Anda di halaman 1dari 36

BAB II

PENDAHULUAN
Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi.
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang
sering tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb 7 g/dL
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker,
malaria, thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing.
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel
darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada
penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis
dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA),
talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga
dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit
yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan
gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta
gejala-gejala gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).
Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak
50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%.
Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa
kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan
dalam darah dan sumsum tulang (Price et al, 1995 dalam Wulansari, 2006).
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada
geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi
masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai
angka lebih dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006).

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTIFIKASI
Nama

: EBE

Umur / Tanggal Lahir

: 7 tahun 5 bulan / 06 Juni 2008

Jenis kelamin

: Laki-laki

Berat Badan

: 14 kg

Tinggi Badan

: 81 cm

Agama

: Islam

Alamat

: Pedamaran, Ogan Komering Ilir

Suku Bangsa

: Sumatera

MRS

: 11 November 2015, Pukul 20.36 WIB

2.2. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan orang tua penderita 19 November 2015, Pukul 15.00
WIB)
Keluhan Utama

: Pucat

Keluhan Tambahan

: Gusi berdarah

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak pucat,
tampak lemas, tidak ada demam, tidak ada mual dan muntah, tidak ada
buang air besar (BAB) hitam, tidak ada gusi berdarah, tidak mimisan, nafsu
makan menurun. Kemudian pasien dibawa berobat ke praktek dokter dan
dirujuk ke RSUD Kayu Agung, penderita dirawat selama tiga hari dan
mendapat transfuse darah 1 kantong kemudian pasien dirujuk ke Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Di RSMH penderita dirawat selama
tiga belas hari dan mendapat transfusi 4 kantong PRC dan 8 kantong TC,
kemudian penderita pulang ke rumah.
Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak pucat,
tampak lemas, tidak ada demam, tidak ada mual dan muntah, tidak ada
buang air besar (BAB) hitam, tidak ada gusi berdarah, tidak mimisan, tidak

ada sesak napas. Kemudian penderita dibawa ke IGD RSMH dan dirawat
selama 17 hari dan mendapat transfuse 4 kantong PRC dan 16 kantong TC
kemudian penderita pulang ke rumah.
Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak pucat,
tidak ada demam, tidak ada batuk pilek, tidak ada mual, muntah ada isi yang
diminum, tidak ada buang air besar (BAB) hitam, gusi berdarah ada, nafsu
makan menurun, tidak ada mimisan, tidak ada sesak napas. Sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit, penderita banyak gemetar, tampak semakin
pucat dan lemas, tidak ada demam, tidak ada mual, tidak ada muntah, tidak
ada BAB hitam, gusi berdarah ada, tidak ada mimisan, kemudian penderita
dibawa ke IGD RSMH dan dirawat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat pucat sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama ada yaitu pada kakak
perempuan penderita yang telah meninggal dunia.
Pedegree

Keterangan:
Ayah sehat

Ibu sehat

Anak sakit

Anak meninggal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan

: 38 minggu

Partus

: Spontan

Ditolong oleh

: Bidan

HPHT

: 06 Juni 2008

Berat badan lahir

: 3000 gram

Panjang badan lahir

: (lupa)

Keadaan saat lahir

: Langsung menangis

Riwayat injeksi vit.K : ada


Riwayat ibu demam : tidak ada
Riwayat KPD

: tidak ada

Riwayat ketuban hijau, kental, bau : tidak ada


Riwayat Makan
ASI

: 0 3 bulan

Susu Formula

: 3 bulan sekarang, frekuensi 8x/hari

Bubur Susu

: 6 - 12 bulan, frekuensi 3x/hari

Bubur Saring

: 12 - 18 bulan, frekuensi 3x/hari

Nasi Tim

: 18 - 21 bulan, frekuensi 3x/hari

Nasi Biasa

: 21 bulan - sekarang frek 3x/hari

Daging

: 12 bulan - sekarag

Tempe

: 21 bulan - sekarang

Tahu

: 21 bulan - sekarang

Sayuran

: 12 bulan - sekarang

Buah

: Sejak usia 18 bulan frek 2x/hari

Lain-lain

:-

Kesan

: kurang baik

Kualitas

: Cukup

Riwayat Imunisasi

BCG
DPT 1
HEPATITIS B 1
Hib 1

Umur

IMUNISASI DASAR
Umur
DPT 2
HEPATITIS B 2
Hib 2

Umur
DPT 3
HEPATITIS B 3
Hib 3

POLIO 1
CAMPAK
Kesan

POLIO 2

POLIO 3

: Imunisasi dasar tidak lengkap.

Riwayat Keluarga
Perkawinan

: Pertama

Pendidikan

: (ibu SMA, ayah SMA)

Pekerjaan orang tua

: ayah wiraswasta dan ibu IRT

Penyakit yang pernah diderita: tidak ada


Riwayat Perkembangan

2.3.

Mengangkat kepala

: 3 bulan

Tengkurap

: 4 bulan

Merangkak

: 7 bulan

Duduk

: 6 bulan

Berdiri

: 12 bulan

Berjalan

: 13 bulan

Kesan

: Perkembangan motorik kasar baik.

PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN FISIK UMUM (Tanggal Pemeriksaan: 19 November
2015, Pukul 15.00 WIB)
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos Mentis

BB

: 14 Kg

PB

: 81 cm

Edema (- /-), sianosis (-/-), dispnue (-/-), anemia (-/-), ikterus (- /-),
dismorfik (-/-)
Suhu

: 36,9 OC

Respirasi

: 24 x/menit

Tekanan Darah

: 90/60 mmHg

Tipe Pernapasan : Thorakoabdominal

Nadi

: 96 x/ menit,

CRT

Isi/kualitas

: Cukup

Regularitas

: Reguler

: <2

Keadaan Spesifik

Kepala
Bentuk

: Normosefali, simetris

Rambut

: Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata

: Cekung (-/-), Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya


+/+, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).

Hidung

: Sekret (-), napas cuping hidung (-), deformitas (-).

Telinga

: Sekret (-).

Mulut

: Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).

Tenggorokan : Faring hiperemis (-)


Leher

: Pembesaran KGB (-).

Thorak
Paru-paru
- Inspeksi

: Statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi -/-

- Auskultasi

: Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).

- Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Jantung
- Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

- Auskultasi

: HR: 96 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal,

murmur (-), gallop (-)

- Palpasi

: Thrill tidak teraba

- Perkusi

: Redup, batas jantung dalam batas normal

Abdomen

- Inspeksi

: datar

- Auskultasi

: Bising usus (+) normal, 6 x/menit

Palpasi

: Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

- Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-)

Lipat paha

: Pembesaran KGB (-), eritema perianal (-), prolaps ani (-)

Ekstremitas

: Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-)

Genitalia

: Normal.

Pemeriksaan Neurologis

Fungsi motorik

Pemeriksaan

Tungkai

Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis

Kanan
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-

Tungkai Kiri Lengan


Luas
+5
Eutoni
+ normal
-

Fungsi sensorik

Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal

GRM

: Dalam batas normal

: Kaku kuduk tidak ada

Lengan

Kanan
Luas
+5
Eutoni

Kiri
Luas
+5
Eutoni

+ normal
-

+ normal
-

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 11 November 2015
Jenis Pemeriksaan

Hasil

HEMATOLOGI
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Retikulosit

1,7 g/dL
590.000/mm3
3.900/mm3
5%
3.000/uL
81,4 fL
29 pg
35 g/dL
23 mm/jam
2,3 %

FAAL HEMOSTASIS
WAKTU PROTOMBIN (PT)
-Kontrol
-Pasien
INR
APTT
-Kontrol
-Pasien

13,30 detik
16,6 detik
1,29
33,8 detik
28,7 detik

IMUNOSEROLOGI
CRP Kuantitatif

9 mg/L

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 17 November 2015


Jenis Pemeriksaan

Hasil

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 17 November 2015


Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Hitung Jenis Leukosit
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
2.5.

2.6.

Hasil
15,1 g/dL
5.420.000/mm3
5800/mm3
43 %
6.000/uL
0%
2%
7%
86 %
5%

DAFTAR MASALAH

Pucat

Gusi Berdarah

DIAGNOSIS BANDING

Anemia Gravis et causa suspek preleukemia stage et causa suspek Anemia


Aplastik

2.7.

Anemia Gravis et causa suspek preleukemia stage et causa suspek ALL


DIAGNOSIS KERJA

Anemia Gravis et causa suspek preleukemia stage et causa suspek Anemia


Aplastik

2.8.

PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan Anjuran

Cek darah rutin lengkap, darah perifer lengkap, kimia klinik, CRP

BMP

Immunophenotyping

b. Terapi ( Suportif Simptomatis-Kausatif)


Non Farmakologis
- Menginformasikan kondisi penderita kepada orang tua.
- Makan dan minum seperti biasa.

Farmakologis
- Ampisilin 3 x 250 mg
- Gentamisin 2 x 30 mg
- Omeprazole inj 1 x 10 mg
- Paracetamol 3 x 150 mg (bila temperatur > 38,5oC

c. Diet
- Makan biasa
d. Monitoring
- Tanda vital (TD, N, RR, T, SpO2)
- Demam
- Perdarahan
e. Edukasi
Mengedukasi keluarga untuk memberikan obat secara teratur kepada
penderita.
f. Prognosis
-

Qua ad vitam

: dubia ad bonam

Qua ad functionam

: dubia ad malam

Qua ad sanationam

: dubia ad malam

2.9. Follow Up
Tanggal
22/11/15

Keterangan
S : gusi berdarah (-), pucat (-)

Pkl 07.00
O:
Status Generalis
KU: sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD :90/60 mmHg
N : 108 x/m
RR : 26 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Suspek Preleukemia Stage + Trombositopenia
P:
-

IVFD D5 NS gtt X makro/menit

Omeprazole inj 1x10 mg

As. Tranexamat 3 x 150 mg (iv)

Transfusi TC 3 x 4 unit

Menunggu hasil BMP dan immunophenotyping

23/11/ 15

S : demam (-), gusi berdarah (-)

Pkl. 07.00
O:
Status Generalis
KU: sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 96 x/m
RR : 24 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Anemia + trombositopenia et causa suspek preleukemia
stage
P:
-

Cek ulang DR hari ini

Omeprazole inj 1x10 mg

As. Tranexamat 3 x 150 mg (iv)

Menunggu hasil BMP dan immunophenotyping

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama
3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat
penghancuran sel darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih
sering dijumpai pada penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat
akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi
besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia
aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada
infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama,
seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan
gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma,
serta gejala-gejala gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).
1. Prevalensi anemia
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati
1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di
Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia
Kelompok Populasi
Anak prasekolah (balita)
Anak usia sekolah
Wanita dewasa
Wanita hamil
Laki-laki dewasa
Pekerja
berpenghasilan

Angka Pravalensi
30-40%
23-35%
30-40%
50-70%
20-30%
30-40%

rendah
Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi

Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu


sebanyak 50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa

sebanyak 20-30%. Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan


karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan
adanya perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al,
1995 dalam Wulansari, 2006).
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung
pada geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial
ekonomi masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut
WHO mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006).
3.2 Fisiologi Eritrosit
Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong
kuning saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan
eritrosit disebut eritropoesis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit
terbentuk di dalam hati, limfa, dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit
ini dirangsang oleh hormon eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di
sumsum tulang membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka
produktivitas sumsum tulang semakin turun (Hoffbrand, 2005).
Pembentukan sel darah merah dimulai dari pluripotensial stem cell
(PPSC) di dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi dan berkembang
menjadi unipotensial stem sel. Eritrosit dibentuk melalui suatu proses
pematangan yang terdiri dari beberapa tahap yaitu pembelahan dan
perubahan-perubahan morfologi sel berinti mulai dari rubriblas, prorubrisit,
rubrisit, metarubrisit. Setelah itu dilanjutkan dengan pembentukan eritrosit
polikrom tidak berinti yang disebut retikulosit dan akhirnya menjadi eritrosit
(Jain, 1993 dalam Nuraeni, 2006).
Menurut Hoffbrand et al (2005), pronormoblas adalah sel besar
dengan sitoplasma biru tua, dengan inti tengah dan nukleoli, serta kromatin
yang sedikit menggumpal. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu
rangkaian normoblas yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel.
Normoblas mengandung hemoglobin yang makin banyak (yang
berwarna merah muda) dalam sitoplasma. Warna sitoplasma makin biru pucat
sejalan dengan hilang nya RNA dan appartus yang mensintesis protein,

sedangkan khromatin inti menjadi makin pekat. Normoblas (sel darah merah
berinti) tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum
tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit
sumsum tulang (Hoffbran et al, 2005).
Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik.
Sel ini memiliki khromatin inti yang tampak kasar dan inti menghilang atau
tidak jelas. Sitoplasma sudah mulai mengandung hemoglobin sehingga warna
sitoplasma menjadi kemerah-merahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan
dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit dalam keadaan normal sekitar 1-4%. Sel
ini dapat diwarnai dengan warna basa dan sel ini akan mengumpulkan sedikit
sekali hemoglobin. Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik. Inti sel ini
mengandung khromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur. Pada sel
ini sudah tidak terdapat lagi anak inti. Inti sel lebih kecil dibandingkan
dengan prorubrisit, namun sitoplasma lebih banyak mengandung warna biru
(kandugan asam ribonukleat) dan merah (kandungan hemoglobin), warna
merah lebih dominan, sehingga lebih banyak mengandung hemoglobin.
Metarubrisit

disebut

juga

normoblas

ortokromatik

atau

eritroblas

ortokromatik. Inti sel ini kecil mengandung lebih banyak hemoglobin


sehingga warna nya merah, meskipun masih kebiruan. Dalam keadaan normal
jumlahnya sekitar 5-10% (Marshall, 2006).
Pada proses pematangan eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin
dan pelepasan inti sel masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan
sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan
sebagian lagi di dalam darah tepi. Pada saat proses pematangan akhir, eritrosit
selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai fragmen
mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit
atau eritrosit polikrom, dimana konsentrasi hemoglobin sekitar 34%,
sedangkan nukleus memadat dan ukurannya mengecil (Hoffbrand et al, 2005).

Proeritroblas

Basofil eritroblas

Polikromatofil sel darah merah

Retikulosit

Eritrosit
Diagram 1. Tahap pembentukan sel darah merah (Guyton, 1997 dalam Nuraeni, 2006)

Sel darah merah (SDM) atau eritrosit berbentuk cakram konkaf tidak
berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, total bagian tepi 2 m dan
ketebalannya berkurang dibagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang.
Komponen utama SDM adalah hemoglobin dan protein (Hb), yang
mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon
dioksida (CO2) dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar
intraselular (Price, 2006).
3.3 Patofisiologi Anemia Gravis

a) Sickle cell anemia


Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat
resesif autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah
sehingga mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984
dalam Amri, 2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya
hemoglobin abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin
S mempunyai kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang
menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang
berubah bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel fagosit
sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia. (Rask, 2004).
b) Thalassemia Mayor
Thalassemia

merupakan

penyakit

herediter

yang

disebabkan

menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb


penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15
g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat,

menurunkan

tingkat

akumulasi

besi,

dan

dapat

mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. (Modell &


Darlison, 2008)
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis
rantai betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi
berupa peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai
gamma

tetap

aktif

sehingga

akan

menghasilkan

pembentukan

hemoglobin yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak


seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah
merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk mengimbangi
proses hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan
jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang
disupresi melalui terapi transfusi (Hockenberry & Wilson, 2009).
c) Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat
disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang

ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti


interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya
disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh kanker sendiri. (Gillespie,
2003)
d) Anemia Defisiensi Besi

Bagan. Gangguan keseimbangan rantai globin

Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan
zat besi yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh
kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat dalam
makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah
yang kronis (Wijayanti, 2005).
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada
kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam
diet dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian
anemia pada negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh
seringnya diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau
saluran kemih (McPhee, 2006).
e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah
berlebihan

yang

trombositopenia

dapat
(Hidayat,

menyebabkan
2006).

terjadinya

Leukemia

anemia

adalah

dan

keganasan

hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan differensiasi


(maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik
sehingga terjadi ekspansif progresif dari kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi proliferasi dari salah satu
sel yang memproduksi sel darah yang ganas. Sel yang ganas tersebut
menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan kegagalan fungsi
tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga menimbulkan
gejala anemia gravis. (Bakti & Made, 2006)

f) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya

Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat


cacing ini berada dalam usus manusia. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat
isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah
secara

perlahan-lahan

sehingga

penderita

mengalami

anemia

(Gandahasuda, 2000).
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat
perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat
cacing tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi
terjadinya perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan
anemia defisiensi besi (Wijaya, 2007).
g) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit.
Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih
protein sitoskleletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin,
band 3 protein, dan protein. Defek pada beberapa protein skeletal
membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter; semua
ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin
yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran
internal sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung
spektrin memiliki membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi
secara spontan. Berkurangnya luas permukaan yang ditimbulkan
menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk sferoid; sferosit
semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa (Mitchell et al, 2008).
h) Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari
sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak

adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan
penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi
eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler (Young, 2006).
Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan
jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejalagejala anemia (Chan et al, 2008).
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal
yaitu kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di
sumsum tulang dan karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan
pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia
aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal
membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya
hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun
karena fungsinya yang menurun (Segel et al, 2011).
3.4 GAMBARAN KLINIS
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular
(dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi
O2 hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak
terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia
ringan mungkin mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).
a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas
pendek, khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan
sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal
jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan
(konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat
mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat.
(McPhee, 2006)
b) Tanda

Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus.


Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar
hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda
yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan
takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik
khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin
ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan.
Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia
dengan

defisiensi

besi,

ikterus

dengan

anemia

hemolitik

atau

megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia


hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia
hemolitik kongenital lain yang berat (Lissaeur, 2007).

c) Gambar Darah Tepi


Sickle cell anemia

Gambar 1. Bentuk sel sabit eritrosit yang abnormal (Rask, 2004).

Malaria

Gambar 2. Eritrosit penderita malaria, menunjukkan eritrosit


yang diinvasi P. falciparum (Pusarawati & Tantanular, 2005)
1.A

Gambar skematik P. Falciparum bentuk cincin (ring


forms),double dots dan marginal (applique) (Jeffrey &
Leach, 1975).

1.B

Ring forms

1.C

Double dots dan double infection

1.D

Multiple infection

Thalassemia Mayor

Gambar

3.

Abnormalitas
(bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit bermacammacam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis (ukuran

eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit berinti.
(Hoffbrand et al, 2005)

Anemia defisiensi besi

Gambar 4. Anisokromasia. Adanya peningkatan variabilitas warna


dari hipokrom dan normokrom dan terdapat poikilosit yang memanjang
(Wickramasinghe & Jones, 1992 dalam Renova, 2003)

Leukemia

Gambar 5. Leukemia linfositik akut (LLA). Jumlah limfosit dan


neutrofil yang lebih banyak dari jumlah normal (Simamora, 2009)

Sferositosis Herediter

Gambar 6. Eritrosit berbentuk sferoid. Sperosit adalah eritrosit


yang berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari eritrosit
normal (Sari & Ismail, 2009).
3.5 PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia
dengan berbagai indikasi.
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
Fereous Sulfate
Carbonyl Iron
Iron Dextran Complex
Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah
paliatif dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu.
Pada penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis,
erythropoietin dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi
transfusi (Anand et al, 2004).
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel

Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi
membaik. Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki
ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan
harapan hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh
juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein
yang adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan
kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino sebagai
precursor molekul esensial yang merupakan komponen dari semua sel
dalam tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di
dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan
mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi
defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi protein terutama
yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi. (Gallagher
ML, 2008)
b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi
dari tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana
disebutkan suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg
ferrous sulfate selama 12 minggu dapat meningkatkan rata rata
kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia
dari 54% menjadi 38%. (Zimmermann MB et.al, 2011)
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat
membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi
tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin
A dan -karoten akan membentuk suatu kompeks dengan besi untuk

membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga absorbsi besi
dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah
cukup, akan terjadi penurunan derajat infeksi yang selanjutnya akan
membuat sintesis RBP dan transferin kembali normal. Kondisi seperti
ini mengakibatkan besi yang terjebak di tempat penyimpanan dapat
dimobilisasi untuk proses eritropoesis (Subagio HW, 2008).
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumbersumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani
diantaranya susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber
makanan nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran
seperti wortel. (Michael J et al, 2008)
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C
maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti
kejadian anemia semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin
C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004)
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin
C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam
plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008)
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk
membentuk sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan
anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan
lain dan sayuran hijau. (Marshall, 2004)
d. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai
faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi
yang disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat
bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3
dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus,

yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringanjaringan tubuh (Provan, 2004).

Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacangkacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks
heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber
zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya

(Mozzafari et al, 2009).


e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan
larut dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam paraaminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003).
Sumber makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buahbuahan, gandum, dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna
hijau.
Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam
pembentukan DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin
yang berperan penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA selsel eritroblast. Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan
sintesis DNA pada inti eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih
lambat, akibatnya kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar
(megaloblast) (Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat
adalah 25-200 mcg (Matizih, 2007).
6) Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air,
merupakan bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat
molekul lebih dari 1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah
cyanocobalamin (CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit
dan jumlahnya tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2
bentuk lain dari vitamin B12; yaitu

hydroxycobalamin dan

aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing terikat pada


cobal (Robert & Brown, 2003).

Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk


dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor
untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonylCoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah Lmethylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan
untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah
merah sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi
defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah
menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah
menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase (Gibson,
2005).
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam
pembentukan sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis
DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana
pembelahan sel berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang
yang bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi
defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel
darah merah tidak normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang
akhirnya menjadi anemia (Carmel, 2006).
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 g/hari,
pada usia 4 12 tahun sekitar 1 1,8 g/hari dan bagi usia 13 tahun
sampai dewasa 2,4 g/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui
memerlukan tambahan masing-masing 0,2 g/hari dan 0,4 g/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain (Setiawan & Rahayuningsih,
2004).
5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian
anemia dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed
rest, terapi dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat
disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa).

3.6 KOMPLIKASI
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat
berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental.
Ada bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan
gangguan pada perilaku dan fungsi intelektual anak (Lissauer, 2007).
Anemia

gravis

akibat

defisiensi

besi

menyebabkan

gangguan

perkembangan neurologik pada bayi dan menurunkan prestasi belajar pada


anak usia sekolah karena zat besi telah dibuktikan berperan penting dalam
fungsi otak dan penelitian pada hewan coba menunjukkan berlakunya
perubahan perilaku dan fungsi neurotransmitter pada hewan coba yang
kekurangan zat besi. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Chile,
Indonesia, India dan USA didapatkan bahwa anemia defisiensi besi secara
konklusifnya mengganggu perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif
pada anak usia sekolah. Anak-anak yang diberikan suplementasi besi
merasa kurang lelah dan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi semasa
pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ (Intelligent Quotient) pada anak
yang mengalami kurang zat besi ditemukan dengan jelas lebih rendah
berbanding anak yang tidak mengalami anemia defisiensi besi (WHO,
2001).
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan
pembentukan myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak
dapat berlangsung baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi
myelin mengalami kekurangan besi. Mielin ini penting untuk kecepatan
penghantaran

rangsang.

Penyebab

yang

kedua

ialah

gangguan

metabolisme neurotransmitter. Hal ini terjadi karena gangguan sintesa


serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Dopamin mempunyai efek pada
perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi dan kontrol motorik.
Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi protein.
Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada ribonukleotida

reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak dan energi
otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin luas
otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin
permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah
menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu
cardiac output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di
darah yaitu konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu
perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer,
2003).
Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan
hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin.
Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi
eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen
extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor
nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta
aliran darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done &
Foley, 2002)
Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara
lain terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular
sistemik, peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan
peningkatan fungsi ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan
aktivitas simpatetik dan faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi
peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran jantung dan
hipertrofi ventrikel kiri. (Bridges, 2008)
Data longitudinal menunjukkan bahwa

anemia

merupakan

predisposisi terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi


yang dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik. Manifestasi
kardiovaskular pada pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat

jelas kecuali pada pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien


biasanya mengalami pucat, bisa terlihat kuning, denyut jantung saat
istirahat cepat, prekordial aktif dan dapat terjadi murmur sistolik. Pada
keadaan anemia, venous return jantung akan meningkat. Pada jantung
dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan miofibril jantung yang
memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan memperbesar stroke
volume sesuai dengan mekanisme Starling. (Brannon, 1945)
Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi ventrikel
khususnya

terjadi

peningkatan

tekanan

dinding

jantung

yang

mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan


miosit. Pada tahap terjadi dilatasi yang progresif dinding ventrikel kiri
menebal yang disebut dengan eccentric hipertrofi yang bermanfaat sebagai
mekanisme adaptasi untuk melindungi jantung dari peningkatan tahanan
dinding jantung. (Zilberman, 2007)
3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen
(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil
metabolik lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini
tergantung pada sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai
udara yang diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan
teganagan oksigen dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi
intraeritrosit dari komponen fosfat organik, terutama asam 2,3bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen. Bila
hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan, PaCO2 biasanya meningkat
dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam kondisi ini, persentase
saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar penurunan tegangan
oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati, 2004)
Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan
penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap
normal, tetapi jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah
akan berkurang. Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan
oksigen dalam jumlah yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut,

maka PaCO2 di dalam darah vena akan menurun dengan derajat penurunan
yang lebih besar daripada yang seharusnya terjadi dalam keadaan normal.
(Almatsier, 2004)
3.7 PROGNOSIS
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,
keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan
peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien
dan faktor penyerta lainnya.

Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus


Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral.
Pasien dengan penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian
50%. Tingkat perdarahan ulang pada pasien yang diobati secara medis
adalah lebih dari 70%. (Gultom, 2003)

Anemia akibat Ruptur Aorta


Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat
kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien
meninggal dalam 2 minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga
memiliki prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati.
Tindakan bedah yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi,
seringkali lebih dari 80%. (Maakaron, 2013)

Sickle cell anemia


Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk,
karena mereka cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien
dengan heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka
hanya mengalami keadaan kritis pada kondisi yang ekstrim. (Young et al,
2008)

Thalasemia

Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau talasemia


mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan
thalasemia lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor).
Beberapa tahun terakhir telah ditemukan kemajuan dalam pengobatan
thalassemia,

terutama

dengan

terapi

khelasi

zat

besi,

yang

memungkinkan pasien thalassemia untuk hidup sehat sampai dewasa.


(Stefano et al, 2004)

Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan
produksi RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang
lainnya tidak merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki
prognosis buruk. Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum
tulang akibat defisiensi nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin
B12, asam folat atau zat besi mengarah pada penyembuhan anemia jika
etiologi yang tepat ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis
antifolic atau inhibitor sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama.
Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang dapat
merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun
lebih sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di
sumsum tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di
mitokondria untuk sintesis heme (Pignatti, 2004).
Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia
refrakter

bertahun-tahun,

namun

beberapa

kelompok

akhirnya

berkembang menjadi leukimia myelogenous akut (Young et al, 2008).

Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia
karena chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika
kemungkinan etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau
anti-insektisida. Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim,
tanpa pengobatan tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun
diagnosis. Tingkat kematian untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun

adalah 70% tanpa tranplantasi sumsum tulang atau respon terhadap terapi
imunosupresif (Young, 2006).

Sferosidosis Herediter
Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat
drastic, memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk
mempertahankan tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher,
2008).

BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis anemia gravis et causa preleukemia stage et causa suspek anemia
aplastik ditegakkan berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa didapatkan keluhan tampak pucat dan gusi berdarah. Pasien
sudah pernah dirawat sebanyak tiga kali di rumah sakit terhitung sejak 4 bulan
yang lalu dan setiap dirawat, pasien mendapat transfusi darah. Hal tersebut

mendukung diagnosis anemia gravis pada pasien di mana anemia gravis adalah
keadaan di mana anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3 bulan berturutturut atau lebih. Dari anamnesis juga didapatkan informasi bahwa pasien pernah
menjalani pemeriksaan BMP saat dirawat sebelumnya dengan hasil preleukemia
stage. Manifestasi klinis lain yang bisa didapat namun tidak spesifik adalah berat
badan yang menurun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan didapatkan pasien sadar, tanda vital dalam
batas normal, pasien tidak tampak anemis, gusi berdarah ada, dan tidak ada
pembesaran hepar dan lien.
Berdasarkan literature, tanda pada pemeriksaan fisik pada pasien yang
dicurigai penderita anemia adalah tampak anemis, namun karena pemeriksaan
fisik dilakukan pada pasien itu setelah pasien mendapat transfusi darah, maka
didapatkan kondisi pasien tidak anemis lagi. Gusi berdarah yang terjadi pada
pasien mendukung diagnosis dari anemia aplastik namun didiagnosis banding
dengan ALL karena untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang bone marrow punction (BMP) pada pasien ini.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah darah
rutin, \bone marrow punction, dan immunophenotyping. Pada pemeriksaan darah
rutin saat hari pertama pasien dirawat didapatkan adanya kadar hemoglobin yang
rendah, leukosit yang rendah, dan trombositopenia. Hal ini sesuai dengan
penderita yang mengalami anemia dengan kemungkinan adanya kegagalan fungsi
sumsum tulang sehingga produksi sel-sel darahnya terganggu namun masih perlu
dipastikan dengan pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan bone marrow punction diperlukan untuk memastikan jenis
keganasan yang terjadi pada pasien ini namun hasil dari pemeriksaan tersebut
belum diketahui. Sedangkan pemeriksaan immunophenotyping dilakukan untuk
mengetahui klasifikasi leukemia yang terjadi pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to clinical outcome
in heart failure. Circulation, 110, pp.149154.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York: Mc Graw-Hill
Grace RF, Mednick RE, Neufeld EJ. Compliance with immunizations in splenectomized
individuals with hereditary spherocytosis. Pediatry Blood Cancer. Jul 2009;52(7):865-7.
Harrison. 2004. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed. 13 Vol.4. Jakarta: EGC
Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
Kaufman M, Rubin J, Rai K. Diagnosing and treating chronic lymphocytic leukemia in 2009.
Oncology (Williston Park). Nov 15 2009;23(12):1030-7.
Passweg JR, Prez WS, Eapen M, Camitta BM, Gluckman E, Hinterberger W, et al. Bone marrow
transplants from mismatched related and unrelated donors for severe aplastic anemia.
Bone Marrow Transplant. Apr 2006;37(7):641-9.
Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2. Jakarta: EGC.
Wahidiyat I., 2007. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M, Trijono PP,
Kaswandani N dan Endyarni B. Pendekatan praktis pucat: masalah kesehatan yang
terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: FKUI/RSCM
World Health Organization., 2006. Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005. World Health
Organization global database on anaemia. Atlanta
Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. Curr Opin Hematol. May 2008;15(3):1628.

Anda mungkin juga menyukai