Anda di halaman 1dari 4

Pertukaran Plasma

Martin dkk., (1995) telah menggambarkan suatu sindrom atipikal berupa


menetapnya preeklamsia berat eklamsia setelah pelahiran. Para peneliti tadi
melaporkan 18 perempuan dengan sindrom seperti ini yang mereka jumpai selama
periode 10 tahun. Mereka menjalankan kebijakan pertukaran plasma tunggal atau
multipel untuk perempuan-perempuan ini. Pada sebagian kasus, 3 L plasma
dipertukarkan tiga kali-pajanan 36 hingga 45 unit donor untuk tiap pasien sebelum
timbul respons. Peneliti lain telah melaporkan pertukaraan plasma yang dilakukan
pada perempuan pascapartum dengan sindrom HELLP (Foster dkk,. 2002: Obeidar
dkk., 2002). Namun, pada sebagian besar kasus, perbedaan antara sindrom HELLP
dan purpura trombositopenik trombotik atau sindrom uremik hemolitik tidaklah
jelas. Seperti yang dibahas lebih lanjut pada bab 51 (hal. 1155), berdasarkan
pengalaman kami leabih dari 50.000 perempuan yang mengalami hipertensi
gestasional di antara hamper 400.000 kehamilan yang ditatalaksana di Parkland
Hospital selama tahun 2009, kami telah menjumpai sangat sedikit perempuan yang
mengalami hipertensi pascapartum persisten, trombositopenia, dan gangguan
fungsi ginjal, yang didiagnosis sebagai mikroangiopati trombotik (Dashe dkk,.
1998). Seperti yang disimpulkan Martin dkk,. (2008) setelah menulis ulasan
mengenai 166 kehamilan yang dipersulit oleh purpura trombositopenik trombotik,
uji diagnostic cepat, aktivitas enzim ADAMTS-13 dapat bermanfaat untuk
membedakan sebagian besar di antaranya.
Angiopati Pascapartum. Penyebab lain menetapnya hipertensi, kejang, dan
kelainan sistem syaraf pusat disebut sebagai Angiopati Pascapartum. Penyakit yang
dikenal juga sebagai sindrom vasokonstriksi serebral reversibel ini lebih lazim pada
perempuan, dan berkaitan dengan serangkaian faktor pencetus, termasuk
kehamilan dan masa nifas (Singhal dkk,. 2009). Pada sebagian kasus, vasokonstriksi
dapat sedemikian berat sehingga menyebabkan iskemia otak dan area-area infark.
Tata laksana yang tepat belum diketahui hingga saat ini.
Dampak Jangka Panjang
Perempuan dengan hipertensi yang didiagnosis saat sedang hamil harus dievaluasi
dalam beberapa bulan pertama pascapartum. Mereka diberi konseling mengenai
resiko jangka panjang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, semakin lama
hipertensi yang terdiagnosis dalam kehamilan menetap setelah pelahiran, semakin
besar kemungkinan perempuan tersebut memiliki hipertensi kronis. Kelompok kerja
menyimpulkan bahwa hipertensi yang dicetuskan oleh kehamiilan harus menghilang
dalam 12 minggu setelah pelahiran (National High Blood Pressure Education
Program, 2000). Hipertensi yang menetap di luar periode ini dianggap hipertensi
kronis (lihat bab 45, hal. 1037). Magnie Trial Follow-Up Collaborative Group (2007)
melaporkan bahwa 20 persen dari 3375 perempuan preeklamtik yang ditemui saat
(median) 26 bulan pascapartum masih memiliki hipertensi. Namun, meskipun
hipertensi tidak menetap dalam jangka pendek, saat ini telah terdapat bukti yang

menyakinkan bahwa resiko morbiditas kardiovaskular meningkat secara signifikan


pada perempuan preeklamtik, seperti yang akan dibahas selanjutnya.
Konseling untuk Kehamilan Selanjutnya
Perempuan yang pernah mengalami hipertensi gestasional atau preeklamsia lebih
berisiko mengalami komplikasi hipertensi dan metabolik pada kehamilan
berikutnya. Umumnya semakin dini preeklamsia didiagnosis pada kehamilan
dengan komplikasi tersebut , semakin besar kemungkinan berulangnya
preeklamsia. Misalnya, Sibai dkk,. (1986,1991) menemukan bahwa perempuan
nulipara yang didiagnosis preeklamsia sebelum kehamilan 30 minggu memiliki
risiko berulangnya preeklamsia sebesar 40 persen pada kehamilan berikutnya.
Pada penelitian terhadap 511 perempuan Islandia dengan hipertensi gestasional
selama kehamilan pertama mereka, Hjartardottir dkk,. (2006) melaporkan risiko
berulangnya hipertensi pada kehamilan kedua yang sangat besar yaitu 70 persen.
Meskipun sebagian besar di antaranya mengalami hipertensi gestasional berulang,
5 persen mengalami preeklamsia dan 16 persen mengalami hipertensi kronis. 151
perempuan yang mengalami preeklamsia pada kehamilan pertama mereka memiliki
angka rekurensi total 58%-lebih dari separuhnya mengalami hipertensi gestasional,
dan sekitar seperempatnya mengalami preeklamsia atau penyakit hipertensi kronis.
Pada penelitian yang jauh lebih besar dari Catatan Kelahiran Denmark, Lyke dkk,.
(2009b) mengalisis kehamilan tunggal pada lebih dari 535.000 perempuan yang
pernah melahirkan untuk pertama atau kedua kalinya diantara tahun 1978 dan
2007. Perempuan yang mengalami komplikasi preeklamsia saat usia 32-36 minggu
kehamilan pertamanya memiliki insiden preeklamsia yang meningkat secara
signifikan, sebesar dua kali lipat, pada kehamilan keduanya, 25 versus 14 persen
dibandingkan dengan perempuan yang memiliki tekanan darah normal saat
kehamilan pertama. Mereka juga menemukan bahwa pelahiran kurang bulan dan
restriksi pertumbuhan janin pada kehamilan pertama sedikit, tetapi bermakna,
meningkatkan resiko preeklamsia pada kehamilan kedua.
Perempuan dengan sindrom HELLP memiliki resiko tersendiri untuk mengalami
rekurensi pada kehamilan selanjutnya. Pada salah satu penelitian terdahulu, Sibai
dkk,. (1995) menemukan besar risiko ini kira-kira 5 persen, tetapi kelompok yang
sama kemudian melaporkan risiko rekurensi sebesar 26 persen (Habli dkk,. 2009).
Risiko rekurens yang sebenarnya kemungkinan berada di antara kedua nilai
ekstream ini. Bahkan jika sindrom HELLP tidak berulang dengan rekurensi
preeklamsia selanjutnya, terdapat insiden tinggi terjadinya pelahiran kurang bulan,
restriksi pertumbuhan janin, solusio plasenta, dan pelahiran Caesar (Habli dkk,.
2009; Hnatd dkk,. 2002).
Sebagian perempuan dengan preeklamsia berat awitan dini ternyata memiliki
penyakit dasar trombofilia (lihat hal. 753). Penyakit-penyakit ini mungkin juga
menimbulkan komplikasi pada kehamilan berikutnya. Misalny, Facchinetti dkk,.

(2009) melaporkan peningkatan risiko berulanngnya preeklamsia sebesar dua kali


lipat pada perempuan dengan trombofilia dan preeklamsia, dibandingkan pada
perempuan dengan preeklamtik tanpa trombofilia. Selain itu penyakit turunan ini
juga memengaruhi kesehatan jangka panjang secara menyeluruh (lihat Bab 47, hal.
1069).
Sekuele Jangka Panjang
Morbiditas Kardiovaskular dan Neurovaskular
Setelah dikenalnya basis data nasional, beberapa penelitian jangka panjang
mebuktikan bahwa setiap hipertensi yang terjadi saat kehamilan merupakan
penanda peningkatan insiden morbiditas dan mirtalitas yang berhubungan dengan
sistem kardiovaskular di kemudia hari. Pada suatu penelitian kasus-kelola dari
Islandia, Arnadottir dkk,. (2005 ) mengalisis hasil akhir pada 325 perempuan yang
mengalami komplikasi hipertensi pada kehamilan dan melahirkan antara tahun
1931 dan 1947. Pada saat follow-up (median) 50 tahun, 60 persen perempuan
yang mengalami hipertensi, dibandingkan dengan hanya 53 persen kontrol, telah
meninggal. Dibandingkan dengan 629 kontrol ibu hamil normotensif, prevalensi
penyakit jantung iskemik-24 versus 15 persen, dan stroke -9,5 versus 6,5
persen, ,meningkat secara signifikan pada perempuan yang pernah mengalami
hipertensi dalam kehamilan. Pada penelitian populasi Swedia, yang melibatkan lebih
dari 400.000 perempuan nulipara yang melahirkan antara tahun 1973 dan 1982,
Wikstrom dkk,. (2005) juga menemukan peningkatan insiden penyakit jantung
iskemik pada perempuan yang memikiki riwayat hipertensi terkait kehamilan.
Lykke dkk,. (2009a) melaporkan temuan dari data penduduk Denmark yang
mencakup lebih dari 780.000 perempuan nulipara yang melahirkan bayi tunggal
diantara tahun 1978 dan 2007. Setelah pemantauan lanjutan rata-rata sekitar 15
tahun kemudian, insiden hipertensi kronis meningkat bermakna, yaitu sebesar 5,2
kali lipat pada mereka yang memiliki riwayat hipertensi gestasional, 3,5 kali lipat
setelah preeklamsia ringan, dan 6,4 kali lipat setelah preeklamsia berat. Setelah
dua kehamilan dengan hipertensi, terdapat peningkatan insiden hipertensi kronis
sebesar 5,9 kali lipat. Hal lain yang juga penting diketahui adalah para peniiti ini
juga melaporkan peningkatan risiko diabetes tipe 2 yang signifikan, yaitu 3,5 kali
lipat.
Bellamy dkk,. (2007) baru-baru ini melakukan ulasan sistematik dan meta-analisis
risiko jangka panjang untuk penakit kardiovaskular pada perempuan dengan
preeklamsia. Seperti yang diperlihatkan pada gambar 32-23, terjadi peningkatan
risiko untuk mengalami hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke,
tromboembolisme vena, serta mortalitas akibat sebab apapun pada masa
kehidupan mendatang. Seperti yang ditekankan oleh Harskamp dkk,. (2007),
sejumlah kofakr atau komorbiditas juga berperan pada terjadinya sekuele jangka
panjang yang terkait hipertensi pada kehamilan ini. Faktor-faktor tersebut

mencakup, tetapi tidak demia, dan aterosklerosis. Kesimpulan ini semakin diperkuat
oleh Barends dkk,. (2008), yaitu yang membuktikan adanya risiko konstitusional
bersama untuk risiko jangka panjang terkait sistem vaskuar pada perempuan
preeklamtik dan juga orang tua mereka. Observasi awal yang serupa telah
dilaporkan oleh Smith dkk,. (2009) dalam sebuah investigasi berkelanjutan.
Sekuele Ginjal
Pada penelitian 40 tahun dari catatan kelahiran Norwegia dan catatan terkait
penyakit ginjal stadium akhir, Vikse dkk,. (2008) menemukan bahwa meskipun
risiko absolut gagal ginjal kecil, preeklamsia berkaitn dengan peningkatan risiko
sebanyak empat kali lipat. Perempuan dengan preeklamsia berulang bahkan
memiiki risiki yang lebih besar lagi. Data-data ini perlu dipertimbangkan dengan
mengingat bahwa 15-20 persen perempuan dengan preeklamsia yang menjalani
biopsy ginjal telah memiliki tanda penyakit ginjal kronis (Chesley, 1978), Pada
penelitian follow-up jangka panjang lain, Spaan dkk,. (2009) membandingkan
perempuan yang sebelumnya pernah mengalami preeklamsia dengan sekelompok
perempuan yang memiliki tekanan darah normal saat pelahiran. Dua puluh tahun
setelah melahirkan, perempuan preeklamsia secara signifikan lebih berisiko
mengalami hipertensi kronis-55 versus 7 persen-dibandingkan dengan perempuan
kontrol. Mereka juga memiliki tahanan vascular ginjal dan perifer yang lebih tinggi
dan penurunan aliran darah ginjal. Data ini tidak memungkinkan penarikan
simpulan sebab versus efek.
Sekuele Neurologis
Hingga baru-baru ini, umumnya dianggap bahwa kejang eklamtik tidak memiliki
sekuele jangka panjang yang signifikan. Namun, saat ini telah terkumpul bukti
bahwa hal ini tidaklah selalu benar. Ingat bahwa hampir semua perempuan eklamtik
memiliki area edema perivaskular multifocal, seperti yang diuraikan ada halaman
757. Sekitar seperempatnya juga memiliki area infark serebri. Data pendahuluan
juga sesuai dengan menetapkan lesi-lesi pada substantia alba serebri yang
diperoleh saat kejang eklamtik dalam jangka panjang (Aukes dkk,. 2009). Saat
diperikasa dengan MRI pada (rata-rata) 7,1 tahun kemudian, 40 persen perempuan
yang pernah mengalami eklamsia ternyata memiliki lesisubstantia alba yang lebih
banyak dan lebih besar dibandingkan dengan hanya 17 persen pada kelompok
kontrol perempuan dengan tekanan darah normal. Relevansi klinis temuan ini belum
diketahui. Pada penilitian ya dirancang untuk menilai hal tersebut, Aukes dkk,.
(2007) melaporkan bahwa perempuan dengan riwayat eklamsia memiliki fungsi
kognitif yang terganggu secara subyektif. Mereka kemudian melaporkan data
pendahuluan bahwa perempuan dengan kejang multipel memiliki gangguan
mempertahankan perhatian dibandingkan dengan kontrol normotensif yang setara
(Postma dkk,. 2009). Karena tidak adanya data hasil penelitian sebelum
perempuan-perempuan ini mengalami eklamsia, peneliti tersebut dengan tepat
menyimpulkan bahwa hanya dapat ditarik simpulan yang terbatas.

Anda mungkin juga menyukai