Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi anafilaksis merupakan kegawatan yang apabila tidak segera ditangani, yang bila
tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dalam
beberapa menit, bahkan ada yang langsung berat.
Penyebab timbulnya reaksi anafilaktik dipicu oleh allergen atau factor pencetus lainnya.
Gejala yang timbul melalui reaksi allergen atau antobodi disebut reaksi anfilaktik, sedangkan
yang tidak melalui reaksi imunologik disebutg reaksi anafilaktoid. Tetapi keduanya antara gejala
dan pengobatannya adalah sama, maka kedua reaksi tersebut disebut anafilaksis. Alergen
tersering yang dapat menimbulkan reaksi anafilaktik adalah obat obatan, terutama antibiotic.
Dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotic golongan beta
laktam. Penisillin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002% pemakaian.

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dan pembahasan makalah refrat ini agar menambah pengetahuan dan
wawasan tentang reaksi anafilaksis pada umumnya dan untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik ilmu penyakit dalam pada khususnya. Diharapkan dengan penulisan refrat ini
penyusun dan pembaca dapat mengetahui etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan
penatalaksanaan dari kasus reaksi anafilaksis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Reaksi anafilaktik merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi)
yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Anafilaktik ini merupakan rekasi hipersensitifitas Gell dan Coombs tipe I
atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan oelh IgE yang dapat mengancam nyawa.1,2

Klasifikasi
a.

Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Sekitar 50% - 70% dari
populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti
selaput lender hidung, paru dan konjungtiva. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah

b.

sedikit, segera diikat oleh sel mast / basofil. IgE akan menetap selama beberapa minggu.
Reaksi sitemik anafilasis
Anafilaksis terjadi dalam beberapa menit saja dan dapat mengancam nyawa. Sel mast
dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipicu
oleh berbagai allergen seperti makanan, obat, atau serangan serangga dan juga lateks,
latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya.

c.

Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid

Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi reaksi sistemik umum yang
melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme
pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor non-imun.
ETIOLOGI
Reaksi hipersensitivitas tipe I timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen.
Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan antibody
IgE yang terikat sel mast dan basofil pada individu yang tersensitisasi.3
Tabel 1. Pemicu reaksi anafilaksis / anafilaktoid

Jenis Alergi
Anafilaksis

Alegen Umum
Obat, serum, bisa (venom), Edema
kacang-kacangan,

dengan

peningkatan

hormone, permeabilitas vascular, berkembang

darah, enzim

Urtikaria Akut

Gambaran

Sengatan serangga

menjadi

oklusi

sirkulasi

dan

meninggal
Bentol dan

trakea,

merah

kolaps

kemungkinan
di

daerah

sengatan . Sengatan serangga dapat


Rinitis Alergi

juga menimbulkan reaksi tipe IV


Polen (hay fever) tungau debu Edema dan iritasi mukosa nasal

Asma

rumah
Polen, tungau debu rumah

Konstriksi bronchial, peningkatan


produksi mucus, inflamasi saluran
napas.

Makanan

Kerang,

susu,

telur,

Ekzem Atopi

bahan asal gandum


menjadi anafilaksis
Polen, tungau debu rumah, Inflamasi pada kulit yang terasa
beberapa makanan

ikan, Urtikaria yang gatal dan potensial

gatal,

biasanya

merah

dan

ada

kalanya vesicular

PATOFISIOLOGI 2,3
Hipersensitifitas tipe I yang terlokalisasi memiliki dua fase utama, yaitu respon awal
yang ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran plasma, dan spasme oto polos yang biasanya
muncul dalam rentang waktu 5 sanpai 30 menit setelah terpajan allergen dan menghilang dalam
60 menit. Ke-2 yaitu, reaksi fase lambatyang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung
selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan dengan infiltrasi eosinofil serta sel
peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan yang ditandai dengan
penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan epitel sel mukosa.

Gambar 1. Sel mast yang dirangsang dan melepas mediator

Sel mast berasal dari sum-sum tulang dan tersebar luas dalam jaringan. Sitoplasma sel
mast mengandung granula yang dilapisi membrane yang mempunyai berbagai macam mediator.
Sel mast yang diaktivasi oleh IgE yang bertautan silang yang terikat pada permukaan silang
melalui reseptor Fc, selain itu sel mast juga dapat dipicu oleh rangsangan lain seperti komplemen
C5a dan C3a yang berikatan pada reseptor membrane sel mast spesifik.
Urutan kejadian reaksi tipe I saat alergen masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan respon
imun adalah sebagai berikut :
1. Fase sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor
spesifik ( Fc-R ) pada permukaan sel mast / basofil.
2. Fase aktivasi
Waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel
mast / basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor
Waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)sebagai efek mediator mediator
yang dilepas sel mast / basofil dengan aktivitas farmakologik.

Gambar 2. Rangkaian peristiwa hipersensitifitas tipe I

Reaksi tipe I rangkaian kejadiannya dimulai dengan pajanan awal terhadap antigen
tertentu (allergen). Alergen tersebut merangsanginduksi sel T CD4+ tipe Th2. Sel CD4+ berperan
penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang dihasilkannya
( khususnya IL-4 dan IL-5 ) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B. Antibodi IgE berikatan
pada resempor Fc yang teradapat pada sel mast dan basofil. Apabila terjadi pajanan ulang
terhadap antigen yang sama, mengakibatkan pertautan silang pada IgE yang terikat sel dan
memicu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator. Salah satu sinyal
mengakibatkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran mediator primer. Perangkat sinyal
lainnya akan menginduksi dan melepaskan mediator sekunder.

Gambar 3. Aktivasi sel mast dan pelepasan mediatornya.


Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator
primer

dalam

dilepaskan

granula

untuk

sel

memulai

mast
tahapan

reaksi awal hipersensitivitas tipe I.


Histamin merupakan mediator perforasi
terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas

vascular,

bronkokonstriksi

dan

vasodilatasi,
menigkatnya

sekresi mucus. Mediator lain yaitu


adenosine (menyebabkan bronkoskopi
dan menghambat agregasi trombosit)
dan factor kemotaksis untuk neutrofil dan eusinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks
granula dan meliputi heparin serta protease netral (triptase). Protease menghasilkan kinin dan
memecah komponen komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi tambahan.

Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup 2 kelompok senyawa, yaitu mediator lipid dan sitokin.
1. Mediator lipid
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2 yang memecah fosfolipid
membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat yang akan mensintesis leukotrien
dan prostaglandin. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang

paling poten. Agen ini lebih aktif dari histamine dalam meningkatkan permeabilitas vascular
dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktiok
untuk

neutrofil,

eosinofil

dan

monosit.

Sedangkan

prostaglandin

menyebabkan

bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mucus.


2. Sitokin
Sitokin yang diproduksi sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin penting pada
reaksi hipersensitifitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi leukosit.
TNF merupakan mediator dalam adhesi, emigrasi dan aktivasi leukosit. IL-4 merupakan
factor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Tabel 2. Sitokin pada imunitas
Sitokin
TNF

Sumber Utama
Makrofag, sel T

Sasaran Utama dan Efek Biologis


Sel endotel : aktivasi (inflamasi, koagulasi)
Neutrofil : aktivasi
Hipotalamus : panas
Otot, lemak : katabolisme

IL-1

Makrofag, endotel,

Apoptosis
Sel endotel : aktivasi (inflamasi, koagulasi)

IL-4

beberapa epitel
Sel T, sel mast

Hipotalamus : panas
Sel B : pengalihan ke isotope IgE

IL-5

Th2, sel mast

Sel T : differensiasi dan proliferasi Th2


Eosinofil : aktivasi, peningkatan produksi

IL-6

Makrofag, sel T, sel

Sel B : proliferasi, produksi IgA


Sel B : proliferasi sel plasma

endotel
GEJALA DAN TANDA 4
Umum
Prodromal

Lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar dilukiskan, rasa

tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan


palatum.
Pernapasan
Hidung

Hidung gatal, bersin dan tersumbat

Laring

Rasa tercekik, suara sesak, sesak nafas, stridor, edema,


spasme

Lidah

Edema

Bronkus
Kardiovaskular

Batuk, sesak, mengi, spasme


Pingsan, singkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok,
aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau

Gastro Intestinal

tanda-tanda infark miokard.


Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang

Kulit
Mata
Susunan Saraf Pusat

disertai darah, peristaltic usus meninggi.


Urtikariaa, angioedema di bibir, muka atau ekstremitas
Gatal, lakrimasi
Gelisah, kejang

DIAGNOSIS 4,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang muncul beberapa
detik atau menit setelah pasien terpajan allergen. Gejala yang timbul bisa ringan seperti pruritus
atau urtikaria sampai berat seperti gagal nafas atau syok anafilaktik. Tetapi kadang gejala
anafilaksis yang berat dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.
Gejala dapat timbul pada satu organ saja, tetapi dapat pula muncul pada beberapa organ
secara serentak. Kombinasi yang sering dijumpai adalah urtikaria / angioedema disertai
gangguan pernafasan baik karena edema laring atau bronkospasme.

Diagnosis anafilaktik jika ditemukan :


-

Onset dan progresifitas gejala timbul dengan cepat

Ada masalah dengan airway / breathing / circulation.

Perubahan pada kulis dan mukosa ( kemerahan, urtikaria, dan angioedema )

Ingat !!
-

Jika hanya terjadi perubahan pada kulit dan mukosa itu belum tentu reaksi
anafilaktik

Perubahan kulit dan mukosa menurun atau menghilang sampai 20 %


( beberapa pasien hanya terjadi penurunan TD )

Bisa terjadi gejala gastrointestinal ( mual, nyeri abdominal, incontinence )

PENATALAKSANAAN 4,5
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan maka
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan
lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Bila pencetusnya adalah allergen
seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera berikan suntikan
infiltrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi
allergen tersebut. Bila mungkin pasang torniquet proksimal dari tempat suntikan.
Dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien
anafilaksis yaitu mengusahakan system pernapasan yang lancer sehingga oksigenasi berjalan
baik dan system kardiovaskular sehingga perfusi jaringan memadai.

Sistem Pernapasan
Penyebab tersering kematian reaksi anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik
karna edema atau broncospsme. Kadang diperlukan trakeostomi. Tindakan intubasi sselain sulit,
juga sering membuat tambah beratnya obstruksi karena pipa endotrakea akan mengiritasi dinding
laring. Selain itu juga diperlukan pemberian O2 4-6 l/menit dan pemberian bronkodilator jika
terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah. Hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau
agonis 2 lainnya sebanyak 0,25 cc 0,5 cc dalam 2 4 ml NaCl 0,9% diberikan dengan
nebulisasi atau aminofilin 5 -6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrose 5% atau NaCl
0,9% dan diberikan secaraperlahan.

Sistem Kardiovaskuler
Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin menandakan
bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravascular. Oksigen mutlak harus diberikan, kadang
CVP diperlukan. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui infuse intravena.

Gambar 4. Logaritma penatalaksanaan reaksi anafilaksis

Adrenalin (epinefrin)
Adrenalin merupakan pengobatan terpenting pada syok anafilaktik, digunakan untuk susah nafas
dan meningkatkan cardiac output. seperti - reseptor agonist, bekerja mengurangi vasodilatasi
dan mengurangi edema. Aktivasi reseptor membuat bronkus dilatasi, meningkatkan kontraksi
miokard, dan menekan pengeluaran histamine dan leukotrien. Juga terdapat reseptor 2
adrenergic pada sel mast yang menghambat aktivasi. Pemberian epinefrin harus diberikan
secepat mungkin saat terlihat gejala.
Pemberian epinefrin i.v sebanyak 0,5 mg secara bolus. Jika dosis adrenalin butuh diulang

Oksigen (O2)
Pemberian oksigen dosis tinggi dapat digunakan dengan menggunakan mask, tekanan oksigen
yang diberikan 10 l/ mnt atau pasien di intubasi. Oksigen mutlak harus diberikan selain
disamping utuk pemantauan system kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila
terjadi asidosis metabolic.

Cairan ( diberikan secepat mungkin )


Cairan dalam jumlah yang besar dapat mengakibatkan kebocoran dari sirkulasi tubuh
pasien pada saat terjadi reaksi anafilaksis. Dapat juga terjadi vasodilatasi, TD yang rendah dan
tanda-tanda syok. Jika ada akses intravena, masukkan cairan intravena sesegera mungkin.
Berikan cairan i.v secara cepat (20 ml/kg untuk anak-anak atau 500 1000 ml untuk dewasa )
dan amati respon, tambahkan dosis jika diperlukan. Tidak ada bukti yang mendukung
penggunaan koloid dibandingkan kristaloid pada keadaan ini. Disarankan menggunakan koloid
jika terjadi respon anafilaktik dan hentikan pemberian infuse.

Cairan Hartman atau Salin marupakan cairan yang cocok untuk resusitasi dini. Volume
cairan yang besar diperlukan. Jika akses intravena gagal atau tidak dapat dilakukan, rute
intaossous bisa digunakan untuk memasukkan cairan atau obat-obatan saat melakukan resusitasi
pada anak-anak atau dewasa, tetapi hanya boleh dilakukan oleh petugas kesehatan, jangan
menunda pemberian adrenalin jika pemberian im gagal.

Antihistamin
Antihistamin merupakan terapi ke-2 untuk reaksi anafilaktik. Antihistamin dapat melawan
histamine, yaitu vasodilatasi dan braonkokonstriksi. Diberikan setelah resusitasi secara lambat
melalui intravena atau intramuscular (chlorphenamine). Dosis yang diberikan :
-

> 12 tahun dan dewasa

10 mg IM / secra lambat i.v

6 12 tahun

5 mg IM / secara lambat i.v

> 6 bulan 6 tahun

2,5 mg IM / secara lambat i.v

< 6 bulan

250 microgram/kg IM / secara lambat i.v

Steroid
Kortikosteroid dapat mencegah atau dapat memperpendek reaksi efek samping. Pada asma,
penggunaan terapi ini secara dini menguntungkan baik pada dewasa atau pada anak. Pasien di
RS dengan asma tidak yang diberikan hidrokortison dosis tinggi tidak lebih baik daripada dosis
rendah. Hidrokortison harus diinjeksi secara perlahan (iv / im) untuk menghindari terjadinya
hipotensi.

Dosis hidrokortison pemberiannya sesuai usia :


-

> 12 tahun dan dewasa

200 mg IM / secra lambat i.v

6 12 tahun

100 mg IM / secara lambat i.v

> 6 bulan 6 tahun

50 mg IM / secara lambat i.v

< 6 bulan

25 mg IM / secara lambat i.v

BAB III
KESIMPULAN

Reaksi anafilaktik merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi)
yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit, merupakan rekasi hipersensitifitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan oleh IgE.
Reaksi hipersensitivitas tipe I diklasifikasikan menjadi reaksi local, reaksi anafilaksis,
dan anafilaktoid. Reaksi hipersensitivitas tipe I timbul segera setelah adanya pajanan dengan
allergen yang dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan
antibody IgE yang terikat sel mast dan basofil pada individu yang tersensitisasi. Diagnosis
anafilaktik jika ditemukan onset dan progresifitas gejala timbul dengan cepat, ada masalah
dengan airway / breathing / circulation, dan perubahan pada kulis dan mukosa ( kemerahan,
urtikaria, dan angioedema ).
Jika diagnosis anafilaktik sudah ditegakkan, maka permberian epinefrin harus diberikan
sesegera mungkin. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis
berhubungan erat dengan kematian. Dua hal yang harus diperhatikan dalam memberikan terapi
adalah mewngusahakan system pernapasan yang lancer sehingga oksigenasi berjalan baik dan
system kardiovaskular sehingga perfusi jaringan memadai.

Daftar Pustaka
1. Ivan. Patofisiologi dan Penatalaksanaan raksi anafilaksis. Available from http://ivanatjeh.blogspot.com/2012/01/patofisiologi-dan-penatalaksanaan-syok.html?m=1
2. Garna, Karnen dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar edisi ke-8. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Kumar, Cotran dan Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7, volume 1. Jakarta : EGC.
4. Rengganis, Iris dkk. Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi IV.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universita Indonesia.
5. Resuscitation
Council
(UK).
Reaction
Anaphylactic.
Available
from:
www.resus.org.uk/pages/reaction.pdf

Anda mungkin juga menyukai