Anda di halaman 1dari 30

BAB II

PENDAHULUAN
Leukemia adalah neoplasma ganas yang paling sering diderita pada masa
anak-anak, yaitu sekitar 41 persen dari seluruh keganasan yang terjadi pada anak
usia kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2000, kurang lebih 3600 anak didiagnosis
menderita leukemia di United States, dengan insiden per tahunnya adalah 4,1
kasus baru per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun.
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan jenis yang paling banyak
yang terjadi pada seluruh kasus leukemia pada anak-anak, yaitu sekitar 75 persen.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus
kanker baru di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta.
Umumnya, pasien kanker anak datang setelah masuk stadium lanjut yang sulit
untuk disembuhkan. Sebanyak 70% merupakan penderita leukemia atau kanker
darah. Pada tahun 2006 jumlah penderita leukemia rawat inap di Rumah Sakit di
Indonesia sebanyak 2.513 orang. Insiden puncak LLA pada anak di United State
terjadi pada usia 2 dan 6 tahun pada orang kulit putih. Leukemia limfoblastik akut
pada anak terjadi lebih banyak pada anak laki-laki dari pada perempuan. Telah
dilaporkan di United State dan seluruh dunia bahwa terdapat variasi geografi
mengenai insidens, tingkat dan subtipe leukemia.
Prognosis bagi anak dengan LLA meningkat secara dramatis dalam empat
dekade terakhir karena penggunaan yang optimal dari agen antileukemia dan
adanya penemuan baru dalam terapi LLA. LLA pada anak merupakan keganasan
yang paling dapat diterapi, yaitu mencapai 80 persen.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTIFIKASI
Nama

: EBE

Umur / Tanggal Lahir

: 7 tahun 5 bulan / 06 Juni 2008

Jenis kelamin

: Laki-laki

Berat Badan

: 14 kg

Tinggi Badan

Agama

: Islam

Alamat

: Pedamaran, Ogan Komering Ilir

Suku Bangsa

: Sumatera

MRS

: 11 November 2015, Pukul 20.36 WIB

cm

2.2. ANAMNESA
(Alloanamnesis dengan orang tua penderita 19 November 2015, Pukul 15.00
WIB)
Keluhan Utama

: Pucat

Keluhan Tambahan

: Gusi berdarah

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, perut penderita terlihat
membesar, tidak ada mual dan muntah, tidak ada buang air besar (BAB) cair,
tidak ada demam, tidak ada sesak napas, penderita lalu dibawa berobat ke
bidan dan dikatakan perut kembung
Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, perut terlihat semakin
membesar, tidak ada mual dan muntah, buang air besar (BAK) normal,
buang air besar normal, ada demam tidak terlalu tinggi, nafsu makan
menurun, penderita dibawa berobat ke puskesmas dan diberi obat sirup (?)
Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, perut terlihat semakin
membesar, ada BAB cair, frekuensi > 5x / hari, cair, ampas, tidak ada lendir
dan darah, banyaknya gelas belimbing, ada demam tinggi, ada pucat,

penderita lalu dibawa ke dokter Sp.A di Belitang dan dikatakan mengalami


kanker darah.
2 hari SMRS, perut penderita semakin membesar, masih pucat, ada
demam, penderita lalu berobat ke RS Prabumulih, penderita dirawat selama
1 hari, dicek darah didapatkan hasil Hb 8,9, Trombosit 24.000, lalu penderita
dirujuk ke RSMH
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat pucat sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.
Pedegree

Keterangan:
Ayah sehat

Ibu sehat

Anak sakit

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan

: 38 minggu

Partus

: Spontan

Ditolong oleh

: Bidan

HPHT

: 19 Januari 2013

Berat badan lahir

: 3000 gram

Panjang badan lahir

: (lupa)

Keadaan saat lahir

: Langsung menangis

Riwayat injeksi vit.K : ada


Riwayat ibu demam : tidak ada
Riwayat KPD

: ada (1 hari)

Riwayat ketuban hijau, kental, bau : tidak ada


Riwayat Makan
ASI

: 0 3 bulan

Susu Formula

: 3 bulan sekarang, frekuensi 8x/hari

Bubur Susu

: 6 - 12 bulan, frekuensi 3x/hari

Bubur Saring

: 12 - 18 bulan, frekuensi 3x/hari

Nasi Tim

: 18 - 21 bulan, frekuensi 3x/hari

Nasi Biasa

: 21 bulan - sekarang frek 3x/hari

Daging

: 12 bulan - sekarag

Tempe

: 21 bulan - sekarang

Tahu

: 21 bulan - sekarang

Sayuran

: 12 bulan - sekarang

Buah

: Sejak usia 18 bulan frek 2x/hari

Lain-lain

:-

Kesan

: kurang baik

Kualitas

: Cukup

Riwayat Imunisasi

BCG
DPT 1
HEPATITIS B 1
Hib 1
POLIO 1
CAMPAK
Kesan

Umur

IMUNISASI DASAR
Umur
DPT 2
HEPATITIS B 2
Hib 2
POLIO 2

: Imunisasi dasar tidak lengkap.

Umur
DPT 3
HEPATITIS B 3
Hib 3
POLIO 3

Riwayat Keluarga
Perkawinan

: Pertama

Umur

: 2 tahun

Pendidikan

: (ibu SMA, ayah SMA)

Pekerjaan orang tua

: ayah petani dan ibu IRT

Penyakit yang pernah diderita: tidak ada


Riwayat Perkembangan
Mengangkat kepala

: 3 bulan

Tengkurap

: 6 bulan

Merangkak

: 9 bulan

Duduk

: 8 bulan

Berdiri

: 12 bulan

Berjalan

: 18 bulan

Kesan
2.3.

: Perkembangan motorik kasar baik.

PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN FISIK UMUM (Tanggal Pemeriksaan: 3 Agustus 2015,
Pukul 14.00 WIB)
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos Mentis

BB

: 10 Kg

PB

: 81 cm

Edema (- /-), sianosis (-/-), dispnue (-/-), anemia (-/-), ikterus (- /-),
dismorfik (-/-)
Suhu

: 36,9 OC

Respirasi

: 28 x/menit

Tekanan Darah

: 90/60 mmHg

Nadi

: 108 x/ menit,

CRT

: 2

Tipe Pernapasan : Thorakoabdominal


Isi/kualitas

: Cukup

Regularitas

: Reguler

Status Gizi
BB/U

: 0 SD (-2) SD

TB/U

: 0 SD (-2) SD

BB/TB

: 0 SD (-1) SD

Kesan

: Gizi baik

Keadaan Spesifik

Kepala
Bentuk

: Normosefali, simetris, UUB cekung (-)

Rambut

: Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata

: Cekung (-/-), Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya


+/+, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).

Hidung

: Sekret (-), napas cuping hidung (-), deformitas (-).

Telinga

: Sekret (-).

Mulut

: Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).

Tenggorokan : Faring hiperemis (-)


Leher

: Pembesaran KGB (-).

Thorak
Paru-paru
- Inspeksi

: Statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi -/-

- Auskultasi

: Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).

- Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Jantung
- Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

- Auskultasi

: HR: 108 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal,

murmur (-), gallop (-)

- Palpasi

: Thrill tidak teraba

- Perkusi

: Redup, batas jantung dalam batas normal

Abdomen
- Inspeksi

: Cembung

- Auskultasi
-

Palpasi

: Bising usus (+) normal, 6 x/menit


: Lemas, hepar teraba 3 cm di bawah arcus costae dan 3

jari bawah processus xiphoideus dan lien teraba di S3, nyeri tekan (-)
- Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-)

Lipat paha

: Pembesaran KGB (-), eritema perianal (-), prolaps ani (-)

Ekstremitas

: Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-)

Genitalia

: Normal.

Pemeriksaan Neurologis

Fungsi motorik

Pemeriksaan

Tungkai

Tungkai Kiri Lengan

Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis

Kanan
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-

Luas
+5
Eutoni
+ normal
-

Fungsi sensorik

Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal

GRM

Lengan

Kanan
Luas
+5
Eutoni

Kiri
Luas
+5
Eutoni

+ normal
-

+ normal
-

: Dalam batas normal

: Kaku kuduk tidak ada

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 28 Juli 2015
Jenis Pemeriksaan

Hasil

HEMATOLOGI
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Retikulosit
KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
SGOT
SGPT
Protein Total
Albumin
Globulin
GINJAL
Ureum
Asam Urat
Kreatinin
ELEKTROLIT
Kalsium
Natrium
Kalium
Klorida
IMUNOSEROLOGI
CRP
GAMBARAN DARAH TEPI
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Kesan
Saran

7,9 g/dL
3.260.000/mm3
37.100/mm3
26 %
27.000/uL
80,7 fL
24 pg
30 g/dL
2 mm/jam
4,4 %
1,65 mg/dL
0,8 mg/dL
0,85 mg/dL
49 U/dL
17 U/dL
5,5 g/dL
3,2 g/dL
2,3 g/dL
22 mg/dL
8,6 mg/dL
0,26 mg/dL
7,8 mg/dL
133 mEq/L
4,2 mEq/L
115 mEq/L
15 mg/L
mikrositik, hipokrom
jumlah meningkat, blast 12%
jumlah menurun, penyebaran merata,
bentuk normal
observasi bisitopeni dan
ditemukannya blast 12%
BMP

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 30 Juli 2015


Jenis Pemeriksaan

Hasil

URINALISIS
Warna
Kejernihan
Berat Jenis
pH
Protein
Glukosa
Keton
Darah
Bilirubin
Urobilinogen
Nitrit
Lekosit Esterase
Sedimen Urine:
Epitel
Lekosit
Eritrosit
Silinder
Kristal
Bakteri
Mukus
Jamur

Kuning
Jernih
1,025
6,0
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
1 EU/dL
positif
negatif
negatif
0-1 / LPB
0-1 / LPB
negatif
negatif
Positif +++
negatif
negatif

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 4 Agustus 2015


Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Hitung Jenis Leukosit
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit

Hasil
10,4 g/dL
4.140.000/mm3
39.900/mm3
33 %
41.000/uL
0%
0%
35 %
34 %
31 %

Hasil Pemeriksaan Kultur Urin dan Resistensi Antibiotika


Nama Kuman

: E. Coli

Antibiotik Resisten

: C. Trimoxazole, Chloramphenicol. Cefotaxim,


Gentamycin

2.5.

2.6.

2.7.

DAFTAR MASALAH

Hepatosplenomegali

Pucat (perbaikan)

Demam (perbaikan)

DIAGNOSIS BANDING

Bisitopenia e.c susp Leukemia Limfositik Akut

Bisitopenia e.c susp Leukemia Myelositik Akut


DIAGNOSIS KERJA

Bisitopenia e.c. susp Leukemia Limfositik Akut


2.8.

PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan Anjuran
Cek darah rutin lengkap, darah perifer lengkap, kimia klinik, CRP
b. Terapi ( Suportif Simptomatis-Kausatif)
Non Farmakologis
- Menginformasikan kondisi penderita kepada orang tua.
- Mengedukasi keluarga untuk mengompres anak jika demam
- Makan dan minum seperti biasa.

Farmakologis
- Ampisilin 3 x 250 mg
- Gentamisin 2 x 30 mg
- Paracetamol 3 x 120 mg (bila temperatur > 38,5oC

c. Diet
- Makan biasa
d. Monitoring
- Tanda vital (TD, N, RR, T, SpO2)
- Demam
- Perdarahan

e. Edukasi
Mengedukasi keluarga untuk memberikan obat secara teratur kepada
penderita.
f. Prognosis
-

Qua ad vitam

: dubia ad bonam

Qua ad functionam

: dubia ad bonam

Qua ad sanationam

: dubia ad bonam

2.9. Follow Up
Tanggal

Keterangan

4 Agustus 15

S : demam (-)

Pkl 07.00
Hari

O:

perawatan ke- Status Generalis


KU: sakit sedang
7
Sens : kompos mentis
TD :90/60 mmHg
N : 108 x/m
RR : 26 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : cembung, lemas, hepar teraba 3 cm di bawah arcus
costae dan 3 jari bawah processus xiphoideus dan lien
teraba di S3, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Bisitopenia e.c susp Keganasan + T. ISK
P:
-

Ampicilin 3 x 250 mg (hari ke-7)

Gentamisin 2 x 30 mg (harike-7)

Paracetamol 3 x 120 mg (jika temperatur > 38,5C)

5 Agustus 15

S : demam (-), perdarahan (-)

Pkl. 07.00
Hari

O:

perawatan ke- Status Generalis


KU: sakit sedang
8
Sens : kompos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 102 x/m
RR : 24 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : datar, lemas, hepar teraba 3 cm di bawah arcus
costae dan 3 jari bawah processus xiphoideus dan lien
teraba di S3, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
Hasil Lab (4 Agustus 2015 pkl. 23.30)
Hb: 10,4, Leukosit : 39.900, Hematokrit 33, Trombosit
41.000, Diff Count 0/0/35/34/31
A:
Bisitopenia e.c susp Keganasan + Leukositosis + T. ISK
P:
-

Ampicilin 3 x 250 mg (hari ke-8)

Gentamisin 2 x 30 mg (harike-8)

Paracetamol 3 x 120 mg (jika temperatur > 38,5C)

Menunggu hasil kultur urin

6 Agustus 15

S : demam (-)

Pkl. 07.00
Hari

O:

perawatan ke- Status Generalis


KU: sakit sedang
9
Sens : kompos mentis
TD :80/50 mmHg
N : 108 x/m
RR : 26 x/m
T : 36,7 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : datar, lemas, hepar teraba 3 cm di bawah arcus
costae dan 3 jari bawah processus xiphoideus dan lien
teraba di S3, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Bisitopenia e.c susp Keganasan + leukositosis + T. ISK
P:
-

Ampicilin 3 x 250 mg (hari ke-9)

Gentamisin 2 x 30 mg (harike-9)

Paracetamol 3 x 120 mg (jika temperatur > 38,5C)

menunggu hasil kultur urine

observasi febris

7 Agustus 15

S : demam (-)

07.00 WIB
Hari

O:

perawatan ke- Status Generalis


KU: sakit sedang
10
Sens : kompos mentis
TD :90/60 mmHg
N : 106 x/m
RR : 26 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : cembung, lemas, hepar teraba 3 cm di bawah arcus
costae dan 3 jari bawah processus xiphoideus dan lien
teraba di S3, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Bisitopenia e.c susp Keganasan + leukositosis + ISK (hasil
kultur urin = E. Coli)
P:
-

Ampicilin 3 x 250 mg (hari ke-10)

Gentamisin 2 x 30 mg (harike-10)

Konsul bagian Nefrologi

Kurva suhu tiap 6 jam

8 Agustus 15

S : demam (-) sesak napas (+)

07.00 WIB
Hari

O:

perawatan ke- Status Generalis


KU: sakit sedang
11
Sens : kompos mentis
TD :80/50 mmHg
N : 110 x/m
RR : 32 x/m
T : 36,8 C
Status Klinis
Kepala : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+).
intercostal minimal
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) N, rhonki (-), wheezing (-).
Abdomen : cembung, lemas, hepar teraba 3 cm di bawah arcus
costae dan 3 jari bawah processus xiphoideus dan lien
teraba di S3, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-).
A:
Bisitopenia e.c susp Keganasan + ISK + Hepatosplenomegali
P:
-

Amikasin 2 x 7,5 mg (hari ke-1)

Paracetamol 3 x 120 mg (jika temperatur > 38,5C)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor
limfoid atau sel progenitor limfoid di sum-sum tulang disertai dengan anemia,
febris, perdarahan dan infiltrasi sel ganas ke organ lain. Lebih dari 80 % kasus,
sel-sel ganas berasal dari limfosit B, sisanya merupakan bentuk leukemia sel T
(adult T cell leukemia, ATL). Leukemia akut didefinisikan sebagai adanya lebih
dari 30% sel blas dalam sum-sum tulang pada saat manifestasi klinis.
3.2. Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.
Insidens rata-rata 4 - 4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun. Di negara
berkembang 83% LLA, 17% LMA, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan kulit hitam.
3.3. Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun predisposisi genetik
maupun faktor - faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan. Jarang
ditemukan leukemia familial, tetapi kelihatannya terdapat insidensi leukemia lebih
tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang, dengan insidensi
meningkat sampai 20 % pada anak kembar monozigot (identik). Individu dengan
sindrom down, mempunyai insiden leukimia yang meningkat dua puluh kali lipat.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan maternal

terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko leukemia
pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan hubungan
yang signifikan. Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan
di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian,
paparan radiasi dosis tinggi in utero tidak mengarah pada peningkatan insiden
leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini masih
merupakan perdebatan.
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves
(Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem
imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun
pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada
umumnya.
Beberapa kondisi perinatal merupakan risiko terjadinya leukemia pada
anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius (1995). Faktor-faktor tersebut
adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat
badan lahir > 4500 gram dan hipertensi saat hamil.
3.4. Patofisiologi
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimia terhadap
sel normal. Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walaupun penyebab dari leukemia pada manusia belum diketahui
secara pasti, tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang
percobaan ditemukan bahwa penyebabnya (agent) mempunyai kemampuan
melakukan modifikasi nukleus DNA dan kemampuan ini meningkat bila terdapat
suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen
seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu
mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus (clone) abnormal.
Penelitian yang dilakukan pada leukimia limfoblastik akut menunjukan
bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel

blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi leukimia itu
berasal dari sel tunggal.
Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin
banyak serta akibat infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi fisiologi
tubuh. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan
penekanan sum-sum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.

3.5. Klasifikasi
Klasifikasi LLA secara morfologik menurut French-American-British
(FAB) :
a. L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.

Gambar 1. LLA tipe L1

b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

Gambar 2. LLA tipe L2

c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak

ditemukan

anak

inti

serta

sitoplasma

yang

basofilik

dan

bervakuolisasi.

Gambar 3. LLA tipe L3

Klasifikasi imunofenotip pada LLA :


-

Prekursor ALL-B : CD19, CD22, sitoplasma dan TdT+

LLA-T yang memperlihatkan adanya antigen sel T (misal CD3,


CD7)

LLA-B yang memperlihatkan adanya imunoglobulin permukaan


dan TdT-

LLA-B biasanya sesuai dengan tipe morfologi L3, sedangkan tipe


prekursor B atau T mungkin L1 atau L2 dan secara morfologi tidak dapat
dibedakan.
3.6. Manifestasi Klinis
Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya
kurang dari 4 minggu pada waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya nonspesifik
dan meliputi anoreksia, iritabel dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus
atau eksantem dan penderita seperti tidak mengalami kesembuhan sempurna.
Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga timbul anemia, perdarahan
(trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan). Gambaran ini biasanya
mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.
Pada pemeriksaan inisial, umumnya penderita, dan lebih kurang 50%
menunjukkan ptekie atau perdarahan mukosa. Sekitar 25% demam, yang mungkin

diswbabkan oleh suatu sebab spesifik seperti infeksi saluran nafas atau otitis
media. Limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6
cm di bawah arkus kosta) dijumpai pada lebih kurang 66%. Hepatomegali kurang
lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan artralgia yang disebabkan
oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh ekspansi
rongga sum-sum tulang akibat sel leukemia. Jarang, ada gejala kenaikan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah. yang menunjukkan keterlibatan
selaput otak. Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan
lelaki lebih banyak; 66% menunjukkan massa mediastinum anterior.
3.7. Pemeriksaan Penunjang
-

Pemeriksaan hematologik :
1. Pada periksaan darah lengkap didapatkan anemia normositik
normokrom, trombositopenia, jumlah leukosit total dapat menurun,
normal atau meningkat.
2. Pada pemeriksaan sediaan apus darah biasanya memperlihatkan
adanya sel blas dalam jumlah yang bervariasi.

Sumsum tulang : hiperseluler dengan blas leukemik > 30%

Foto roentgen thorax untuk mengetahui adanya massa mediastinum


(pembesaran timus/KGB mediastinum)

Kimia darah : asam urat dapat meningkat, laktat dehidrogenase


serum meningkat.

Cairan cerebrospinal untuk memperkirakan apakah ada leukemia


meningeal yang terdiri dari :

Adanya sel darah putih > 5/mm

Identifikasi sel blast pada pemeriksaan sitosentrifugal

Uji fungsi hati dan ginjal sebelum memulai terapi.

3.8. Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika dan


biologi molekuler.
Kriteria Diagnosis :
-

Anamnesis
-

Pucat, lemah, lesu

Panas badan atau infeksi berulang/menetap

Perdarahan

Pemeriksaan Fisik
-

Limfadenopati

Hepatosplenomegali

Laboratorium

Darah : anemia, granulositopenia, trombositopenia dan limfoblast > 30%


Sum-sum tulang : selularitas meningkat didominasi oleh limfoblast
Pungsi lumbal : pemeriksaan sitologik didapatkan limfoblast.
3.9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi LMA, anemia aplastik, infiltrasi sum-sum
tulang oleh keganasan lain (misalnya rhabdomiosarkoma, neuroblastoma, dan
sarkoma Ewing), infeksi mononukleosis infeksiosa, artritis rematoid juvenilis
serta purpura trombositopenia imun.
3.10. Terapi
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain :

Pemberian tranfusi darah/trombosit

Pemberian antibiotik

Pemberian obat untuk meningkatkan granulosit

Obat anti jamur

Pemberian nutrisi yang baik

Pendekatan aspek psikososial


Terapi kuratif atau spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya

berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, profilaksis susunan saraf pusat
dan rumatan.

Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol


kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim
digunakan untuk pasien LLA yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK
-ALL 2000. Klasifikasi risiko pada LLA didasarkan pada faktor prognostik.
a. Terapi Induksi Remisi
Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit
hematologik (haematologic complete remission/CR), yaitu eradikasi sel
leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sum - sum
tulang dan kembalinya hematopoesis normal. Keadaan ini didefinisikan
sebagai jumlah sel blas yang < 5 % dalam sumsum tulang dan bentuk eritroid,
mieloid dan elemen megakariotik normal, remisi komplit juga meliputi hitung
darah tepi yang normal, tidak ada blas, jumlah leukosit >3000/uL, jumlah
granulosit 2000 /ul, trombosit > 100.000/uL dan Hb >12 g/dl. Selain itu, pada
cairan serebrospinal harus bebas dari blas dan organomegali menjadi hilang.
Terapi induksi berlangsung selama 4 - 6 minggu dengan dasar 3 - 4 obat
yang berbeda (dexamethason, vinkristin, L-aspaginase, dan atau antrasiklin).
Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi partial,
atau gagal.
Terapi utama induksi remisi adalah prednison dan vinkristin, namun
biasanya terdiri dari prednison, vinkristin dan antrasiklin (pada umumnya
daunorubisin) dan L-asparaginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid,
sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada
beberapa regimen.
Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar
50% pasien LLA denovo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menjadi
70-85 %. Daunorubisin biasanya diberikan seminggu sekali, tetapi beberapa
penelitian memberikan dosis intensifikasi (30 60 mg/m 2 2 - 3 hari). Dosis
intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan
terapi supportif intensif dan pemberian faktor pertumbuhan (granulocyte
colony - stimulating factor/GSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi
mempersingkat lama neutropenia 5 - 6 hari dan menurunkan insiden infeksi.
b. Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi

Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi


(early intensification) yang bertujuan mengeliminasi sel leukemia residual
untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi ini
juga dilakukan 6 bulan kemudian (late intensification). Studi Cancer and
Leukemia Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup yang
lebih baik pada pasien LLA yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi
intensifikasi (early dan late intensification) daripada pasien yang tidak
mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang
berbeda diberikan.
c. Profilaksis SSP
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50 75 % pasien
LLA yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada
SSP. Profilaksis SSP dapat terjadi dari kombinasi kemoterapi intratekal,
radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavaliabilitas
SSP yang tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis tinggi. Pemberian
ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak memberikan hasil yang superior,
sedangkan kemoterapi intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi
saja tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi intratekal dengan
radiasi kranial (antara 1800 - 2400 gGy) memberikan angka relaps SSP yang
sama dengan kemoterapi intratekal ditambah dengan kemoterapi sistemik
dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu antara 0 - 11%.
d. Pemeliharaan Jangka Panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu
sekali selama 2-3 tahun. Pada LLA anak terapi ini memperpanjang disease free survivle, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.
Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 - 2 tahun
dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika
secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor
konsentrasi obat selama terapi rumatan
Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam
kamar yang suci hama). Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang
terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (10 5

10 6) immunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dikerjakan


dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Coryne bacterium dan
dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan
tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukimia yang
telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan terbentuk antibodi yang spesifik
terhadap sel leukimia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan
sehingga diharapkan penderita leukimia dapat sembuh sempurna.

PROTOKOL LLA RESIKO STANDAR/RENDAH (SR)

PROTOKOL LLA RESIKO TINGGI (HR)

3.11. Prognosis
Anak dengan resiko biasa LLA mempunyai kemungkinan 85% untuk
hidup sedangkan yang resiko tinggi mempunyai kemungkinan 75%.
Faktor prognostik LLA :
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam
kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
pembuktian faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug
resistance.
1. Jumlah leukosit awal, merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi.
Pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis yang
buruk
2. Umur saat diagnosis
Umur < 18 bulan atau > 10 tahun prognosis buruk
3. Fenotip imunologis dari limfoblas.
Leukemia sel B dengan antibodi kappa dan lamda pada permukaan
blas diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Leukemia sel T juga
mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi.

4. Jenis kelamin
Anak perempuan lebih baik dari anak laki-laki
5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi
sesudah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada
sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis
buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA
hiperploid (>50 kromosom) mempunyai prognosis baik. LLA Hipodiploid
memiliki

prognosis

intermediet.

berhubungan dengan prognosis buruk.

Translokasi

t(9;22)

atau

t(4;11)

BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis bisitopenia e.c susp Leukemia Limfositik Akut ditegakkan berdasarkan
dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa didapatkan keluhan tampak pucat dan demam yang lama.
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia,
neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
Dari anamnesis, gejala tersebut dapat berupa pucat, lemas, demam. Dari literatur
awalnya LLA memiliki gejala yang tidak spesifik dan relatif singkat, yaitu sekitar
66%. Gejala yang tampak merupakan akibat dari infiltrasi sel leukemia pada
sumsum atau organ di tubuh maupun akibat dari penurunan produksi dari sumsum
tulang. Gejala yang timbul akibat infiltrasi sel-sel muda pada sumsum tulang yaitu
anorexia, lemas, irritable, sedangkan tanda yang dapat timbul anemia,
trombositopenia, dan neutropenia. Manifestasi klinis lain yang biasa didapatkan
adalah demam yang sifatnya ringan dan intermiten. Demam ini dapat disertai atau
tanpa adanya infeksi, dan dapat disebabkan karena terjadinya neutropenia
sehingga pasien memiliki resiko tinggi terhadap infeksi. Manifestasi klinis lain
yang bisa didapat namun tidak spesifik adalah berat badan yang menurun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan didapatkan pasien sadar, tanda vital dalam
batas normal, pasien tampak anemis, dan pembesaran hepar dan lien
Berdasarkan literature, tanda pada pemeriksaan fisik pada pasien yang
dicurigai penderita leukemia adalah tampak anemis dan menunjukan adanya
tanda-tanda perdarahan seperti petechie, epistaksis atau perdarahan gusi.
Manifestasi ini disebabkan oleh turunnya jumlah trombosis pada pasien leukemia
karena gagalnya fungsi hematopoiesis. Limfadenopati dan splenomegali biasanya
ditemukan. Limfadenopati dapat terjadi secara lokal atau general pada daerah
servical, aksila, dan inguinal. Limfadenopati ini juga dapat terjadi bilateral
sekunder akibat infiltrasi sel-sel leukemia. Hepatomegali juga bisa di dapatkan
akibat infiltrasi sel leukemia, namun jarang. Pasien yang mengeluh nyeri sendi
dapat ditemukan adanya pembengkakkan sendi atau efusi pada pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah darah
rutin, urinalisa, elektrolit, fungsi hepar dan fungsi ginjal, hapusan darah tepi,
kultur darah dan kultur urin, pemeriksaan cairan serebrospinal, dan bone marrow
punction. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya kadar hemoglobin
yang rendah, leukosit yang tinggi, dan trombositopenia. Hal ini sesuai dengan
penderita yang mengalami kegagalan fungsi sumsum tulang sehingga produksi
sel-sel darahnya terganggu.
Pemeriksaan elektrolit memiliki peran yang sangat penting terutama pada
pasien yang telah mendapat kemoterapi. Pada kasus ini kadar elektrolit natrium,
kalium, chloride dan kalsium dalam batas normal.
Hapusan darah tepi yang dilakukan pada pasien mendapatkan hasil
peningkatan jumlah sel leukosit dengan blast 69%. Hasil ini memberikan kesan
adanya gambaran leukemia akut suspek LLA. Diagnosis leukemia limfoblastik
akut dapat diperkuat dengan pemeriksaan hapusan darah tepi dimana hasil
pemeriksaan menunjukkan adanya populasi homogen limfoblast pada sel sumsum
tulang yang lebih dari 25%, namun diagnosis leukemia tidak dapat ditegakkan
dengan hasil pemeriksaan hapusan darah tepi saja.
Pemeriksaan bone marrow punction diperlukan untuk memastikan jenis
keganasan yang terjadi pada pasien ini.
Terapi LLA pada pasien ini berdasarkan Indonesian Protocol A.L.L HR
2006. Pengobatan yang diberikan pada pasien ini selama dirawat terdiri dari terapi
spesifik dan terapi suportif. Rencana terapi spesifik yang diberikan pada pasien ini
adalah methotrexate, vincristine, dan daunorubicin. Methotrexate diberikan secara
intrathecal 12 mg, Vincristine 1,1 mg diberikan intravena, Daunorubicin 22 mg
diberikan intravena dan prednison per oral dengan dosis 60mg/m 2 43,8 mg/hari
prednison tablet 3-3-3. Terapi suportif pada kasus ini berupa makan biasa tinggi
karbohidrat dan tinggi protein 1400 kkal, cefotaxim 2 x 425 mg IV, paracetamol
175 mg diberikan jika suhu aksila >38,5 0C. Anemia yang berat dapat diatasi
dengan memberikan transfusi PRC dan dapat juga diberikan trombosit konsentrat
pada trombositopenia.

Anda mungkin juga menyukai