setiap manusia dengan tidak
membedakan status sosial maupun usia. Kita hendaknya menyadari
bahwa kesehatan adalah sumber dari kesenangan, kenikmatan dan
kebahagiaan. Untuk mempertahankan kesehatan yang baik kita harus
mencegah banyaknya ancaman yang akan menggangu kesehatan kita.
Ancaman lainnya terhadap kesehatan adalah pembuangan kotoran
(faces dan urina) yang tidak menurut aturan.Buang Air Besar (BAB) di
sembarangan tempat itu berbahaya. Karena itu akan memudahkan
terjadinya penyebaran penyakit lewat lalat, udara dan air (Winaryanto,
2009).
Eksreta manusia merupakan sumber infeksi dan merupakan
salah satu penyebab terjadinya pencemaran lingkungan.Bahaya

terhadap kesehatan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik


adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan, dan
perkembangbiakan lalat.Kotoran dari manusia yang sakit atau sebagai
carrier dari suatu penyakit dapat menjadi sumber infeksi.Kotoran
tersebut mengandung agen penyakit yang dapat ditularkan pada
pejamu baru dengan perantara lalat (Candra, 2006).
Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
yang pokok karena kotoran manusia (feces) adalah sumber penyebaran
penyakit multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan
oleh tinja manusia antara lain tifus, disentri, kolera, bermacam
macam cacing (gelang, kremi, tambang, pita), schistosomiasis
(Notoatmodjo, 2007).
Pembuatan

jamban

merupakan

usaha

manusia

untuk

memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup


sehat.Dalam pembuatan jamban sedapat mungkin harus diusahakan
agar jamban tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Penduduk
Indonesia yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54% saja
padahal menurut studi menunjukkan bahwa penggunaan jamban sehat
dapat mencegah penyakit diare sebesar 28% demikian penegasan
Menteri Kesehatan dr. Achmad Sujudi, September 2004 (Depkes RI,
2009). Tahun 2010 persentase penduduk Indonesia yang menggunakan
jamban sehat meningkat menjadi 64%. Penggunaan jamban merupakan
salah satu masalah kesehatan yang penting di daerah perdesaan seperti
Desa Sukamurni di Kabupaten Bekasi. Hanya 46,4% rumah tangga
yang mempunyai jamban sendiri di Desa Sukamurni, Kabupaten
Bekasi pada tahun 2008. Proporsi penggunaan jamban di desa
2

Sukamurni ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan penduduk


di Kabupaten Subang dimana hanya 33,5% penduduk yang
menggunakan jamban sehat.
Masih banyaknya masyarakat yang buang air besar di
sembarang tempat seperti di pesisir pantai, pinggiran sungai serta di
semak semak bukan hal yang baru lagi karena luasnya lahan yang
dapat dijadikan sebagai tempat untuk membuang hajat atau faces
(Aryani, 2009).
Pekerjaan masyarakat yang kebanyakan sebagai nelayan dan
petani serta pendapatan masyarakat yang masih kurang ditambah lagi
mahalnya harga kloset di pasaran menjadi salah satu faktor penyebab
kurangnya pembuatan jamban keluarga (Winaryanto, 2009).
Hasil survey pada tahun 2013 diketahui bahwa di RW 16
Dusun Warungbuah terdapat 94 rumah, 107 kepala keluarga, 308 jiwa
dan yang memiliki jamban hanya 21 rumah atau 22,35% saja.
Sedangkan 73 rumah atau 77,65% yang tidak memiliki jamban dan ini
sangat memprihatinkan. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan jumlah
kepemilikan jamban sehat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu
terdapat 28 rumah atau 29,8% yang memiliki jamban sedangkan yang
tidak memiliki jamban yaitu 66 rumah atau 70,2%. Pada bulan juli
tahun 2015, data menunjukkan tidak terjadi peningkatan kepemilikan
jamban sehat.
Dengan adanya masalah di atas peneliti tertarik untuk meneliti
di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari Banjar dengan judul
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kepemilikan
3

Jamban Sehat di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari, Banjar


Tahun 2015.

B. Rumusan Masalah
Faktor faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya
kepemilikan jamban sehat di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa
Neglasari, Banjar tahun 2015.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Memperoleh informasi tentang faktor faktor yang mempengaruhi
masyarakat terhadap rendahnya kepemilikan jamban sehat di RW
16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari, Kota Banjar tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi akar permasalahan
rendahnya

kepemilikan

jamban

sehat

di

RW 16

Dusun

Warungbuah, Desa Neglasari, Kota Banjar tahun 2015.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat

a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya


jamban sehat bagi kesehatan.
b. Memberikan gambaran tentang jamban sehat dalam tatanan
rumah tangga di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari,
Banjar.
c. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki jamban
sehat.

2.

Bagi Tenaga Kesehatan


Dengan adanya data yang akan di dapatkan nanti, diharapkan dapat
dijadikan acuan untuk perencanaan pembuatan program kesehatan
selanjutnya

3. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi


pelaksana program untuk meningkatkan pemberian promosi
kesehatan dan pendidikan kesehatan tentang jamban sehat pada
masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tinjauan Pustaka

2.1.1

Definisi

Pembuangan tinja atau buang air besar


Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam
dokumen Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini
buang air besar disebut sebagai sanitasi yang meliputi jenis pemakaian atau
penggunaan tempat buang air besar,jenis kloset yang digunakan dan jenis
tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses
terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik
sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat
pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana
pembuangan air limbah (SPAL). Kriteria yang digunakan Joint Monitoring
Program (JMP) WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria,
yaitu improved, shared, unimproved dan open defecation. Dikategorikan
sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya milik
sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki
septik atau SPAL.
Pengertian lain terkait jamban menyebutkan bahwa jamban keluarga
adalah suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan
mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut jamban atau WC
sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak
menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan
pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktik sehari-hari
bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada
dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan

kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya


sama dengan syarat pembuangan air limbah.
2.1.2

Jenis-jenis jamban
Terdapat beberapa jenis jamban sesuai bentuk dan namanya, antara

lain:
1

Jamban cubluk (pit privy)


Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah
sedalam 2,5 sampai 8 meter dengan diameter 80-120cm.
Dindingnya diperkuat dari batu bata ataupun tidak. Sesuai dengan
daerah pedesaan maka rumah jamban tersebut dapat dibuat dari
bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa.Jarak dari sumber air
minum sekurang-kurangnya 15 meter.

Gambar 2-1 Jamban cubluk

Jamban cemplung berventilasi (ventilated improved pit latrine)

Jamban ini hampir sama dengan jamban cubluk, bedanya


menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi
ini dapat dibuat dari bambu.

Gambar 2.2 Jamban cubluk berventilasi


3

Jamban empang (fish pond latrine)


Jenis jamban ini dibangun di atas empang ikan. Sistem jamban
empang memungkinkan terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja
dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya
orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.

Gambar 2.3 Jamban cemplung di empang

Jamban pupuk (the compost privy)


9

Secara prinsip jamban ini seperti jamban cemplung tetapi lebih


dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang
kotoran binatang, sampah, dan daun-daunan.
5

Septic tank
Jamban jenis septic tank merupakan jamban yang paling memenuhi
syarat. Septic tank merupakan cara yang memuaskan dalam
pembuangan untuk kelompok kecil yaitu rumah tangga dan lembaga
yang memiliki persediaan air yang mencukupi, tetapi tidak memiliki
hubungan dengan sistem penyaluran limbah masyarakat.Septic tank
merupakan cara yang terbaik yang dianjurkan oleh WHO tapi
memerlukan biaya mahal, tekniknya sukar dan memerlukan tanah
yang luas.

Untuk mencegah penularan penyakit yang berbasis lingkungan


digunakan pembagian 3 jenis jamban, yaitu:
1

Jamban Leher Angsa


Jamban iniperlu air untuk menggelontor kotoran.Air yang terdapat
pada leher angsa adalah untuk menghindarkan bau dan mencegah
masuknya lalat dan kecoa.

Jamban Cemplung
Jamban initidak memerlukan air untuk menggelontor kotoran.Untuk
mengurangi bau serta agar lalat dan kecoa tidak masuk, lubang
jamban perlu ditutup.

Jamban Plengsengan
Jamban ini perlu air untuk menggelontor kotoran.Lubang jamban
perlu juga ditutup.
10

Gambar 2.4 Jenis-jenis jamban


2.1.3

Manfaat dan Fungsi Jamban


Terdapat beberapa alasan diharuskannya penggunaan jamban,yaitu:
1

Menjaga lingkungan bersih, sehat, dan tidak berbau

Tidak mencemari sumber air yang ada di sekitamya.

Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat


menjadi penular penyakit diare, kolera, disentri, thypus,cacingan,
penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan.

Jamban juga berfungsi sebagai pemisah tinja dari lingkungan. Jamban


yang baik dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu:
1

Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit

Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang


aman.

Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit

Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan

11

2.1.4

Lokasi Pembuatan Jamban


Dengan memperhatikan pola pencemaran tanah dan air tanah, maka

hal-hal berikut harus diperhatikan untuk memilih lokasi penempatan sarana


pembuangan tinja:
1

Pada dasarnya tidak ada aturan pasti yang dapat dijadikan sebagai
patokan untuk menentukan jarak yang aman antara jamban dan
sumber air. Banyak faktor yang mempengaruhi perpindahan bakteri
melalui air tanah, seperti tingkat kemiringan, tinggi permukaan air
tanah, serta permeabilitas tanah. Yang terpenting harus diperhatikan
adalah

jamban

atau

kolam

pembuangan

(cesspool)

harus

ditempatkan lebih rendah, atau sekurang-kurangnya sama tinggi


dengan sumber air bersih. Apabila memungkinkan, harus dihindari
penempatan langsung di bagian yang lebih tinggi dari sumur. Jika
penempatan di bagian yang lebih tinggi tidak dapat dihindarkan,
jarak 15m akan mencegah pencemaran bakteri ke sumur.
Penempatan jamban di sebelah kanan atau kiri akan mengurangi
kemungkinan kontaminasi air tanah yang mencapai sumur. Pada
tanah pasir, jamban dapat ditempatkan pada jarak 7,5m dari sumur
apabila tidak ada kemungkinan untuk menempatkannya pada jarak
yang lebih jauh.
2

Pada tanah yang homogen, kemungkinan pencemaran air tanah


sebenarnya nol apabila dasar lubang jamban berjarak lebih dari
1,5m di atas permukaan air tanah, atau apabila dasar kolam
pembuangan berjarak lebih dari 3m di atas permukaan air tanah.

Penyelidikan yang seksama harus dilakukan sebelum membuat


jamban cubluk (pit privy), jamban bor (bored-hole latrine), kolam
12

pembuangan dan sumur resapan di daerah yang mengandung


lapisan batu karang atau batu kapur. Hal ini dikarenakan pencemaan
dapat terjadi secara langsung melalui saluran dalam tanah tanpa
filtrasi alami ke sumur yang jauh atau sumber penyediaan air
minum lainnya.
2.1.5

Kriteria Jamban Sehat


Menurut Depkes RI (2004), terdapat beberapa syarat jamban sehat,

antara lain:
1

Tidak mencemai sumber air minum, letak lubang penampung


berjarak 10-15 meter dari sumber air minum.

Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun
tikus.

Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga


tidak mencemari tanah disekitarnya

Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya.

Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan


berwarna.

2.1.6

Cukup penerangan.

Lantai kedap air.

Ventilasi cukup baik.

Tersedia air dan alat pembersih.

Septic Tank

a. Mekanisme Kerja Septic Tank

13

Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, sebagai tempat
tinja dan air buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Di dalam
tangki ini tinja akan berada selama beberapa hari.
b. Desain Septic Tank
Secara teknis desain atau konstruksi utama septic tanksebagai berikut :
a

Pipa ventilasi
Pipa ventilasi secara fungsi dan teknis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1

Mikroorganisme dapat terjamin kelangsungan hidupnya dengan


adanya pipa ventilasi ini, karena oksigen yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidupnya dapat masuk ke dalam bak pembusuk,
selain itu juga berguna untuk mengalirkan gas yang terjadi karena
adanya proses pembusukan. Untuk menghindari bau gas dari
septick tank maka sebaiknya pipa pelepas dipasang lebih tinggi
agar bau gas dapat langsung terlepas di udara bebas.

Panjang pipa ventilasi 2m dengan diameter pipa 175mm dan pada


lubang hawanya diberi kawat kasa.

Dinding septic tank:


1

Dinding septic tank dapat terbuat dari batu bata dengan plesteran
semen.

Dinding septic tank harus dibuat rapat air.

Pelapis septic tank terbuat dari papan yang kuat dengan tebal yang
sama.

Pipa penghubung:
1

Septic tank harus mempunyai pipa tempat masuk dan keluarnya


air.

14

Pipa penghubung terbuat dari pipa PVC dengan diameter 10 atau


15cm.

d. Tutup septic tank:


1

Tepi atas dari tutup septic tank harus terletak paling sedikit 0,3
meter di bawah permukaan tanah halaman, agar keadaan
temperatur di dalam septic tank selalu hangat dan konstan
sehingga kelangsungan hidup bakteri dapat lebih terjamin.

Tutup septic tank harus terbuat dari beton (kedap air).

Gambar 2.5. Desain septic tank


2.1.7

Cara Pemeliharaan Jamban


Cara yang dapat dilakukan untuk memelihara jamban antara lain:
a

Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air

Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam


keadaan bersih

Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat

Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran

Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih)

Bila ada kerusakan segera diperbaiki


15

2.1.8

Persyaratan Pembuangan Tinja


Terdapat beberapa bagian sanitasi pembuangan tinja antara lain:
a

Rumah Jamban: Berfungsi sebagai tempat berlindung dari


lingkungan sekitar, harus memenuhi syarat ditinjau dari segi
kenyamanan maupun estetika. Konstruksi disesuaikan dengan
keadaan tingkat ekonomi rumah tangga.

Lantai Jamban: Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat


pemakai yang sifatnya harus baik, kuat dan mudah dibersihkan serta
tidak menyerap air. Konstruksinya juga disesuaikan dengan bentuk
rumah jamban.

Tempat Duduk Jamban:Fungsi tempat duduk jamban merupakan


tempat penampungan tinja, harus kuat, mudah dibersihkan,
berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah diangkat.

Kecukupan Air Bersih:Jamban hendaklah disiram minimal 4-5


gayung yang bertujuan menghindari penyebaran bau tinja dan
menjaga kondisi jamban tetap bersih. Juga agar menghindari
kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga dapat mencegah
penularan penyakit.

Tersedia Alat Pembersih: Tujuan pemakaian alat pembersih, agar


jamban tetap bersih setelah jamban disiram air. Pembersihan
dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar
tidak

berlumut

dan

licin.

Sedangkan

peralatan

pembersih

merupakan bahan yang ada di rumah jamban didekat jamban.

16

Tempat Penampungan Tinja: Adalah rangkaian dari sarana


pembuangan tinja yang berfungsi sebagai tempat mengumpulkan
kotoran/tinja. Konstruksi lubang harus kedap air dapat terbuat dari
pasangan batu bata dan semen, sehingga menghindari pencemaran
lingkungan.

Saluran Peresapan : Merupakan sarana terakhir dari suatu sistem


pembuangan tinja yang lengkap berfungsi mengalirkan dan
meresapkan cairan yang bercampur tinja.

2.1.9

Pengaruh Tinja Bagi Kesehatan Manusia


Tinja manusia merupakan buangan padat yang kotor dan bau juga

media penularan penyakit bagi masyarakat. Kotoran manusia mengandung


organisme pathogen yang dibawa air, makanan, serangga sehingga menjadi
penyakit seperti misalnya : bakteri Salmonella, vibriokolera, amuba, virus,
cacing, disentri, poliomyelitis, ascariasis, dan lain-lain. Penyakit yang
ditimbulkan oleh kotoran manusia bisa digolongkan yaitu :
1. Penyakit enterik atau saluran pencernaan dan kontaminasi zat
racun.
2. Penyakit infeksi oleh virus seperti hepatitis infektiosa.
3. Infeksi

cacing

seperti

schitosomiasis,

ascariasis,

ankilostosomiasis.
Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk
bias langsung maupun tidak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insiden
penyakit yang ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti kolera,
disentri, typus, dan sebagainya. Efek tidak langsung dari pembuangan tinja
17

berkaitan dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi


hygiene lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi pekembangan sosial dalam
masyarakat dengan mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air
minum penduduk.
Mata rantai penularan penyakit oleh tinja
Manusia merupakan sumber penting dari penyakit, penyakit infeksi yang
ditularkan oleh tinja merupakan salah satu penyebab kematian.

Gambar 2.6. Alur Penularan Penyakit (Water & Sanitation Program, 2011)
Berdasarkan skema alur penularan penyakit diatas maka perlu dilakukan
tindakan pencegahan agar penyakit menular berbasis lingkungan tidak menjadi
wabah dalam masyarakat setempat. Pencegahan itu memutuskan alur
penularan penyakit menggunakan rintangan sanitasi dan mengisolasi tinja
dengan jamban sehat. Rintangan sanitasi ini mencegah kontaminasi tinja
sebagai sumber infeksi pada air, tangan, dan vektor (serangga)

18

Gambar 2.7. Pemutus Alur Penularan Penyakit (Water & Sanitation Program,
2011)

2.1.10 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan


Menurut L.W.Green, di dalam Notoatmodjo (2012) faktor penyebab
masalah kesehatan adalah faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor
perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku pada diri seseorang, keluarga atau masyarakat, adalah
pengetahuan dan sikap seseorang, keluarga atau masyarakat tersebut
terhadap apa yang akan dilakukan. Disamping itu, kepercayaan/keyakinan,
tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, sistem nilai yang dianut
masyarakat setempat juga mempermudah (positif) atau mempersulit
(negatif) terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang

melakukan

Penginderaan

penginderaan

terhadap

terjadi melalui pancaindra

suatu

objek

tertentu.

manusia, yakni indra

19

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar


pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu,
tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan umtuk menjelaskan
secara

benar

tentang

objek

yang

diketahui,

dan

dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah


paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan
mengapa harus buang air besar di jamban.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
20

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam


konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus
statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat
menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem
solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus
yang diberikan.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Misalnya,

dapat

menyusun,

dapat

merencanakan,

dapat

meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu


teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada. Misalnya, dapat membandingkan antara keluarga yang
21

berperilaku hidup bersih dan sehat dengan keluarga yang tidak


berperilaku hidup bersih dan sehat, dapat menangkapi terjadinya
diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa
masih ada keluarga yang buang air besar sembarangan dan
sebagainya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin
kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatantingkatan di atas.

2) Pendidikan
Pendidikan merupakan hasil atau prestasi yang dicapai oleh
perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam
mencapai tujuan untuk tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan
sebagai suatu kesatuan.
Menurut Yusuf (1992), dalam Notoatmodjo (2012) bahwa
Pendidikan juga dikatakan sebagai pengembangan diri dari individu
dan kepribadian yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung
jawab. Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan serta
nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan
semakin baik pula tingkat pengetahuannya, bahwa Ibu/Bapak yang
berpendidikan relatif tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk
menggunakan sumber daya keluarga yang lebih baik dibandingkan
Ibu/Bapak yang berpendidikan rendah. Karena pengetahuan buang air
22

besar yang sering kurang dipahami oleh keluarga yang tingkat


pendidikannya rendah. Sehingga memberi dampak dalam mengakses
pengetahuan khususnya dibidang kesehatan untuk penerapan dalam
kehidupan keluarga terutama pada keluarga yang berperilaku buang air
besar sembarangan (Notoatmodjo, 2012).
Ruang lingkup pendidikan terdiri dari pendidikan informal, non
formal, dan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang
diperoleh seseorang di rumah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan
informal berlangsung tanpa adanya organisasi, yakni tanpa orang
tertentu yang diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik tanpa suatu
program yang harus disesuaikan dalam jangka waktu tertentu dan tanpa
evaluasi yang formal berbentuk ujian, sementara itu pendidikan non
formal meliputi berbagai usaha khusus yang diselenggarakan secara
terorganisasi terutama generasi muda dan orang dewasa, yang tidak
dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkesempatan mengikuti
pendidikan

sekolah

dapat

memiliki

pengetahuan

praktis

dan

keterampilan dasar yang mereka perkirakan sebagai masyarakat


produktif. Sedangkan pendidikan formal adalah pendidikan yang
mempunyai bentuk atau organisasi tertentu seperti terdapat di sekolah
atau universitas (Notoatmodjo, 2003).
Kartono (1992), dalam Marliana (2011) menyatakan bahwa
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia tentang pendidikan
No.20 tahun 2003, jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yaitu
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah
seperti SD, MI, SMP, dan MTS atau bentuk lain yang sederajat.
Sementara itu pendidikan menengah yaitu lanjutan pendidikan dasar
23

yang terdiri dari pendidikan menengah kejurusan seperti SMA, MA,


SMK, dan MAK atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Doktor
yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan terbagi
menjadi 3 yaitu 1) faktor umum, 2) faktor tingkat sosial ekonomi, dan 3)
faktor lingkungan. Semakin bertambah umum, pendidikan yang didapat
akan lebih banyak baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non
formal yang diinginkan adalah terjadinya perubahan kemampuan,
penampilan, dan perilaku. Selanjutnya perubahan perilaku didasari
adanya

perubahan

atau

penambahan

pengetahuan,

sikap

atau

keterampilannya (Notoatmodjo, 2003). Faktor tingkat sosial ekonomi


sangat mempengaruhi perbaikan pendidikan dan perbaikan pelayanan
kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat. Menurut Effendy (1998),
dalam Marliana (2011) bahwa Rata-rata keluarga dengan sosial
ekonomi yang cukup baik akan memiliki tingkat pendidikan dan sarana
kesehatan yang bagus dan bermutu. Sedangkan faktor lingkungan
mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan seseorang seperti
contoh orang yang berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung
serta mengutamakan pendidikan mereka akan lebih termotivasi untuk
belajar sehingga pengetahuan yang mereka peroleh akan lebih baik
dibandingkan dengan seseorang yang keluarganya tidak mendukung
untuk merasakan bangku sekolah.
3) Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Dalam Notoatmodjo (2012),
24

beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutipkan sebagai berikut.
An individuals social attitude is a syndrome of response
consistency with regard to social object (Campbell, 1950).
Attitude entails an existing predisposition to response to social
objecs which in interaction with situational and other dispositional
variables, guides and direct the overt behavior of the individual
(Cardno, 1955).
Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi
sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus social. Newcomb, salah seorang
ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau
tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.

Stimulus
Rangsangan

Proses Stimulus

Reaksi
Tingkah Laku
(terbuka)

Sikap (tertutup)
25

Skema 2.3 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi (Notoatmodjo, 2012).


a. Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954), dalam Notoatmodjo (2012)
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.
a)

Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu


objek.

b)

Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).


Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap
yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan
penting. Suatu contoh misalnya, seorang Ibu telah mendengar
tentang penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya,
dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa Ibu untuk berpikir
dan berusaha agar anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini
komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga Ibu tersebut
berniat mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya
tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek
yang berupa penyakit polio.
b. Berbagai tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari
berbagai tingkatan.
a) Menerima (receiving)
Menerima

diartikan

bahwa

orang

(subjek)

mau

dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap


orang terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat
26

dilihat dari kesediaan perhatian orang itu terhadap ceramahceramah tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan
itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide
tersebut.
c) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya
seorang Ibu yang mengajak Ibu yang lain (tetangganya,
saudaranya dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya
ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti
bahwa si Ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap
gizi anak.
d)

Bertanggung jawab (responsible)


Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

4)

Keyakinan
Keyakinan adalah pendirian bahwa suatu fenomena tau objek
benar atau nyata. Kebenaran adalah kata-kata yang sering digunakan
untuk mengungkapkan atau menyiratkan keyakinan agar terjadi
perubahan perilaku.
a.

Seseorang harus yakin bahwa kesehatannya terancam.

b.

Orang tersebut harus merasakan potensi keseriusan kondisi itu


27

dalam bentuk nyeri atau ketidaknyamanan, kehilangan waktu untuk


bekerja, kesulitan ekonomi.
c. Dalam mengukur keadaan tersebut, orang yang bersangkutan harus
yakin bahwa manfaat yang berasal dari perilaku sehat melebihi
pengeluaran

yang

harus

dibayarkan

dan

sangat

mungkin

dilaksanakan serta berada dalam kapasitas jangkauannya.


d. Harus ada isyarat kunci yang bertindak atau suatu kekuatan
pencetus yang membuat orang itu merasa perlu mengambil
keputusan.

28

5) Nilai-nilai
Di dalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang
menjadi

pegangan

setiap

orang

dalam

menyelenggarakan

hidup

bermasyarakat. Secara langsung bahwa nilai-nilai perseorangan tidak


dapat dipisahkan dari pilihan perilaku. Konflik dalam hal nilai yang
menyangkut kesehatan merupakan satu dari tantangan penting bagi para
penyelenggara pendidikan kesehatan.

2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)


Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas,
sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum
menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas
untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Dari segi kesehatan
masyarakat, agar masyarakat mempunyai perilaku sehat harus terakses
(terjangkau) sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan.
Misalnya, untuk terjadinya perilaku keluarga yang selalu menjaga
kesehatan keluarga, maka diperlukan alat-alat kebersihan, alat bersih, dan
sebagainya. Agar keluarga atau masyarakat buang air besar dijamban, maka
harus tersedia jamban, atau mempunyai uang untuk membeli alat-alat
kebersihan atau membangun jamban sendiri.
1) Kepemilikan Jamban
Jamban merupakan sarana yang digunakan manusia untuk
buang air besar. Faktor yang mempengaruhi kepemilikan jamban
antara lain :

29

Ekonomi masyarakat

Kebiasaan masyarakat

Pengetahuan

Pendidikan

2) Prasarana
Adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang dilakukan
didalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka
semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang
diharapkan sesuai dengan rencana.
a. Dana merupakan bentuk yang paling mudah yang dapat digunakan untuk
menyatakan nilai ekonomis dan karena dana atau uang dapat dengan segera
dirubah dalam bentuk barang dan jasa.
b. Adalah pemindahan manusia, hewan atau barang dari satu tempat ke tempat
lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia
dan atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam
melakukan aktifotas sehari-hari.
c. Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya dan
memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan.
d. Kebijakan pemerintah adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama
yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran
akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan
sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas
menjatuhkan sanksi.
Menurut Notoatmodjo (2005), hambatan yang paling besar dirasakan

30

dalam

mewujudkan

perilaku

hidup

sehat

masyarakat

yaitu

faktor

pendukungnya (enabling factor). Dari penelitian-penelitian yang ada


terungkap meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi
tentang kesehatan, namun praktek tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat
masyarakat masih rendah. Setelah dilakukan pengkajian oleh WHO, terutama
di Negara-negara berkembang, ternyata faktor-faktor pendukung atau sarana
dan prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
Misalnya, meskipun kesadaran dan pengetahuan orang, keluarga atau
masyarakat tentang kesehatan sudah tinggi, tetapi apabila tidak didukung oleh
fasilitas yaitu tersedianya jamban sehat, air bersih, makanan yang bergizi,
fasilitas imunisasi, pelayanan kesehatan dan sebagainya maka mereka sulit
untuk mewujudkan perilaku tersebut.

3. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)


Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas
kesehatan serta dukungan keluarga. Termasuk juga disini undang-undang,
peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait
dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan
hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja,
melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarkat,
agama, dan para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu
undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat
tersebut. Menurut Green dan Marshal (2005), dalam Marliana (2011) bahwa
Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dimana

31

masyarakat menerima feedback dan setelah itu ada dukungan sosial. Faktor
reinforcing dalam penelitian ini yakni dukungan keluarga.
1) Petugas Kesahatan
Merupakan tenaga professional, seyogyanya selalu menerapkan etika
dalam sebagian besar aktifitas sehari-hari. Etika yang merupakan suatu norma
perilaku atau biasa disebut dengan asas moral, sebaiknya selalu dijunjung
tinggi dalam kehidupan bermasyarakat kelompok manusia.
2) Tokoh Agama
Adalah panutan yang merepresentasikan kegalauan umatnya dan
persoalan yang sudah diungkap oleh para tokoh agama menjadi perhatian
untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya.
3) Tokoh Masyarakat
Adalah orang yang dianggap serba tahu dan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap masyarakat. Sehingga segala tindak tanduknya
merupakan pola aturan yang patut diteladani oleh masyarakat.
4) Dukungan keluarga
Salah satu aspek terpenting dari perawatan adalah penekanan pada unit
keluarga. Keluarga bersama dengan individu, kelompok dan komunitas adalah
klien atau resipien keperawatan. Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat, merupakan klien keperawatan atau si penerima asuhan
keperawatan. Keluarga berperan dalam menetukan cara asuhan yang
diperlukan anggota keluarga yang sakit. Keberhasilan keperawatan di rumah
sakit dapat menjadi sia-sia jika tidak dilanjutkan oleh keluarga. Secara empiris
dapat dikatakan bahwa kesehatan anggota keluarga dan kualitas kehidupan
keluarga menjadi sangat berhubungan atau signifikan.

32

Keluarga menempati posisi di antara indvidu dan masyarakat sehingga


dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga, perawat mendapat
dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama adalah memenuhi kebutuhan
individu, dan keuntungan yang kedua adalah memenuhi kebutuhan
masyarakat.

Dalam

pemberian

pelayanan

kesehatan

perawat

harus

memerhatikan nilai-nilai dan budaya yang ada dalam keluarga sehingga dalam
pelaksanaannya kehadiran perawat dapat diterima oleh keluarga.
e

Jenis dukungan keluarga


Menurut Friedman (1998), dalam Marliana (2011) bahwa terdapat empat
jenis atau dimensi dukungan, yaitu:

1) Dukungan Emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat
dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi, meliputi empati,
kepedulian, dan perhatian terhadap anggota keluarga yang masih buang air
besar sembarangan misalnya umpan balik, penegasan.
2) Dukungan Penghargaan (Penilaian)
Keluarga

bertindak

sebagai

sebuah

bimbingan

umpan

balik

membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan


validator identitas anggota. Yang terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan)
positif untuk perilaku BAB, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan
atau perasaan individu dan perbandingan positif perilaku BAB dengan yang
lain yaitu: Orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya
(menambah penghargaan diri).

33

3) Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.
Mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu,
modifikasi,

lingkungan,

maupun

menolong

dengan

pelajaran

waktu

mengalami stress.
4) Dukungan Informatif
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminato (penyedia)
informasi tentang dunia mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk,
sarana-sarana, atau umpan balik.
Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan
semangat, pemberi nasehat, atau pengawasan tentang perilaku BAB seharihari. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan individu yang dapat
perhatian, disenangi, dihargai, dan termasuk bagian dari masyarakat.

5) Hubungan dukungan keluarga dengan kesehatan


Keluarga harus dilibatkan dengan program pendidikan dan penyuluhan
agar mereka mampu mendukung usaha keluarga yang masih buang air besar
di sembarang tempat. Bimbingan/penyuluhan dan dorongan secara terusmenerus biasanya diperlukan agar keluarga yang buang air besar sembarangan
tersebut mampu melaksanakan rencana yang dapat diterima dan mematuhi
peraturan.

Brunner

dan

Suddart

(2001),

dalam

Marliana

(2011)

mengemukakan bahwa Keluarga selalu dilibatkan dalam program pendidikan


sehingga mereka dapat memperingati bahwa buang air besar sembarangan
dapat berdampak penyakit-penyakit.

34

35

2.2 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi :

Pengetahuan

Pendidikan

Sikap

Faktor
Keyakinan
Pendukung :

Kepemilikan jamban

Prasarana

Kepemilikan Jamban

Faktor Pendukung :

2.3

Petugas kesehatan

Tokoh agama

Tokoh masyarakat

Kerangka Konsep
Variabel Independen
Pendidikan
Pekerjaan

Variabel Dependen
Jamban Sehat

Penghasilan
Kebiasaan

36

BAB III
METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,
menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh
sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif. (Saryono, 2010)
B. DESAIN PENELITIAN
Dengan di gunakan metode kualitatif ini maka data yang didapatkan akan lebih
lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna, sehingga tujuan penelitian dapat di
capai. Desain penelitian kualitatif ini di bagi dalam empat tahap, yaitu :
1. Perencanaan
Kegiatan yang di lakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut : analisis standar
faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kepemilikan jamban sehat,
penyusunan rancangan penelitian, penetapan tempat penelitian, dan penyusunan
instrumen penelitian.
2. Pelaksanaan

37

Pada tahap ini peneliti sebagai pelaksana penelitian sekaligus sebagai human
instrument mencari informasi data yaitu wawancara pada warga yang mewakili
dari tiap tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, dan berdasarkan kepemilikan
jamban sehat.
3. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah peneliti melakuka wawancara mendalam terhadap
warga yang mewakili dari tiap tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, dan
berdasarkan kepemilikan jamban sehat.
4. Evaluasi
Semua data dari hasil wawancara mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya kepemilikan jamban sehat di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa
Neglasari, yang telah dianalisis kemudian dievaluasi sehingga mendapatkan solusi
yang tepat untuk mengambil langkah selanjutnya dalam meningkatkan
kepemilikan jamban di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari.
C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari, Kota
Banjar tahun 2015 yang dilaksanakan pada bulan Juli 2015.
D. SUMBER DATA
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data diperoleh.
Adapun yang dijadikan sumber data adalah:
1. Data puskesmas mengenai persentase tingkat kepemilikan jamban di RW 16 Dusun
Warungbuah, Desa Neglasari.
38

2. Wawancara terhadap warga yang mewakili tiap tingkatan ekonomi, tingkat


pendidikan, dan berdasarkan kepemilikan jamban.

E. FOKUS DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN


Fokus penelitian ini di arahkan pada pengkajian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya kepemilikan jamban sehat di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa
Neglasari. Sedangkan ruang lingkup yang diteliti ialah warga RW 16 Dusun Warungbuah,
Desa Neglasari, yang meliputi tiap tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan kepemilikan
jamban sehat.
F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Untuk mendapatkan kelengkapan informasi yang sesuai dengan fokus penelitian maka
yang dijadikan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :
1. Teknik Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya tingkat kepemilikan jamban sehat di RW 16 Dusun
Warungbuah, Desa Neglasari.
2. Teknik Observasi (pengamatan)
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis,
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan

39

pencatatan. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui yang menyebabkan rendahnya


tingkat kepemilikan jamban sehat di RW 16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari.
3.

Teknik Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen
yang ditunjukkan dalam hal ini adalah segala dokumen yang berhubungan dengan
faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepemilikan jamban sehat di RW
16 Dusun Warungbuah, Desa Neglasari.

G. TEKNIK ANALISA DATA


Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain.
Model analisis data dalam penelitian ini mengikuti konsep yang diberikan Miles and
Huberman. Miles and Huberman mengungkapkan bahwa aktifitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangung secara terus-menerus pada setiap
tahapan penelitian sehingga sampai tuntas. Komponen dalam analisis data :
1.

Reduksi data
Data yang diperoleh dari laporan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka
perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih halhal pokok, memfokuskan padahal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

2.

Penyajian Data

40

Penyajian data penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk uraian


singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya.
3.

Verifikasi atau Penyimpulan Data


Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan
berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang akan mendukung pada tahap
berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung
oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
yang kredibel.

BAB IV
HASIL WAWANCARA

41

Kami mewawancarai 6 responden yang mewakili berbagai jenjang pendidikan akhir


(tidak sekolah, SD, SMP, SMA serta S1 dan setaranya), tingkat ekonomi (dibawah UMR
(Upah Minimal Regional) kota Banjar yaitu Rp 1.168.000,- dan diatas UMR kota Banjar),
dan berdasarkan kepemilikan jamban sehat (memiliki atau tidak memiliki jamban sehat
dirumahnya). Berikut adalah hasil wawancara yang kami lakukan.
Responden kami yang pertama ialah bapak DA yang merupakan salah seorang
pegawai di BKPPP (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan) kota Banjar dan
istrinya, ibu IM, merupakan seorang perawat di RSUD Banjar, yang sama-sama memiliki
penghasilan diatas UMR kota Banjar. Pak DA menuturkan bahwa alasan utamanya
menggunakan jamban sehat di rumahnya ialah bukan dikarenakan alasan kesehatan,
melainkan dikarenakan kebutuhan utama yang diperlukan.
Karena kebutuhan sih lebih tepatnya, kalau kesehatan itu kan yang menunjangnya,
ya seiring dengan kebutuhan itu terpenuhi dengan baik., tutur pak DA. Menurutnya,
kebutuhan sehari hari yang penting untuk dijaga ialah pemasukan dan pengeluarannya,
pemasukan yang ia maksudkan ialah pemasukan dalam hal makanan dan pengeluaran ialah
hasil olahan makanan yang diproses dalam tubuh (Buang Air Besar/BAB), dimana kita tidak
dapat menduga kapan tubuh kita akan berkontraksi untuk mengeluarkannya. Kalau tiba-tiba
mules pas malam hari gimana coba? Masa harus keluar rumah dulu? Ke empang dulu
misalnya, ribet nanti. Apalagi kalau sampai anak yang ternyata kebelet buang air besar. Dan
sebenarnya saya juga kurang suka kalau ada kakus di rumah, kurang enak aja ngeliatnya.
Kalau pakai jamban dalam rumah kan jadi lebih mudah dan sehat., tutur pak DA.
Pak DA juga menuturkan bahwa masyarakat sekitarnya sebenarnya termasuk
masyarakat yang mampu untuk mengadakan jamban sehat dirumahnya, namun masalah
tersulitnya ialah masyarakat memiliki kebiasaan yang sulit diubah, mereka merasa bahwa
42

mereka sehat dengan keadaan yang seperti ini (dengan menggunakan kakus ataupun jamban
cemplung) sehingga dengan menyentuh masyarakat dengan mengingatkan tentang kesehatan
akan sulit dimengerti, lebih baik dengan memberi tahu dampak negatif lainnya dengan tidak
menggunakan jamban yang sehat.
Kalau dibilang mampu mah warga disini pada mampu nyisihin uang sedikit-sedikit
buat iuran untuk buat jamban, tapi yang penting ya diberi intervensi terlebih dahulu dari
aparat masyarakatnya., tutur pak DA.
Sebagai orang yang dianggap paling dekat dan disegani masyarakat, baiknya tokoh
masyarakat pun turut andil dalam hal ini. Selain memberitahu masyarakat akan pentingnya
menggunakan jamban sehat, tokoh masyarakat pun haruslah memberi contoh kepada
warganya.
Ya misalnya pak RT, Kader dan aparat lainnya pun harusnya menjadi contoh dengan
menggunakan jamban sehat dirumahnya. Selain itu mungkin kalau untuk bantuan dari
pemerintah nya mungkin bisa diwakili sama Dinas Kesehatan ataupun pihak Puskesmas nya,
mungkin meminta bantuannya bukan dalam hal memberi dana, namun dengan memberi
penekanan kepada masyarakat mengenai dampak negatif dengan tidak menggunakan jamban
pada awal mulanya. Nah setelah itu buat kesepakatan dengan warga siapa yang akan buat
jamban? Nah nanti kan pada angkat tangan tuh, habis itu ditulis namanya dan ditagih lagi
misalnya minggu depannya atau diingetin terus, jadi mereka pun ngerasa kalau ada janji
kalau mau buat jamban sehat. Setelah itu baru mungkin dari pihak Dinas Kesehatan atau
Puskesmas bisa memberikan penyuluhan lebih lanjut mengenai syarat jamban sehat, cara
mengelola jamban sehat dan lain-lainnya sembari mereka juga buat jamban sehatnya. Jadi
mah intinya harus ada realisasi langsung setelah memberikan penyuluhan., tutur pak DA
mengenai sarannya dalam masalah jamban sehat dilingkungannya ini.
43

Responden kedua ialah Ibu I yang merupakan seorang kader di RT 32. Sudah 6 bulan
beliau menjadi kader di RT nya, beliau pun cukup mengetahui karakter warga sekitarnya.
Beliau menyadari bahwa warga RT 32 memiliki kebiasaan yang sulit diubah, misalnya dalam
hal kebiasaan buang air besar di kakus atau jamban empang.
Beberapa rumah memang ada wc jongkok nya, tapi ya aliran akhirnya mah tetep aja
ke kolam atau empang untuk ngasih pakan ikan biasanya., tutur ibu I.
Berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai jamban sehat, menurut ibu I, warganya
sudah pernah diberikan sosialisasi mengenai jamban sehat oleh pihak puskesmas Banjar 2
begitupun dengan cara STBM pun pernah dilakukan oleh pihak puskesmas Banjar 2.
Ketika kami tanyakan mengenai efektivitas dari sosialisasi dan STBM yang pernah
dilakukan oleh pihak puskesmas, ibu I menjawab sepertinya kurang efektif nya ketika
sosialisasi itu disebabkan karena hanya sesekali saja membahas tentang jamban sehat. Kalau
disini setahun hanya sekitar 2x sosialisasi mengenai jamban sehatnya dan biasanya diadakan
pas pengajian hari Jumat di masjid. Ya yang datang hanya ibu-ibu, karena bapak-bapaknya
masih kerja. Jadi baiknya sih diadakannya saat ada pertemuan di RT kapanpun itu. Kalau
perlu sebenarnya diadakan pertemuan rutin sekedar untuk membahas perkembangan RT, nah
nanti kan bisa sekalian bahas tentang jamban sehat ini. Jadi yang tidak hadir saat pengajian
bisa tau juga setidaknya ada perwakilan petinggi RT atau tokoh masyarakat yang hadir untuk
mendengarkannya., tutur bu I.
Selain itu, ternyata ada penyebab lain yang membuat warga sekitar mengurungkan
niat untuk membuat jamban sehat dirumahnya. Warga disini udah pada tau kalau di RT ini
ada orang kesehatan tapi rumahnya tidak pake jamban sehat, malah pake kolam ikan untuk
penampungan akhirnya. Jadi warga malah mikirnya ah itu orang kesehatan aja ngga pake

44

jamban sehat, ngapain kita make gitu mikirnya, jadi ya hanya warga yang benar-benar sadar
aja yang make jamban leher angsa., tutur ibu Dede.
Ibu I dan suaminya mungkin bukan termasuk dalam kelompok warga yang
berpenghasilan diatas UMR kota Banjar. Ia hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga
disamping suaminya bekerja sebagai seorang buruh dan hanyalah lulusan SD, begitupun
dengannya. Namun ibu I memiliki dan menggunakan jamban sehat dirumahnya.
Memang sih sulit mengubah kebiasaan warga kalau udah merasa nyaman pakai
jamban kolam tapi kan harus ada perubahan sedikit-sedikit, mesti mulai dari diri sendiri dulu
baru orang lain lihat.
Responden ketiga ialah ibu R yang bekerja dibagian keuangan RSUD Banjar. Beliau
memiliki seorang anak dan juga menantu yang bekerja sebagai perawat dan radiografi di
rumah sakit yang sama, yang tinggal bersama dengannya dalam satu rumah. Walaupun
bekerja di lingkungan kesehatan, namun rumah keluarga ini tidak memiliki jamban yang
sehat. Rumah ini tidak memiliki septitank sebagai tempat penampungan tinja, melainkan
menggunakan kolam yang berisikan lele jumbo yang dipergunakan khusus sebagai tempat
penampungan tinja.
Udah pernah kok dibuat septitank, tapi bau, uap tinjanya kembali ke wc makanya
jadi bau. Saya tidak bisa kalau septitank itu bau, ngga kuat sama baunya. Jadi kembali lagi
menggunakan itu (kolam lele jumbo). Saya nyaman, tidak bau. Ya pokoknya nyaman lah saya
pakai itu (kolam lele jumbo) dibanding septitank, tutur ibu R.
Kemudian kami tanyakan pula hal tersebut kepada menantunya mengenai alasan
rumah tersebut tetap menggunakan kolam lele jumbo sebagai tempat penampungan akhir
tinja dirumah tersebut. Saya mah sebenarnya kan ikut aja, ini rumah mertua soalnya.

45

Sebenernya juga masih nyaman aja pakai ini (kolam lele jumbo), soalnya kalau habis buang
air besar, terus masuk ke kolam, pasti ikannya langsung nyamber makan itu. Makanya ngga
ada tinja yang menggenang., tutur pak A, menantu ibu R.
Ketika kami menanyakan lebih lanjut, tapi bapak dan ibu tau kan mengenai efek
samping dari penggunaan jamban kolam seperti ini? Air dari kolam tersebut dapat terserap ke
tanah dan tanah tersebut bisa saja dekat dengan sumber air tetangga ibu atau bahkan rumah
ibu. Lalu kalau airnya digunakan bisa mengakibatkan gatal-gatal karena airnya tidak bersih
atau bahkan bisa menjadi diare jika dikonsumsi karena air tersebut tercemar., lalu ibu I
menjawab, iya, saya mengerti kok. Tapi coba tanya bu kader nya, disini ada yang diare
ngga? Disini mah ngga ada yang kena diare karena pake kolam. Lagi pula itu kolam dirumah
ini mah dirawat. Lele nya juga gede-gede ngga dijual dan ngga dikonsumsi., tutur ibu I.
Ketika kami menanyakan mengenai jarak antara kolam dengan sumber air di rumah
beliau, ibu I menuturkan jaraknya 10 meter kok, ada lah 15an.
.
Lalu kami menanyakan pendapatnya mengenai minimnya kepemilikan jamban sehat disekitarnya.
Ibu I menuturkan bahwa masyarakat di RT tersebut masih belum sadar atas penting nya memiliki
jamban sehat itu lihat saja buktinya sudah dibuatkan MCK tapi masyarakatnya masih seperti itu.
Tidak ada rasa memiliki. Masyarakat disini mah cuek, sendiri-sendiri., tutur beliau

Kemudian kami menanyakan, apakah ibu ada rencana untuk membuat jamban sehat
dirumah? Karena sebagai salah satu keluarga yang dipandang masyarakat sekitar karena ibu
sekeluarga bekerja di RSUD, pengaruh nya cukup besar bu dengan ibu memiliki jamban

46

sehat dirumah. ibu I tetap bersikeras menjawab, Kalau dana mah insyaAllah ada. Ya mau
sih buat kalau nanti. Soalnya sekarang saya masih sibuk.
Lain halnya dengan responden kami yang ke empat, yaitu ibu S. Beliau merupakan
salah satu warga di RT. 31 yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan menjaga warung
miliknya, dengan latar belakang pendidikan terakhir SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Keluarga ibu S masih menggunakan jamban cemplung di kolam dan juga menggunakan
kolam tersebut sebagai tempat penampungan tinja dari jamban dirumahnya.
Ketika kami menanyakan bagaimana ciri jamban yang sehat, beliau menuturkan,
jaraknya mesti 10 meter, mesti ada septitank. Yang itu bukan?. Lalu kami pun menjelaskan
mengenai 10 syarat jamban sehat.
Namun ketika kami tanyakan mengenai jarak antara kolam tempat penampungan tinja
dengan sumber air dirumahnya, ibu S menjawab bahwa jarak antara sumber air dengan kolam
penampungan tinja dirumahnya hanya berjarak 5 meter.
Ibu S menuturkan bahwa alasannya masih menggunakan jamban cemplung dan
menjadikan kolam sebagai tempat penampungan tinja adalah karena belum memiliki dana
untuk membangun septitank. dana nya aja belum ada, kalo ada mah suami bisa gitu bikin
tutur ibu S.
Sumber utama untuk membiayai kehidupan sehari-hari keluarga ibu S, selain warung
miliknya yang hanya sesekali dibuka untuk menjual bala-bala, ialah suaminya, dimana suami
ibu S memiliki latar belakang pendidikan terakhir SD dan hanyalah bekerja sebagai buruh
pabrik.

47

Ibu S menyarankan kader ataupun petinggi RT tersebut melakukan penyuluhan lebih


lanjut kepada lingkungan sekitar. Ya kasih penyuluhan ke lingkungan, kan itu juga orang
kaya belum bikin (septitank). Kan seharusnya bikin ya orang kaya mah., tutur ibu S.
Ibu S juga menuturkan bahwa jika ada bantuan dari pemerintah sebaiknya dalam
bentuk barang dan masyarakat bersama-sama membangun jamban. Untuk lokasi
pembangunan jamban itu sendiri, ibu S berpendapat bahwa lokasi pembangunan jamban
sebaiknya dilakukan di beberapa titik agar mempermudah warga untuk menikmati fasilitas
jamban tersebut, misalnya tiap lima rumah terdapat sebuah MCK. Selain itu, kebersihan
jamban juga perlu dijaga dengan membagi kelompok untuk membersihkannya.
Responden kelima ialah ibu W. Ibu W merupakan janda dahulunya mengalami putus
sekolah ketika beliau duduk di kelas 2 SD, sehingga sumber dana untuk membiayai
kebutuhannya sehari-hari hanyalah mengandalkan dagangan bala-bala yang beliau buat
dengan penghasilan Rp 15.000/hari. Selain itu, beliau mendapat dana bantuan sebesar Rp
200.000/bulan dari pabrik dekat rumahnya, yang rutin diberikan setiap bulannya ke warga
yang tinggal disekitar pabrik.
Kediaman ibu W tidak memiliki jamban, untuk pembuangan hajat dilakukan di rumah
warga lainnya atau dilakukan di kolam. Ibu W menuturkan bahwa beliau biasa melakukan
buang air besar dirumah tetangganya ataupun dirumah anak angkatnya. Ibu W memiliki anak
angkat yang tinggal tidak jauh dari kediamannya. Beliau juga menuturkan, bahwa tempat
penampungan tinja dirumah warga dan juga anak angkatnya tersebut masih menggunakan
kolam karna tidak memiliki septitank.
Ketika kami menanyakan, apakah ibu tidak takut jatuh kalau misalnya pas malam
hari ibu mules pengen BAB (Buang Air Besar), terus ibu mesti keluar rumah ke jamban
cemplung kolam punya tetangga ibu? ibu W menjawab, ngga kok, sudah biasa soalnya
48

buang air disitu (jamban cemplung kolam)., tutur ibu W. Ibu W juga menuturkan alasannya
tidak membangun jamban sehat dirumahnya, selain karna dekat dengan kediaman anak
angkatnya, adalah dikarenakan masalah dana. Iya gak ada dananya, udah tua juga., tutur
ibu W.
Menurut penuturan ibu W, peran ketua RT sekitar sangat kurang dalam menyadarkan
warga akan pentingnya jamban sehat. disini mah pak RT nya kurang aktif, jadi warganya
juga kurang aktif., tutur ibu W.
Kami pun menanyakan peranan dari pihak puskesmas, beliau menyatakan bahwa dari
pihak puskesmas sudah pernah mengadakan sosialisasi ketika diadakan pengajian hari Jumat
di masjid. Kemudian kami menanyakan pendapat ibu W mengenai harapan terhadap peran
serta pemerintah dalam hal pengadaan jamban sehat ini, Ibu W berpendapat bahwa jika
mendapat bantuan dari pemerintah, sebaiknya berupa barang-barang bangunannya, kemudian
warga bersama-sama membangun jamban.
Responden kami yang terakhir ialah pak U. Ia adalah seorang warga baru di RW 16.
Ia merupakan mantan ketua RW 03 Cipariuk. Menurutnya, terdapat dua hal yang menjadi
penyebab rendahnya penggunaan jamban sehat di RW 16, yaitu faktor ekonomi dan
kurangnya sosialisasi.
Yaa menurut saya mah pertama-tama harus sosialisasi dulu. Kalau bisa dari pihak
Dinas Kesehatan atau Puskesmas terlebih dahulu kepada para pengurus RT dan RW. Setelah
itu ditiap pertemuan RW siaga misalnya itu ada sosialisasi lebih lanjut ke warganya oleh
perwakilan RT ataupun RW yang hadir pas sosialisasi dengan Dinkes atau pihak Puskesmas
nya. Kalau warga udah sadar perlahan-lahan nanti bisa di musyawarahkan untuk
merealisasikan pembuatan jamban ini. Yaa misalnya dengan cara iuran., tutur pak U.

49

Pak U merupakan seorang mantan ketua RW 03 Cipariuk. Pak U menuturkan bahwa


ketika ia masih menjadi ketua RW 03, sering dilakukan sosialisasi mengenai kesehatan
lingkungan, termasuk mengenai jamban sehat, ketika pengajian di masjid dan disampaikan
juga dalam RW siaga. Kemudian warga RW 03 melakukan musyawarah untuk merealisasikan
pembuatan jamban sehat tersebut dengan iuran.
Memang awalnya sulit, hampir sama kayak disini kayaknya pas dulu di RW 03 nya.
Tapi tiap minggu kan ada pengajian tuh, nah itu sering dikasih penyuluhan. Awalnya tentang
kesehatan lingkungan. Nanti pas di RW siaga baru lebih fokus ke jamban sehatnya. Bertahap
gitu. Terus warga jadinya iuran untuk buat jamban. Alhamdulillah, perlahan semakin banyak
yang punya., tutur pak U.
Ketika beliau masih menjadi warga RW 03, beliau pun menggunakan jamban sehat
dirumahnya. Namun ketika ia pindah ke RW 16 sekitar 1 bulan yang lalu, ternyata rumah
yang beliau tempati mengalami kerusakan di septitank nya, sehingga kini pak U dan keluarga
hanya menggunakan kloset yang aliran akhirnya menuju ke kolam. Pak U merupakan salah
satu warga yang menempuh pendidikan terakhir di bangku SMP. Beliau mengaku bahwa
beliau terkendala di dana untuk membuat septitank, dikarenakan penghasilannya sebagai
seorang buruh konveksi yang tak menentu.
Kalau niat untuk membuat sudah ada, tapi belum ada uangnya hehehe. Insya Allah
akan saya sisihkan dari pendapatan untuk membuat septitank, tuturnya.

BAB V
PEMBAHASAN
50

Di negara berkembang termasuk Indonesia, masih banyak terjadi pembuangan tinja


secara sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan di bidang
kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Kondisi tersebut terutama ditemukan pada masyarakat
pedesaan dan daerah kumuh perkotaan. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan
dapat mengakibatkan kondisi kontaminasi pada air, tanah atau menjadi sumber infeksi dan
akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan karena penyakit yang tergolong waterborne
disease akan mudah terjangkit. (Chandra B, 2007)
Pada penelitian kualitatif ini memfokuskan pembahasan mengenai faktor-faktor yang
mendasari rendahnya kepemilikan jamban sehat pada warga RW. 16 Desa Neglasari. Dalam
laporan data program kesehatan lingkungan pada cakupan wilayah kerja Puskesmas Banjar 2
didapatkan bahwa Desa Neglasari RW. 16 merupakan wilayah dengan tingkat kepemilikan
jamban sehat yang paling rendah, maka kami melakukan wawancara secara langsung dengan
beberapa warga untuk mengetahui penyebab warga tidak (rasa enggan) membuat jamban
sehat
Berikut ini kami (peneliti) menuliskan beberapa hasil wawancara secara langsung
kepada 6 warga RW.16 Desa Neglasari yang diseleksi berdasarkan faktor-faktor kriteria yang
telah kami tentukan yaitu; yang mewakili berbagai jenjang pendidikan akhir (tidak sekolah,
SD, SMP, SMA serta S1 dan setaranya), tingkat ekonomi (dibawah UMR (Upah Minimal
Regional) kota Banjar yaitu Rp 1.168.000,- dan diatas UMR kota Banjar), dan berdasarkan
kepemilikan jamban sehat (memiliki atau tidak memiliki jamban sehat dirumahnya).
Ibu W merupakan janda tua yang bekerja sebagai pedagang dengan penghasilan
15.000 perhari dan 200.000 perbulan yang diperoleh dari pabrik dekat rumahnya. Latar
51

belakang pendidikan bu W terhenti saat beliau duduk di kelas 2 SD. Ibu Warsiah memiliki
anak angkat yang tinggal tidak jauh dari kediamannya.
Kediaman ibu W tidak memiliki jamban, untuk pembuangan hajat dilakukan di rumah
warga lainnya atau dilakukan di kolam. Ibu W menuturkan bahwa beliau biasa melakukan
buang air besar dirumah tetangganya ataupun dirumah anak angkatnya. Ibu W memiliki anak
angkat yang tinggal tidak jauh dari kediamannya. Beliau juga menuturkan, bahwa tempat
penampungan tinja dirumah warga dan juga anak angkatnya tersebut masih menggunakan
kolam karna tidak memiliki septitank. Ketika kami menanyakan, apakah ibu tidak takut
jatuh kalau misalnya pas malam hari ibu mules pengen BAB (Buang Air Besar), terus ibu
mesti keluar rumah ke jamban cemplung kolam punya tetangga ibu? ibu W menjawab,
ngga kok, sudah biasa soalnya buang air disitu (jamban cemplung kolam)., tutur ibu W.
Ibu W juga menuturkan alasannya tidak membangun jamban sehat dirumahnya, selain karna
dekat dengan kediaman anak angkatnya, adalah dikarenakan masalah dana. Iya gak ada
dananya, udah tua juga., tutur ibu W.
Dalam wawancara lain, yaitu ibu S. Beliau merupakan salah satu warga di RT. 31
yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan menjaga warung miliknya, dengan latar
belakang pendidikan terakhir SMP (Sekolah Menengah Pertama). Keluarga ibu S masih
menggunakan jamban cemplung di kolam dan juga menggunakan kolam tersebut sebagai
tempat penampungan tinja dari jamban dirumahnya. Ketika kami menanyakan bagaimana ciri
jamban yang sehat, beliau menuturkan, jaraknya mesti 10 meter, mesti ada septitank. Yang
itu bukan?. Lalu kami pun menjelaskan mengenai 10 syarat jamban sehat. Namun ketika
kami tanyakan mengenai jarak antara kolam tempat penampungan tinja dengan sumber air
dirumahnya, ibu S menjawab bahwa jarak antara sumber air dengan kolam penampungan
tinja dirumahnya hanya berjarak 5 meter.

52

Ibu S menuturkan bahwa alasannya masih menggunakan jamban cemplung dan


menjadikan kolam sebagai tempat penampungan tinja adalah karena belum memiliki dana
untuk membangun septitank. dana nya aja belum ada, kalo ada mah suami bisa gitu bikin
tutur ibu S. Sumber utama untuk membiayai kehidupan sehari-hari keluarga ibu S, selain
warung miliknya yang hanya sesekali dibuka untuk menjual bala-bala, ialah suaminya,
dimana suami ibu S memiliki latar belakang pendidikan terakhir SD dan hanyalah bekerja
sebagai buruh pabrik.
Dalam wawancara berikutnya dengan pak U yang merupakan seorang mantan ketua
RW 03 Cipariuk, Ia adalah seorang warga baru di RW 16. Ketika beliau masih menjadi warga
RW 03, beliau pun menggunakan jamban sehat dirumahnya. Namun ketika ia pindah ke RW
16 sekitar 1 bulan yang lalu, ternyata rumah yang beliau tempati mengalami kerusakan di
septitank nya, sehingga kini pak U dan keluarga hanya menggunakan kloset yang aliran
akhirnya menuju ke kolam. Pak U merupakan salah satu warga yang menempuh pendidikan
terakhir di bangku SMP. Beliau mengaku bahwa beliau terkendala di dana untuk membuat
septitank, dikarenakan penghasilannya sebagai seorang buruh konveksi yang tak menentu.
Kalau niat untuk membuat sudah ada, tapi belum ada uangnya hehehe. InsyaAllah akan
saya sisihkan dari pendapatan untuk membuat septitank, tuturnya.
Dari tiga pernyataan di atas, Ibu W, Ibu S dan Bapak U memiliki alasan yang hampir
sama yakni tidak tersedia dana yang cukup, yang berarti tingkat ekonominya masih rendah.
Berkaitan dengan faktor tingkat ekonomi yang rendah, pola penyakit di Indonesia ini setara
dengan negara-negara lain yang penghasilan perkapitanya kurang lebih sama. Hal ini tampak
jelas bahwa negara yang tergolong miskin maka keadaan gizinya rendah, pengetahuan
tentang kesehatannya pun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya juga buruk dan
status kesehatannya buruk pula. (Slamet, 2002)

53

Ketiadaan uang untuk ditabung sehubungan dengan menurunnya pendapatan (karena


krisis ekonomi), meningkatnya biaya konstruksi (semenjak tahun 1998 sampai saat ini) serta
tidak adanya lahan untuk membangun sarana sanitasi lingkungan rumah tangga dan jauhnya
sumber air bersih. Umumnya masalah-masalah ini ditemukan pada masyarakat miskin atau
berpenghasilan rendah (Chandra, 2006)
Hal ini selaras dengan apa yang terjadi pada sebagian warga RW. 16 Desa Neglasari
yang berpenghasilan rendah di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Kota Banjar, dimana
tingkat ekonomi yang rendah mempengaruhi rendahnya kepemilikan jamban sehat.
Alasan lain dari enggannya masyarakat untuk membuat jamban sehat adalah
kurangnya sosialisasi serta kurangnya peran tokoh masyarakat dan warga terpandang dalam
memberi contoh dan menggerakkan juga menggalakkan pentingnya memiliki dan
menggunakan jamban sehat untuk menghindari berbagai penyakit dan menjaga kebersihan
lingkungan. Selain itu, harapan masyarakat mendapatkan bantuan dari pemerintah
mencerminkan ketidakmandirian masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesehatan mereka
sendiri, dimana hal ini pada dasarnya untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat itu
sendiri.
Menurut penuturan ibu W, peran ketua RT sekitar sangat kurang dalam menyadarkan
warga akan pentingnya jamban sehat. disini mah pak RT nya kurang aktif, jadi warganya
juga kurang aktif., tutur ibu W. Kami pun menanyakan peranan dari pihak puskesmas, beliau
menyatakan bahwa dari pihak puskesmas sudah pernah mengadakan sosialisasi ketika
diadakan pengajian hari Jumat di masjid. Kemudian kami menanyakan pendapat ibu W
mengenai harapan terhadap peran serta pemerintah dalam hal pengadaan jamban sehat ini,
Ibu W berpendapat bahwa jika mendapat bantuan dari pemerintah, sebaiknya berupa barangbarang bangunannya, kemudian warga bersama-sama membangun jamban.

54

Penuturan lain dari Ibu S yang menyarankan kader RT. tersebut melakukan
penyuluhan kepada lingkungan sekitar. ya kasih penyuluhan ke lingkungan, kan itu juga
orang kaya belum bikin (septictank). Kan seharusnya bikin ya orang kaya mah. tutur Ibu S.
Ibu S juga menuturkan bahwa jika ada bantuan dari pemerintah sebaiknya dalam bentuk
barang agar masyarakat bersama-sama membangun jamban. Untuk lokasi pembangunan
jamban itu sendiri, Ibu S berpendapat bahwa lokasi pembangunan jamban sebaiknya
dilakukan di beberapa titik agar mempermudah warga untuk menikmati fasilitas jamban
tersebut. Selain itu juga kebersihan jamban perlu dijaga dengan membagi kelompok untuk
membersihkan jamban.
Dalam wawancara lain, Pak U adalah salah seorang warga baru di RW. 16. Ia
merupakan mantan ketua RW. 03 Cipariuk. Menurutnya, terdapat dua hal yang menjadi
penyebab rendahnya penggunaan jamban sehat di RW. 16, yaitu faktor ekonomi dan
kurangnya sosialisasi. Yaa menurut saya mah pertama-tama harus sosialisasi dulu. Kalau
bisa dari pihak Dinas Kesehatan atau Puskesmas terlebih dahulu kepada para pengurus RT
dan RW. Setelah itu ditiap pertemuan RW siaga misalnya itu ada sosialisasi lebih lanjut ke
warganya oleh perwakilan RT ataupun RW yang hadir pas sosialisasi dengan Dinkes atau
pihak Puskesmas nya. Kalau warga sudah sadar perlahan-lahan nanti bisa di
musyawarahkan untuk merealisasikan pembuatan jamban ini. Ya misalnya dengan cara
iuran., tutur pak U.
Sosialisasi yang kurang terhadap masyarakat berpengaruh pada pengetahuan
masyarakat yang rendah akan pentingnya memiliki dan menggunakan jamban sehat, perlunya
sosialisasi dengan berbagai cara dan media untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
dimana Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra
manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
55

pengalaman manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Sikap dasar manusia adalah
keingintahuan tentang sesuatu. Dorongan untuk memenuhi keinginan tersebut akan
menyebabkan seseorang melakukan upaya pencarian. Serangkaian pengalaman selama proses
interaksi dalam lingkungan akan mengahasilkan sesuatu pengetahuan bagi orang tersebut,
(Notoatmodjo, 2003)

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu:


(Notoatmodjo, 2003)

a. Tahu (Know)
b. Memahami (Comprehension)
c. Aplikasi (Application)
d. Analisa (Analisis)
e. Sintesis (Synthesis)
f.

Evaluasi (Evaluation)

Dari berbagai penuturan warga di atas menunjukkan bahwa masih rendahnya


kepemilikan jamban sehat di Desa Neglasari juga dipengaruhi rendahnya pengetahuan
masyarakat mengenai pentingnya memiliki jamban sehat, dimana dalam hal ini perlu adanya
dukungan dari tokoh masyarakat dan petugas kesehatan untuk mengadakan sosialisasi dan
kerjasama membangun jamban sehat dengan masyarakat.
Pendidikan yang tinggi dan pekerjaan dengan penghasilan diatas UMR kota banjar
tidak selalu menjadikan warga sadar dan tahu mengenai pentingnya jamban sehat, penemuan
yang mengejutkan bahwa kami mewawancarai salah satu warga yang bekerja sebagai petugas
kesehatan yang ternyata tidak memiliki jamban sehat.
Berikut wawancara kami dengan ibu R yang bekerja dibagian keuangan RSUD
Banjar. Beliau memiliki seorang anak dan juga menantu yang bekerja sebagai perawat dan
radiografi di rumah sakit yang sama, yang tinggal bersama dengannya dalam satu rumah.

56

Walaupun bekerja di lingkungan kesehatan, namun rumah keluarga ini tidak memiliki jamban
yang sehat. Rumah ini tidak memiliki septitank sebagai tempat penampungan tinja,
melainkan menggunakan kolam yang berisikan lele jumbo yang dipergunakan khusus sebagai
tempat penampungan tinja. udah pernah kok dibuat septitank, tapi bau, uap tinjanya
kembali ke wc makanya jadi bau. Saya tidak bisa kalau septitank itu bau, ngga kuat sama
baunya. Jadi kembali lagi menggunakan itu (kolam lele jumbo). Saya nyaman, tidak bau. Ya
pokoknya nyaman lah saya pakai itu (kolam lele jumbo) dibanding septitank, tutur ibu R.
Kemudian kami tanyakan pula hal tersebut kepada menantunya mengenai alasan rumah
tersebut tetap menggunakan kolam lele jumbo sebagai tempat penampungan akhir tinja
dirumah tersebut. Saya mah sebenarnya kan ikut aja, ini rumah mertua soalnya. Sebenernya
juga masih nyaman aja pakai ini (kolam lele jumbo), soalnya kalau habis buang air besar,
terus masuk ke kolam, pasti ikannya langsung nyamber makan itu. Makanya ngga ada tinja
yang menggenang., tutur pak A, menantu ibu R.
Ketika kami menanyakan lebih lanjut, tapi bapak dan ibu tau kan mengenai efek
samping dari penggunaan jamban kolam seperti ini? Air dari kolam tersebut dapat terserap
ke tanah dan tanah tersebut bisa saja dekat dengan sumber air tetangga ibu atau bahkan
rumah ibu. Lalu kalau airnya digunakan bisa mengakibatkan gatal-gatal karena airnya tidak
bersih atau bahkan bisa menjadi diare jika dikonsumsi karena air tersebut tercemar., lalu
ibu I menjawab, iya, saya mengerti kok. Tapi coba tanya bu kader nya, disini ada yang
diare ngga? Disini mah ngga ada yang kena diare karena pake kolam. Lagi pula itu kolam
dirumah ini mah dirawat. Lele nya juga gede-gede ngga dijual dan ngga dikonsumsi., tutur
ibu I. Ketika kami menanyakan mengenai jarak antara kolam dengan sumber air di rumah
beliau, ibu I menuturkan jaraknya 10 meter kok, ada lah 15an.
Dalam wawancara ini mencerminkan minimnya pengetahuan keluarga ibu R
mengenai pembuatan jamban sehat yang benar, selain itu ibu R dan keluarga tampak acuh
57

terhadap efek yang ditimbulkan akibat tidak memiliki jamban sehat. hal ini memberi dampak
negatif pada masyarakat sekitar karena keluarga ini cukup dipandang sebagai keluarga
kesehatan yang berpenghasilan lebih tetapi masih belum memiliki jamban sehat.
Menurut penuturan salah satu warga, ternyata ada penyebab lain yang membuat warga
sekitar mengurungkan niat untuk membuat jamban sehat dirumahnya. Warga disini udah
pada tau kalau di RT ini ada orang kesehatan tapi rumahnya tidak pake jamban sehat, malah
pake kolam ikan untuk penampungan akhirnya. Jadi warga malah mikirnya ah itu orang
kesehatan aja ngga pake jamban sehat, ngapain kita make gitu mikirnya, jadi ya hanya
warga yang benar-benar sadar aja yang make jamban leher angsa., tutur ibu I yang
merupakan salah satu kader di RT tersebut. Contoh tidak baik dan kebiasaan masyarakat yang
sulit diubah dijadikan alasan sebagian warga enggan membuat jamban sehat.
Mengenai kebiasaan warga sekitar, menurut Ibu I yang merupakan seorang kader di
RT 32. Sudah 6 bulan beliau menjadi kader di RT nya, beliau pun cukup mengetahui karakter
warga sekitarnya. Beliau menyadari bahwa warga RT 32 memiliki kebiasaan yang sulit
diubah, misalnya dalam hal kebiasaan buang air besar di kakus atau jamban empang.
Beberapa rumah memang ada wc jongkok nya, tapi ya aliran akhirnya mah tetep aja ke
kolam atau empang untuk ngasih pakan ikan biasanya..
Ini sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat sendiri yang sudah menjadi kebiasaan
bertahun-tahun. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakt itu sebenarnya sudah dilakukan
sejak lama dengan bantuan pembangunan jamban dibeberapa tempat yang membutuhkannya,
(Maulana HDJ, 2009)
Ketika perilaku masyarakat berubah dalam hal buang air besar maka akan dampak ikutan
kearah yang lebih baik. Merajuk kepada ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO).Sanitasi yang aman mampu menurunkan resiko diare hingga 36%. Biaya pengobatan
58

pun akan berkurang. Hanya perlu komitmen yang kuat dari masyarakat dan pemerintah untuk
harus mendorong upaya peningkatan sanitasi.(Aryani, 2009)
Contoh tidak baik dan kebiasaan masyarakat yang sulit diubah dijadikan alasan
sebagian warga enggan membuat jamban sehat, maka perlu adanya pendekatan yang
mendalam untuk dapat merubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat. Hal ini tentu perlu
adanya kesadaran dan kerjasama semua pihak, terutama pihak petugas kesehatan, tokoh
masyarakat dan warga sekitar yang dipandang.
Dari sekian banyak warga yang tidak memiliki jamban , sebagian kecil warga lainnya
telah memahami dan menyadari pentingnya menjaga kesehatan keluarga dan lingkungan
dengan memiliki jamban sehat.
Dalam wawancara kami dengan bapak DA yang merupakan salah seorang pegawai di
BKPPP (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan) kota Banjar dan istrinya, ibu
IM, merupakan seorang perawat di RSUD Banjar, yang sama-sama memiliki penghasilan
diatas UMR kota Banjar. Pak DA menuturkan bahwa alasan utamanya menggunakan jamban
sehat di rumahnya ialah bukan hanya karena alasan kesehatan, melainkan dikarenakan
kebutuhan utama yang diperlukan. Karena kebutuhan sih lebih tepatnya, kalau kesehatan
itu kan yang menunjangnya, ya seiring dengan kebutuhan itu terpenuhi dengan baik., tutur
pak DA. Menurutnya, kebutuhan sehari hari yang penting untuk dijaga ialah pemasukan dan
pengeluarannya, pemasukan yang ia maksudkan ialah pemasukan dalam hal makanan dan
pengeluaran ialah hasil olahan makanan yang diproses dalam tubuh (Buang Air Besar/BAB),
dimana kita tidak dapat menduga

kapan tubuh

kita

akan berkontraksi untuk

mengeluarkannya. Kalau tiba-tiba mules pas malam hari gimana coba? Masa harus keluar
rumah dulu? Ke empang dulu misalnya, ribet nanti. Apalagi kalau sampai anak yang
ternyata kebelet buang air besar. Dan sebenarnya saya juga kurang suka kalau ada kakus di

59

rumah, kurang enak aja ngeliatnya. Kalau pakai jamban dalam rumah kan jadi lebih mudah
dan sehat., tutur pak DA.
Pak DA juga menuturkan bahwa masyarakat sekitarnya sebenarnya termasuk
masyarakat yang mampu untuk mengadakan jamban sehat dirumahnya, namun masalah
tersulitnya ialah masyarakat memiliki kebiasaan yang sulit diubah, mereka merasa bahwa
mereka sehat dengan keadaan yang seperti ini (dengan menggunakan kakus ataupun jamban
cemplung) sehingga dengan menyentuh masyarakat dengan mengingatkan tentang kesehatan
akan sulit dimengerti, lebih baik dengan memberi tahu dampak negatif lainnya dengan tidak
menggunakan jamban yang sehat. Kalau dibilang mampu mah warga disini pada mampu
nyisihin uang sedikit-sedikit buat iuran untuk buat jamban, tapi yang penting ya diberi
intervensi terlebih dahulu dari aparat masyarakatnya., tutur pak DA. Sebagai orang yang
dianggap paling dekat dan disegani masyarakat, baiknya tokoh masyarakat pun turut andil
dalam hal ini. Selain memberitahu masyarakat akan pentingnya menggunakan jamban sehat,
tokoh masyarakat pun haruslah memberi contoh kepada warganya. Ya misalnya pak RT,
Kader dan aparat lainnya pun harusnya menjadi contoh dengan menggunakan jamban sehat
dirumahnya. Selain itu mungkin kalau untuk bantuan dari pemerintah nya mungkin bisa
diwakili sama Dinas Kesehatan ataupun pihak Puskesmas nya, mungkin meminta
bantuannya bukan dalam hal memberi dana, namun dengan memberi penekanan kepada
masyarakat mengenai dampak negatif dengan tidak menggunakan jamban pada awal
mulanya. Nah setelah itu buat kesepakatan dengan warga siapa yang akan buat jamban?
Nah nanti kan pada angkat tangan tuh, habis itu ditulis namanya dan ditagih lagi misalnya
minggu depannya atau diingetin terus, jadi mereka pun ngerasa kalau ada janji kalau mau
buat jamban sehat. Setelah itu baru mungkin dari pihak Dinas Kesehatan atau Puskesmas
bisa memberikan penyuluhan lebih lanjut mengenai syarat jamban sehat, cara mengelola
jamban sehat dan lain-lainnya sembari mereka juga buat jamban sehatnya. Jadi mah intinya
60

harus ada realisasi langsung setelah memberikan penyuluhan., tutur pak DA mengenai
sarannya dalam masalah jamban sehat dilingkungannya ini.
Contoh yang baik dan kepedulian akan kesehatan serta pengamatannya terhadap
warga sekitar dari keluarga Bapak DA patut diacungi jempol, tapi contoh tidak baik yang
masih mendominasi tetaplah menjadi masalah bagi warga RW.16 Desa Neglasari.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah kami telaah hasil wawancara yang kami lakukan langsung kepada
warga, dapat disimpulkan bahwa rendahnya kepemilikan jamban di RW.16

61

Warungbuah Desa Neglasari dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor ekonomi,
kebiasaan masyarakat, pengetahuan dan peranan tokoh masyarakat, dimana tiap
faktornya saling berkaitan. Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dikarenakan
minimnya pengetahuan mengenai pentingnya memiliki dan menggunakan jamban
sehat menyebabkan sulitnya merubah kebiasaan yang ada. Hal tersebut dapat terjadi
pada setiap lapisan masyarakat, tak hanya masyarakat dengan tingkat pendidikan
yang rendah, namun para tokoh masyarakat atau orang yang dianggap terpandang
pun dapat melakukannya. Selain itu, kebiasaan masyarakat RW 16 Warungbuah yang
sulit diubah ialah kebiasaan masyarakat yang masih melihat contoh yang tidak baik
dari tokoh masyarakat dan warga sekitar yang dianggap terpandang yang tidak
memiliki jamban. Sehingga, masyarakat lainnya pun mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh tokoh masyarakat atau orang yang dipandang tersebut.
Peranan aktif tokoh masyarakat dalam meningkatkan peran serta masyarakat
dalam mewujudkan pengadaan jamban sehat ditiap rumah dan mengajak masyarakat
untuk berpartisipasi aktif dalam bersama fasilitas yang telah diberikan pemerintah di
RW 16 Warungbuah pun penting untuk dilakukan, sehingga perlu adanya sosialisasi
yang terstruktur, terprogram dan intens dengan berbagai cara dan media serta
pendekatan yang mendalam dengan cara musyawarah untuk mendapatkan solusi dan
pemahaman mengenai pentingnya memiliki dan menggunakan jamban sehat kepada
semua lapisan masyarakat pada warga RW.16 Desa Neglasari serta yang terpenting
adalah harus selalu diadakan evaluasi dan pemantauan yang terjadwal untuk menilai
apakah program yang telah dibuat dapat diterima dan berjalan sesuai dengan tujuan
program tersebut.
B. Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan
Diharapkan dapat memberikan bantuan berupa pendekatan kepada tokoh
masyarakat ataupun warga yang sekiranya dianggap memiliki pengaruh besar

62

terhadap

keberlangsungan

program

kesehatan

lingkungan

dalam

mempengaruhi kepemilikan jamban sehat di RW 16 Warungbuah, Desa


Neglasari, agar segera memiliki dan menggunakan jamban sehat dirumahnya.
2. Bagi Puskesmas
Diharapkan dapat membantu Dinas Kesehatan untuk sosialisasi lebih
lanjut serta memantau tokoh masyarakat atau warga terpandang yang
memiliki pengaruh di lingkungannya yang belum memiliki dan
menggunakan jamban sehat hingga dipastikan warga tersebut

memiliki dan menggunakannya.


Diharapkan dapat membantu

mengawasi

proses

realisasi

pembangunan jamban sehat yang telah disepakati bersama dari hasil


musyawarah.
3. Bagi petinggi RW dan RT serta tokoh masyarakat
Diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat sekitarnya dengan
turut serta aktif dalam memiliki dan menggunakan jamban sehat,
sehingga akan lebih mudah untuk mengajak warga sekitarnya agar

memiliki dan menggunakan jamban sehat dirumahnya.


Diharapkan mampu mengajak warga sekitarnya untuk berperan aktif
dalam menjaga fasilitas yang telah diberikan pemerintah di

lingkungannya.
4. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat memahami akan pentingnya memiliki dan
menggunakan jamban sehat dan tidak lagi menggunakan kolam

sebagai tempat pembuangan tinja.


Diharapkan masyarakat berperan aktif dalam mewujudkan pengadaan
jamban sehat dilingkungan sekitar dan rumahnya dengan hasiil

musyawarah yang dilakukan bersama.


Diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam menjaga fasilitas
jamban sehat yang sudah tersedia.

63

DAFTAR PUSTAKA

Azwar A. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya; 1995.
Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC
Depkes RI. Profil kesehatan sumatera barat. 2012
Ingga, Ibrahim. 2008. Pengaruh Lingkungan Eksternal, Lingkungan Internal, Strategi
Kepemimpinan Biaya, Strategi Diferensiasi, terhadap Nilai Pelanggan dan
Keunggulan Bersaing. Jurnal Aplikasi Manajemen.
Maulana, HDJ. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC.
Munif A. Environmental Sanitation's Journal. Available at
http://environmentalsanitation.wordpress.com/category/septic-tank/
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press
Yogyakarta.
Soemaji.P. Pembuangan Kotoran dan Air Limbah. Jakarta: Grasindo; 2005.
Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja & Limbah Cair (Suatu Pengantar).
Jakarta: EGC
64

UU No 825/2008. Strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat; 2008


Widyati Y. Hygiene dan Sanitasi Umum. Jakarta: Gramedia Wdiasarana; 2002.
Available at http://environmentalsanitation.wordpress.com/category/septic-tank/
Saryono, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta.
Nuha Medika.

65

Anda mungkin juga menyukai