Prosedur FIV
Persiapan
Stimulasi ovarium
Pengambilan sel telur
Pengambilan sperma
Inseminasi
Kultur embrio
Transfer embrio
Persiapan pasien
Sebelum mengikuti program FIV, pasangan suami istri harus memili kriteria/ indikasi sebagai
berikut.
-
Infertilitas disebabkan faktor pria yang tidak dapat dikoreksi dengan tindakan
operatif/medikamentosa atau tidak dapat diatasi dengan tindakan inseminasi
intrauterin
Infertlitas disebabkan faktor tuba yang tidak dapat dikoreksi atau setelah dilakukan
operasi rekontruksi dalam waktu satu tahun tidak terjadi kehamilan
Infertilitas disebabkan oleh endometriosis yang tidak dapat dikoreksi atau setelah
dikoreksi dengan tindakan operasi dilanjtkan dengan inseminasi intrauterin tetapi
tidak terjadi kehamilan.
Infertilitas yang tidak terjelaskan dalam waktu 3 tahun dan tindakan medikamentosa
ataupun inseminasi intrauterin tidak menghasilkan kehamilan
Kegagalan fungsi ovarium karena proses kanker di mana sebelumnya sel telur atau
embrio telah dibekukan.
Adanya penyakit yang diturunkan genetik (single gene disease)
Pemeriksaan hormonal pada hari ke-3 haid (FSH dan E2) dapat menentukan respons terhadap
stimulasi ovarium dan berhubungan dengan keberhasilan program FIV. Nilai FSH > 12
mIU/ml dan E2 > 80 pg/ml mencerminkan respons buruk terhadap stimulasi ovarium dan
terjadinya kehamilan. Analisis sperma dapat dilakukan secara konvensional maupun dengan
teknik intra cytoplasmic sperm injection (ICSI).
Stimulasi ovarium
Sejak ditemukan preparat gonadotropin pada tahun 1980-an, tindakan stimulasi ovarium
banyak menggunakan obat golongan ini dengan harapan dapat menghasilkan sel telur yang
lebih banyak dibandingkan dengan siklus natural. Untuk mencegah lonjakan LH yang
prematur, diberikan juga GnRH agonis atau GnRH antagonis. Meta analisis antara tahun
1985-1999 membuktikan bahwa preparat rekombinasi FSH memberikan hasil yang lebih baik
jika dibandingkan dengan hMG.
Saat ini banyak stimulasi ovarium yang dapat digunakan pada kondisi yang berbeda-beda.
Siklus natural pada program FIV membrikan embrio transfer rate sebesar 45,5%, ongoing
pregnancy rate sebesar 7,2%, dan cycle cancellation rate sebesar 29%. Efek samping
ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS) dan kehamilan ganda lebih rendah pada siklus
natural.
Protokol terbanyak digunakan dalam stimulasi ovarium saat ini adalah long protocol dimana
dilakukan penekanan terhadap fungsi hipofisis dan ovarium sejak fase midluteal sampai
kadar estradiol < 50 pg/ml. Setelah tercapai kondisi tersebut baru dilakukan stimulasi dengan
menggunakan gonadotropin. Dosis gonadotropin yang digunakan sangat tergantung pada usia
pasien, berat badan, nilai FSH, dan jumlah folikel antral.
Protokol lain yang digunakan dalam stimulasi ovarium adalah short protokol dimana
pemberian GnRH agonis dilakukan pada hari ke-2 haid bersamaan dengan pemberian
gonadotropin. Jika dibandingkan dengan long protocol, metode ini memiliki angkan
kehamilan yang lebih rendah.
Selama proses stimulasi ovarium, dilakukan tindakan monitoring untuk memantau jumlah
dan pertumbuhan folikel melalui USG serta pemeriksaan hormon estradiol. Pengaturan dosis
obat, kegagalan stimulasi, dan penetuan waktu pengambilan oosit sangat bergatung pada
monitoring ini. untuk maturasi oosit 34-36 jam sebelum pengambilan oosit dilakukan
penyuntikan hCG rekombinan atau dari urin.
Luteal Support
Pemberian GnRH agonis saat stimulasi ovarium akan menyebabkan defek fase luteal
sehingga dapat menggangu proses implantasi. Untuk mengatasi hal ini diperlukan pemberian
hormon progesteron, kombinasi estrogen-progesteron, atau hCG dalam berbagai bentuk
sediaan, dosis, maupun rute pemberian. Meta analisis membuktikan bahwa pemberian
progesteron sama efektifnya dengan hCG dalam meningkatkan kemungkinan kehamilan
pascaFIV, sedangkan perubahan preparat estrogen oral pascaFIV akan meningkatan
keberhasilan implantasi.
Kriopreservasi
Tindakan kriopreservasi sperma dan embrio merupakan hal penting dalam teknologi
reproduksi berbantu (TRB). Dengan ditemukannya berbagai teknik baru dalam stimulasi
ovarium, maka sering dijumpai jumlah oosit dan embrio yang banyak sehingga diperlukan
teknik kriopreservasi untuk melakukan simpan beku embrio yang tersisa. Teknik ini juga
penting pada kasus-kasus hiperstimulasi ovarium yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
transfer embrio. Berbagai teknik yang digunakan dalam hal ini yaitu slow freezing, rapid
freezing, atau vitrifikasi.
Hal penting yang harus dihadapi dalam prosedur simpan beku terutama adalah keamanan
penyimpanan, kemungkinan transmisi penyakit, dan keberhasilan atas viabilitas embrio
setelah thawing.