SINDROM NEFROTIK
12010011007
Partisipan :
Eva Noviani Lestari
Khairuli Amri
Cynde Bayu Naga D.
Dini Paramita
Dety Nur Rachmawati
12010011035
12010011028
12010011044
12010011068
12010011021
Preseptor:
Nina Surtiretna dr.,Sp. A., M. Kes
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ANATOMI GINJAL
BAB III
SINDROM NEFROTIK
3.1.
Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus,
ditandai dengan :
a. Edema,
b. Proteinuria masif
-
3.2.
Epidemiologi
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya
lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak lakilaki dan perempuan 2:1.
3.3.
Klasifikasi
Klasifikasi sindrom nefrotik (SN), yaitu:
1. Berdasarkan etiologi
a. SN primer
b. SN sekunder
2. Berdasarkan histopatologi
a. SN kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. SN non-minimal
-
3.4.
Etiologi
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik antara lain SLE, purpura henoch schoenlein, amyloidosis, infeksi
HIV, parvovirus B19, infeksi virus Hepatitis B atau C, dan lain-lain.
1. SN idopatik (90%)
Umumnya SN idiopatik diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik, dan
alergi. Bentuk SN idiopatik meliputi:
a. kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)
c. glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)
2. SN sekunder (10%)
SN sekunder atau didapat bersal dari luar ginjal yang terjadi karena berhubungan
dengan penyakit sistemik. Bentuk SN sekunder meliputi:
a. glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
b. nefropati membranosa (GNM)
SECONDARY CAUSES
Infections
Hepatitis B, C
HIV-1
Malaria
Syphilis
Toxoplasmosis
Drugs
Penicillamine
Gold
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Pamidronate
Interferon
Mercury
Heroin
Lithium
3.5.
Patofisiologi
Patofisiologi dari sindrom nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada
pada
FSGS,
WT1
pada
sindrom
Denys-Drash
(sindrom
nefrotik,
ini
menyebabkan
terjadinya
hipoalbunemia.
Selanjutnya
Gambar 3.1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik menurut teori underfill
2. Teori Overflow/Overfill
Gambar 3.2. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik menurut teori overflow/overfill
3.6.
Patomekanisme
Gangguan dalam glomerulus basement membrane karena metabolik ataupun
biokimia
Mempengaruhi permeabilitas glomerular
Peningkatan filtrasi pada protein plasma
Hilangnya protein plasma seperti albumin dan beberapa imunoglobulin
Proteinuria
Hilangya transport protein
hipoalbuminemia
(globulin)
Tekanan onkotik menurun
vit D thyroxine
Ig
Mudah terkena infeksi
3.7.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Edema ini bersifat
generalisata dan berdasar atas daya gravitasi dimana edema pada regio periorbital
terjadi pada pagi hari sedangkan pada kaki sore harinya.
Bila lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema
skrotum/vulva. Kadang-kadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan
10
berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study Of Kidney
Disease In Children) pada SNKM dapat ditemukan 22% hematuria mikroskopik, 15%20% hipertensi, dan sebesar 32% disertai peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah,
tetapi bersifat sementara.
3.7.1. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat
proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.
3.7.2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat
(namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi
mungkin normal atau menurun.
3.7.3. Hiperlipidemia
11
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar
dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik.
3.7.4. Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang
permeable.
3.7.5. Edema
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat
hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan
peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta
penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan
meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi
fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain
mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan
aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan
berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan
edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara
bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase dieresis. Pada
12
SNKM edema timbul secara cepat dan progresif dalam beberapa hari.edema berupa
pitting
3.7.6. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel
serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).
3.8.
Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik meliputi:
1. Anamnesis
Paparan terhadap obat-obatan atau allergen, riwayat penyakit ginjal keluarga,
riwayat urin keruh (menandai awal infeksi)
2. Pemeriksaan fisik
13
Edema periorbita, dapat pula asites, edema dapat ditemukan pada genitalia,
lengan, pinggang.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis dan bila perlu biakan urin,
b. Protein urin kuantitatif dapat berupa urin 24 jam atau rasio albumin/kreatinin
pada urin pertama pagi hari,
c. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol
Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin atau dengan rumus Schwartz
C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan C4 dan ANA (anti
nuclear antibody)
3.9.
Penatalaksanaan
Pada penderita SN pertama kali sebaiknya di rawat di rumah sakit dengan tujuan
14
gagal ginjal, syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan, aktivitas disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.
3.9.1. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus.
Jadi cukup diberi diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended daily
allowances) yaitu 2 g/kgbb/hari. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrasi
energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah
garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
3.9.2. Diuretika
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat. Biasanya diberikan
loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasi dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah
kalium dan natrium.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (refrakter) biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbumenemia berat (1 g/kgbb selama 4 jam, untuk menarik
cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid i.v 1-2
mg/kgbb/hari. Bila pasien tidak mampu diberi plasma 20 ml/kggb/hari secara pelanpelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
deiperlukan dapat diberi selang sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
15
3.9.4. Imunisasi
Imunisasi pada SN selama pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu
setelah obat dihentikan hanya boleh diberi vaksin virus mati. Setelah lebih dari 6
minggu penghentian steroid dapat diberi vaksin virus hidup. Imunisasi juga dihindari
bagi penderita SN yang mendapat terapi siklofosfamid atau siklosporin A.
Pemberian vaksin S. pneumoniae pada beberapa negara dianjurkan, tetapi karena
belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di Indonesia belum dianjurkan. Pada orang
tuanya dipesankan untuk menghindari kontak dengan penderita varisela. Bila terjadi
kontak diberi profilaksis dengan varicella-zoster imunoglobulin dalam waktu kurang
dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan diberikan dosis tunggal imunoglobulin i.v. Bila
sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya
dihentikan sementara.
16
R = REMISI
PROTEINURIA (-)
EDEMA (-)
4 MINGGU
Prednison FD : 60 mg/m2/har
Prednison AD : 40 mg/m2/har
SENSITIF
STEROID
TERAPI IMUNOSUPRESIF
Gambar 3.3. Pengobatan inisial kortikosteroid
Keterangan
Prednison dosis penuh 60 mg/m2 LPB/hari (2mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu,
dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara intermittent (3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari), selama 4 minggu.
Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari diberikan
selama 4 minggu. Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom
nefrotik resisten steroid.
17
Keterangan
18
Predinison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu
tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terpai
imunosupresif lain.
Jumlah relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan sangat penting karena
dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi
dalam 6 bulan pertama, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1. Tidak ada relaps sama sekali (30 %)
2. Relaps jarang
3. Relaps sering
4. Dependen steroid
Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih
banyak dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.
Penderita pada kategori 1 dan 2 prognosisnya paling baik, biasanya setelah
mengalami 2-3 kali relaps akan tidak relaps lagi. Sedangkan pada kategori 3 dan 4 bila
berlangsung lama akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face,
hipertensi, striae, dll. Penderita SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya
dirujuk ke dokter spesialis anak atau paling sedikit diobati bersama-sama dengan dokter
spesialis anak.
19
20
Remisi
Prednison ALT + CPA
Relaps pada
prednison > 1 mg/kg ALT
Atau efek samping steroid
(2)
prednison standar
Bila pasien :
1. relaps pada dosis rumat >1 mg/kgbb/alternating, atau
2. meskipun dosis rumat <1 mg tetapi disertai:
efek samping steroid yang berat
pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis
diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
21
b. Levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan.
Efek samping levamisol: mual, muntah dan netropenia revesibel.
Dalam studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan
remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British association for paediatric
nephrology pada 61 anak secara random sampling mendapatkan hasil pada 14 anak
yang diberi levamisol dan 4
meskipun pemberian prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan
akan terjadi relaps. Pada satu penelitian retrospekstif di India, levamisol dilaporkan
merupakan obat yang aman dan efektif bila diberikan bersamaan dengan steroid, untuk
penderita SN dependen steroid dan relaps sering, khususnya anak-anak yang lebih tua.
Di Jakarta, levamisol pernah dicoba diberikan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Oleh
karena itu pada saat ini belum dapat direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan
diserahkan kepada spesialis anak yang mengobati.
c. Sitostatika
Obat sitostika yang dipakai pada pengobatan SN anak paling sering adalah
siklosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb atau klorambusil 0,2-0,3 mg/kgbb/hari selama 8
minggu. Sitostika dapat mengurangi relaps sampai >50% yaitu 67%-93% pada tahun
pertama dan 36%-66% selama 5 tahun. Oleh APN dilaporkan pemberian 12 minggu
dapat mempertahankan remisi lebih lama daripada 8 minggu yaitu 67% dibandingkan
30%, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering
(70%) daripada dependen steroid (30%). Efek samping sitostika adalah depresi sumsum
22
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia dan jangka panjang keganasan. Oleh
karena itu perlu pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2
x seminggu. Bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb <8 g/dl, trombosit <100.000/ul obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah >5.000/ul.
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >200-300
mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis atau puls baik pada SN
relaps sering/dependen steroid, dengan skema pengobatan seperti pada Gambar 4.
d. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatika dianjurkan untuk diberi sikloporin dengan dosis 5 mg/kgbb/hari (Gambar
3.5). Pada SN relaps sering/dependen steroid CyA dapat menimbulkan dan
mempertahankan remisi, hingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan.
Tetapi bila CyA dihentikan akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping
dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.
23
SN RELAPS FREKUEN
REMISI
FD
AD 8 minggu
PREDNISON
: 2-3 mg/kgBB/hari
: 40 mg/m2/hari (1x pagi hari)
CPA ORAL
8 minggu
SN DEPENDEN STEROID
REMISI
FD
PREDNISON
+
CPA PULSE
------------------------------------------------------- atau ------------------------------------------------------AD 12 minggu tap off
PREDNISON
+
CPA ORAL
SN Dependen steroid
Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan
berturut-turut dan prednison intermittent/altenating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
di tapering off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1
bulan, atau
Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison di tapering off dengan
dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan.
24
a. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi pada 20 % penderita. Setelah pemberian CPA bila terjadi relaps kembali mekipun
sebelumnya SN resisten steroid dapat dicoba prednison lagi, yang resistan bisa menjadi
sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali bila mampu dapat
diberi Siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 3.7.
SN RESISTEN STEROID
PREDNISON
+
CPA PULSE
AD 6 bulan tap of
6 bulan
atau
PREDNISON
AD 6 bulan tap of
+
CPA ORAL
3 - 6 bulan
CPA pulse
Prednison
Tapering off
: 500 mg/m2/bulan
: 40 mg/m2/hari (1 x pagi hari)
: 1 mg/kgBB/hari (1 bulan) 0,5 mg/kgBB/hari (1 bulan)
Gambar 3.7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Keterangan
Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
25
Prednison dosis 40 mg/m2 LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian ditapering off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan)
atau
Siklofosfamid puls dengan 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat
dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison dosis 40 mg/m2 LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian ditapering off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan)
CPA puls dilaporkan memberi hasil yang lebih baik daripada CPA oral, tetapi
jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis kumulatif pada CPA puls
lebih kecil dari CPA oral dan efek sampingnya lebih sedikit, tetapi harganya lebih mahal
pemakaian di Indonesia masih selektif.
b. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total 20%
pada 60 penderita dan remisi parsial 13%.
Efek
samping
CyA
adalah
hipertensi,
hiperkalemia,
hipertrikosis,
26
27
Tujuan pemberian ACE inhibitor untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal
(renoprotekif).
Biopsi ginjal
Dalam praktek sehari-hari, respons terhadap terapi kortikosteroid lebih penting
daripada histologi ginjal. Biopsi ginjal dilakukan bila dicurigai sindrom nefrotik yang
bukan lesi minimal atau yang resisten steroid. Indikasi biopsi ginjal adalah:
1. Sebelum terapi
umur < 6 bulan
hematuria makroskopis
persisten hematuria mikroskopis dengan hipertensi
gagal ginjal akut yang tidak berhubungan dengan hipovolemia
kadar plasma C3 yang rendah
Biopsi ginjal bisa dipertimbangkan jika onset kejadian berumur antara 6 12
bulan, atau 14 16 tahun, adanya hipertensi yang menetap, dan hematuria
mikroskopis
2. Sesudah terapi
Direkomendasikan pada semua pasien sindrom nefrotik yang resisten dan
dependen steroid, dan bisa dipertimbangkan pada sindrom nefrotik yang relaps
sering sebelum mendapatkan terapi selain kortikosteroid.
28
3.10.
Komplikasi
3.10.1. Infeksi
Tersering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadinya
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjdi peritonitis primer
yang bhiasanya disebabkan oleh kuman Gram- negatif dan streptokokus pneumoniae
diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi
ketiga, yaitu sefotaksim/ seftriakson selama 10 - 14 hari.
3.10.2. Tromboemboli
Dapat terjadi trombosis di arteri maupun vena karena adanya hiperkoagulasi,
peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan anti trombin III. Pencegahan nya
dengan pemberian aspirin dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol. Bila telah terjadi
trombosis diberikan heparin.
3.10.3. Hiperlipidemia
Terjadi peningkatan LDL dan VLDL kolesterol, trigeliserida dan lipoprotein (a)
(Lpa), HDL menurun atau normal. Zat zat tersebut bersifat aterogenik dan
trombogenik. Dapat diatasi dengan pengaturan diit lemak, obat penurun lipid questran,
derivat atau fibrat dan inhibitor HmgCoA reduktasia(statin).
3.10.4. Hipokalsemia
Terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang yang dapat menimbulkan
osteoporosis dan osteopeni. dan kebocoran metabolit vitamin D. Dapat diberikan
29
vitamin D dan kalsium 500 mg/hari. Bila terjadi tetani bisa diberikan kalsium glukonas
0,5 mg/kgbb i.v.
3.10.5. Hipovolemia
Akibat pemberian diuretik yang berlebihan. Atau pada SN relaps dengan gejala
hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan sakit perut. Beri infus NaCl fisiologik dan
albumin 1 gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb tetesan lambat 10 permenit, bila
hipovolemia teratasi dan tetap oligouria, beri furosemid 1-2 mg/kgbb i.v.
3.11.
Prognosis
Prognosis jangka panjang SNKM pada pengamatan 20 tahun hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada
berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih
dapat dipakai untuk menentukan prognosis daripada gambaran PA.
3.12.
Kesimpulan
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari edema,
proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin >2 mg/mg atau
dipstick
>2+),
hipoproteinemia
(<2,5
g/dL),
dan
dapat
disertai
dengan
30
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Vogt BA, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, editor, Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders; 2007: 2190-5.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
32