PENDAHULUAN
Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi.
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang
sering tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb 7 g/dL
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker,
malaria, thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing.
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel
darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada
penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis
dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA),
talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga
dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit
yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan
gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta
gejala-gejala gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).
Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak
50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%.
Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa
kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan
dalam darah dan sumsum tulang (Price et al, 1995 dalam Wulansari, 2006).
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada
geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi
masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai
angka lebih dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006).
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTIFIKASI
Nama
: EBE
Jenis kelamin
: Laki-laki
Berat Badan
: 14 kg
Tinggi Badan
: 81 cm
Agama
: Islam
Alamat
Suku Bangsa
: Sumatera
MRS
2.2. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan orang tua penderita 19 November 2015, Pukul 15.00
WIB)
Keluhan Utama
: Pucat
Keluhan Tambahan
: Gusi berdarah
ada sesak napas. Kemudian penderita dibawa ke IGD RSMH dan dirawat
selama 17 hari dan mendapat transfuse 4 kantong PRC dan 16 kantong TC
kemudian penderita pulang ke rumah.
Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak pucat,
tidak ada demam, tidak ada batuk pilek, tidak ada mual, muntah ada isi yang
diminum, tidak ada buang air besar (BAB) hitam, gusi berdarah ada, nafsu
makan menurun, tidak ada mimisan, tidak ada sesak napas. Sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit, penderita banyak gemetar, tampak semakin
pucat dan lemas, tidak ada demam, tidak ada mual, tidak ada muntah, tidak
ada BAB hitam, gusi berdarah ada, tidak ada mimisan, kemudian penderita
dibawa ke IGD RSMH dan dirawat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat pucat sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama ada yaitu pada kakak
perempuan penderita yang telah meninggal dunia.
Pedegree
Keterangan:
Ayah sehat
Ibu sehat
Anak sakit
Anak meninggal
: 38 minggu
Partus
: Spontan
Ditolong oleh
: Bidan
HPHT
: 06 Juni 2008
: 3000 gram
: (lupa)
: Langsung menangis
: tidak ada
: 0 3 bulan
Susu Formula
Bubur Susu
Bubur Saring
Nasi Tim
Nasi Biasa
Daging
: 12 bulan - sekarag
Tempe
: 21 bulan - sekarang
Tahu
: 21 bulan - sekarang
Sayuran
: 12 bulan - sekarang
Buah
Lain-lain
:-
Kesan
: kurang baik
Kualitas
: Cukup
Riwayat Imunisasi
BCG
DPT 1
HEPATITIS B 1
Hib 1
Umur
IMUNISASI DASAR
Umur
DPT 2
HEPATITIS B 2
Hib 2
Umur
DPT 3
HEPATITIS B 3
Hib 3
POLIO 1
CAMPAK
Kesan
POLIO 2
POLIO 3
Riwayat Keluarga
Perkawinan
: Pertama
Pendidikan
2.3.
Mengangkat kepala
: 3 bulan
Tengkurap
: 4 bulan
Merangkak
: 7 bulan
Duduk
: 6 bulan
Berdiri
: 12 bulan
Berjalan
: 13 bulan
Kesan
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN FISIK UMUM (Tanggal Pemeriksaan: 19 November
2015, Pukul 15.00 WIB)
Keadaan Umum
Kesadaran
: Kompos Mentis
BB
: 14 Kg
PB
: 81 cm
Edema (- /-), sianosis (-/-), dispnue (-/-), anemia (-/-), ikterus (- /-),
dismorfik (-/-)
Suhu
: 36,9 OC
Respirasi
: 24 x/menit
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 96 x/ menit,
CRT
Isi/kualitas
: Cukup
Regularitas
: Reguler
: <2
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk
: Normosefali, simetris
Rambut
Mata
Hidung
Telinga
: Sekret (-).
Mulut
Thorak
Paru-paru
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
Jantung
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi
Abdomen
- Inspeksi
: datar
- Auskultasi
Palpasi
- Perkusi
Lipat paha
Ekstremitas
Genitalia
: Normal.
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan
Tungkai
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Kanan
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-
Fungsi sensorik
GRM
Lengan
Kanan
Luas
+5
Eutoni
Kiri
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-
+ normal
-
Hasil
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Retikulosit
1,7 g/dL
590.000/mm3
3.900/mm3
5%
3.000/uL
81,4 fL
29 pg
35 g/dL
23 mm/jam
2,3 %
FAAL HEMOSTASIS
WAKTU PROTOMBIN (PT)
-Kontrol
-Pasien
INR
APTT
-Kontrol
-Pasien
13,30 detik
16,6 detik
1,29
33,8 detik
28,7 detik
IMUNOSEROLOGI
CRP Kuantitatif
9 mg/L
Hasil
2.6.
Hasil
15,1 g/dL
5.420.000/mm3
5800/mm3
43 %
6.000/uL
0%
2%
7%
86 %
5%
DAFTAR MASALAH
Pucat
Gusi Berdarah
DIAGNOSIS BANDING
2.7.
2.8.
PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan Anjuran
Cek darah rutin lengkap, darah perifer lengkap, kimia klinik, CRP
BMP
Immunophenotyping
Farmakologis
- Ampisilin 3 x 250 mg
- Gentamisin 2 x 30 mg
- Omeprazole inj 1 x 10 mg
- Paracetamol 3 x 150 mg (bila temperatur > 38,5oC
c. Diet
- Makan biasa
d. Monitoring
- Tanda vital (TD, N, RR, T, SpO2)
- Demam
- Perdarahan
e. Edukasi
Mengedukasi keluarga untuk memberikan obat secara teratur kepada
penderita.
f. Prognosis
-
Qua ad vitam
: dubia ad bonam
Qua ad functionam
: dubia ad malam
Qua ad sanationam
: dubia ad malam
2.9. Follow Up
Tanggal
22/11/15
Keterangan
S : gusi berdarah (-), pucat (-)
Pkl 07.00
O:
Status Generalis
KU: sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD :90/60 mmHg
N : 108 x/m
RR : 26 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Suspek Preleukemia Stage + Trombositopenia
P:
-
Transfusi TC 3 x 4 unit
23/11/ 15
Pkl. 07.00
O:
Status Generalis
KU: sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 96 x/m
RR : 24 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Anemia + trombositopenia et causa suspek preleukemia
stage
P:
-
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama
3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat
penghancuran sel darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih
sering dijumpai pada penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat
akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi
besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia
aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada
infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama,
seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan
gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma,
serta gejala-gejala gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).
1. Prevalensi anemia
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati
1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di
Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia
Kelompok Populasi
Anak prasekolah (balita)
Anak usia sekolah
Wanita dewasa
Wanita hamil
Laki-laki dewasa
Pekerja
berpenghasilan
Angka Pravalensi
30-40%
23-35%
30-40%
50-70%
20-30%
30-40%
rendah
Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi
sedangkan khromatin inti menjadi makin pekat. Normoblas (sel darah merah
berinti) tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum
tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit
sumsum tulang (Hoffbran et al, 2005).
Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik.
Sel ini memiliki khromatin inti yang tampak kasar dan inti menghilang atau
tidak jelas. Sitoplasma sudah mulai mengandung hemoglobin sehingga warna
sitoplasma menjadi kemerah-merahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan
dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit dalam keadaan normal sekitar 1-4%. Sel
ini dapat diwarnai dengan warna basa dan sel ini akan mengumpulkan sedikit
sekali hemoglobin. Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik. Inti sel ini
mengandung khromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur. Pada sel
ini sudah tidak terdapat lagi anak inti. Inti sel lebih kecil dibandingkan
dengan prorubrisit, namun sitoplasma lebih banyak mengandung warna biru
(kandugan asam ribonukleat) dan merah (kandungan hemoglobin), warna
merah lebih dominan, sehingga lebih banyak mengandung hemoglobin.
Metarubrisit
disebut
juga
normoblas
ortokromatik
atau
eritroblas
Proeritroblas
Basofil eritroblas
Retikulosit
Eritrosit
Diagram 1. Tahap pembentukan sel darah merah (Guyton, 1997 dalam Nuraeni, 2006)
Sel darah merah (SDM) atau eritrosit berbentuk cakram konkaf tidak
berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, total bagian tepi 2 m dan
ketebalannya berkurang dibagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang.
Komponen utama SDM adalah hemoglobin dan protein (Hb), yang
mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon
dioksida (CO2) dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar
intraselular (Price, 2006).
3.3 Patofisiologi Anemia Gravis
merupakan
penyakit
herediter
yang
disebabkan
menurunkan
tingkat
akumulasi
besi,
dan
dapat
tetap
aktif
sehingga
akan
menghasilkan
pembentukan
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan
zat besi yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh
kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat dalam
makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah
yang kronis (Wijayanti, 2005).
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada
kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam
diet dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian
anemia pada negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh
seringnya diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau
saluran kemih (McPhee, 2006).
e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah
berlebihan
yang
trombositopenia
dapat
(Hidayat,
menyebabkan
2006).
terjadinya
Leukemia
anemia
adalah
dan
keganasan
f) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya
perlahan-lahan
sehingga
penderita
mengalami
anemia
(Gandahasuda, 2000).
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat
perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat
cacing tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi
terjadinya perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan
anemia defisiensi besi (Wijaya, 2007).
g) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit.
Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih
protein sitoskleletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin,
band 3 protein, dan protein. Defek pada beberapa protein skeletal
membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter; semua
ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin
yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran
internal sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung
spektrin memiliki membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi
secara spontan. Berkurangnya luas permukaan yang ditimbulkan
menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk sferoid; sferosit
semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa (Mitchell et al, 2008).
h) Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari
sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak
adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan
penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi
eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler (Young, 2006).
Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan
jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejalagejala anemia (Chan et al, 2008).
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal
yaitu kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di
sumsum tulang dan karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan
pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia
aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal
membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya
hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun
karena fungsinya yang menurun (Segel et al, 2011).
3.4 GAMBARAN KLINIS
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular
(dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi
O2 hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak
terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia
ringan mungkin mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).
a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas
pendek, khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan
sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal
jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan
(konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat
mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat.
(McPhee, 2006)
b) Tanda
defisiensi
besi,
ikterus
dengan
anemia
hemolitik
atau
Malaria
1.B
Ring forms
1.C
1.D
Multiple infection
Thalassemia Mayor
Gambar
3.
Abnormalitas
(bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit bermacammacam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis (ukuran
eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit berinti.
(Hoffbrand et al, 2005)
Leukemia
Sferositosis Herediter
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi
membaik. Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki
ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan
harapan hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh
juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein
yang adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan
kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino sebagai
precursor molekul esensial yang merupakan komponen dari semua sel
dalam tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di
dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan
mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi
defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi protein terutama
yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi. (Gallagher
ML, 2008)
b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi
dari tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana
disebutkan suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg
ferrous sulfate selama 12 minggu dapat meningkatkan rata rata
kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia
dari 54% menjadi 38%. (Zimmermann MB et.al, 2011)
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat
membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi
tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin
A dan -karoten akan membentuk suatu kompeks dengan besi untuk
membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga absorbsi besi
dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah
cukup, akan terjadi penurunan derajat infeksi yang selanjutnya akan
membuat sintesis RBP dan transferin kembali normal. Kondisi seperti
ini mengakibatkan besi yang terjebak di tempat penyimpanan dapat
dimobilisasi untuk proses eritropoesis (Subagio HW, 2008).
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumbersumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani
diantaranya susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber
makanan nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran
seperti wortel. (Michael J et al, 2008)
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C
maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti
kejadian anemia semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin
C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004)
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin
C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam
plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008)
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk
membentuk sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan
anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan
lain dan sayuran hijau. (Marshall, 2004)
d. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai
faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi
yang disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat
bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3
dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus,
yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringanjaringan tubuh (Provan, 2004).
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacangkacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks
heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber
zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya
hydroxycobalamin dan
3.6 KOMPLIKASI
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat
berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental.
Ada bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan
gangguan pada perilaku dan fungsi intelektual anak (Lissauer, 2007).
Anemia
gravis
akibat
defisiensi
besi
menyebabkan
gangguan
rangsang.
Penyebab
yang
kedua
ialah
gangguan
reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak dan energi
otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin luas
otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin
permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah
menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu
cardiac output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di
darah yaitu konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu
perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer,
2003).
Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan
hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin.
Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi
eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen
extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor
nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta
aliran darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done &
Foley, 2002)
Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara
lain terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular
sistemik, peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan
peningkatan fungsi ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan
aktivitas simpatetik dan faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi
peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran jantung dan
hipertrofi ventrikel kiri. (Bridges, 2008)
Data longitudinal menunjukkan bahwa
anemia
merupakan
terjadi
peningkatan
tekanan
dinding
jantung
yang
maka PaCO2 di dalam darah vena akan menurun dengan derajat penurunan
yang lebih besar daripada yang seharusnya terjadi dalam keadaan normal.
(Almatsier, 2004)
3.7 PROGNOSIS
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,
keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan
peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien
dan faktor penyerta lainnya.
Thalasemia
terutama
dengan
terapi
khelasi
zat
besi,
yang
Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan
produksi RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang
lainnya tidak merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki
prognosis buruk. Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum
tulang akibat defisiensi nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin
B12, asam folat atau zat besi mengarah pada penyembuhan anemia jika
etiologi yang tepat ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis
antifolic atau inhibitor sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama.
Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang dapat
merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun
lebih sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di
sumsum tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di
mitokondria untuk sintesis heme (Pignatti, 2004).
Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia
refrakter
bertahun-tahun,
namun
beberapa
kelompok
akhirnya
Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia
karena chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika
kemungkinan etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau
anti-insektisida. Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim,
tanpa pengobatan tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun
diagnosis. Tingkat kematian untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun
adalah 70% tanpa tranplantasi sumsum tulang atau respon terhadap terapi
imunosupresif (Young, 2006).
Sferosidosis Herediter
Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat
drastic, memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk
mempertahankan tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher,
2008).
BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis anemia gravis et causa preleukemia stage et causa suspek anemia
aplastik ditegakkan berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa didapatkan keluhan tampak pucat dan gusi berdarah. Pasien
sudah pernah dirawat sebanyak tiga kali di rumah sakit terhitung sejak 4 bulan
yang lalu dan setiap dirawat, pasien mendapat transfusi darah. Hal tersebut
mendukung diagnosis anemia gravis pada pasien di mana anemia gravis adalah
keadaan di mana anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3 bulan berturutturut atau lebih. Dari anamnesis juga didapatkan informasi bahwa pasien pernah
menjalani pemeriksaan BMP saat dirawat sebelumnya dengan hasil preleukemia
stage. Manifestasi klinis lain yang bisa didapat namun tidak spesifik adalah berat
badan yang menurun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan didapatkan pasien sadar, tanda vital dalam
batas normal, pasien tidak tampak anemis, gusi berdarah ada, dan tidak ada
pembesaran hepar dan lien.
Berdasarkan literature, tanda pada pemeriksaan fisik pada pasien yang
dicurigai penderita anemia adalah tampak anemis, namun karena pemeriksaan
fisik dilakukan pada pasien itu setelah pasien mendapat transfusi darah, maka
didapatkan kondisi pasien tidak anemis lagi. Gusi berdarah yang terjadi pada
pasien mendukung diagnosis dari anemia aplastik namun didiagnosis banding
dengan ALL karena untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang bone marrow punction (BMP) pada pasien ini.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah darah
rutin, \bone marrow punction, dan immunophenotyping. Pada pemeriksaan darah
rutin saat hari pertama pasien dirawat didapatkan adanya kadar hemoglobin yang
rendah, leukosit yang rendah, dan trombositopenia. Hal ini sesuai dengan
penderita yang mengalami anemia dengan kemungkinan adanya kegagalan fungsi
sumsum tulang sehingga produksi sel-sel darahnya terganggu namun masih perlu
dipastikan dengan pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan bone marrow punction diperlukan untuk memastikan jenis
keganasan yang terjadi pada pasien ini namun hasil dari pemeriksaan tersebut
belum diketahui. Sedangkan pemeriksaan immunophenotyping dilakukan untuk
mengetahui klasifikasi leukemia yang terjadi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to clinical outcome
in heart failure. Circulation, 110, pp.149154.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York: Mc Graw-Hill
Grace RF, Mednick RE, Neufeld EJ. Compliance with immunizations in splenectomized
individuals with hereditary spherocytosis. Pediatry Blood Cancer. Jul 2009;52(7):865-7.
Harrison. 2004. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed. 13 Vol.4. Jakarta: EGC
Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
Kaufman M, Rubin J, Rai K. Diagnosing and treating chronic lymphocytic leukemia in 2009.
Oncology (Williston Park). Nov 15 2009;23(12):1030-7.
Passweg JR, Prez WS, Eapen M, Camitta BM, Gluckman E, Hinterberger W, et al. Bone marrow
transplants from mismatched related and unrelated donors for severe aplastic anemia.
Bone Marrow Transplant. Apr 2006;37(7):641-9.
Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2. Jakarta: EGC.
Wahidiyat I., 2007. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M, Trijono PP,
Kaswandani N dan Endyarni B. Pendekatan praktis pucat: masalah kesehatan yang
terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: FKUI/RSCM
World Health Organization., 2006. Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005. World Health
Organization global database on anaemia. Atlanta
Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. Curr Opin Hematol. May 2008;15(3):1628.