PENDAHULUAN
Leukemia adalah neoplasma ganas yang paling sering diderita pada masa
anak-anak, yaitu sekitar 41 persen dari seluruh keganasan yang terjadi pada anak
usia kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2000, kurang lebih 3600 anak didiagnosis
menderita leukemia di United States, dengan insiden per tahunnya adalah 4,1
kasus baru per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun.
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan jenis yang paling banyak
yang terjadi pada seluruh kasus leukemia pada anak-anak, yaitu sekitar 75 persen.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus
kanker baru di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta.
Umumnya, pasien kanker anak datang setelah masuk stadium lanjut yang sulit
untuk disembuhkan. Sebanyak 70% merupakan penderita leukemia atau kanker
darah. Pada tahun 2006 jumlah penderita leukemia rawat inap di Rumah Sakit di
Indonesia sebanyak 2.513 orang. Insiden puncak LLA pada anak di United State
terjadi pada usia 2 dan 6 tahun pada orang kulit putih. Leukemia limfoblastik akut
pada anak terjadi lebih banyak pada anak laki-laki dari pada perempuan. Telah
dilaporkan di United State dan seluruh dunia bahwa terdapat variasi geografi
mengenai insidens, tingkat dan subtipe leukemia.
Prognosis bagi anak dengan LLA meningkat secara dramatis dalam empat
dekade terakhir karena penggunaan yang optimal dari agen antileukemia dan
adanya penemuan baru dalam terapi LLA. LLA pada anak merupakan keganasan
yang paling dapat diterapi, yaitu mencapai 80 persen.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTIFIKASI
Nama
: EBE
Jenis kelamin
: Laki-laki
Berat Badan
: 14 kg
Tinggi Badan
Agama
: Islam
Alamat
Suku Bangsa
: Sumatera
MRS
cm
2.2. ANAMNESA
(Alloanamnesis dengan orang tua penderita 19 November 2015, Pukul 15.00
WIB)
Keluhan Utama
: Pucat
Keluhan Tambahan
: Gusi berdarah
Keterangan:
Ayah sehat
Ibu sehat
Anak sakit
: 38 minggu
Partus
: Spontan
Ditolong oleh
: Bidan
HPHT
: 19 Januari 2013
: 3000 gram
: (lupa)
: Langsung menangis
: ada (1 hari)
: 0 3 bulan
Susu Formula
Bubur Susu
Bubur Saring
Nasi Tim
Nasi Biasa
Daging
: 12 bulan - sekarag
Tempe
: 21 bulan - sekarang
Tahu
: 21 bulan - sekarang
Sayuran
: 12 bulan - sekarang
Buah
Lain-lain
:-
Kesan
: kurang baik
Kualitas
: Cukup
Riwayat Imunisasi
BCG
DPT 1
HEPATITIS B 1
Hib 1
POLIO 1
CAMPAK
Kesan
Umur
IMUNISASI DASAR
Umur
DPT 2
HEPATITIS B 2
Hib 2
POLIO 2
Umur
DPT 3
HEPATITIS B 3
Hib 3
POLIO 3
Riwayat Keluarga
Perkawinan
: Pertama
Umur
: 2 tahun
Pendidikan
: 3 bulan
Tengkurap
: 6 bulan
Merangkak
: 9 bulan
Duduk
: 8 bulan
Berdiri
: 12 bulan
Berjalan
: 18 bulan
Kesan
2.3.
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN FISIK UMUM (Tanggal Pemeriksaan: 3 Agustus 2015,
Pukul 14.00 WIB)
Keadaan Umum
Kesadaran
: Kompos Mentis
BB
: 10 Kg
PB
: 81 cm
Edema (- /-), sianosis (-/-), dispnue (-/-), anemia (-/-), ikterus (- /-),
dismorfik (-/-)
Suhu
: 36,9 OC
Respirasi
: 28 x/menit
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 108 x/ menit,
CRT
: 2
: Cukup
Regularitas
: Reguler
Status Gizi
BB/U
: 0 SD (-2) SD
TB/U
: 0 SD (-2) SD
BB/TB
: 0 SD (-1) SD
Kesan
: Gizi baik
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
Hidung
Telinga
: Sekret (-).
Mulut
Thorak
Paru-paru
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
Jantung
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi
Abdomen
- Inspeksi
: Cembung
- Auskultasi
-
Palpasi
jari bawah processus xiphoideus dan lien teraba di S3, nyeri tekan (-)
- Perkusi
Lipat paha
Ekstremitas
Genitalia
: Normal.
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan
Tungkai
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Kanan
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-
Fungsi sensorik
GRM
Lengan
Kanan
Luas
+5
Eutoni
Kiri
Luas
+5
Eutoni
+ normal
-
+ normal
-
Hasil
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Retikulosit
KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
SGOT
SGPT
Protein Total
Albumin
Globulin
GINJAL
Ureum
Asam Urat
Kreatinin
ELEKTROLIT
Kalsium
Natrium
Kalium
Klorida
IMUNOSEROLOGI
CRP
GAMBARAN DARAH TEPI
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Kesan
Saran
7,9 g/dL
3.260.000/mm3
37.100/mm3
26 %
27.000/uL
80,7 fL
24 pg
30 g/dL
2 mm/jam
4,4 %
1,65 mg/dL
0,8 mg/dL
0,85 mg/dL
49 U/dL
17 U/dL
5,5 g/dL
3,2 g/dL
2,3 g/dL
22 mg/dL
8,6 mg/dL
0,26 mg/dL
7,8 mg/dL
133 mEq/L
4,2 mEq/L
115 mEq/L
15 mg/L
mikrositik, hipokrom
jumlah meningkat, blast 12%
jumlah menurun, penyebaran merata,
bentuk normal
observasi bisitopeni dan
ditemukannya blast 12%
BMP
Hasil
URINALISIS
Warna
Kejernihan
Berat Jenis
pH
Protein
Glukosa
Keton
Darah
Bilirubin
Urobilinogen
Nitrit
Lekosit Esterase
Sedimen Urine:
Epitel
Lekosit
Eritrosit
Silinder
Kristal
Bakteri
Mukus
Jamur
Kuning
Jernih
1,025
6,0
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
1 EU/dL
positif
negatif
negatif
0-1 / LPB
0-1 / LPB
negatif
negatif
Positif +++
negatif
negatif
Hasil
10,4 g/dL
4.140.000/mm3
39.900/mm3
33 %
41.000/uL
0%
0%
35 %
34 %
31 %
: E. Coli
Antibiotik Resisten
2.5.
2.6.
2.7.
DAFTAR MASALAH
Hepatosplenomegali
Pucat (perbaikan)
Demam (perbaikan)
DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan Anjuran
Cek darah rutin lengkap, darah perifer lengkap, kimia klinik, CRP
b. Terapi ( Suportif Simptomatis-Kausatif)
Non Farmakologis
- Menginformasikan kondisi penderita kepada orang tua.
- Mengedukasi keluarga untuk mengompres anak jika demam
- Makan dan minum seperti biasa.
Farmakologis
- Ampisilin 3 x 250 mg
- Gentamisin 2 x 30 mg
- Paracetamol 3 x 120 mg (bila temperatur > 38,5oC
c. Diet
- Makan biasa
d. Monitoring
- Tanda vital (TD, N, RR, T, SpO2)
- Demam
- Perdarahan
e. Edukasi
Mengedukasi keluarga untuk memberikan obat secara teratur kepada
penderita.
f. Prognosis
-
Qua ad vitam
: dubia ad bonam
Qua ad functionam
: dubia ad bonam
Qua ad sanationam
: dubia ad bonam
2.9. Follow Up
Tanggal
Keterangan
4 Agustus 15
S : demam (-)
Pkl 07.00
Hari
O:
Gentamisin 2 x 30 mg (harike-7)
5 Agustus 15
Pkl. 07.00
Hari
O:
Gentamisin 2 x 30 mg (harike-8)
6 Agustus 15
S : demam (-)
Pkl. 07.00
Hari
O:
Gentamisin 2 x 30 mg (harike-9)
observasi febris
7 Agustus 15
S : demam (-)
07.00 WIB
Hari
O:
Gentamisin 2 x 30 mg (harike-10)
8 Agustus 15
07.00 WIB
Hari
O:
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor
limfoid atau sel progenitor limfoid di sum-sum tulang disertai dengan anemia,
febris, perdarahan dan infiltrasi sel ganas ke organ lain. Lebih dari 80 % kasus,
sel-sel ganas berasal dari limfosit B, sisanya merupakan bentuk leukemia sel T
(adult T cell leukemia, ATL). Leukemia akut didefinisikan sebagai adanya lebih
dari 30% sel blas dalam sum-sum tulang pada saat manifestasi klinis.
3.2. Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.
Insidens rata-rata 4 - 4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun. Di negara
berkembang 83% LLA, 17% LMA, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan kulit hitam.
3.3. Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun predisposisi genetik
maupun faktor - faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan. Jarang
ditemukan leukemia familial, tetapi kelihatannya terdapat insidensi leukemia lebih
tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang, dengan insidensi
meningkat sampai 20 % pada anak kembar monozigot (identik). Individu dengan
sindrom down, mempunyai insiden leukimia yang meningkat dua puluh kali lipat.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan maternal
terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko leukemia
pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan hubungan
yang signifikan. Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan
di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian,
paparan radiasi dosis tinggi in utero tidak mengarah pada peningkatan insiden
leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini masih
merupakan perdebatan.
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves
(Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem
imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun
pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada
umumnya.
Beberapa kondisi perinatal merupakan risiko terjadinya leukemia pada
anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius (1995). Faktor-faktor tersebut
adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat
badan lahir > 4500 gram dan hipertensi saat hamil.
3.4. Patofisiologi
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimia terhadap
sel normal. Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walaupun penyebab dari leukemia pada manusia belum diketahui
secara pasti, tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang
percobaan ditemukan bahwa penyebabnya (agent) mempunyai kemampuan
melakukan modifikasi nukleus DNA dan kemampuan ini meningkat bila terdapat
suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen
seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu
mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus (clone) abnormal.
Penelitian yang dilakukan pada leukimia limfoblastik akut menunjukan
bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel
blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi leukimia itu
berasal dari sel tunggal.
Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin
banyak serta akibat infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi fisiologi
tubuh. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan
penekanan sum-sum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.
3.5. Klasifikasi
Klasifikasi LLA secara morfologik menurut French-American-British
(FAB) :
a. L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak
ditemukan
anak
inti
serta
sitoplasma
yang
basofilik
dan
bervakuolisasi.
diswbabkan oleh suatu sebab spesifik seperti infeksi saluran nafas atau otitis
media. Limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6
cm di bawah arkus kosta) dijumpai pada lebih kurang 66%. Hepatomegali kurang
lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan artralgia yang disebabkan
oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh ekspansi
rongga sum-sum tulang akibat sel leukemia. Jarang, ada gejala kenaikan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah. yang menunjukkan keterlibatan
selaput otak. Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan
lelaki lebih banyak; 66% menunjukkan massa mediastinum anterior.
3.7. Pemeriksaan Penunjang
-
Pemeriksaan hematologik :
1. Pada periksaan darah lengkap didapatkan anemia normositik
normokrom, trombositopenia, jumlah leukosit total dapat menurun,
normal atau meningkat.
2. Pada pemeriksaan sediaan apus darah biasanya memperlihatkan
adanya sel blas dalam jumlah yang bervariasi.
3.8. Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
Anamnesis
-
Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
-
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Laboratorium
Pemberian antibiotik
berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, profilaksis susunan saraf pusat
dan rumatan.
3.11. Prognosis
Anak dengan resiko biasa LLA mempunyai kemungkinan 85% untuk
hidup sedangkan yang resiko tinggi mempunyai kemungkinan 75%.
Faktor prognostik LLA :
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam
kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
pembuktian faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug
resistance.
1. Jumlah leukosit awal, merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi.
Pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis yang
buruk
2. Umur saat diagnosis
Umur < 18 bulan atau > 10 tahun prognosis buruk
3. Fenotip imunologis dari limfoblas.
Leukemia sel B dengan antibodi kappa dan lamda pada permukaan
blas diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Leukemia sel T juga
mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi.
4. Jenis kelamin
Anak perempuan lebih baik dari anak laki-laki
5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi
sesudah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada
sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis
buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA
hiperploid (>50 kromosom) mempunyai prognosis baik. LLA Hipodiploid
memiliki
prognosis
intermediet.
Translokasi
t(9;22)
atau
t(4;11)
BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis bisitopenia e.c susp Leukemia Limfositik Akut ditegakkan berdasarkan
dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa didapatkan keluhan tampak pucat dan demam yang lama.
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia,
neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
Dari anamnesis, gejala tersebut dapat berupa pucat, lemas, demam. Dari literatur
awalnya LLA memiliki gejala yang tidak spesifik dan relatif singkat, yaitu sekitar
66%. Gejala yang tampak merupakan akibat dari infiltrasi sel leukemia pada
sumsum atau organ di tubuh maupun akibat dari penurunan produksi dari sumsum
tulang. Gejala yang timbul akibat infiltrasi sel-sel muda pada sumsum tulang yaitu
anorexia, lemas, irritable, sedangkan tanda yang dapat timbul anemia,
trombositopenia, dan neutropenia. Manifestasi klinis lain yang biasa didapatkan
adalah demam yang sifatnya ringan dan intermiten. Demam ini dapat disertai atau
tanpa adanya infeksi, dan dapat disebabkan karena terjadinya neutropenia
sehingga pasien memiliki resiko tinggi terhadap infeksi. Manifestasi klinis lain
yang bisa didapat namun tidak spesifik adalah berat badan yang menurun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan didapatkan pasien sadar, tanda vital dalam
batas normal, pasien tampak anemis, dan pembesaran hepar dan lien
Berdasarkan literature, tanda pada pemeriksaan fisik pada pasien yang
dicurigai penderita leukemia adalah tampak anemis dan menunjukan adanya
tanda-tanda perdarahan seperti petechie, epistaksis atau perdarahan gusi.
Manifestasi ini disebabkan oleh turunnya jumlah trombosis pada pasien leukemia
karena gagalnya fungsi hematopoiesis. Limfadenopati dan splenomegali biasanya
ditemukan. Limfadenopati dapat terjadi secara lokal atau general pada daerah
servical, aksila, dan inguinal. Limfadenopati ini juga dapat terjadi bilateral
sekunder akibat infiltrasi sel-sel leukemia. Hepatomegali juga bisa di dapatkan
akibat infiltrasi sel leukemia, namun jarang. Pasien yang mengeluh nyeri sendi
dapat ditemukan adanya pembengkakkan sendi atau efusi pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah darah
rutin, urinalisa, elektrolit, fungsi hepar dan fungsi ginjal, hapusan darah tepi,
kultur darah dan kultur urin, pemeriksaan cairan serebrospinal, dan bone marrow
punction. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya kadar hemoglobin
yang rendah, leukosit yang tinggi, dan trombositopenia. Hal ini sesuai dengan
penderita yang mengalami kegagalan fungsi sumsum tulang sehingga produksi
sel-sel darahnya terganggu.
Pemeriksaan elektrolit memiliki peran yang sangat penting terutama pada
pasien yang telah mendapat kemoterapi. Pada kasus ini kadar elektrolit natrium,
kalium, chloride dan kalsium dalam batas normal.
Hapusan darah tepi yang dilakukan pada pasien mendapatkan hasil
peningkatan jumlah sel leukosit dengan blast 69%. Hasil ini memberikan kesan
adanya gambaran leukemia akut suspek LLA. Diagnosis leukemia limfoblastik
akut dapat diperkuat dengan pemeriksaan hapusan darah tepi dimana hasil
pemeriksaan menunjukkan adanya populasi homogen limfoblast pada sel sumsum
tulang yang lebih dari 25%, namun diagnosis leukemia tidak dapat ditegakkan
dengan hasil pemeriksaan hapusan darah tepi saja.
Pemeriksaan bone marrow punction diperlukan untuk memastikan jenis
keganasan yang terjadi pada pasien ini.
Terapi LLA pada pasien ini berdasarkan Indonesian Protocol A.L.L HR
2006. Pengobatan yang diberikan pada pasien ini selama dirawat terdiri dari terapi
spesifik dan terapi suportif. Rencana terapi spesifik yang diberikan pada pasien ini
adalah methotrexate, vincristine, dan daunorubicin. Methotrexate diberikan secara
intrathecal 12 mg, Vincristine 1,1 mg diberikan intravena, Daunorubicin 22 mg
diberikan intravena dan prednison per oral dengan dosis 60mg/m 2 43,8 mg/hari
prednison tablet 3-3-3. Terapi suportif pada kasus ini berupa makan biasa tinggi
karbohidrat dan tinggi protein 1400 kkal, cefotaxim 2 x 425 mg IV, paracetamol
175 mg diberikan jika suhu aksila >38,5 0C. Anemia yang berat dapat diatasi
dengan memberikan transfusi PRC dan dapat juga diberikan trombosit konsentrat
pada trombositopenia.