Anda di halaman 1dari 5

Bughat

09 Jun 2015 in Syari'ah Leave a comment


Salah satu istilah dalam siyasah syariyah yang penting untuk dipahami adalah istilah bughat.
Istilah ini perlu dipahami kembali oleh kaum muslim. Hal itu penting agar kaum muslim tidak
terjebak dalam upaya memanipulasi istilah bughat ini untuk mendukung rezim yang tidak Islami
bahkan rezim yang tidak menerapkan hukum-hukum syariah dan sama sekali tidak peduli
terhadap hukum-hukum syariah Islam. Hal itu seperti yang terjadi di sebagian negeri Islam.
Makna Bahasa Bughat
Bught adalah bentuk jamak al-bghi, berasal dari kata bagh, yabgh, baghyan-bughyatanbugh`an. Kata bagh maknanya antara lain thalaba (mencari, menuntut), zhalama (berbuat
zalim), itad/tajwaza al-had (melampaui batas), dan kadzaba (berbohong) (Ibrahim Anis,
Mujam al-Wasith, 1972:64-65; Munawwir, Kamus al-Munawwir, 1984:65,106; Ali,
1998:341). Jadi, secara bahasa, al-bghi (dengan bentuk jamaknya al-bught), artinya azhzhlim (orang yang berbuat zalim), al-mutad (orang yang melampaui batas), atau azh-zhlim
al-mustal (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Attabik Ali, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, 1998:295, Ibrahim Anis, al-Mujam al-Wasith, 1972: 65).
Makna Syari Bughat
Para ulama beragam dalam mendefinisikan bught, kadang mendefinisikan bughat secara
langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] /pemberontakan (Abdul Qadir
Audah, 1996 at-Tasyr al-Jin`i al-Islami :673-674; Syekh Ali Belhaj, 1984, Fashl al-Kalm f
Muwjahah Zhulm al-Hukkm :242-243).
Menurut ulama Hanafiyah al-Baghy[u] adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang
haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-bghi adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada
imam yang haq dengan tanpa haq (Ibn Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Muhammad bin
Abdul Wahid as-Siyuwasi, Syarhu Fathul Qadir, IV/48).
Ulama Malikiyah menjelaskan al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk menaati imam (khalifah)
yang sah dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah)
sekalipun karena alasan ta`wil (penafsiran agama). Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari
kaum muslimin yang menyalahi imam azham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak
(imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menurunkannya (A-Zarqani, Hasyiyah AzZarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
ulama Syafiiyah mengartikan bught adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan
memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang wajib mereka
tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan
pemimpin yang ditaati (muth) dalam kelompok tersebut (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; asy-

Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197-198;


Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).
Bughat juga diartikan sebagai orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid
(keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah),
karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang
ditaati (Asna al-Mathalib, IV/111).
Jadi menurut ulama Syafiiyah, bught adalah pemberontakan sekelompok orang (jamaah), yang
mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muth), dengan ta`wil yang fasid
(Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jinaiy, II/674).
Menurut ulama Hanabilah Bughat adalah orang-orang yang memberontak kepada imam
walaupun ia bukan imam yang adil dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh),
mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara
mereka (Syarah al-Muntaha maa Kasysyaf al-Qana, IV/114).
Ibn Hazm mendefinisikan Bught adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam
kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud (Ibnu Hazm, AlMuhalla, XII/520). Al-Baghyu adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil
yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia (Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
XI/97-98).
Sedangkan menurut ulama Syiah Zaidiyah, Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa
mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi
imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta
melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam (ar-Rawdh an-Nadhir, IV/331).
Definisi Yang Rajih
Perbedaan definisi yang ada disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah
kelompok itu dapat disebut bughat (Audah, ibid, 1996:674). Sedangkan syarat merupakan
hukum syara (bagian hukum wadhi), yang wajib bersandar kepada dalil syari, sehingga syarat
yang sah adalah syarat syariyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat diyah
(syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, I/186). Oleh karenanya tentang syarat bught
kita harus merujuk kepada dalil-dalil syari. Dalil tentang bught adalah QS Al-Hujurat ayat 9
(Abdurrahman Al-Maliki, 1990:79), hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada
imam (khalifah). (Ash-Shanani, Subulus Salam III bab Qitl Ahl Al-Bagh hal. 257-261; Abdul
Qadir Audah, 1992, at-Tasyri al-Jinaiy, hal 671-672) dan ijma shahabat, mengenai wajibnya
memerangi bughat (Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, t.t. :153; Taqiyuddin Al-Husaini,
Kifayatul Akhyar, t.t.:197).
Dengan mengkaji nash-nash syara tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada
secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu (Abdurrahman AlMaliki, Nizhm al-Uqubat, 1990:79; Muhammad Khayr Haikal, al-jihad wal Qital fi as-Siyasah
asy-Syariyyah, 1996: 63):

1)

Pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ala al-khalifah);

2)
dan

Adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan untuk mendominasi (saytharah);

3)

Mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya.

Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ala al-imam).
Misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang
mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang
tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (TQS
Al-Hujurat [49]:9)
Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153)
mengatakan,Dalam ayat ini memang tidak disebut memberontak kepada imam secara sharih,
akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat
tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan
lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.
Syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan
memberontak kepada imam (al-khuruj an thaat al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :


Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah dan
mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Subulus Salam
III/258).
Mengenai yang dimaksud dengan imam, Abdul Qadir Audah menegaskan, [Yang dimaksud]
Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah alala), atau orang yang mewakilinya (Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri al-Jinaiy, II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah
ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun
dalam konteks sistem negara Islam (daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain.
Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam
konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat ash-Shanani, Subulus Salam,
III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah
(golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam
konteks daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh al-Qadir, II/336).

Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada
presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut
pengertian syari yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mendominasi.
Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali
mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan
dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul
Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asysyaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti
kekuatan) (Ibrahim Anis, Al-Mujamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafiiyyah menyatakan
bahwa asy-syaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan
adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9)
pada lafazh wa in th`ifatni (jika dua golongan). Sebab kata th`ifah artinya adalah aljamaah (kelompok) dan al-firqah (golongan) (Ibrahim Anis, Al-Mujamul Wasith, hal. 571). Hal
ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan
kekuatan. Taqiyuddin Al-Husaini mengatakan,jika (yang memberontak) itu adalah individuindividu (afrdan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.
(Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar II/198). Jadi jika satu atau beberapa individu yang
tidak mempunyai kekuatan, memberontak kepada khalifah, maka tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Dalilnya QS Al
Hujurat : 9, yaitu lafazh iqtatal (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan
adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silh). Selain itu Nabi SAW
bersabda :



Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.
(Muttafaqun alayhi. Subulus Salam, III/257. Kitab Qitl Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syairazi, AlMuhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi
tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu
tak dapat disebut bughat.
Oleh karenanya, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki mendefinisikan bught sebagai orang-orang
yang memberontak kepada daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah)
dan senjata (manah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak menaati negara,
mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara
(Abdurrahman al-Maliki, Nizhm al-Uqbt f al-Islm, 1990, hal 79).
Menangani Bught

Ayat diatas telah menyatakan bahwa hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai
mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan
menghentikan pembangkangan mereka. Namun sebelum sampai kepada perang tersebut, imam
atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari negara.
Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan.
Jika mereka mengklaim suatu syubhat maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan.
Jika mereka menilai apa yang dilakukan oleh khalifah (negara) menyalahi kebenaran atau syara,
padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan dan kebijakan
khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta harus ditampakkan kebenarannya.
Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap cukup. Jika mereka yang melakukan bught
itu tetap dalam pembangkangan, maka mereka diperangi agar kembali taat.
Namun harus diingat, perang terhadap mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran
(qitl at-ta`db) bukan perang untuk memusnahkan. Perang terhadap mereka bukan merupakan
jihad. Jadi harta mereka bukan fai dan tidak boleh dirampas dan dibagi-bagi. Mereka yang
tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan, melainkan diperlakukan sebagai pelaku kriminal.
Wanita dan anak-anak mereka yang dibawa serta di medan perang tidak boleh dijadikan sabi.
Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman ]

Anda mungkin juga menyukai