TINJAUAN PUSTAKA
III.1
Definisi
Ikterus obstruktif adalah sindrom klinis akibat hambatan aliran empedu yang disebabkan
oleh sumbatan mekanik, disebut juga kolestasis atau jaundice obstruktif. Aktifitas enzim
alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda adanya kolestasis.1
Ikterus (icterus) berasal dari bahasa Greek yang berarti kuning. Nama lain ikterus adalah
jaundice yang berasal dari bahasa Perancis jaune yang juga berarti kuning. Dalam hal ini
menunjukan peningkatan pigmen empedu pada jaringan dan serum. Jadi ikterus adalah warna
kuning pada sclera, mukosa dan kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam
darah dan jaringan (> 2 mg / 100 ml serum).
Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika (parenkimatosa)
dan ikterus post hepatika (obstruksi).
Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran
empedu antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran
empedu ekstra hepatika. Ikterus obstruksi disebut juga ikterus kolestasis dimana terjadi stasis
sebagian atau seluruh cairan empedu dan bilirubin ke dalam duodenum.
Ada 2 bentuk ikterus obstruksi yaitu obstruksi intra hepatal dan ekstra hepatal. Ikterus
obstruksi intra hepatal dimana terjadi kelainan di dalam parenkim hati, kanalikuli atau kolangiola
yang menyebabkan tanda-tanda stasis empedu sedangkan sedangkan ikterus obstruksi ekstra
hepatal terjadi kelainan diluar parenkim hati (saluran empedu di luar hati) yang menyebabkan
tanda-tanda stasis empedu . Yang merupakan kasus bedah adalah ikterus obstruksi ekstra hepatal
sehingga sering juga disebut sebagai surgical jaundice dimana morbiditas dan mortalitas sangat
tergantung dari diagnosis dini dan tepat.
III.2
Kandung
empedu
merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus
kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis.
duktus koledokus.
pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal
dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai
sfingter Oddi 2.
Gambar 1. Batu dalam kandung empedu
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.
Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah
melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung
empedu.
anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan
lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu
akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan
ototnya dan relaksasi sfingter Oddi.
kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam
makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK
juga memperantarai kontraksi 2.
III.2.1 Kandung Empedu
Kandung empedu berbentuk seperti buah pear dengan panjang sekitar 7-10 cm,
kapasitas rata-rata 30-50 ml, terletak pada fossa di bagian inferior permukaan hepar.
2,3
Jika tersumbat, kandung empedu dapat meregang dan berisi hingga 300 ml. Terdapat
empat bagian dari kandung empedu yaitu fundus, corpus, infundibulum, dan collum.
Sebagai tambahan, kantung Hartmann sering terbentuk pada infundibullun dan collum
sebagai bagian patologis bila terbentuk batu empedu2
pada hepar. Duktus biliaris komunis berukuran panjang sekitar 7-11 cm dan diameter 510 mm. Ia berjalan ke bawah secara oblik sepanjang dinding duodenum 1-2 cm sebelum
bukaan pada papilla membrane mukosa (ampulla Vater), sekitar 10 cm distal dari pylorus.
Sfingter Oddi mengatur aliran empedu dan pada beberapa kasus, getah pancreas, ke
dalam duodenum.3
mensekresi berbagai zat ke dalam dan keluar empedu. Duktulus-duktulus ini diperfusi
oleh jaringan kapiler yang muncul dari arteri hepatica.
Mayoritas pleksus kapiler periduktular ini mengalir ke dalam sinusoid. Aliran
pada pleksus kapiler periduktular berlawanan arah dengan aliran empedu, yang
berdampak pada modifikasi komposisi empedu selama ia mengalir sepanjang duktulus.
Contohnya glukosa yang memasuki empedu menyebrangi tight junction kanalikular,
dikawal secara aktif selama empedu mengalir melalui duktulus bilier yang terkecil, dan
dapat dikembalikan ke sinusoid. Duktus biliaris berlaku sebagai penglir empedu tanpa
mengubah komposisinya secara signifikan, kecuali menambahkan mucus dari glandula
prebiliaris. Sekresi mucus mungkin dimaksudkan untuk memberikan proteksi terhadap
empedu itu sendiri dan dapat pula menjaga terhadap invasi bakteri pada traktus biliaris.4
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Ikatan melemah pada keadaan seperti asisdosis, dan beberapa bahan seperti
antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.
B. Fase intrahepatik
1. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci
dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas.
Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun
tidak termasuk termasuk pengambilan albumin.
2. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau
bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoroniltransferase menghaslkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi
ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asal
glukuronik kedua ditambahkan dalan saluran empedu melalui sistem enzim yang
berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya
selain diglukuronid juga terbentuk namun kegunaannya tidak jelas.
C. Fase Pascahepatik
1. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama
bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang
kompleks ini. di dalam usus flora bakteri men-dekonjugasi dan mereduksi
bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam
tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali
dalam empedu, dandalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen.
Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkojugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan hepatoselular
atu kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam ait
namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati
sawar darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak
terkonjugasi
mengalami
proses
konjugasi
dengan
gula
melalui
enzim
Hemoglobin
Heme
Heme oksidase
Biliverdin
Fe
CO
Bilirubin tak terkonjugasi bebas
Biliverdin
reduktase
Bilirubin tak
terkonjugasi
UDGT
Bilirubin terkonjugasi
Empedu
glukoronidase
Bilirubin glukoronida
Sirkulasi
enterohepatik
10%
Urin
III.3
Patofisiologi
Ikterus obstruktif dapat disebabkan oleh sumbatan dari duktus-duktus yang membawa
empedu dari kandung empedu ke usus halus. Hal ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan pada
sistem bilier. Tanda dan gejala utama dari obstruksi bilier merupakan efek langsung dari
kegagalan bilier untuk mencapai tempat-tempat yang seharusnya.
Manifestasi klinis dari kolestasis atau kegagalan aliaran bilier mungkin disebabkan oleh
sumbatan mekanis atau faktor metabolic dari hepatosit. Maka dibedakan menjadi intrahepatik
dan ekstrahepatik.
Kolestasis intrahepatik secara umum muncul pada tingkat hepatosit atau membran
kanalikular bilier. Penyebabnya meliputi penyakit hepatoselular (cth hepatitis viral, hepatitis
imbas obat), kolestasis imbas obat, sirosis bilier, dan penyakit hati alkoholik. Pada penyakit
hepatoselular, gangguan pada metabolisme bilirubin, yaitu ambilan, konjugasi, dan ekskresi,
biasanya terjadi dan ekskresi menjadi yang paling banyak terganggu. Sebagai hasilnya, bilirubin
terkonjugasi paling banyak berada di serum.
Obstruksi ekstrahepatik dari aliran bilier dapat terjadi di dalam duktus atau karena
kompresi eksternal. Dari semuanya, batu empedu adalah penyebab paling sering dari obstruksi
bilier. Penyabab lain dari sumbatan di dalam duktus adalah keganasan, infeksi, sirosis bilier.
Kompresi eksternal dapat muncul dari inflamasi seperti pada pancreatitis, dan keganasan. Tanpa
melihat penyebabnya, obstruksi fisik menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Akumulasi bilirubin dalam aliran darah dan selanjutnya, deposisinya di kulit
menyebabkan ikterus. Ikterus konjungtiva umumnya lebih sensitif untuk menunjukkan
hiperbilirubinemia daripada ikterus umum. Kadar bilirubin serum total normalnya adalah 0,2-1,2
mg/dL. Ikterus dapat tidak terlihat hingga paling tidak 3 mg/dL. Bilirubin urin biasanya tidak
ditemukan. Bila ada, hanya bilirubin terkonjugasi yang dapat lewat ke dalam urin. Hal ini
muncul sebagai urin berwarna pekat pada pasien dengan ikterus obstruktif atau ikterus karena
penyakit hepatoselular. Namun, carik reagen sangat sensitif terhadap bilirubin, dapat mendeteksi
0,05 mg/dL. Karena itu, bilirubin urin dapat dideteksi sebelum kadarnya cukup tinggi untuk
menyebabkan ikterus secara klinis.
Kurangnya bilirubin dalam traktus intestinal bertanggung jawab terhadap tejadinya feses
berwarna pucat yang terkait dengan obstruksi bilier. Penyebab gatal-gatal pada kulit sehubungan
dengan obstruksi bilier belum sepenuhnya jelas. Satu teori mengatakan hal tersebut berkaitan
dengan akumulasi asam empedu pada kulit, sedang teori lainnya mengemukakan pelepasan
opioid endogen bertanggung jawab akan terjadinya hal itu.
III.4
Etiologi
Etiologi ikterus obstruktif dapat dibagi menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik. Penyebab
intrahepatik paling sering adalah hepatitis dan sirosis. Dapat pula disebabkan oleh kerusakan
hepatosit akibat obat-obatan.
Penyebab ekstrahepatik dibagi menjadi intraduktal dan ekstraduktal. Penyebab
intraduktal meliputi neoplasma, penyakit batu, striktur bilier (akibat operasi sebelumnya),
parasit, kolangitis sklerosis primer, kolangiopati terkait AIDS, dan tuberculosis bilier. Penyebab
ekstraduktal diantaranya adalah neoplasma, pancreatitis, batu duktus sistikus dengan distensi
kandung empedu.
Tumor-tumor yang menekan atau menginfiltrasi CBD dapat menyebabkan ikterus
obstruktif. Contohnya, kolangiokarsinoma, karsinoma ampula Vater, karsinoma kandung
empedu, dan tumor pancreas.
Penyakit batu adalah penyebab paing sering dari ikterus obstruktif. Batu kandung empedu
dapat masuk ke CBD dan menyebabkan obstruksi dan gejala kolik bilier serta ikterus. Sindrom
Mirizzi timbul karena kompresi eksternal batu yang terimpaksi dalam duktus sistikus atau leher
kandung empedu.
Striktur bilier dapat disebabkan oleh operasi terdahulu, cedera abdomen, pancreatitis,
atau erosi duktus akibat batu empedu.
Ascaris lumbricoides dewasa yang bermigrasi ke sistem bilier dapat juga menyebabkan
obstruksi. Telur-telur dari cacing hati juga dapat berakumulasi dan menyebabkan kolestasis
intraduktal.
Tabel 3 Kondisi Kolestatik yang Dapat Menyebabkan Jaundice1
I.
Intrahepatik
A. Hepatitis Virus
1. Hepatitis kolestatik fibrosa Hepatitis B dan C
2. Hepatitis A, EBV, CMV
B. Hepatitis Alkoholik
C. Toksisitas obat
1. Kolestasis murni-steroid kontraseptif dan anabolik
II.
III.5
Manifestasi Klinis
III.5.1 Anamnesis5
Mual
Muntah
Ikterus
Sklera ikterik
Trias Charcot:
o Demam dan mengigil
o Nyeri di daerah hati
o Ikterus
Laboratorium
o Tes fungsi hati : Abnormal (4-10 kali dari normal).
o AST (SGOT)/ALT(SGPT) : Awalnya meningkat. Dapat meningkat
dalam 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
o Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup
SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
o Dapat terjadi trombositopenia (splenomegali).
o Diferensial darah lengkap : Leukositosis, monositosis, limfosit
atipikal, dan sel plasma.
o Alkali fosfatase : Agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat)
o Feces : Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
o Albumin serum : Menurun.
o Gula darah : Hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi
hati).
o Anti HAV IgM : Positif pada tipe A.
o
Pencitraan
o USG
CT scan
Tidak lebih unggul daripada USG untuk mendiagnosis batu kandung empedu.
Cara ini berguna untuk mendiagnosis keganasan pada kandung empedu yang
mengandung batu.6
susunan duktus biliaris intra hepatic yang menggunakan jarum Chiba kurus
(ukuran 21) dan suntikan prograd zat kontras.6
Terapi pada pasien dengan obstruksi duktus biliaris bertujuan untuk mengatasi obstruksi
mekanik.Endoskopi intervensi atau pendekatan radiologi intervensi lainnya tersedia termasuk
sphincterotomy, dilatasi balon pada striktur fokal, dan pemasangan drain atau stent. Alternatif
lainnya adalah tindakan bedah. Strategi terapi yang hendak dipilih tergantung pada lokasi dan
etiologi obstruksi. Striktur intrahepatik fokal dapat ditatalaksana dengan pendekatan radiologi
intervensi; lesi di sebelah distal dari percabangan ductus hepatikus lebih cocok ditangani secara
endoskopi (contohnya sphincterotomy pada koledokolitiasis), sedangkan lesi dengan massa yang
besar memerlukan pendekatan bedah.
Sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya memerlukan tindakan bedah, ekstraksi batu di
duktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter untuk striktur (sering keganasan) atau daerah
penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat
dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik.
Papilotomi endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparotomi pada pasien
dengan batu di duktus koledokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk
membantu pengeluaran batu di saluran empedu.
III.6
Kolelitiasis
III.6.1 Definisi
III.6.2 Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin.4 Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang
paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.2 Sementara itu, komponen utama
dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan
empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu. 10
III.6.3 Patogenesis
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
a. pembentukan empedu yang supersaturasi,
b. nukleasi atau pembentukan inti batu, dan
c. berkembang karena bertambahnya pengendapan.
Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan
semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di
bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang
mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid
yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam
empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. 11
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang
lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris
yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan 11.
batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis
hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril 1
c.
Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.
(Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur.
Mual dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat
kembali terulang7.
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan
tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak,
nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat
berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau
dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung
empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi
ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat
menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering
menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu 7.
III.6.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap
makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada
30% kasus timbul tiba-tiba 7.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa
nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam 7.
b. Pemeriksaan Fisik
1)
2)
c. Pemeriksaan Penunjang
1)
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut 7.
2)
Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatica 7.
3)
4)
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal
pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl,
okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras
tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu 7.
III.6.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : 7
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
e. Perikolesistitis
f. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
g. Perforasi
h. Kolesistitis kronis
i. Hidrop kandung empedu
j. Empiema kandung empedu
k. Fistel kolesistoenterik
l. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan
batu empedu muncul lagi) angga
m. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung
empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat
terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan
dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum),
dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus
dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung
empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata 7.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis, dan pankretitis 7.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi 7.
III.6.9 Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak 7.
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan
kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.7
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut 11.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian
dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi
komplikasi pada jantung dan paru 4. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut 11.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan
batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya
yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi 6% seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi 11.
c. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif
acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya
batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu
tejadi pada 50% pasien 6. Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an sukses.
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya
batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung
empedu baik dan duktus sistik paten9.
d. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasienpasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) 11.
e. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah
benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini 11.
f. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk
pasien yang sakitnya kritis11
g. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot
sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90%
kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan
perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang
lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.13
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana LA. Batu empedu. Dalam: Aru W Sudoyo,dkk, (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jakarta: BP FKUI; 2006; 112; 479-481.
2. Warrel, David et al. Oxford textbook of surgery. Philadelphia: Lipincott William
Wilkins.4th ed. 2003
3. Barret, Kim. Gastrointestinal physiology. New York: McGraw-Hill. 2006
4. Muholland, Michael. Greenfields surgery.4th ed. Philadelphia: Lipincott William
Wilkins. 2006
5. Brunicardi, Charles F. Schwartzs manual of surgery. 8th ed. New York. McGraw-Hill.
2006
6. Patel K. Pravin et al. Obstructive Jaundice. 2009. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1279283
7. Sjamsuhidajat, R & De Jong, Wim. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran ECG, 2003.
8. Webmaster. 2002. Genetics of gallstone disease. Dalam: JPGM. Available from
http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=0022-