Anda di halaman 1dari 6

Pencegahan Eklamsia

Telah terdapat sejumlah penelitian teracak yang dirancang untuk menguji


efektivitas profilaksis kejang pada perempuan dengan hipertensi gestasional,
dengan atau tanpa proteinuria, dan, dengan demikian, pada preeklamsia. Pada
sebagian besar penelitian ini, magnesium sulfat dibandingkan antikonvulsan lain
atau dengan plasebo. Pada semua penelitian, magnesium sulfat dilaporkan lebih
unggul dari obat pembanding dalam mencegah eklamsia. Empat penelitian terbesar
dirangkum dalam Tabel 34-16. Lucas dkk,. (1995) melaporkan bahwa terapi
magnesium sulfat lebih unggul dari phenytoin untuk mencegah kejang eklamtik
pada perempuan dengan hipertensi gestasional, termasuk mereka yang mengalami
preeklamsia dalam derajat keparahan apapun. Belfort dkk,. (2003) membandingkan
magnesium sulfat dan nimodipine-penyekat kanal kalsium dengan aktivitas
vasodilator serebral spesifik-untuk pencegahan eklamsia. Dalam penelitian teracak
tanpa blinding yang melibatkan 1650 perempuan dengan eklamsia berat, insiden
eklamsia pada kelompok yang mendapat nimodipine lebih dari tiga kali lipat insiden
pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat, 2,6 versus 0,8 persen.
Penelitian komparatif terbesar adalah Magnesium sulfate for Prevention of
Eclampsia (MAGPIE Trial Collaboration Group, 2002). Lebih dari 10.000 perempuan
dengan preeklamsia berat dari 33 negara dialokasikan secara acak kekelompok
yang mendapatkan magnesium sulfat atau kelompok plasebo. Perempuan yang
diberikan magnesium memiliki risiko eklamsia yang lebih rendah secara bermakna
(58%) dibandingkan perempuan yang diberikan plasebo. Perempuan yang diberikan
plasebo dan mengalami eklamsia diterapi dengan magnesium sulfat . Smyth dkk,.
(2009) melaporkan data lanjutan mengenai bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
diberikan magnesium sulfat ini. Pada usia sekitar 18 bulan, perilaku anak tidak
berbeda pada kelompok yang terpajan dibandingkan dengan yang tidak terpajan
magnesium sulfat.
Siapa yang Seharusnya Diberikan Magnesium Sulfat?
Magnesium akan mencegah berulang kejang pada perempuan dengan penyakit
yang juga memburuk. Keparahan penyakit sulit dikuantifikasikan sehingga sulit
menentukan tiap perempuan yang akan memperoleh manfaat terbesar dari
profilaksis. Di Amerika Serikat, konsesus saat ini adalah perempuan yang dinilai
mengalami preeklamsia berat harus diberikan profilaksis magnesium sulfat.
Rekomendasi yang sama juga diberikan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2002a). Seperti yang dibahas, kriteria yang menentukan
keparahan preeklamsia tidak sepenuhnya sama, dan banyak yang menggunaka
kriteria yang dikeluarkan oleh Kelompok Kerja NHBPEP (2000), yang dicantumkan
dalam tabel 34-1. Untuk perempuan dengan penyakit yang tidak parah-sekali lagi
devinisnya bervariasi- panduan tata laksana bahkan tidak jelas.

Di banyak negara lain, dan khususnya setelah disebarluaskan hasil penelitian


Magpie Trial Collaboration Group (2002), magnesium sulfat sekarang dianjurkan
untuk perempuan dengan preeklamsia berat. Namun, di beberapa negara, masih
diperdebatkan apakah terapi hanya diperlu diberikan untuk perempuan dengan
kejang eklamtik berbahaya karena alas an-alasan yang diuraikan pada hal. 771.
Angka kematian ibu yang mencapai 5 persen telah dilaporkan bahkan pada
penelitian-penelitian terbaru nyata angka kematian perinatal di negara maju
sekaligus di negara yang belum maju (Basso, 2006; Chawdhury, 2009; Knight, 2007;
Schutte, 2008;Zwart, 2008, dkk,.). Akhirnya, kemungkinan terjadinya sekuele
neuropsikologis jangka panjang, yang disebutkan oleh Aukes (2007, 2009) dan
Postman dkk,. (2009), seperti dibahas pada hal. 786, telah semakin meningkatkan
kekhawatiran bahwa kejang eklamtik mungkin tidak jinak.
Penelitian Profilaksis Magnesium Sulfat Selektif versus Universal di
Parkland Hospital
Perdebetan di amerika serikat saat ini berpusat pada apakah perempuan dengan
hipertensi gestasional yang tidak berat harus diberikan profilaksus magnesium
sulfat. Kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut muncul saat diubanya
protokol profilaksis magnesium pada perempuan yang melahirkan di Parkland
Hospital sejak tahun 2000. Sebelum tahun 2000, Lucas dkk., (1995) telah
menemukan bahwa risiko ekslamsia tanpa profilaksis magnesium sebesar 1 di
antara 100 (atau kurang) perempuan yang mengalami prekslamsia ringan.Hingga
tahun 2000,semua perempuan dengan hipertensi gestasional diberikan profilaksis
magnesium rumatan secara intramuskular,seperti yang digambarkan oleh Pritchard
pada tahun 1995.setelah tahun 2000,kami memberlakukan protokol standar untuk
magnesium sulfat yang diberikan secara intavena.pada saat yang sama,kami juga
mengubah praktik profilaksis kejang universal kami.yang diberikan pada semua
perempuan dengan hipertensi gestasional,menjadi profilaksis selektif,yang hanya
diberikan pada perempuan yang memenuhi kriteria-kriteria ini,yang diperlihatkan
pada Tabel 34-17,mencakup perempuan dengan proteinuria >2+ pada
pengukuran spesimen urin hasil kateterisasi dengan carik celup.
Setelah perubahan protokol ini,60 persen di antara 6431 perempuan dengan
hipertensi gestasional dalam periode 4 tahun diberikan profilaksis magnesium
sulfat.Di antara 40 persen dengan hipertensi tidak berat yang tidak diterapi,27
perempuan mengalami kejang eklamatik-1 di antara 92.angka kejadian kejang
hanya 1 per 358 pada 3935 perempuan yang memenuhi kriteria berat dan telat
diberikan magnesium sulfat: dengan demikian.merupakan kegagalan terapi.untuk
menilai morbiditas,keluaran pada 87 perempuan eklamatik dibandingkan dengan
hasil pada 6431 perempuan hipertensi noneklematik.meskipun sebagian besar hasil
akhir pada ibu serupa,seperti yang diperlihatkan pada Tabel 34-18,hampir
seperempat perempuan dengan eklamsia yang menjalani pelahiran bedah Caesar
darurat memerlukan anestesia umum.hal ini menimbulkan kekhawatiran besar
karena perempuan eklamtik memiliki edemalaringotrakea dan beresiko tinggi

mengalami kegagalan intubasi,aspirasi asam lambung,dan kematian (American


College of Obstetricians and Gynecologists, 2002b).keluaran pada neonatus juga
mengkhawatirkan karena morbiditas gabungan,yang diperlihatkan pada tabel 3418,meningkat nyata sebesar 10 kali lipat pada perempuan eklamatik.dibandingkan
noneklamatik masing-masing 12 versus 1 persen.
Dengan demikian,jika seseorang menggunakan kriteria Parkland untuk hipertensi
gestasional tidak berat,sekitar 1 di antara 100 perempuan yang tidak diberikan
profilaksis magnesium sulfat dapat diperkirakan mengalami kejang
eklamtik,seperempat di antaranya kemungkinan akan memerlukan pelahiran
dengan bedah Caesar darurat,yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas
maternal dan perinatal akibat anestesia umum.dari hal-hal tersebut,tampaknya
pertanyaan utama mengenai tata laksana hipertensi gestasional tidak berat
tetaplah: Dapatkah diterima tindakan menghindari terapi yang tidak diperlukan
pada 99 perempuan dengan menempatkan satu perempuan dalam risiko eklamsia?
Pelahiran
Untuk menghindari risiko pada ibu akibat pelahiran dengan bedah Caesar,awalnya
dilakukan langkah-langkah untuk mencapai pelahiran per vaginam pada perempuan
dengan eklamsia.setelah kejang,persalinan sering kali maju secara spontan atau
dapat berhasil diindukasi bahkan pada perempuan yang masih jauh dari aterm
sekalipun (Alanis dkk,. 2008).penyembuhan cepat tidak langsung terjadi setelah
pelahiran melalui jalan apapun,tetapi morbiditas berat saat masa nifas lebih
panjang terjadi pada perempuan yang melahirkan per vagina.
Kebilangan Darah saat Pelahiran
Hemokonsentrasi atau tidak terdapatnya hipervolemia normal yang diinduksi
kehamilan merupakan gambaran preeklamsia berat-eklamsia yang hampir selalu
ditemukan,seperti yang dihitung oleh Zeeman dkk., (2009) dan diperlihatkan pada
gambar 34-6 perempuan perempuan tersebut ,yang tidak mengalami
hipervolemia normal pada kehamilan,jauh lebih tidak toleran terhadap
kehilangan darah,dalam jumlah normal sekalipun,dibandingkan
perempuan hamil normotenif.sangat penting diketahui bahwa penurunan nyata
tekanan darah segera setelah pelahiran paling sering menandakan terjadinya
kehilangan darah jumlah berlebihan,dan bukan menandakan pulih nya vasospasme
dan kerusakan endotel secara tiba-tiba.bila terjadi oliguria pascapelahiran,harus
sering dilakukan pengukuran hematokrit untuk membantu mendeteksi kehilangan
darah masif.jika telah diindentifikasi,perdarahan harus tepat ditata laksanakan
dengan transfuse darah yang dilakukan secara hati-hati.
Analgesia dan Anestasia
Selama 20 tahun terakhir,penggunaan analgesia konduksi pada perempuan dengan
sindrom preeklamsia telah terbukti ideal.Masalah-masalah yang awalnya timbul

pada penggunaan metode ini antara lain hipotensi dan berkurangnya perfusi
uterus.perkembangan teknik-teknik yang menggunakan induksi lambant analgesia
epidural dengan larutan anestetik encer dilaporkan dapat mengurangi kebutuhan
infuse cepat kristaloid atau koloid dalam jumlah besar,yang diperlukan untuk
memulihkan hipotensi pada ibu,dan biasanya menghindarkan terjadinya edema
paru (Hogg dkk., 1999;Wallace dkk.,1995).bahkan ,blok epidural dapat mencegah
stimulasi yang disebabkan oleh intubasi trakea,yang dapat menimbulkan hipertensi
berat mendadak . peningkatan tekanan darah semacam ini ,selanjutnya ,dapat
menyebabkan edema otak,atau perdarahan intraknial (Lavies dkk., 1989).
Akhirnya ,intubasi trakea khususnya dapat sulit dilakukan sehingga berbahaya bagi
perempuan dengan edema jalan napas akibat preeklamsia (American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2002b).
Setidaknya dua penelitia teracak telah dilakukan untuk menilai metode-metode
analgesia dan anestesia ini . Wallace dkk., (1995) meneliti 80 perempuan dengan
preeklamsia berat dan rata-rata usia kehamilan 34,8 minggu yang menjalani
pelahiran dengan bedah Caesar CITO. Mereka belum diberikan analgesia epidural
untuk persalinan dan diacak untuk mendapatkan anestesia umum,analgesia
epidural,atau analgesia kombinasi epidural-spinal .Tekanan darah rerata mereka
sebelum operasi adalah sekitar 170/110 mm Hg,dan semua memeliki proteinuria
.Tata laksana anestesik dan obstetris mencakup pemberian terapi obat
antihipertensi dan pembatasan pemberian cairan intravena .keluaran perinatal pada
masing-masing kelompok ternyata serupa.hipotensi pada ibu yang terjadi akibat
analgesia regional ditata laksana dengan pemberian cairan intravena secukupnya
.serupa dengan ini ,tekanan darah ibu dikendalikan untuk mencegah terjadinya
hipertensi berat pada peremupuan yang menjalani anestasia umum (Gbr. 34-22).
Tidak terdapat komplikasi berat pada ibu maupun janin yang disebabkan oleh salah
satu di antara ketiga metode anestesi ini.disimpulkan bahwa ketiga metode ini
layak untuk digunakan pada perempuan hamil dengan komplikasi preeklamsia
berat,dengan syarat telah dilakukan langkah-langkah untuk memastikan
terlaksanakannya prosedur yang cermat menurut salah satu metode
tadi.kesimpulan yang serupa juga diperolehkan oleh Dyer dkk., (2003) pada
penelitian teracak mereka mengenai analgesia spinal versus anestesia umum pada
70 perempuan dengan preeklamsia dan hasil pengukuran denyut jantung janin
yang tidak meyakinkan.Dyer, dkk.,(2008) kemudian membuktikan bahwa
penurunan tahanan vaskular dan tekanan darah arteri rerata yang dicetuskan oleh
blok epidural dapat dilawan secara efektif dengan infus phenylephrine,untuk
mempertahankan keluaran jantung.
Dalam suatu penelitian dari universitas Alabama di Birmingham,Head dkk., (2002)
secara acak menempatkan 116 perempuan dengan preeklamsia berat ke kelompok
yang mendapatkan analgesia epidural atau analgesia meperidineintravena
terkontrol-pasien selama persalinan.protokol standar membatasi cairan intravena
hingga 100 mL/jam.lebih banyak perempuan 9 persen dari kelompok analgesia

hipotensi.seperti yang diharapkan,peredaan nerei lebih baik dan neonatus hampir


sama diantara kedua kelompok. Satu perempuan dari setiap kelompok mengalami
ederna paru.
Dimasa lalu, beberapa ahli beranggapan bahwa analgesia epidural
merupakan faktor penting dalam tata laksana intrapartum perempuan dengan
preeklamsia (Gutsche dan Cheek, 1993). Lucas dkk, (2001). Meneliti 738
perempuan yang bersalin di parkland hospital dalam usia kehamilan 36 minggu
atau lebih dan telah mengalami hipertensi gestasional dalam tingkat keparahan
yang bervariasi. Pasien secara acak dimasukkan ke dalam kelompok yang
mendapatkan analgesia epidural atau yang mendapatkan analgesia meperidine
terkontrol-pasien. Keluaran pada ibu dan bayi serupa pada kedua kelompok
penelitian. Seperti yang ditunjukan pada tabel 34-19, meskipun analgesia epidural
menyebabkan penurunan yang lebih besar pada tekanan arteri rerata ibu
dibandingkan dengan meperidine, epidural tidaklah lebih unggul dalam mencegah
berulangnya hipertensi berat saat fase lanjut persalinan, jadi, analgesia epidural
persalinan tidak boleh salah dianggap sebagai terapi untuk hipertensi.
Karena alasan-alasan teresebut, pemberian cairan secukupnya pada perempuan
dengan preeklamsia berat yang mendapatkan analgesia regional merupakan kunci
dalam tata laksana mereka. Newsome dkk, (1986). Memperlihatkan bahwa blok
epidural pada perempuan dengan preeklamsia berat menyebabkan tekanan baji
kapiler paru paru. Jelas bahwa penggantian volume yang agresif pada perempuanperempuan ini meningkatkan resiko mereka mengalami ederna paru. Khususnya
pada 72 jam pertama pascapartum (Clark dkk, 1985; Cotton dkk, 1986a). jika timbul
ederna paru, timbul pula kekhawatiran akan terjadinya ederna otak. Terkhir, Heller
dkk, (1983) membuktikan bahwa sebagian besar kasus ederna paringolaringeal
berkaitan dengan terapi volume yang agresif.
Hipertensi Berat Persisten Pascapartum
Masalah yang mungkin timbul pada pemberian obat antihipertensi,berupa
memburuknya perfusi uteroplasenta sehingga menggangu kesejahteraan janin,
dapat dihindari dengan pelahiran.setelah pelahiran,jika timbul kesuliyan dalam
mengendalikan hipertensi berat atau jika labetalol atau hydralazine intravena telah
digunakan berulang kali,dapat digunakan regimen oral.contoh contoh regimen ini
antara lain labetalol atau penyekat beta lainya,nifedipine atau penyekat kanal
kalsium lain,dan dapat ditambahkan diuretik thiazide.hipertensi refrakter atau
persisten kemungkinan terjadi karena mobilisasi cairan edema dan distribusi
ulangnya ke dalam kompartemen intravena,hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel
kiri,hipertensi pascapartum berat dapat menyebabkan edema paru akibat gagal
jantung. (Cunningham dkk,. 1986; Sibai dkk., 1987a)
Furosemid

Karena menetapnya hipertensi berat berkaitan dengan awitan dan lama


dieresis,serta mobilisasi cairan ekstrasel,tampaknya logis bahwa diuresis yang
dipercepat dengan furosemid akan mempercepat pengendalian tekanan darah.
Untuk meneliti hal tersebut, Asctarelli dkk., (2005) merancang sebuah penelitian
teracak yang melibatkan 264 perempuan preeklamtik pascapartum.setelah awitan
diuresis spontan,pasien secara acak dikelompokan ke dalam grup yang
mendapatkan furosemid oral 20 mg/hari atau grup yang tidak mendapatkan
terapi.dibandingkan dengan perempuan dengan penyakit ringan,mereka dengan
preeklamsia berat memiliki tekanan darah sistolik rerata yang lebih rendah pada
hari ke 2-142 versus 153 mm Hg dan lebih jarang memerlukan terapi antihipertensi
selama sisa periode rawat inap-14 versus 26 persen,secara beruntun.
Kami telah menggunakan metode yang sederhana untuk memperkirakan kelebihan
cairan interstitial/ekstraselular.berat badan pascapartum dibandingkan dengan
berat badan prenatal hsil penimbangan terakhir.baik dari kunjungan poliklinik
terakhir atau saat datang untuk bersalin.rata-rata,segera setelah pelahiran,berat
badan ibu seharusnya turun 5 hingga 7,5 kilogram,bergantung pda berat
lahir,volume cairan amnion,berat plasenta,dan kehilangan darah,karena berbagai
intervensi,khususnya infuse kristaloid intravena yang diberikan saat pelahiran per
vagiina dengan tindakan atau bedah Caesar,perempuan dengan preeklamsia berat
sering memiliki berat badan pascaparum yang melebihi berat badan pranatal
terakhir mereka.jika penambahan berat badan ini disertai hipertensi parsisten
pascapartum,diuresis dengan furosemid intravena bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai