Anda di halaman 1dari 40

Laporan Evaluasi Program

CAKUPAN RUMAH TANGGA SEHAT DENGAN PHBS


DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING TAHUN 2015

Oleh :
Diano Ramadhan Fauzan, S.Ked
(1118011034)

Pembimbing :
dr. Reni Zuraida, M.Si

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016

CAKUPAN RUMAH TANGGA SEHAT DENGAN PHBS


DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING TAHUN 2015

Oleh :
Diano Ramadhan Fauzan, S.Ked
(1118011034)

Makalah ini disusun sebagai tugas dalam mengikuti kepanitraan di bagian Kedokteran
Komunitas Pendidikan Dokter Universitas Lampung
Bandar lampung, April 2016

JUDUL
:CAKUPAN RUMAH TANGGA SEHAT DENGAN PHBS
DI PUSKESMAS RAWAT INAP KEMILING TAHUN 2015

Disusun oleh : Diano Ramadhan Fauzan, S.Ked


NPM
: 1118011034

Bandar Lampung, 2016


Mengetahui dan Menyetujui
Dosen Pembimbing,

dr. Reni Zuraida, M.Si

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Cakupan
Rumah Tangga Sehat Dengan PHBS Di Puskesmas Kemiling Tahun 2015 dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Selain itu laporan ini juga untuk memberikan saran
dan masukan agar dapat lebih meningkatkan dan menyempurnakan kinerja Puskesmas
Rawat Inap Kemiling dalam Program Cakupan Rumah Tangga Sehat Dengan PHBS.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Reni Zuraida,
M.Si sebagai pembimbing makalah Evaluasi Program ini, dr. Endang Rosanti, M.Kes
sebagai kepala Puskesmas Rawat Inap Kemiling dan dr. Lusi Emiarsi selaku pembimbing
di Puskesmas Rawat Inap Kemiling, selaku koordinator program P2TB yang telah
memberikan bantuan, saran, serta kerjasama sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat terutama bagi mahasiswa, tenaga kesehatan di
Puskesmas Rawat Inap Kemiling, dan juga bagi yang berkepentingan mengenai Program
Cakupan Rumah Tangga Sehat Dengan PHBS. Penulis menyadari bahwa Laporan
Evaluasi Program ini masih jauh dari sempurna sehingga setiap kritik dan saran untuk
pengembangan makalah ini sangat diharapkan demi penyempurnaan Laporan Evaluasi
Program dimasa yang akan datang.

Bandar Lampung, April 2016

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................ ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
Latar Belakang.........................................................................................1
Perumusan Masalah.................................................................................2
Tujuan Penulisan......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................4
Tuberkulosis Paru....................................................................................4
Puskesmas................................................................................................23
BAB III METODE EVALUASI..........................................................................26
Pengumpulan Data...................................................................................26
Cara Analisis............................................................................................26
BAB IV GAMBARAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS...............................29
Gambaran Wilayah Kerja Puskesmas......................................................29
Wilayah Kerja Puskesmas........................................................................29
BAB V HASIL EVALUASI................................................................................30
Penetapan Beberapa Tolak Ukur..............................................................30
Penetapan Satu Tolak Ukur yang Digunakan..........................................30
Perbandingan Pencapaian Tolak Ukur dengan Tolak Ukur Keluaran......30
Penetapan Prioritas Masalah....................................................................31
Kerangka Konsep.....................................................................................32

Identifikasi Penyebab Masalah................................................................32


BAB VI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH.........................................36
Menyusun Alternatif Pemecahan Masalah...............................................36
Menetapkan Alternatif Pemecahan Masalah............................................37
BAB VII PENUTUP............................................................................................38
Kesimpulan..............................................................................................38
Saran........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Jenis dan sifat OAT..................................................................................15


Panduan alternatif untuk setiap kategori pengobatan..............................16
Dosis obat yang dipakai di Indonesia...................................................... 18
Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3.......................... 19
Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3..... 19
Dosis OAT untuk Sisipan......................................................................... 19
Efek Samping Pengobatan dengan OAT.................................................. 20
Data luas wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kemiling...................... 29
Perbandingan Pencapaian Keluaran Progam dengan Tolak Ukur Keluaran 31
Penentuan prioritas masalah metode USG............................................... 31
Kemungkinan Penyebab Masalah Pengobatan TB Paru di Puskesmas Rawat
Inap Kemiling................................................................................................ 33
Kemungkinan Penyebab Masalah Pengobatan TB Paru di Puskesmas Rawat
Inap Kemiling Ditinjau dari Faktor Proses dan Lingkungan......................... 34
Alternatif Pemecahan Masalah................................................................ 36
Pemilihan prioritas pemecahan masalah berdasar matriks MIV/C.......... 37

DAFTAR GAMBAR

Alur Diagnosis P2TB...............................................................................9


Kerangka Konsep.....................................................................................32

Diagram Fishbone.................................................................................... 35

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan yang
dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) (Aditama &
Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia (Depkes RI, 2006).
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah
India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan
kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah
100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-50
tahun) (WHO, 2010).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung (2013), berdasarkan Profil Kesehatan
Provinsi Lampung tahun 2012, angka penemuan kasus TB Paru per Kabupaten Kota
se-Provinsi Lampung tertinggi berada di Bandar Lampung 81,97% dan terendah ada
di Mesuji 28,0%. Di Bandar Lampung khususnya wilayah kerja Puskesmas Rawat
Inap Kemiling pada tahun 2015 angka kejadian suspek TB Paru sebanyak 582 kasus.
Akan tetapi angka realisasi suspek yang diperiksa dahak hanya 393 kasus atau 67,6%.
Padahal, target realisasi suspek diperiksa dahak adalah sebanyak 90%. Dari 582 kasus
suspek TB paru, hanya 89 kasus yang semua tipe TB yang ternotifikasi.Kurang
tercapainya angka realisasi suspek yang diperiksa dahak menyebabkan tidak tepatnya
jumlah kasus TB yang ternotifikasi (Profil Puskesmas, 2015).

Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 1990


dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases (IUATLD) yang
dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-course(DOTS)secara
ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia.
Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan
menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh (Depkes RI, 2006;
Arsyad, 1996; Sudoyo, 2007).
Selain itu, penanggulangan TB Paru dilaksanakan dengan Strategi DOTSterdiri atas
5 komponen: Komitmen politis, diagnosis TB dengan mikroskopis, PMO (pemantau
minum obat), kesinambungan ketersediaan OAT (obat anti TB) dan Pencatatan
pelaporan yang baik dan benar. Dengan adanya program Strategi DOTS dalam
penanggulangan TB Paru maka pengembangan Unit Pelayanan Kesehatan perlu
ditingkatkan jumlahnya (Dinkes, 2013). Agar penanggulangan TB Paru dapat
dilakukan pada seluruh penderita, maka penemuan kasus TB Paru, terutama
pemeriksaan dahak sebagai lini pertama harus ditingkatkan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dalam penulisan ini rumusan masalah yang akan
dibahas adalah bagaimana gambaran Penemuan Kasus TB Paru diperiksa dahak yang
dilaksanakan Puskesmas Rawat Inap Kemilingpada tahun 2015?

Tujuan Penulisan

Tujuan umum
Memahami program realisasi suspek TB yang diperiksa dahak pada Puskesmas
Rawat Inap Kemiling mulai perencanaan sampai evaluasi program, secara
menyeluruh, sehingga dapat meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan serta
tercapainya derajat kesehatan yang optimal.

Tujuan khusus
Mengetahui masalah dari program realisasi suspek TB yang diperiksa dahakdi
Puskesmas Rawat Inap Kemiling bulan Januari Desember 2015.
Mengetahui kemungkinan penyebab masalah dari program realisasi suspek TB
yang diperiksa dahak TB Paru Puskesmas Rawat Inap Kemiling bulan Januari
Desember 2015.
Merumuskan altematif pemecahan masalah bagi pelaksanaan program realisasi
suspek TB yang diperiksa dahak di Puskesmas Rawat Inap Kemiling bulan
Januari Desember 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Paru

Definisi Tuberkulosis
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini
merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel
(cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang kuman
Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra
paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah


tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

Epidemiologi
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka
prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipe kasus TB dan Kasus baru
TB Paru BTA Positif dan kematian kasus TB menunjukkan bahwa pada tahun
2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar
565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000
penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB
BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru
TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250
orang per hari.
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, diketahui bahwa angka BTA positif
pada tahun 2003-2012 cenderung meningkat, sedangkan angka konversi dan
kesembuhan nampak berfluktuatif naik turun. Pada tahun 2012 angka Penemuan
Kasus (CDR) TB belum mencapai target >70%, sedangkan untuk angka
kesembuhan telah mencapai target > 85. Bila dilihat distribusi pencapaian
indikator penemuan kasus (CDR) dan angka kesembuhan terlihat bahwa angka
penemuan kasus (CDR) tertinggi ada di Kabupaten Way kanan dan terendah ada
di Kota Metro. Sedangkan untuk angka kesembuhan capaian tertinggi ada di
Kabupaten lampung Utara dan terendah ada di Kabupaten Mesuji. (Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung, 2013).

Etiologi
Penyebab TB Paru adalah Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis
lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 m (Brooks,et al 2004).Mycobacterium
tuberculosis yang dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah.

Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA) (Daniel, 1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler
yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, sehingga
bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2007).
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila
terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara 1000
penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak
akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan
menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).

Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala
tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan
demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik
pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus
dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut
dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga
paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik
dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada
pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).

Pemeriksaan Laboratorium
Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif
(Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai
penderita TB BTA positif.
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas


(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak
ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS.
Bila hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif.
Bila hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk

mendukung diagnosis TB.


Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
rontgen positif.
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),
sebagaimana bisa dilihat di bawah ini:

Gambar 1. Alur Diagnosis P2TB.

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria


pada pasien TB paru menjadi:
Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang
positif.
Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada
biakannya positif (Bahar, 2007).
Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah
limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium
darah menurun (Depkes RI, 2006).
Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa
tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau

Mycobacterium patogen lainnya (Depkes RI, 2006).


Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
PPD (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin
ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin
disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri
dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler
dan antigen tuberkulin.

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,


2007):
Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di
sini peran antibodi humoral paling menonjol.
Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran
antibodi humoral masih menonjol.
Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran kedua antibodi seimbang.
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni
pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif
palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi,
penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan
panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas
menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV
positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada
pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di
daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus

menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai
sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak
seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas
dan disebut tuberkuloma (Depkes RI,2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang
sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun
atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).

Tipe Penderita Tuberkulosis


Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:
Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian
datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.

Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes
RI, 2006).

Pengobatan Tuberkulosis
Prinsip Pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di
mana obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas
sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan
Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk
mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid
mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin
menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).

Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak
tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid
(H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E),
Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan
TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed Treatment

Short-course(DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini


memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian
secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar: Pertama,
terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka
terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti
tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah
terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat
yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z
mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan
pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama
pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten (Bahar &
Amin, 2007).
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24
bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB
diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah
yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap
lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis
OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif menjadi
BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini
sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap lanjutan
penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang
lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persisten (dormant)
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Bahar & Amin, 2007;
Depkes RI, 2006).

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis
pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup

Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,


Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini
dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat
tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).
Tabel 1. Jenis dan sifat OAT.

Jenis OAT
Isoniazid (H)

Sifat
Bakterisid
Terkuat

Rifampisin (R)

Bakterisid

Pirazinamid (Z)

Bakterisid

Streptomisin (S)

Bakterisid

Etambutol (E)

Bakteriostatik

Keterangan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat cell-wall
biosynthesis pathway.
Rifampisin dapat membunuh kuman semidormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat polimerase DNAdependent ribonucleic acid (RNA) M.
Tuberculosis
Pirazinamid dapat membunuh kuman yang
berada dalam sel dengan suasana asam. Obat
ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama
pengobatan.
obat ini adalah suatu antibiotik golongan
aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
-

Regimen Pengobatan (Metode DOTS)


Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut
definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel 2. Panduan alternatif untuk setiap kategori pengobatan.
Kategori
pengobatan
TB
I

Pasien TB

Kasus baru TB paru dahak positif;


kasus baru TB paru dahak negatif

Paduan pengobatan TB
alternatif
Fase awal (setiap
Fase
hari/3x seminggu)
lanjutan
2 EHRZ (SHRZ)
6 HE
2 EHRZ (SHRZ)
4 HR

II

dengan kelainan luas di paru; kasus


baru TB ekstra-pulmonal berat
Kambuh,
dahak
positif;
pengobatan gagal; pengobatan
setelah terputus

III

Kasus baru TB paru dahak negatif


(selain dari kategori I); kasus baru
TB ekstra-pulmonal yang tidak
berat

IV

Kasus kronis (dahak masih positif


setelah menjalankan pengobatan
ulang)

2 EHRZ (SHRZ)

4 H3 R3

2 SHRZE / 1
5 H3R3E3
HRZE
2 SHRZE / 1
5 HRE
HRZE
2 HRZ atau
6 HE
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2 HR/4H
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2 H3R3/4H
2H3R3Z3
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntun WHO guna
pemakaian obat lini kedua yang
diawasi
pada
pusat-pusat
spesialis)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I: 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif
setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke
fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih
positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi
tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II: 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z,
E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan
4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur
sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu
5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III: 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV: Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup

Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya


harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H
saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB
resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE). Obat
sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada
tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI,
2006).

Dosis Obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel 3. Dosis obat yang dipakai di Indonesia
Jenis
Isoniazid (H)

Dosis

Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)

harian = intermiten : 10 mg/kgBB


harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)

harian = intermiten : 15 mg/kgBB


usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari

harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Etambutol (E)

harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu

Kombinasi Obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya
(jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
(Depkes RI, 2006):

Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3


Berat badan

Tahap Intensif tiap hari selama


56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
> 71 kg

Tahap Lanjutan 3x seminggu


selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3


Berat
Badan
30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
> 71 kg

Tahap Intensif tiap hari


RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 58 hari
2 tab 4KDT + 500mg
Streptomisin inj
3 tab 4KDT + 750mg
Streptomisin inj
4 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj
5 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj

Tahap Lanjutan3x seminggu


RH (150/150) + E (400)
Selama 28 hari
Selama 2 Minggu
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab
Etambutol
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT + 3 tab
Etambutol
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT + 4 tab
Etambutol
5 tab 4KDT
5 tab 2KDT + 5 tab
Etambutol

Tabel 6. Dosis OAT untuk Sisipan

Berat Badan
30 37 kg

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hariRHZE (150/75/400/275)


2 tablet 4KDT

38 54 kg
55 70 kg
71 kg

3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Efek Samping Pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran
pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat
diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat
mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat
diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7. Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat
Isoniazid (H)

Rifampisin (R)

Pirazinamid
(Z)

Reaksi hipersensitifitas:
mual dan kemerahan

Streptomisin
(S)

Reaksi hipersensitifitas: demam,


sakit kepala, muntah dan eritema
pada kulit
Gangguan
penglihatan
berupa
berkurangnya ketajaman penglihatan

Etambutol (E)

Ringan
Tanda-tanda keracunan pada syaraf
tepi, kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi piridoksin
(pellagra) dan kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-gatal.
Gatal-gatal kemerahan kulit, sindrom
flu, sindrom perut.

demam,

Berat
Hepatitis, ikhterus

Hepatitis, sindrom respirasi


yang ditandai dengan sesak
nafas, kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan (syok),
purpura, anemia hemolitik yang
akut, gagal ginjal
Hepatitis, nyeri sendi, serangan
arthritis gout
Kerusakan saraf VIII yang
berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran
Buta warna untuk warna merah
dan hijau

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan


kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer
dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid
Hasil Pengobatan
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi:

Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali
atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu
selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up
dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.
Gagal:
Pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya
sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih
positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari
pengobatan.
Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan
sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab
kematiannya.
Evaluasi Pengobatan
Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa
digunakan untuk evaluasi pengobatan TB paru :
Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk
berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat
dll.
Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai
menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan.
WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir
bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang
BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien
yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum
BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif
pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah
sembuh mulai kambuh lagi.
Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus

kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk),


dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah
penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak
secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan
sekali (Bayupurnama, 2007).

Surveilans Kasus TB
Survailans kasus TB memiliki tujuan jangka panjang yaitu untuk menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan
rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia. Surveilans TB juga dapat dilakukan dengan cara:
Sentinel surveillance merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat dari
populasi atau fasilitas tertentu karena jumlah kasusnya sangata kecil dan jarang
terjadi.
Laboratory-based reporting merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat
dari laboratorium
Passive surveillance merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat tanpa
permohonan,intervensi, atau kontak oleh dinas kesehatan yang melakukan
surveilans. Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah
dan mudah untuk dilakukan.
Active surveillance merupakan organisasi menginisiasi prosedur surveilans untuk
mendapatkan laporan.Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans
untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter
dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif,
lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang
memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans
aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.

Puskesmas

Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang


bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja.

Tujuan Puskesmas
Mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni
meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
yang bertempat tingal di wilayah kerja puskesmas
Mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yakni optimal mandiri dan
berkeadilan.

Fungsi Puskesmas
Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di
wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan
kesehatan. Disamping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkandampak
kesehatan dari penyelenggaraan setiap program di wilayah kerjanya.

Pusat pemberdayaan masyarakat


Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan
dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat,
berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk
sumber pembiayaannya, serta ikut menerapkan, menyelenggarakan dan
memantau pelaksanaan program kesehatan, pemberdayaan perorangan,
keluarga dan masyarakat.

Pusat pelayanan kesehatan strata pertama


Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Pelayanan kesehatan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab
puskesmas meliputi:
Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan

perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan


penyakit.
Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik
dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain
adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan
lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga
berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta program kesehatan
masyarakat lainnya.

Upaya Penyelenggaraan Kesehatan


Upaya kesehatan puskesmas dikelompokkan menjadi dua yakni :
Upaya kesehatan wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
komitmen nasional, regional dan global serta mempunyai daya ungkit tinggi
untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat, antara lain:
Promosi kesehatan
Kesehatan lingkungan
Kesehatan ibu dan anak serta KB
Perbaikan gizi masyarakat
Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (P2M)
Pengobatan dan penanganan kegawatdaruratan.
Upaya kesehatan pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta
yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Adapun upaya kesehatan
pengembangan yang ada di Puskesmas Rawat Inap Kemiling antara lain:
Kesehatan sekolah
Kesehatan olah raga
Perawatan kesehatan masyarakat
Kesehatan kerja
Kesehatan gigi dan mulut

Kesehatan jiwa
Kesehatan mata
Kesehatan usia lanjut
Pembinaan pengobatan tradisional

BAB III
METODE EVALUASI

Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan berupa:

Sumber data primer


Wawancara dengan koordinator pelaksana Progam P2TB dan pengamatan di
Puskesmas Rawat Inap Kemiling

Sumber data sekunder


Laporan Program Penemuan Kasus TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Kemiling
tahun 2015.

Cara Analisis

Evaluasi program Penemuan Kasus TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Kemiling


dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Menetapkan beberapa tolak ukur dari unsur keluaran


Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari pencapaian hasil
output adalah dengan menetapkan beberapa tolak ukur atau standar yang ingin
dicapai.

Menentukan satu tolak ukur yang akan digunakan

Dari beberapa tolak ukur yang ada, dipilih satu tolak ukur yang akan digunakan.

Membandingkan pencapaian keluaran program dengan tolak ukur keluaran.


Bila terdapat kesenjangan, ditetapkan sebagai masalah. Setelah diketahui tolak
ukur, selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian keluaran Puskesmas
(output) dengan tolak ukur tersebut. Bila pencapaian keluaran Puskesmas tidak
sesuai dengan tolak ukur, maka ditetapkan sebagai masalah.

Menetapkan prioritas masalah


Masalah-masalah pada komponen output tidak semuanya dapat diatasi secara
bersamaan mengingat keterbatasan kemampuan Puskesmas. Selain itu adanya
kemungkinan masalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya dan
bila diselesaikan salah satu masalah yang dianggap paling penting, maka masalah
lainnya dapat teratasi pula. Oleh sebab itu, ditetapkanlah prioritas masalah yang
akan dicari solusi untuk memecahkannya.

Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan


Untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan tersebut, maka
dibuatlah kerangka konsep masalah. Hal ini bertujuan untuk menentukan faktorfaktor penyebab masalah yang telah diprioritaskan tadi yang berasal dari
komponen sistem yang lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan
umpan balik. Dengan menggunakan kerangka konsep diharapkan semua faktor
penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi sehingga tidak ada yang
tertinggal.

Identifikasi penyebab masalah


Berbagai penyebab masalah yang terdapat pada kerangka konsep selanjutnya akan
diidentifikasi. Identifikasi penyebab masalah dilakukan dengan membandingkan
antara tolak ukur atau standar komponen-komponen input, proses, lingkungan dan
umpan balik dengan pencapaian di lapangan. Bila terdapat kesenjangan, maka
ditetapkan sebagai penyebab masalah yang diprioritaskan tadi.

Membuat alternatif pemecahan masalah


Setelah diketahui semua penyebab masalah, dicari dan dibuat beberapa alternatif
pemecahan masalah. Alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut dibuat
untuk mengatasi penyebab-penyebab masalah yang telah ditentukan. Alternatif

pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan serta situasi


dan kondisi Puskesmas.

Menentukan prioritas cara pemecahan masalah


Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, maka akan
dipilih satu cara pemecahan masalah (untuk masing-masing penyebab masalah)
yang dianggap paling baik dan memungkinkan.

BAB IV
GAMBARAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS

Gambaran Wilayah Kerja Puskesmas

Puskesmas Rawat Inap Kemiling terletak di Kecamatan Kemiling yang meliputi 4


kelurahan dengan luas Wilayah 718,2 Ha.Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.
Tabel 8. Data luas wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kemiling
No.
1
2
3
4

Kelurahan
Kelurahan Sumberrejo
Kelurahan Sumberrejo Sejahtera
Kelurahan Kemiling Permai
Kelurahan Kemiling Raya
Jumlah

Luas Wilayah (Ha)


257,4
247,3
108,9
104,6
718,2

Prosentase (%)
35,8
34,4
15,2
14,6
100

Wilayah Kerja Puskesmas

Wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kemiling memiliki batasan wilayah kerja
sebagai berikut.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rajabasa dan Kelurahan Gunung
Terang Kecamatan Langkapura.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Beringin Raya dan Kelurahan
Langkapura Kecamatan Langkapura.

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Negeri Sakti Kecamatan Gedung Tataan.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Langkapura Kecamatan Langkapura.

BAB V
HASIL EVALUASI

Penetapan Beberapa Tolak Ukur

Pada program penemuan kasus TBParu di Puskesmas Rawat Inap Kemiling


menggunakan tolak ukur dari beberapa sumberrujukan untuk mengevaluasi program
tersebut, yaitu dengan menggunakan:

Pedoman Kerja Puskesmas Jilid 2, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2004.

Surat edaran penemuan kasus TB di Kota Bandar Lampung Tahun 2015 dari
Dinas Kesehatan Bandar Lampung.

Penetapan Satu Tolak Ukur yang Digunakan

Dari kedua tolak ukur diatas, maka tolak ukur yang dipilih adalah berdasarkansurat
edaran penemuan kasus TB di Kota Bandar Lampung Tahun 2015 dari Dinas
Kesehatan Bandar Lampung. Tolak ukur dipilih berdasarkan laporan mengenai
penemuan kasus TB Paru di wilayah Puskesmas Rawat Inap Kemiling.

Perbandingan Pencapaian Tolak Ukur dengan Tolak Ukur Keluaran

Suatu masalah ditetapkan bida didapatkan adanya kesenjangan antara keluaran


dengan tolak ukurnya, sedangkan penyebab masalah ditentukan bila ada kesenjangan
antara unsur sistem lainnya dengan tolak ukur. Hal tersebut dilakukan secara
bertahap, dimulai dari keluaran (output) program kerja Puskesmas, kemudian apabila
ditemukan adanya kesenjangan antara tolak ukur dengan data keluaran tersebut maka

harus dicari kemungkinan penyebab masalah pada unsur masukan (input, proses, atau
lingkungan).
Tabel 9. Perbandingan Pencapaian Keluaran Progam dengan Tolak Ukur Keluaran
Variabel Keluaran
Angka
Realisasi
Suspek Dahak yang
Diperiksa

Angka
Realisasi
Penemuan
BTA
Posistif Baru

Angka
Realisasi
Penemuan
Semua
Tipe Kasus

Tolak Ukur
Angka
realisasi
suspek dahak yang
diperiksa di Bandar
Lampung
adalah
minimal 90%
Angka
realisasi
penemuan
BTA
positif
baru
di
Bandar
Lampung
adalah minimal 90%
Angkarealisasi
penemuan
semua
tipe kasus di Bandar
Lampung
adalah
minimal 95%

Pencapaian
Angka
realisasi
suspek
dahak yang diperiksa di
Puskesmas
Rawat
Inap
Kemiling tahun 2015 adalah
67,6%.
Angka realisasi penemuan
BTA positif
baru
di
Puskesmas
Rawat
Inap
Kemiling tahun 2015 adalah
91,1%.
Angka realisasi penemuan
semua
tipe
kasus
di
Puskesmas
Rawat
Inap
Kemiling tahun 2015 adalah
81,6%.

Masalah

(+)

(-)

(+)

Penetapan Prioritas Masalah

Berdasarkan Tabel 9, mengenai Pencapaian KeluaranProgam dengan Tolak Ukur


Keluaran didapatkan adanya masalah yaitu mengenai angka minimal untuk realisasi
suspek dahak yang diperiksa dan realisasi penemuan semua tipe kasus di wilayah
Puskesmas Rawat Inap Kemiling yang ditargetkan mencapai masing-masing90% dan
95%.Akan tetapi,angka realisasi suspek dahak yang diperiksa dan realisasi penemuan
semua tipe kasus di wilayah Puskesmas Rawat Inap Kemiling hanya 67,9% dan
81,6%. Oleh karena itu, perlu ditentukan prioritas masalah yang akan diselesaikan.
Untuk mempermudah penentuan prioritas, penulis menggunakan metode USG
sebagai berikut.
Tabel 10. Penentuan prioritas masalah metode USG.
Masalah
suspek dahak

Realisasi
yang
diperiksa
Realisasi penemuan semua tipe kasus

Urgency
2

Seriousness
4

Growth
5

Total
11

Berdasarkan tabel 10, realisasi suspek dahak yang diperiksa memiliki jumlah skor 11
sedangkan realisasi penemuan semua tipe kasus memiliki jumlah skor 9. Sehingga
masalah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dalam laporan ini adalah masalah

realisasi suspek dahak yang diperiksa.

Kerangka Konsep

Untuk mempermudah identifikasi faktor penyebab masalah program pengobatan


pasien TB Paru diperlukan kerangka konsep dengan menggunakan pendekatan
sistem.
Gambar 2. Kerangka Konsep

Identifikasi Penyebab Masalah

Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan dengan curah
pendapat. Untuk membantu menentukan kemungkinan penyebab masalah dapat
dipergunakan diagram fishbone dan didapatkan daftar penyebab masalah mengenai
kurangnya pencapaian dari Penemuan Kasus TB Paru pada Puskesmas Rawat Inap
Kemiling.

Tabel 11. Kemungkinan Penyebab Masalah Pengobatan TB Paru di Puskesmas Rawat


Inap Kemiling
Input
Man

Money

Kelebihan
Tersedianya tenaga kesehatan
(dokter, bidan, perawat dan
petugas laboratorium) dan
koordinator program yang
kompeten untuk mendeteksi
penderita TB paru
Terdapat
dokter
yang
memberikan
pelayanan
kesehatan di balai pengobatan
umum puskesmas
Terdapat
analis
di
laboratorium
Tersedianya dana dari Dinas
Kesehatan
Kota
Bandar
Lampung untuk kasus TB

Kekurangan
Tenaga
kesehatan
yang
kompeten dalam melakukan
pendeteksian TB paru sudah
ada tetapi masih khawatir akan
tertular TB.
Seluruh kegiatan Program
P2TB hanya dilakukan oleh
koordinator Program karena
kurangnya kesadaran tenaga
kesehatan lain untuk bekerja
sama dalam program P2TB

Kurangnya
dana
khusus
untuk
transportasi petugas kesehatan dalam
rangka kunjungan rumah

Method

Material

Machine

Paru, mulai dari penemuan


kasus, pemeriksaan sputum
BTA, dan pengobatan
Tersedianya anggaran untuk
pelatihan petugas kesehatan
Tersedianya dana yang cukup
dari pemerintah pusat untuk
laboratorium,
pelatihan
petugas
kesehatan
dan
pengobatan TB
Terdapat alur diagnosis TB
paru dalam penjaringan suspek
TB paru
Sudah
ada
standar
pengambilan dahak
Sudah ada standar mendeteksi
TB paru di balai pengobatan
umum.
Tersedianya posyandu, pustu,
dan Puskesmas yang merujuk
pasien suspek TB paru ke
puskesmas
Tersedianya
laboratorium
sebagai
sarana
untuk
pemeriksaan dahak pasien
suspek TB paru
Tersedianya
alat
untuk
melakukan pemeriksaan fisik
(stetoskop)
Tersedianya
alat-alat
laboratorium untuk melakukan
pemeriksaan sampel dahak
(pot dahak, objek glass, pipet,
reagen
pewarna,
lampu
spiritus, mikroskop, dll)
Tersedianya
form
laboratorium untuk pencatatan
hasil
pemeriksaan
laboratorium
Tersedianya buku register
pemeriksaan BTA.
Tersedianya pamflet mengenai
TB paru.
Tersedianya formulir untuk
pencatatan TB dengan BTA
positif

Kurangnya kerjasama dengan pihak


swasta (dokter praktik swasta, poliklinik
swasta, dan bidan praktek swasta) dalam
penjaringan TB Paru

Tidak ada

Kurangnya pemeliharaan alatalat di laboratorium untuk


pemeriksaan BTA.
Kurangnya poster dan leaflet di
tempat-tempat umum untuk
sosialisasi penyakit TB paru.

Tabel 12. Kemungkinan Penyebab Masalah Pengobatan TB Paru di Puskesmas Rawat


Inap Kemiling Ditinjau dari Faktor Proses dan Lingkungan
Input
Policies

Kelebihan
Terdapatnya

target

Kekurangan
Laboratorium
puskesmas

Procedures

Plant/
Technologie
s

Lingkungan

penjaringan jumlah pasien


suspek TB di Puskesmas
Balai pengobatan umum dan
laboratorium di puskesmas
buka
dari
Senin-Sabtu,
kecuali hari libur
Pengobatan di posyandu
lansia yang diselenggarakan
satu kali dalam sebulan
Terdapatnya
pelaporan
jumlah pasien suspek TB di
puskesmas dari pendataan
pasien suspek TB dari BP
umum dan pasien suspek TB
yang dilakukan pemeriksaan
BTA di laboratorium
Pengontrolan pengambilan
obat TB dan bila tidak
mengambil akan ditelepon
Petugas kesehatan di balai
pengobatan
umum
melakukan
rujukan
ke
laboratorium
untuk
melakukan
pemeriksaan
dahak pada tersangka TB
Pasien mendapatkan pot
dahak dan pengarahan cara
mengeluarkan dahak dari
petugas laboratorium dan
obat GG dari dokter jika
dahak sulit keluar
Alat, bahan dan pemeriksaan
penjaringan TBsudah cukup
baik
Adanya
pemetaan/pencatatan pasien
suspek TB berdasarkan desa
asal tempat tinggal
Laporan program P2TB
dilaporkan
ke
dinas
kesehatan setiap bulansecara
tertulis dan secara online,
disertai
dengan
data
pencapaian program
Terjangkaunya
sarana
pelayanan kesehatan dari
wilayah
tempat
tinggal
masyarakat
Masyarakat
jika
sakit
memilih berobat ke tenaga
kesehatan terdekat dari pada
ke dukun

hanya menerima sampel pada


pukul jam 08.00-11.00 WIB
Kurangnya
peran
aktif
petugas kesehatan lain dalam
membantu petugas P2TB
Tidak ada kerjasama antara
puskesmas dengan lembaga
kesehatan lain
Pasien TB tidak dilakukan
kunjungan rumah kecuali bila
pasien tidak mengambil obat
dan tidak dapat dihubungi
dengan telepon

Tidak ada

Kurangnya
pemahaman
teknologi
baru
seperti
pelaporan secara online
Pelaporan program P2TB
hanya
dilakukan
oleh
koordinator programnya saja

Kurangnya
pengetahuan
masyarakat
mengenai
penyakit TB paru
Masyarakat banyak tidak
mengetahui obat TB gratis

Gambar 3. Diagram Fishbone

Permasalahan Internal
Tabel 13. Teknik Kriteria Matriks Pemilihan Prioritas Penyebab Masalah
Skor 1-5
T

Daftar Masalah
No

1.

RI

DU

SB

JUM

IxTx

SDM

Petugas
pelayan

12

puskesmas
yang
melakukan
kegiatan

Permasalahan eksternal
Tabel 14. Teknik Kriteria Matriks Pemilihan Prioritas Penyebab Masalah
No

JUM

DaftarMasalah
IxTxR
P

RI

SB

PB

U
1

P
C

Lingkungan

PSP

30

masyarakatmenge
nai TB

Setelah dilakukan pemilihan prioritas penyebab masalah, didapatkan penyebab masalah yang ada
yaitu kurang petugas pelayanan kesehatan dalam meloaksanakan kegiatan pemeriksaan dahak,
sikap dan perilaku masyarakat tentang pentingnya mengetahun gejala awal TB segingga
terlaksanannya pemeriksaan suspek dahak.

BAB VI
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Menyusun Alternatif Pemecahan Masalah


Tabel 13. Alternatif Pemecahan Masalah

No
.
1

Penyebab Masalah

Alternatif Pemecahan Masalah

Seluruh kegiatan Program P2TB hanya


dilakukan oleh koordinatorprogram karena

Memberikan pemahaman kepada tenaga


kesehatan bahwa TB tidak mudah menular

tenaga kesehatan yang masih khawatir


akan tertular TB
Kurangnya pemahaman teknologi baru
seperti pelaporan secara online
Kurangnya
pengetahuan
masyarakat
mengenai penyakit TB paru

2
3

dan penggunaan alat pelindung diri yang


baik dan benar agar tidak mudah tertular
Memberikan pelatihan kepada tenaga
kesehatan terkait teknologi baru
Memberikan
penyuluhan
kepada
masyarakat mengenai TB paru untuk
meningkatkan
pengetahuan
tentang
penyakit TB paru

Setelah menemukan alternatif pemecahan masalah, maka selanjutnya dilakukan


penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan dengan
menggunakan kriteria matriks MxIxV/C. Berikut ini proses penentuan prioritas
alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan kriteria matriks:
Magnitude (M) adalah besarnya penyebab masalah dari pemecahan masalah yang
dapat diselesaikan. Makin besar (banyak) penyebab masalah yang dapat
diselesaikan dengan pemecahan masalah, semakin efektif.
Importancy (I) adalah pentingnya cara pemecahan masalah, makin penting cara
penyelesaian dalam mengatasi penyebab masalah, maka semakin efektif.
Vulnerability (V) adalah sensitifitas cara penyelesaian masalah. Makin sensitif
bentuk penyelesaian masalah, maka semakin efektif
Cost adalah perkiraan besarnya biaya yang diperlukan untuk meakukan
pemecahan masalah
Masing-masing masalah diberi nilai 1-5. Bila makin magnitude maka nilainya makin
besar, mendekati 5. Begitu juga dalam melakukan penilaian pada kriteria I dan V.

Menetapkan Alternatif Pemecahan Masalah

Tabel 14. Pemilihan prioritas pemecahan masalah berdasar matriks MIV/C


No.
1

2
3

Alternatif Pemecahan Masalah


Memberikan
pemahaman
kepada
tenaga kesehatan bahwa TB tidak
mudah menular dan penggunaan alat
pelindung diri yang baik dan benar agar
tidak mudah tertular
Memberikan pelatihan kepada tenaga
kesehatan terkait teknologi baru
Memberikan
penyuluhan
kepada
masyarakat mengenai TB paru untuk
meningkatkan pengetahuan tentang
penyakit TB paru

(M)

(I)

(V)

(C)

Jumlah

Prioritas

40

12

III

30

II

Berdasarkan matriks MIV/C maka didapatkan prioritas alternatif pemecahan masalah


sebagai berikut.
Memberikan pemahaman kepada tenaga kesehatan bahwa TB tidak mudah
menular dan penggunaan alat pelindung diri yang baik dan benar agar tidak
mudah tertular
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk
meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru
Memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan terkait teknologi baru

BAB VII
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil evaluasi program Puskesmas Rawat Inap Kemiling pada tahun
2015, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pencapaian program penemuan kasus suspek TB Paru yang diperiksa dahak
belum mencapai target, dimana diharapkan target sebesar 90% dan hanya
didapatkan pencapaian sebanyak 67,6%.
Ditemukan 3 penyebab masalah paling mungkin, yaitu seluruh kegiatan Program
P2TB hanya dilakukan oleh koordinator program karena tenaga kesehatan yang
masih khawatir akan tertular TB, kurangnya pemahaman teknologi baru seperti
pelaporan secara online, dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit TB paru.
Alternatif pemecahan masalah yang paling bermanfaat adalah memberikan
pemahaman kepada tenaga kesehatan bahwa TB tidak mudah menular dan
penggunaan alat pelindung diri yang baik dan benar agar tidak mudah tertular,
memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk
meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru, dan memberikan pelatihan

kepada tenaga kesehatan terkait teknologi baru.

Saran

Terhadap Puskesmas Rawat Inap Kemiling:


Penambahan jadwal penyuluhan di balai kesehatan, sekolah atau tempat umum
lainnya untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru.
Mengusahakan kembali tenaga kesehatan agar mau membantu koordinator P2TB
untuk menjaring pasien suspek TB dan mengadakan kunjungan rumah.
Mengusahakan dan meningkatkan kerjasama antara P2TB dan bagian Promkes
serta Kesling, antara lain dengan bersama-sama melakukan inspeksi sanitasi
lingkungan, kunjungan rumah pada keluarga dengan kontak TB (+).
Peran aktif dari tenaga kesehatan serta petugas kesehatan untuk memberikan
penyuluhan kepada warga tentang cara pengeluaran dahak yang baik, sehingga
sampel yang diperiksa pun dapat akurat.

Untuk masyarakat:
Masyarakat diharapkan untuk lebih memahami dan mawas diri terhadap gejalagejala TB paru dan faktor risikonya.
Pasien suspek TB paru diharapkan menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan
dahak di Puskesmas setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta: BPFKUI.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta: BPFKUI.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. Jawetz, Melnick Adelberghs:
Mikrobiologi Kedokteran. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi
FKU Unair, Jakarta: Salemba Medika.

Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta: Widya Medika.


Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penanggulangan Tuberkulosis Di Indonesia.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi kedua. 2008.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tatalaksana Pasien Tuberkulosis. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi kedua. 2008.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Lampung. Depkes
RI
Profil Puskesmas. 2015. Profil Puskesmas Puskesmas Rawat Inap Kemiling 2015. Dinkes
Bandar Lampung
Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 2014. Diunduh di:
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdf
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia. Diunduh
di:http://www.who.int/topics/millennium_development_goals/diseases/en/index.ht
ml.

Anda mungkin juga menyukai