ANEMIA APLASTIK
Oleh
Jupri Sartika, S. Ked
I1A099039
Pembimbing
Dr. H. Hasni Hasan Basri, Sp.A
PENDAHULUAN
Anemia aplastik bukan penyakit tunggal, tetapi suatu kelompok penyakit yang
berhubungan dengan kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan ketiga tipe sel
darah yaitu : sel darah merah, sel darah putih dan platelet 1. Pengurangan jumlah sel
darah merah menyebabkan rendahnya kadar Hb dalam darah tepi, sel darah putih
yang berkurang jumlahnya menyebabkan pasien mudah terkena infeksi, pengurangan
pembentukan platelet menyebabkan darah sukar membeku 2.
Anemia aplastik adalah sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai
dengan pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang 3. Aplasia yang hanya mengenai
sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik); yang hanya
mengenai sistem granulopoetik saja disebut agranulositosis (penyakit Schultz)
sedangkan yang hanya mengenai sistem trombopoetik disebut amegakariositik
trombositopenik purpura (ATP), anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini 4.
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 juta kasus persejuta penduduk pertahun. Penelitian The
International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di awal tahun 1980-an
menemukan frekuensi di Eropa dan Israel 2 kasus persejuta penduduk. Perjalanan
penyakit pada pria juga lebih berat daripada wanita. Perbedaan umur dan jenis
kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis
mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan 5.
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
A. Identitas Penderita
Nama
: An. D
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 11 tahun
B. Identitas Orangtua
Ayah
Ibu
Nama
Nama
: Ny. Tina
Umur
: 40 tahun
Umur
: 34 tahun
Pendidikan
: SMA
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
Pekerjaan
: Swasta
Agama
: Islam
Agama
: Islam
Alamat
: Anjir Km. 21
II. ANAMNESIS
Pasien rujukan dari dr. Gladys Gunawan, Sp.A dengan diagnosis anemia
aplastik. Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, tanggal 26 Juli 2005
pukul 14.00 WITA.
a. Keluhan Utama
3. Riwayat Neonatal
Anak lahir langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna seluruh badan
kemerahan. Selama periode ini penderita tidak pernah sakit.
e. Riwayat Perkembangan/Pertumbuhan
Keluarga lupa kapan penderita dapat tiarap, merangkak, duduk dan berdiri.
Anak sudah dapat berjalan sejak umur 12 bulan. Menurut ibu, pertumbuhan anak
tidak jauh berbeda dengan teman sebayanya. Perkembangan penderita seperti
membaca, menulis dan prestasi sekolahnya sesuai dengan umur anak seusianya.
f. Riwayat Imunisasi
Nama
BCG
Polio
Hepatitis B
DPT
Campak
3
3
2
4
4
3
9
5
5
4
Ulangan
(Umur dalam bulan)
-
g. Riwayat Makanan
Penderita mendapatkan ASI eksklusif sejak lahir sampai 6 bulan, PASI sejak
usia 6 bulan berupa susu kadang diselingi dengan buah-buahan dan bubur nasi.
Penderita tidak pernah mengalami gangguan dalam pola makan, saat ini penderita
tidak mengalami perubahan nafsu makan. Frekuensi makan 3 kali sehari dengan
menu nasi, sayur dan ikan.
h. Riwayat Keluarga
Tidak ada dikeluarga yang menderita penyakit seperti penderita. Tidak ada
riwayat penyakit asma, darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan
dikeluarga.
Ikhtisar Keluarga :
Keterangan :
= perempuan
= laki-laki
= penderita
Susunan Keluarga
No.
1.
2.
3.
4.
Nama
Tn. S
Ny. E
An. D.N
An. D
Umur
42
43
15
11
L/P
L
P
P
L
Keterangan
sehat
sehat
sehat
sehat
i. Riwayat Psikososial
Anak tinggal serumah dengan ayah ibu dan kakaknya dalam rumah permanen,
ventilasinya baik, air minum, mandi, cuci dan minum sehari-hari berasal dari
PDAM. Rumah penderita ada dalam kompleks perumahan
3. PEMERIKSAAN FISIK
c. Tanda vital
Tensi
: 100/60 mmHg
Nadi
Suhu
: 35,6 C
Respirasi
: 24 kali/menit, teratur
Berat Badan
e. Kepala/leher
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
: Hidung
berbentuk
normal,
simetris,
tidak
terdapat
Lidah
Pharing
Tonsil
: Warna
merah
muda,
tidak
membesar,
tidak
ada
abses/pseudomembran.
f. Leher
g. Toraks
1. Pulmo
Inspeksi
Perkusi
Palpasi
Perkusi
Batas atas
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
i. Ekstremitas
Umum
Neurologis
j. Susunan saraf :
k. Genitalia
: Jenis
laki-laki.
Pemeriksaan
genitalia
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
06 Juli 2005
Hematologi
Hb
Leukosit
Hematokrit
Retikulosit
Trombosit
WBC
: 2,1 x 103/L
RBC
: 0,78 x 106/L
tidak
Lymph
: 1,4 x103/L
Mid
: 0,2 x103/L
HCT
Gran
: 0,5 x 103/L
MCV : 100,8 fL
MCH
: 35,8 pq
RDW-SD
: 65,8 fL
MCHC
: 35,8 g/dL
PLT
: 5 x 103/L
RDW-CV
: 18,,4
: 7,8%
Leukosit
Trombosit
Kesan
: pansitopenia
Saraf
: BMA
13 Juli 2005
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sediaan dipulas : Wright
Partikel
: ada
Kepadatan sel
: kurang
Sel lemak
: banyak
Trombopoesis
Hitung Jenis
Blastosit
Premielosit
Mielosit
(%)
3,5
Total (%)
Metamielosit
Batang
Segmen
Basofil
Eosinofil
4,0
6,0
7,0
0,5
Rubriblas
Prorubrisit
Rubrisit
Metarubrisit
Limfosit
Monosit
Plasmosit
Histiosit
Sel eritrosit
Berinti > 1
Sel tidak dikenal
75,5
1,0
2,5
-
Kesan
21,0
13,0-32,0
10,0-30,0
10,0-30,0
0,0-0,7
0,5-4,0
0,2-0,6
1,4-2,0
8,0-21,0
1,0-3,0
3,0-17,0
0,5-5,0
0,1-2,0
: 9,2 gr%
HCT
: 25,2%
Leukosit
: 1800/L
MCV
: 85,6 fL
Trombosit
: 23.000/L
MCH
: 36,5 g/dL
WBC
: 1,8 x 103/L
RDW-CV
: 13,6%
RDW-SD
: 43,2 fL
PLT
: 23 x 103/L
Gran
MPV
: 12,7 fL
RBC
: 2,95 x 106/L
PDW
: 17,1
HGB
: 9,2 g/dL
PCT
: 0,02 gr%
26 Juli 2005
WBC
: 3,56 x 103/L
RDW-SD
RBC
: 3,16 x 106/L
RDW-CV
: 12,4 %
Hb
: 9,0 g/dL
Neutrofil
HCT
: 26,0 %
MCV
: 82,3 fL
Monosit
MCH
: 28,5 pq
Eosinofil
: 0,00
MCHC
: 34,6 g/dL
Basofil
PLT
: 4 x 103/L
: 33,8 fL
2 Agustus 2005
WBC
: 3,94 x 103/L
RDW-SD
RBC
: 3,61 x 106/L
RDW-CV
: 12,5 %
Hb
: 10,1 g/dL
Neutrofil
HCT
: 29,0 %
MCV
: 80,3 fL
Monosit
MCH
: 28,0 pq
Eosinofil
: 0,00
MCHC
: 34,8 g/dL
Basofil
PLT
: 4 x 103/L
: 34,8 fL
: 1100/L
tes widal:
Salmonella Typhi O 1/40
RBC
: 2,98 x 106/L
Hb
: 8,3 g/dL
HCT
: 23,2 %
Salmonella Paratyphi BO
MCV
: 80,3 fL
PLT
: 31 x 103/L
1/40
Pemeriksaan urine:
Leukosit 0-2/Lpb
Eritrosit banyak /Lpb
Tanggal 9 Agustus 2005
Foto thorax : tidak terdapat kelainan di paru-paru
Tanggal 12 Agustus 2005
WBC
: 0,52 x 103/L
RDW-SD
RBC
: 3,77 x 106/L
RDW-CV
: 13,1 %
Hb
: 10,7 g/dL
Neutrofil
: -
HCT
: 30,1 %
MCV
: 79,8 fL
Monosit
MCH
: 28,4 pq
Eosinofil
: 0,00
MCHC
: 35,5 g/dL
Basofil
: 0,00
PLT
: 4 x 103/L
WBC
: 3,94 x 103/L
RBC
: 3,61 x 106/L
: 34,8 fL
CRP (-)
Tanggal 13 Agustus 2005
Malaria (-)
5. RESUME
Nama
: An. D
: 11 tahun
Berat Badan
: 28 kg
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : tampak pucat
Kesadaran
Tensi
: 100/60 mmHg
Nadi
Suhu
: 35,6 C
Pernafasan
: 24 kali/menit, teratur
Gizi
: sedang (79%)
Kulit
Kepala
Mata
: konjungtiva anemis
Hidung
Telinga
Mulut
: bibir anemis
Lidah
: merah mudah
Leher
Toraks
Abdomen
Ekstremitas
Susunan saraf
Genitalia
Anus
6. DIAGNOSA
a. Diagnosa Banding
Anemia aplastik
ITP
Leukemia
b. Diagnosa Kerja
Anemia aplastik
c. Status Gizi
Sedang (79%)
7. PENATALAKSANAAN
IVFD KAEN I B 6-8 tetes/menit
IV
: Ampicillin 3 x 500 mg
Oral
: Medol 3 x II tab
Imbrost 2 x cth II
Transfusi WB 250 cc
Predexa ampul + lasix 20 gr
9. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad malam
Quo ad functionam
: dubia ad malam
Quo ad sanationam
: dubia ad malam
10. PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi sekunder dan trauma serta menghentikan paparan terhadap
insektisida
PEMBAHASAN
sejenisnya. Keluarga anak juga tidak ada yang menderita penyakit yang serupa,
karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan idiopatik.
Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum
tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik, serta
aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit
kepala, palpitasi dan mudah lelah. Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi
dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang disebabkan kegagalan jantung.
Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan gusi atau timbulnya
petekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya
infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik
atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya 1,2,3,4. Pada anemia aplastik tidak
terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2,4.
Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial
akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan
fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat memperberat
kondisi pasien saat ini.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan tanpa
organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis
relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang yaitu gambaran
sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem
eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang yang
sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel
endotel)4.
Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu
penderita tampak pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda granulositopenia
berupa petekie yang tampak di seluruh tubuh. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya
organomegali.
Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan
granulositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan
penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami penurunan jumlah.
Dari pemeriksaan BMA didapatkan sumsum tulang hiposeluler, aktivitas semua
sistem tertekan. Tampak dominasi limfosit dan sel lemak.
Diagnosis banding yaitu ITP dapat disingkirkan karena pemeriksaan darah
rutin dan blood smear pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia. Diagnosis
leukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada blood
smear akan ditemukan sel-sel muda. Kedua diagnosis banding di atas akan jelas dapat
disingkirkan apabila dilakukan pemeriksaan BMA.
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan terapi
suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama pada
pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka
kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang baik
yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi penolakan
maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin dan
siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%7. Terapi suportif adalah
pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6,7.
Penatalaksanaan pada anemia aplastik pada FKUI adalah sebagai berikut4:
1. Prednison dan testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan
testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral.
Penelitian menyebutkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan oksimetolon
yang mempunyai daya anabolic dan merangsang sistem hemopoetik lebih kuat
dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari peroral. Pengobatan biasanya
berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat bertahun-tahun. Bila telah
terdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel darah diawasi
setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh
kembali. Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan
oksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik,
kemudian sistem granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang
remisi terlihat pada sistem granulopoetik terlebih dahulu, disusul oleh sistem
eritropoetik dan trombopoetik. Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakan
indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah
tercapai bahaya perdarahan yang fatal masih ada, sehingga anak sebaiknya
dipulangkan dari rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000100.000/mm3.
2. Transfusi darah
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar
hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering,
akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya
reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini transfusi darah gagal
karena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan sebagai akibat
timbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut. Dengan demikian transfusi darah
hanya diberikan bila diperlukan.
3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalm ruangan
yang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang tidak
menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.
4. Makanan
Disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan lunak.
5. Istirahat
Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama perdarahan otak.
Pada kasus ini penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi
sumsum tulang karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yang
baik, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya sarana dan
prasarana yang ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif. Terapi
imunosupresif yang memungkinkan untuk dilaksanakan adalah dengan pemberian
kortikosteroid yang dalam hal ini adalah prednison. Program terapi dengan prednison
ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian diagnosa dari BMA.
Sekitar 12 hari setelah diagnosis ditegakkan dengan BMA anak kemudian diberi
pengobatan imunosupresif berupa metilprednisolon, kemudian tanggal 4 Agustus 205
setelah dikonsulkan dengan dr. Pudji Andayani, Sp.A, anak mendapatkan terapi
Donazol. Pemberian metil prednisolon direncanakan sampai 7 hari. Pemberian
Donazol direncanakan sampai 180 hari. Terapi imunosupresif dilakukan pada anak ini
dengan alasan agar terjadi perbaikan pada sumsum tulangnya. Pemeriksaan ulang
sumsum tulang dilakukan 1 bulan setelah terapi dilakukan utuk mengetahui respon
sumsum tulang terhadap obat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan
prognosis dari penyakit anak.Terapi suportif yang diberikan adalah transfusi sesuai
kebutuhan, akan tetapi hal ini tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan terapi
primer. Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa transfusi darah karena
keadaan umum penderita baik dan dilanjutkan dengan program pemberian
imunosupresif.
Imunosupresan glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap
respon imun humoral, efek glukokortikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas
yang jelas terlihat ialah pengurangan jumlah immunoglobulin. Terhadap respon imun
selular, glukortikoid menghambat efek MIF sehingga makrofag dibebaskan dari
jeratan disekitar tempat pembebasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari
kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid
sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme antiinflamasi10.
PENUTUP
Demikian telah dilaporkan suatu laporan kaus anemia aplastik pada seorang
anak laki-laki berumur 11 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD Ulin
Banjarmasin.
Diagnosa
ditegakkan
berdasarkan
adanya
gejala
anemia,
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Aplastic Anemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2004. Dari URL:
http://www.medical center.com/
2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland,
2004. Dari URL: http://www.UMMC.com/