Anda di halaman 1dari 33

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

SINDROM NEFROTIK

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)


SMF Ilmu Kesehatan Anak
Disusun oleh:
Marry Nadya Elmiera

12010011007

Partisipan :
Eva Noviani Lestari
Khairuli Amri
Cynde Bayu Naga D.
Dini Paramita
Dety Nur Rachmawati

12010011035
12010011028
12010011044
12010011068
12010011021

Preseptor:
Nina Surtiretna dr.,Sp. A., M. Kes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RUMAH SAKIT MUHAMMADIAH BANDUNG
2011
0

BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus,


ditandai dengan adanya edema, proteinuria masif (>40 mg/m 2/jam atau >3,5 g/24 jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin >2 mg/mg atau dipstick >2+), hipoalbuminemia
(<2,5 g/dl), dan dapat disertai dengan hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) atau
hiperlipidemia. Istilah Sindrom Nefrotik ini pertama kali diperkenalkan oleh Calvin dan
Goldberg.
Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak (<18 tahun) dengan angka kejadian
2-7 kasus/100.000 per tahun. Sebagian besar pasien sindrom nefrotik, berkisar antara
75-85% termasuk sindrom nefrotik idiopati, etiologinya tidak diketahui. Sebagian
kecilnya (20%) termasuk sindrom nefrotik sekunder.
Puncak insidensi pada umur 2-3 tahun. Pada saat anak-anak, perbandingan anak
laki-laki dan perempuan 2:1. Sindrom nefrotik primer lebih banyak terdapat pada anakanak, sedangkan yang sindrom nefrotik sekunder pada dewasa.

BAB II
ANATOMI GINJAL

Ginjal terletak di retroperitoneal pada dinding abdominal posterior, terletak


setinggi vertebra T12-L3. Ginjal kanan biasanya terletak lebih inferior dibandingkan
ginjal kiri, karenan di bagian kanan terdapat liver.
Ukuran panjang ginjal adalah 10 cm, lebar 5 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Bagian
superior ginjal berhubungan dengan diafragma yang memisahkan dengan rongga pleura
dan tulang rusuk ke-12. Di bagian inferior, permukaan posterior ginjal berhubungan
dengan otot quadrates lumborum. Nervus dan pembuluh subkostalis serta nervus
iliohipogastrik dan nervus ilioinguinal turun secara diagonal melewati permukaan
posterior ginjal. Liver, duodenum, dan kolon asenden terletak di anterior ginjal kanan.
Ginjal kanan dipisahkan dari liver oleh hepatorenal recess. Ginjal kiri berhubungan
dengan lambung, spleen, pancreas, jejunum, dan kolon desenden.

Gambar 2.1. Anatomi dan histologi ginjal

BAB III
SINDROM NEFROTIK

3.1.

Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus,

ditandai dengan :
a. Edema,
b. Proteinuria masif
-

>40 mg/m2/jam atau >3,5 g/24 jam (kuantitatif)

rasio protein/kreatinin pada urin >2 mg/mg

dipstick >2+ (kualitatif)

c. Hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), dan


d. Dapat disertai dengan hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) atau hiperlipidemia.

Beberapa definisi atau batasan yang dipakai pada SN, yaitu:


a. Remisi
Proteinuria (-) atau trace (proteinuria <40 mg/m2/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
b. Relaps
Proteinuria 2+ (proteinuria <40 mg/m 2/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu.
c. Relaps jarang
Relaps terjadi kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau
kurang dari 4 kali pertahun pengamatan.
3

d. Relaps sering (frequent relaps)


Relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau 4 kali dalam
periode 1 tahun.
e. Dependen steroid
Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
f. Resisten steroid
Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2
mg/kgbb/hari selama 4 minggu

3.2.

Epidemiologi
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris

adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya
lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak lakilaki dan perempuan 2:1.

3.3.

Klasifikasi
Klasifikasi sindrom nefrotik (SN), yaitu:
1. Berdasarkan etiologi
a. SN primer
b. SN sekunder
2. Berdasarkan histopatologi
a. SN kelainan minimal (SNKM) (85%)

b. SN non-minimal
-

mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)

glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)

3. Berdasarkan respon pengobatan terhadap steroid


a. Steroid responsif
b. Tidak steroid responsif

3.4.

Etiologi
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti

penyakit sistemik antara lain SLE, purpura henoch schoenlein, amyloidosis, infeksi
HIV, parvovirus B19, infeksi virus Hepatitis B atau C, dan lain-lain.
1. SN idopatik (90%)
Umumnya SN idiopatik diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik, dan
alergi. Bentuk SN idiopatik meliputi:
a. kelainan minimal (SNKM) (85%)
b. mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)
c. glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)
2. SN sekunder (10%)

SN sekunder atau didapat bersal dari luar ginjal yang terjadi karena berhubungan
dengan penyakit sistemik. Bentuk SN sekunder meliputi:
a. glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
b. nefropati membranosa (GNM)

Tabel 3.1. Penyebab sindrom nefrotik pada anak


GENETIC DISORDER
Nephrotic Syndrome Typical
Finnish-type congenital nephritic syndrome
Focal segmental glomerulosclerosis
Diffuse mesangial sclerosis
Denys-Drash syndrome
Schimke immune-osseous dysplasia

SECONDARY CAUSES
Infections
Hepatitis B, C
HIV-1
Malaria
Syphilis
Toxoplasmosis

Proteinuria with or without Nephrotic Syndrome


Nail-patella syndrome
Alport syndrome

Drugs
Penicillamine
Gold
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Pamidronate
Interferon
Mercury
Heroin
Lithium

Multisystem Syndrome with or without Nephrotic Syndrome


Galloway-Mowat syndrome
Charcot-Marie-Tooth disease
Jeune syndrome
Cockayne syndrome
Laurence-Moon-Biedl_bardet syndrome
Metabolic Disorders with or without Nephrotic Syndrome
Alagille syndrome
1 Antitrypsin deficiency
Fabry disease
Glutaric acidemia
Glycogen storage disease
Hurler syndrome
Lipoprotein disorders
Mitochondrial cytopathies
Sickle cell disease
IDIOPATHIC NEPHROTIC SYNDROME
Minimal change disease
Focal segmental glomerulosclerosis
Membranous nephropathy

Immunologic or Allergic Disorders


Castleman disease
Kimura disease
Bee sting
Food allergens
Associated with Malignant Disease
Lymphoma
Leukemia
Glomerular Hyperfiltration
Oligomeganephronia
Morbid obesity
Adaptation to nephron reduction

Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami


remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80%-85% tidak responsif (resisten
steroid). Sindrom Nefrotik yang muncul dalam 3 bulan pertama kehidupan disebut
sebagai Sindrom Nefrotik Kongenital dan dianggap penyebabnya adalah infeksi
intrauterin (infeksi TORCH).

3.5.

Patofisiologi
Patofisiologi dari sindrom nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada

bukti kuat mengenai kelainan imunologik yang terutama mengganggu cell-mediated


immnunity. Yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
sehingga terjadi proteinuria.
6

Terdapat 3 mekanisme yang mendasari proteinuria, yaitu:


1. Hilangnya muatan poliamnion pada dinding kapiler glomerulus,
2. Perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus,
3. Perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler.
Bertahun-tahun lamanya, penelitian difokuskan pada membran glomerulus atau
faktor-faktor dari ekstraglomerolus yang berperanan dalam peningkatan permeabilitas
glomerolus dan terdapat bukti yang mengatakan bahwa kelainan primer pada sindrom
nefrotik idiopatik mungkin terdapat pada tingkat podosit, sel epitel pada viseral
glomerolus. Kelainan pada podosit ini berimplikasi pada peningkatan proteinuria
glomerolus. Ada beberapa virus seperti HIV, parvovirus B19, dan simian SV40 yang
bisa secara langsung menyebabkan luka pada podosit.
Mutasi gen ditemukan pada anak-anak dengan sindroma nefrotik familial,
dimana diantaranya mutasi pada gen NPHS1 pada sindroma nefrotik tipe Finnish yang
mengkode protein nefrin. Protein ini terdapat pada protein transmembran dalam slit
diafragma antara podosit. Disamping mutasi NPHS1 juga ada mutasi gen NPHS2 atau
ACTN4

pada

FSGS,

WT1

pada

sindrom

Denys-Drash

(sindrom

nefrotik,

pseudohermafrodit laki-laki, dan gonadoblastoma) dan sindrom Frasier (FSGS,


pseudohermafrodit laki-laki, gonadoblastoma).
Terdapat 2 teori tentang terjadinya edema pada sindrom nefrotik, yaitu:
1. Teori Underfill

Kelainan glomerolus ini akan menyebabkan terjadinya albuminuria berat.


Albuminuria

ini

menyebabkan

terjadinya

hipoalbunemia.

Selanjutnya

hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga


akan terjadi perpindahan cairan dari plasma ke rongga interstisial dan terjadilah

edema dan hipovolemia. Hipovolemia ini mengakibatkan penurunan laju filtrasi


glomerolus, peningkatan reabsorbsi garam dan air pada tubulus proksimal,
aktivasi dari sistem renin-angiotensin-aldosteron, pelepasan hormon anti
diuresis, dan inhibisi atrial natriuretic peptide. Kemudian akan menyebabkan
terjadinya retensi air dan garam, yang selanjutnya akan menimbulkan terjadinya
edema, yang akan diperparah dengan asupan garam dan air yang terus menerus.
(Gambar 3.1.)

Gambar 3.1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik menurut teori underfill

2. Teori Overflow/Overfill

Kelainan glomerolus menyebabkan terjadinya retensi primer ginjal terhadap


garam dan air sehingga akan terjadi peningkatan volume ekstraseluler.
Peningkatan volume ekstraseluler ini akan menyebabkan terjadinya edema dan
peningkatan volume plasma yang bersirkulasi, yang selanjutnya akan
menyebabkan terjadi inhibisi sistem rennin-angiotensin-aldosteron, pelepasan
arginin vasopressin, dan inhibisi atrial natriuretic peptide. Ketiga hal ini akan
menyebabkan kegagalan kontrol feedback negatif terhadap retensi primer renal
terhadap garam dan air. Hal ini akan diperberat dengan asupan garam dan air
yang terus menerus. (Gambar 3.2.)

Gambar 3.2. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik menurut teori overflow/overfill

3.6.

Patomekanisme
Gangguan dalam glomerulus basement membrane karena metabolik ataupun
biokimia
Mempengaruhi permeabilitas glomerular
Peningkatan filtrasi pada protein plasma
Hilangnya protein plasma seperti albumin dan beberapa imunoglobulin
Proteinuria
Hilangya transport protein
hipoalbuminemia
(globulin)
Tekanan onkotik menurun

vit D thyroxine

Ig
Mudah terkena infeksi

cairan berpindah dari intravaskuler ke interstisial


edema

penurunan sirkulasi darah menerunkan perfusi ginjal mengaktifkan system renin


angiotensin
retensi natrium edema lebih lanjut
hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein dihati dan peningkatan
konsentrasi lemak dalam plasma hiperlipoproteinemia lipiduria

3.7.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Edema ini bersifat

generalisata dan berdasar atas daya gravitasi dimana edema pada regio periorbital
terjadi pada pagi hari sedangkan pada kaki sore harinya.
Bila lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema
skrotum/vulva. Kadang-kadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan

10

berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study Of Kidney
Disease In Children) pada SNKM dapat ditemukan 22% hematuria mikroskopik, 15%20% hipertensi, dan sebesar 32% disertai peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah,
tetapi bersifat sementara.

3.7.1. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat
proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.

3.7.2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat
(namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi
mungkin normal atau menurun.

3.7.3. Hiperlipidemia
11

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar
dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik.

3.7.4. Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang
permeable.

3.7.5. Edema
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat
hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan
peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta
penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan
meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi
fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain
mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan
aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan
berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan
edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara
bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase dieresis. Pada

12

SNKM edema timbul secara cepat dan progresif dalam beberapa hari.edema berupa
pitting

3.7.6. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel
serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).

3.7.7. Kerentanan terhadap infeksi


Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,
penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella,
Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering
terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.

3.8.

Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik meliputi:
1. Anamnesis
Paparan terhadap obat-obatan atau allergen, riwayat penyakit ginjal keluarga,
riwayat urin keruh (menandai awal infeksi)

2. Pemeriksaan fisik

13

Edema periorbita, dapat pula asites, edema dapat ditemukan pada genitalia,
lengan, pinggang.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis dan bila perlu biakan urin,
b. Protein urin kuantitatif dapat berupa urin 24 jam atau rasio albumin/kreatinin
pada urin pertama pagi hari,
c. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol
Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin atau dengan rumus Schwartz
C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan C4 dan ANA (anti
nuclear antibody)

3.9.

Penatalaksanaan
Pada penderita SN pertama kali sebaiknya di rawat di rumah sakit dengan tujuan

untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,


memulai pengobatan steroid, dan edukasi pada orang tuanya. Sebelum pengobatan
steroid dimulai dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan
profilaksis INH bersama steroid. Bila ditemukan tuberkolusis aktif pada pemeriksaan
foto toraks diberi obat anti tuberkulosis (OAT).
Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang
berat atau disertai komplikasi yang berat seperti muntah-muntah, infeksi berat atau

14

gagal ginjal, syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan, aktivitas disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.

3.9.1. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus.
Jadi cukup diberi diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended daily
allowances) yaitu 2 g/kgbb/hari. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrasi
energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah
garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

3.9.2. Diuretika
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat. Biasanya diberikan
loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasi dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah
kalium dan natrium.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (refrakter) biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbumenemia berat (1 g/kgbb selama 4 jam, untuk menarik
cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid i.v 1-2
mg/kgbb/hari. Bila pasien tidak mampu diberi plasma 20 ml/kggb/hari secara pelanpelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
deiperlukan dapat diberi selang sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan

15

mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan


infeksi hepatitis, HIV, dan lain-lain. Bila asites sedemikian berat hingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi berulang.

3.9.3. Antibiotik Profilaksis


Di beberapa negara pasien SN dengan edema dan asites yang banyak diberikan
profilaksis dengan penisillin oral 125-250 mg 2 x sehari sampai edema berkurang. Di
Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau
berkala dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya
diberikan amoksilin, eritromisin, atau sefaleksin.

3.9.4. Imunisasi
Imunisasi pada SN selama pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu
setelah obat dihentikan hanya boleh diberi vaksin virus mati. Setelah lebih dari 6
minggu penghentian steroid dapat diberi vaksin virus hidup. Imunisasi juga dihindari
bagi penderita SN yang mendapat terapi siklofosfamid atau siklosporin A.
Pemberian vaksin S. pneumoniae pada beberapa negara dianjurkan, tetapi karena
belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di Indonesia belum dianjurkan. Pada orang
tuanya dipesankan untuk menghindari kontak dengan penderita varisela. Bila terjadi
kontak diberi profilaksis dengan varicella-zoster imunoglobulin dalam waktu kurang
dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan diberikan dosis tunggal imunoglobulin i.v. Bila
sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya
dihentikan sementara.

16

3.9.5. Pengobatan Kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal kecuali bila ada
kontra indikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.

3.9.5.1 Pengobatan Inisial


Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) diberi prednison 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan BB ideal, (berat
terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Pada pemberian 2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80% dan pada 4
minggu 94%. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 ( dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 x
sehari setelah makan pagi. Bila selama 4 minggu tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resistens steroid (Gambar 3.3.).

PREDNISON FULL DOSE


4 MINGGU

R = REMISI
PROTEINURIA (-)
EDEMA (-)

4 MINGGU

Remisi (-) : RESISTEN STEROID

Prednison FD : 60 mg/m2/har
Prednison AD : 40 mg/m2/har

SENSITIF
STEROID

TERAPI IMUNOSUPRESIF
Gambar 3.3. Pengobatan inisial kortikosteroid

Keterangan
Prednison dosis penuh 60 mg/m2 LPB/hari (2mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu,
dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara intermittent (3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari), selama 4 minggu.
Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari diberikan
selama 4 minggu. Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom
nefrotik resisten steroid.

17

APN (Arbeitgemeinshaft fur Pediatrische Nephrology) Jerman melaporkan


bahwa pada pemberian prednison dosis penuh 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis
alternationg 6 minggu dapat memperpanjang remisi dibandingkan dengan dosis standar
8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan relaps menurun 36,2% v.s 81% (dosis standar).
Pada penelitian di Jakarta didapat kesan adanya penurunan jumlah relaps tetapi
karena jumlah kasus sedikit tidak dapat dinilai secara statistik, tetapi di Surabaya
ditemukan perbedaan yang tidak bermakna.

3.9.5.2 Pengobatan SN Relaps


Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total 94%, tetapi sebagian besar
akan mengalami relaps (60%-70%) dan 50% mengalami relaps sering. Skema
pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu diberikan prednison dosis penuh
sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4
minggu. Pada penderita SN yang mengalami proteinuria kembali 2+ tetapi tanpa
edema sebelum diberi prednison kembali dicari dulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran napas atas. Bila ada diberi antibiotik 5-7 hari dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberi pengobatan relaps. Tetapi bila sejak awal ditemukan
proteinuria 2+ dan edema didiagnosis sebagai relaps dan diberi pengobatan.
SN RELAPS
REMISI
FD

Prednison FD: 60 mg/m2/hari


Prednison AD: 40 mg/m2/hari

Gambar 3.4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Keterangan

18

Predinison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu
tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terpai
imunosupresif lain.

Jumlah relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan sangat penting karena
dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi
dalam 6 bulan pertama, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1. Tidak ada relaps sama sekali (30 %)
2. Relaps jarang

: kurang dari 2 x (10-20%)

3. Relaps sering

: relaps > 2 x (40-50 %)

4. Dependen steroid

: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan


(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan

Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih
banyak dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.
Penderita pada kategori 1 dan 2 prognosisnya paling baik, biasanya setelah
mengalami 2-3 kali relaps akan tidak relaps lagi. Sedangkan pada kategori 3 dan 4 bila
berlangsung lama akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face,
hipertensi, striae, dll. Penderita SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya
dirujuk ke dokter spesialis anak atau paling sedikit diobati bersama-sama dengan dokter
spesialis anak.

3.9.5.3 Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid


Dahulu pada penderita SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan
pengobatan alternating dengan siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang dalam kepustakaan
ada 4 opsi :

19

a. Dicoba pemberian steroid jangka panjang


b. Pemberian levamisol
c. Pengobatan CPA
d. Pengobatan siklosporin (terakhir)
Perlu dilakukan usulan untuk mencari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi
atau kecacingan.

a. Steroid Jangka Panjang


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang
dapat dicoba dulu sebelum diberi CPA, mengingat efek samping yang lebih kecil. Jadi
bila telah dinyatakan relaps sering/dependen steroid, setelah remisi dengan prednison
dosis penuh diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/bertahap 0.5 mg/kgbb sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps
yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
diteruskan 6-12 bulan, lalu dicoba dihentikan (Gambar 3.5). Umumnya anak usia
sekolah dapat menolerir prednison 0.5 mg/kgbb dan usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0.5 mg/kgbb/alternating, tetapi
<1,0 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasi
dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan atau langsung diberi
CPA.

20

SN relaps frekuen / dependen steroid


Prednison FD

Remisi
Prednison ALT + CPA

Diturunkan sampai dosis treshold


0,1-0,5 mg/kg ALT
(6-12 bulan)
(2)
(1)
Relaps pada
Prednison > 0,5 mg/kg ALT

Relaps pada
prednison > 1 mg/kg ALT
Atau efek samping steroid
(2)

Levanisol 2,5 mg/kg ALT


(4-12 bulan)

CPA 2-3 mg/kgBB


9-12 minggu
(3)
Relaps

prednison standar

Relaps pada prednison > 0,5 mg/kg ALT


Siklosporin 5 mg/kg/hari
Selama 1 tahun
Gambar 3.5. Skema pengobatan prednison jangka panjang
Keterangan :
(1) Langsung diberi CPA (+ prednison ALT)
(2) Sesudah prednison jangka panjang dilanjutkan dengan CPA
(3) Sesudah prednison jangka panjang + levamison, dilanjutkan dengan CPA

Bila pasien :
1. relaps pada dosis rumat >1 mg/kgbb/alternating, atau
2. meskipun dosis rumat <1 mg tetapi disertai:
efek samping steroid yang berat
pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis
diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.

21

b. Levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan.
Efek samping levamisol: mual, muntah dan netropenia revesibel.
Dalam studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan
remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British association for paediatric
nephrology pada 61 anak secara random sampling mendapatkan hasil pada 14 anak
yang diberi levamisol dan 4

kontrol masih menunjukkan remisi setelah 112 hari

meskipun pemberian prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan
akan terjadi relaps. Pada satu penelitian retrospekstif di India, levamisol dilaporkan
merupakan obat yang aman dan efektif bila diberikan bersamaan dengan steroid, untuk
penderita SN dependen steroid dan relaps sering, khususnya anak-anak yang lebih tua.
Di Jakarta, levamisol pernah dicoba diberikan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Oleh
karena itu pada saat ini belum dapat direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan
diserahkan kepada spesialis anak yang mengobati.

c. Sitostatika
Obat sitostika yang dipakai pada pengobatan SN anak paling sering adalah
siklosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb atau klorambusil 0,2-0,3 mg/kgbb/hari selama 8
minggu. Sitostika dapat mengurangi relaps sampai >50% yaitu 67%-93% pada tahun
pertama dan 36%-66% selama 5 tahun. Oleh APN dilaporkan pemberian 12 minggu
dapat mempertahankan remisi lebih lama daripada 8 minggu yaitu 67% dibandingkan
30%, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering
(70%) daripada dependen steroid (30%). Efek samping sitostika adalah depresi sumsum

22

tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia dan jangka panjang keganasan. Oleh
karena itu perlu pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2
x seminggu. Bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb <8 g/dl, trombosit <100.000/ul obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah >5.000/ul.
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >200-300
mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis atau puls baik pada SN
relaps sering/dependen steroid, dengan skema pengobatan seperti pada Gambar 4.

d. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatika dianjurkan untuk diberi sikloporin dengan dosis 5 mg/kgbb/hari (Gambar
3.5). Pada SN relaps sering/dependen steroid CyA dapat menimbulkan dan
mempertahankan remisi, hingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan.
Tetapi bila CyA dihentikan akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping
dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.

23

SN RELAPS FREKUEN
REMISI
FD

AD 8 minggu

PREDNISON

Pemantauan : Hb. Leukosit, trombosit/minggu


Leukosit < 3000/L stop dulu
Leukosit > 5000 L terapi lagi
CPA oral
Prednison

: 2-3 mg/kgBB/hari
: 40 mg/m2/hari (1x pagi hari)

CPA ORAL
8 minggu
SN DEPENDEN STEROID
REMISI
FD

AD 12 minggu tap off

PREDNISON
+
CPA PULSE
------------------------------------------------------- atau ------------------------------------------------------AD 12 minggu tap off
PREDNISON
+

CPA pulse : 500 mg/m2/bulan


Prednison : 40 mg/m2/hari
(1 x pagi hari)
Tap off: 1 mg/k/hr (1 bln)
0,5 mg/kgBB/hari (1 bln)

CPA ORAL

Gambar 3.6. Skema Pengobatan SN Relaps Frekuen dan SN Dependen Steroid


Keterangan
1. SN Relaps frekuen
Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan
prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2 3
mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu.
2.

SN Dependen steroid
Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan
berturut-turut dan prednison intermittent/altenating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
di tapering off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1
bulan, atau
Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison di tapering off dengan
dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan.

24

3.9..5.4 Pengobatan SN Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Kebanyakan publikasi dalam literatur tidak dengan subjek kontrol. Pada pasien SNRS
sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran
dengan CPA hasil pengobatan lebih baik bila hasil biposi SNRS pada SNKM daripada
GSFS. Demikian pula lebih baik pada SNRS nonresponder kasep daripada SNRS sejak
awal (initial non responder).

a. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi pada 20 % penderita. Setelah pemberian CPA bila terjadi relaps kembali mekipun
sebelumnya SN resisten steroid dapat dicoba prednison lagi, yang resistan bisa menjadi
sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali bila mampu dapat
diberi Siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 3.7.

SN RESISTEN STEROID
PREDNISON
+
CPA PULSE

AD 6 bulan tap of
6 bulan

atau
PREDNISON

AD 6 bulan tap of

+
CPA ORAL

3 - 6 bulan
CPA pulse
Prednison
Tapering off

: 500 mg/m2/bulan
: 40 mg/m2/hari (1 x pagi hari)
: 1 mg/kgBB/hari (1 bulan) 0,5 mg/kgBB/hari (1 bulan)
Gambar 3.7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid

Keterangan

Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan

25

Prednison dosis 40 mg/m2 LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian ditapering off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan)

atau

Siklofosfamid puls dengan 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat
dilanjutkan tergantung keadaan pasien.

Prednison dosis 40 mg/m2 LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian ditapering off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan)

CPA puls dilaporkan memberi hasil yang lebih baik daripada CPA oral, tetapi
jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis kumulatif pada CPA puls
lebih kecil dari CPA oral dan efek sampingnya lebih sedikit, tetapi harganya lebih mahal
pemakaian di Indonesia masih selektif.

b. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total 20%
pada 60 penderita dan remisi parsial 13%.
Efek

samping

CyA

adalah

hipertensi,

hiperkalemia,

hipertrikosis,

hipertrofigingiva dan juga bersifat nefrooksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.


Oleh karena itu perlu pemantauan terhadap :
1. Kadar CyA dalam darah : dipertahankan antara 100-200 ug/ml
2. Kadar kreatinim darah berkala
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang/sangat
selektif.

26

c. Metil Prednisolon Puls


Mendoza dkk melaporkan pada SNRS yang diobati dengan metil predisolon puls
selama 82 minggu + prednison oral + siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu pada
pengamatan selama 6 tahun, 21 dari 32 penderita (66%) tetap menunjukkan remisi total
dan gagal ginjal terminal hanya ditemukan sebanyak 5% dibandingkan 40% pada
kontrol sejarah. Tetapi hasil ini tidak dapat dikonformasi pada laporan penelitian lainnya
di samping itu efek sampingnya juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak
sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.

d. Obat Imunosupresif Lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah dipakai pada SNRS adalah
vincristin, tacrolimus dan mukofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang
masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol masih belum dapat
direkomendasi di Indonesia.

e. Pengobatan Non Imunosupesif Untuk Mengurangi Proteinuria


Pada pasien SN yang telah resisten terahdap obat kortikosteroid, sitostatika dan
siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini) dapat diberi diuretik (bila ada edema)
dengan kombinasi ACE inhibitor untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini bisa
dipakai adalah kapopril 0,3 mg/kgbb 3 x sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgbb/hari dibagi 2
dosis.
Suatu penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0.2 mg/kgbb/hari
dan 0.6 mg/kgbb/hari selama 8 minggu dapat menurunkan proteinuria 33% dan 52%.

27

Tujuan pemberian ACE inhibitor untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal
(renoprotekif).

Biopsi ginjal
Dalam praktek sehari-hari, respons terhadap terapi kortikosteroid lebih penting
daripada histologi ginjal. Biopsi ginjal dilakukan bila dicurigai sindrom nefrotik yang
bukan lesi minimal atau yang resisten steroid. Indikasi biopsi ginjal adalah:
1. Sebelum terapi
umur < 6 bulan
hematuria makroskopis
persisten hematuria mikroskopis dengan hipertensi
gagal ginjal akut yang tidak berhubungan dengan hipovolemia
kadar plasma C3 yang rendah
Biopsi ginjal bisa dipertimbangkan jika onset kejadian berumur antara 6 12
bulan, atau 14 16 tahun, adanya hipertensi yang menetap, dan hematuria
mikroskopis
2. Sesudah terapi
Direkomendasikan pada semua pasien sindrom nefrotik yang resisten dan
dependen steroid, dan bisa dipertimbangkan pada sindrom nefrotik yang relaps
sering sebelum mendapatkan terapi selain kortikosteroid.

28

3.10.

Komplikasi

3.10.1. Infeksi
Tersering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadinya
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjdi peritonitis primer
yang bhiasanya disebabkan oleh kuman Gram- negatif dan streptokokus pneumoniae
diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi
ketiga, yaitu sefotaksim/ seftriakson selama 10 - 14 hari.

3.10.2. Tromboemboli
Dapat terjadi trombosis di arteri maupun vena karena adanya hiperkoagulasi,
peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan anti trombin III. Pencegahan nya
dengan pemberian aspirin dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol. Bila telah terjadi
trombosis diberikan heparin.

3.10.3. Hiperlipidemia
Terjadi peningkatan LDL dan VLDL kolesterol, trigeliserida dan lipoprotein (a)
(Lpa), HDL menurun atau normal. Zat zat tersebut bersifat aterogenik dan
trombogenik. Dapat diatasi dengan pengaturan diit lemak, obat penurun lipid questran,
derivat atau fibrat dan inhibitor HmgCoA reduktasia(statin).

3.10.4. Hipokalsemia
Terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang yang dapat menimbulkan
osteoporosis dan osteopeni. dan kebocoran metabolit vitamin D. Dapat diberikan

29

vitamin D dan kalsium 500 mg/hari. Bila terjadi tetani bisa diberikan kalsium glukonas
0,5 mg/kgbb i.v.

3.10.5. Hipovolemia
Akibat pemberian diuretik yang berlebihan. Atau pada SN relaps dengan gejala
hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan sakit perut. Beri infus NaCl fisiologik dan
albumin 1 gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb tetesan lambat 10 permenit, bila
hipovolemia teratasi dan tetap oligouria, beri furosemid 1-2 mg/kgbb i.v.

3.11.

Prognosis
Prognosis jangka panjang SNKM pada pengamatan 20 tahun hanya 4-5%

menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada
berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih
dapat dipakai untuk menentukan prognosis daripada gambaran PA.

3.12.

Kesimpulan
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari edema,

proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin >2 mg/mg atau
dipstick

>2+),

hipoproteinemia

(<2,5

g/dL),

dan

dapat

disertai

dengan

hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia. Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital,


primer/idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sistemik. Patofisiologi dari Sindrom
Nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada bukti kuat mengenai kelainan
imunologik yang terutama mengganggu cell-mediated immunity yang mengakibatkan

30

peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein sehingga terjadi proteinuria.


Terdapat 2 teori tentang terjadinya edema pada Sindrom Nefrotik, yaitu: teori overfill
dan teori underfill. Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Bila
lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema skrotum/vulva. Kadangkadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.
Terapi yang diberikan adalah steroid, levamisol, siklofosfamid dan siklosporin A.
Komplikasi SN antara lain adalah infeksi, tromboemboli, hiperlipidemia, hipokalsemia,
dan hipovolemia.

31

DAFTAR PUSTAKA

1.

Bagga A, Mantan A. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res 2005;


122: 13-28.

2.

Haycock G. The child with idiopatic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N,


Postlethwaite R, editor. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York:
Oxford United Press; 2003: 341-66.

3.

Vogt BA, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, editor, Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders; 2007: 2190-5.

4.

Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Sindroma nefrotik. Dalam: Garna H,


Melinda HDN, Rahayuningsih SE, editor. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu
kesehatan anak. Edisi ke-3; 2005: 538-41.

5.

Abhay, VN. Genetics of idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2005;


72: 777-83.

6.

Wirya W. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede


S, editor. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 2002:
381-423.

7.

Appel GB. Improved outcomes in nephrotic syndrome. Cleveland Clinic Journal


of Medicine 2006; 73: 161-7

8.

Abeyagunawardena AS. Treatment of steroid sensitive nephrotic syndrome.


Pediatr Nephrol 2005; 72: 763-69.

9.

Hafeez F, Ahmed TM, Samina U. Levamisole in steroid dependent and


frequently relapsing nephrotic syndrome. JCPSP 2006; 16: 35-7

32

Anda mungkin juga menyukai