Kasus Anak
Morbili pada B20
Disusun oleh:
dr. Lutfie
Pendamping:
dr. Lince Holsen
dr. Clara Yosephine
Obyektif Presentasi:
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan
Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Istimewa
Neonat
Bayi
Rema
Anak
us
Masalah
ja
Dewas
Bu
Lansia
mil
Tinjauan
Pustaka
Diskusi
Riset
Presentasi dan
diskusi
Nama: An. RJ
Kasus
Email
Audit
Pos
Riwayat kesehatan/Penyakit
Lahir: di ruang bersalin RS Larantuka, partus normal dibantu oleh bidan,
cukup bulan, langsung menangis, berat badan lahir 3,2 kg.
Tumbuh kembang: berat badan sulit naik, saat ini sudah dapat berdiri,
jalan dituntun, dan merangkak. Pasien belum dapat jalan sendiri.
Nutrisi: ASI sampai usia 4 bulan, diganti dengan bubur, saat ini makan
nasi.
Imunisasi: Semua diberikan kecuali campak. Imunisasi BCG juga diberikan
karena belum diketahui memiliki penyakit B20.
Pada usia 4 bulan, pasien mengalami sesak napas selama 1 minggu,
dilakukan rontgen dengan hasil sesuai TB paru, hasil VCT B20+ (CD4+
1259 kopi/L), pasien pengobatan TB hingga selesai (10 bulan), rontgen
perbaikan.
Pasien sedang menjalani trial ARV minggu ke 2 (VCT dengan dr Lince,
rujukan RS Larantuka), dengan 2 puyer, masing-masing diminum dua kali
sehari (Lamivudin-Stavudin) dan satu kali sehari (Nevirapin).
3. Riwayat keluarga:
Riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal.
Ibu B20 +, suami ? Pasien merupakan anak pertama dari pernikahan ke 2.
Suami pertama telah meninggal karena TB paru (B20?). Dari pernikahan
pertama, ibu pasien memiliki 3 anak (usia kuliah sedang bekerja di Polri
dicek B20 negatif, usia 2 SD, anak ke 3 meninggal karena TB paru).
2.
Riwayat sosial:
Pembiayaan kesehatan pasien dengan BPJS.
4.
Pemeriksaan Fisik:
Unit Gawat Darurat:
Kesadaran
: kompos mentis.
Keadaan umum : tampak sakit ringan.
Suhu
: 42C.
Mata
: cekung -.
Paru
: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Jantung
: bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan
gallop -.
Abdomen
: supel, bising usus +.
Ekstremitas
: akral hangat, ruam -.
5.
Ruang Rawat:
Kesadaran
Keadaan umum
Antropometri
Nadi
Suhu
Pernapasan
Mata
ikterik -/-.
THT
T1-T1.
Leher
teraba,
: kompos mentis
: tampak sakit sedang.
: BB 8,5 kg, PB 80 cm, LILA 13,5 cm.
: 120x/menit regular, isi cukup
: 39,4C
: 40-50x/menit, kedalaman cukup
: konjungtiva injeksi -/-, pucat +/+, sklera
: faring hiperemis -, hidung dan telinga dbn,
: KGB servikal dan submandibular bilateral
diameter 0,5-1 cm, kenyal, tidak nyeri,
mobile.
Jantung
gallop -.
Paru
Abdomen
Ekstremitas
Kulit
menjadi plak
seluruh tubuh.
Pemeriksaan Penunjang:
MTT -/ Hb 8,7/ Ht 23,7/ MCV 64,2/ MCH 23,6/ Leu 15,44 (limfosit 40,8%,
neutrofil 51,1%).
Rontgen Toraks PA setelah pengobatan TB:
Infiltrat di parahiler dan paracardial bilateral masih tampak, terdapat
limfadenopati mengarah TB paru.
6.
Diagnosis:
Morbili dd/rubella.
B20 on ARV suspek infeksi sekunder.
Anemia penyakit kronik dd/defisiensi besi.
Riwayat TB paru dengan gizi kurang.
7.
Tatalaksana:
IVFD D5 NS 700 cc/hari.
Ibuprofen 3 x cth (di UGD diberikan ibuprofen supp 1 x 1, ibuprofen
syr 3 x 1 cth).
Bedak salicyl 2x/hari.
Apialys 1 x 1 cth.
Cotrimoxazole 2 x 240 mg (C I).
ARV lanjut (Lamivudine 2 x 60 mg, Stavudine 2 x 12 mg, Nevirapin 1 x
100 mg).
Maltofer
1 x 17 mg.
Daftar Pustaka:
8.
Sakit.
Jakarta;
WHO:2009.hal.157-61,180-2.
3. Bernstein D, Shelov S. Pediatrics for Medical Students. Third Edition.
Philadeplhia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012.p.195-207.
4. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. hal. 2144, 109-18.
5. Sastroasmoro S, Bondan H, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani
B. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak. Jakarta;
RSCM: 2007. hal.150-2.
Hasil Pembelajaran:
1. Subyektif: Anak laki-laki, usia 18 bulan, dengan keluhan demam
tinggi selama 2 hari diikuti dengan munculnya ruam pada
belakang leher dan punggung atas yang menyebar ke dada,
kepala, tangan dan kaki. Riwayat B20 +, saat ini dalam terapi
ARV. Imunisasi campak tidak diberikan.
2. Obyektif:
Suhu saat di UGD 42 0C, saat perawatan 39,4 0C, konjungtiva pucat,
KGB servikal dan submandibular bilateral teraba, ruam
makulopapular, sebagian berkonfluens menjadi plak eritematosa,
tersebar generalisata di seluruh tubuh.
Anemia mikrositik hipokromik, leukositosis.
Infiltrat dan limfadenopati pada rontgen toraks.
3. Assessment:
Demam dengan Ruam:
Demam disertai ruam pada anak umumnya disebabkan oleh bakteri atau
virus. Adapun patogenesis ruam terjadi melalui berbagai mekanisme,
umumnya akibat infeksi langsung pada epidermis (campak), dermis
(rubella), toksin bakteri yang berada di dalam sirkulasi (S.pyogenes,
S.aureus), atau respons imun host (parvovirus B19).
Berdasarkan efloresensi:
Pendekatan ruam juga dapat dilakukan melalui efloresensinya. Pada
erupsi makulopapular, dipikirkan etiologi campak, rubella, demam
skarlet, roseola infantum, miliaria, alergi obat, dan penyakit Kawasaki.
Pada erupsi papulovesikular, dipikirkan infeksi varicella-zoster, smallpox,
herpes, impetigo, gigitan serangga, erupsi obat, dan moluskum
kontagiosum.
Pada pasien merupakan ruam makulopapular.
Infeksi Virus
Campak / measles / rubeola
Pada kasus campak, ruam terjadi akibat infeksi langsung ke epidermis.
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar ruam yang khas, batuk, hidung
berair, mata merah, luka di mulut, kornea keruh, baru saja terpajan
dengan kasus campak, serta tidak memiliki catatan sudah diimunisasi
campak.
Ruam dan riwayat non-imunisasi sesuai dengan pasien, namun tidak
terdapat keluhan pada mata berupa mata merah.
Campak Jerman / Rubella
Ruam terjadi sebagai akibat dari infeksi langsung pada dermis.
Kecurigaan pada kasus rubella umumnya ditandai dengan gejala
prodromal berupa demam yang tidak begitu tinggi, malaise,
limfadenopati, dan infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan
ditemukannya Forchheimer spot / lesi berwarna bunga mawar di
tenggorokan. Terdapat pula keluhan penyerta berupa artritis atau
atralgia.
Adapun pada rubella, ditemukan ruam yang khas dan pembesaran
Infeksi Bakterial
Demam skarlet.
Ruam ini disebabkan oleh efek vaskular dari toksin Streptokokus betahemolitikus grup A. Gejala prodromal yang dimilikinya ialah faringitis,
menggigil, dan nyeri abdomen.
Karakteristik yang ditimbulkan ialah demam tinggi, anak tampak sakit
berat, ruam merah kasar pada seluruh tubuh yang biasanya didahului
di daerah lipatan (leher, ketiak, dan lipat inguinal), peradangan hebat
pada tenggorokan dan kelainan pada lidah (strawberry tongue), dan
kulit bersisik pada penyembuhan. Terdapat pula petekiae dan area
hiperpigmentasi pada lipatan kulit (Pastia lines).
Ruam tidak dimulai dari daerah lipatan.
merupakan
Virus akan masuk kembali ke dalam pembuluh darah dalam jumlah banyak
dengan manifestasi klinis mulai muncul, yaitu berupa batuk pilek disertai
selaput konjungtiva yang tampak merah. Adapun pada perkembangan
selanjutnya pada daerah nekrotik tersebut dapat terjadi infeksi bakteri
sekunder dengan manifestasi bronkopneumonia maupun otitis media.
Pada pasien ditemukan limfadenopati, terdapat batuk pilek namun
ringan, namun tidak ditemukan tanda radang konjungtiva.
Proses ini akan diikuti dengan respon imun peradangan epitel saluran
pernapasan sehingga terjadi penurunan fungsi silia diikuti hipersekresi
lendir / mukus, anak tampak sakit berat, dan muncul ulserasi kecil pada
mukosa pipi dan bercak Koplik. Pada infeksi saluran cerna, dapat terjadi
hiperplasia jaringan limfoid, diikuti oleh iritasi mukosa usus, peningkatan
sekresi dan peristaltik, sehingga terjadi diare. Setelah melalui proses
fagositosis oleh leukosit, limfosit, dan makrofag, terjadi pengeluaran zat
pirogen sehingga mempengaruhi hipotalamus dan muncullah demam.
Sebagai akibat dari adanya respons imun delayed hipersensitivity
terhadap antigen virus yang menginfeksi sel endotel kapiler dermis, terjadi
eksudasi serum / eritrosit pada epidermis yang bermanifestasi sebagai
munculnya ruam makulopapular sekitar hari ke 14 sesudah infeksi.
Patofisiologi campak juga mencakup terjadinya imunosupresi, sebagai
akibat dari terjadinya limfopenia selama infeksi akut, sebagai akibat dari
hilangnya sel imun karena infeksi dan pembentukan sel raksasa. Respon
sel T helper 1 dalam hal ini berkurang sebagai akibat dari hambatan
pelepasan IL-12 akibat infeksi selular. Di samping itu, terjadi peningkatan
pengeluaran IL-4 dan TGF-, sehingga terjadi sekresi IL-10 dari T helper 2
meningkat dan makin menekan respon dari Th1.
Pada pasien terdapat kondisi imunosupresi, sehingga memudahkan
terjadinya campak.