Bughat
Bughat
1)
2)
dan
3)
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ala al-imam).
Misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang
mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang
tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (TQS
Al-Hujurat [49]:9)
Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153)
mengatakan,Dalam ayat ini memang tidak disebut memberontak kepada imam secara sharih,
akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat
tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan
lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.
Syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan
memberontak kepada imam (al-khuruj an thaat al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah dan
mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Subulus Salam
III/258).
Mengenai yang dimaksud dengan imam, Abdul Qadir Audah menegaskan, [Yang dimaksud]
Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah alala), atau orang yang mewakilinya (Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri al-Jinaiy, II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah
ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun
dalam konteks sistem negara Islam (daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain.
Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam
konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat ash-Shanani, Subulus Salam,
III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah
(golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam
konteks daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh al-Qadir, II/336).
Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada
presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut
pengertian syari yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mendominasi.
Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali
mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan
dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul
Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asysyaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti
kekuatan) (Ibrahim Anis, Al-Mujamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafiiyyah menyatakan
bahwa asy-syaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan
adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9)
pada lafazh wa in th`ifatni (jika dua golongan). Sebab kata th`ifah artinya adalah aljamaah (kelompok) dan al-firqah (golongan) (Ibrahim Anis, Al-Mujamul Wasith, hal. 571). Hal
ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan
kekuatan. Taqiyuddin Al-Husaini mengatakan,jika (yang memberontak) itu adalah individuindividu (afrdan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.
(Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar II/198). Jadi jika satu atau beberapa individu yang
tidak mempunyai kekuatan, memberontak kepada khalifah, maka tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Dalilnya QS Al
Hujurat : 9, yaitu lafazh iqtatal (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan
adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silh). Selain itu Nabi SAW
bersabda :
Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.
(Muttafaqun alayhi. Subulus Salam, III/257. Kitab Qitl Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syairazi, AlMuhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi
tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu
tak dapat disebut bughat.
Oleh karenanya, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki mendefinisikan bught sebagai orang-orang
yang memberontak kepada daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah)
dan senjata (manah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak menaati negara,
mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara
(Abdurrahman al-Maliki, Nizhm al-Uqbt f al-Islm, 1990, hal 79).
Menangani Bught
Ayat diatas telah menyatakan bahwa hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai
mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan
menghentikan pembangkangan mereka. Namun sebelum sampai kepada perang tersebut, imam
atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari negara.
Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan.
Jika mereka mengklaim suatu syubhat maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan.
Jika mereka menilai apa yang dilakukan oleh khalifah (negara) menyalahi kebenaran atau syara,
padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan dan kebijakan
khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta harus ditampakkan kebenarannya.
Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap cukup. Jika mereka yang melakukan bught
itu tetap dalam pembangkangan, maka mereka diperangi agar kembali taat.
Namun harus diingat, perang terhadap mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran
(qitl at-ta`db) bukan perang untuk memusnahkan. Perang terhadap mereka bukan merupakan
jihad. Jadi harta mereka bukan fai dan tidak boleh dirampas dan dibagi-bagi. Mereka yang
tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan, melainkan diperlakukan sebagai pelaku kriminal.
Wanita dan anak-anak mereka yang dibawa serta di medan perang tidak boleh dijadikan sabi.
Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman ]