Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia, kelenjar
prostat juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada
tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang
disertai gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka
morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat
sering terjadi pada pria diatas usia 50 tahun (50-79tahun) dan menyebabkan
penurunan kualitas hidup seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan
kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada
perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi
kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian bermanifes
dengan gejala klinik. Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan
terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat
dilakukan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara
konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1. II. KELENJAR PROSTAT A. Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang
lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh
4 cm dengan tebal 2,5 cm1. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum puboprostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior
prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum.
Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup
keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai
suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus
ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum
didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada
permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk
oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal.
Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit
dan fasia lebih sedikit2. Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra Menurut klasifikasi
Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan
lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas 4 bagian utama2:
Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini merupakan
sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi
menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4). Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian
prostat yang glandular, membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ
ini. Secara skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian
distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima
bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini
bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal. Zona sentral, yang merupakan
25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang
berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum
dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra

prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang
berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup
melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular. Zona transisional, yang
merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5 %), terletak tepat pada batas
distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder dan dibentuk oleh bagian
proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar periuretral bersama-sama kadangkadang disebut sebagai kelenjar preprostatik. B. Epidemiologi Hiperplasia prostat
merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun.
Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu
sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hyperplasia1. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran
prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun3. C. Etiologi Belum diketahui secara
pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat antara lain1: Teori Hormonal Teori ini dibuktikan
bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya
regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen
juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi
perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon
estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada
stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi
terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk
perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Dari
berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam
keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon
androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian
perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen. Teori Growth Factor (faktor
pertumbuhan) Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming
growth factor, transforming growth 1, transforming growth factor 2, dan epidermal
growth factor. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya
Sel yang Mati Teori Sel (stem cell hypothesis) Seperti pada organ lain, prostat dalam
hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan
keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati,

keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan


prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada
keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi
lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat
menjadi berlebihan. Teori Dihidro Testosteron (DHT) Testosteron yang dihasilkan
oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk
dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon
binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat
melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel,
testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron
yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor
complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi
reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian
melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan
menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
prostat. Teori Reawakening Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan
pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu
mekanisme glandular budding kemudian bercabang yang menyebabkan
timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan
glandular morphogenesis yang terjadi pada embrio dengan perkembangan
prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya reawakening yaitu jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral
dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. Selain teori-teori di atas masih
banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori
tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum
diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori
peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas
hubungan sebab-akibatnya. D. Patofisiologi Pada BPH terdapat dua komponen yang
berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen
dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar
periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan
aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus
otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos
prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi
syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen
mekanik1. Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi
uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini

disebut fase kompensasi1. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1. Dengan
semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh
bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal1. E. Gambaran Klinis Gejala Klinis Gejala hyperplasia prostat menurut
Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika karena didesak
oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya
antara lain1: 1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) 2. Pancaran
miksi yang lemah (Poor stream) 3. Miksi terputus (Intermittency) 4. Menetes pada
akhir miksi (Terminal dribbling) 5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of
incomplete bladder emptying) Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita
hipeplasia prostat masih tergantung tiga factor, yaitu: a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat c. Kekuatan
kontraksi otot detrusor Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica
urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena
hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum
penuh., gejalanya ialah1 : 1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency) 2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency) 4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) Untuk
menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu
skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor
International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor
American Urological Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor
Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien
diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan
20-35 berat3. Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa
pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk
gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat.
Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak
menilai sendiri derajat keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor
Madsen-Iversen digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo3.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE)
sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang
keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya

kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat.
Pada perabaan prostat harus diperhatikan1: a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia
prostat konsistensinya kenyal) b. Simetris/ asimetris c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba e. Sulcus medianus prostate f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan
nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu
prostat akan teraba krepitasi1. Kelenjar prostat Normal Kelenjar prostat Hiperplasia,
ada pendorongan prostat kearah rectum Kelenjar prostat Karsinoma,teraba nodul
keras Gambar 4. Digital Rectal Examination , Kelenjar Prostat Normal, Hiperplasia,
Karsinoma2. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica
urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus
mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior,
fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus1. F. pemeriksaan
Penunjang Pemeriksaan Laboratorium1 Darah Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood
urea nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), Gula darah Urine Kultur urin dan
test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis, sedimen Pemeriksaan
pencitraan1 a. Foto polos abdomen (BNO) Dari sini dapat diperoleh keterangan
mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau
divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke
tulang dari carsinoma prostat b. Pielografi Intravena (IVP) Pembesaran prostat dapat
dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung kemih atau ujung
distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula
mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun
hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli). Foto
setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin. c. Sistogram retrograde Memberikan
gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena retensi urin. d.
Transrektal Ultrasonografi (TRUS) Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur
residu urin e. MRI atau CT scan Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat
pembesaran prostat dan dengan bermacam macam potongan Pemeriksaan lain1
Uroflowmetri Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan
oleh daya kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka
normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati
20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Pemeriksaan Tekanan Pancaran
(Pressure Flow Studies) Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar
pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah
obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan
kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan

Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica


dan laju pancaran urin dapat diukur. Pemeriksaan Volume Residu Urin Volume
residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana
dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih
tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)
dengan membuat foto post voiding atau USG. G. Diagnosis Diagnosis hiperplasia
prostat dapat ditegakkan melalui1: 1. Anamnesis : adanya gejala obstruktif dan
gejala iritatif 2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba
sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan
menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas
semakin sulit untuk diraba. 3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam
menentukan ada tidaknya komplikasi H. Diagnosis Banding Pada pasien dengan
keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3: 1. Struktur uretra 2. Kontraktur
leher vesika 3. Batu buli-buli kecil 4. Kanker prostat 5. Kelemahan detrusor,
misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat
parasimpatolitik. Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat
disebabkan oleh : 1. Instabilitas detrusor 2. Karsinoma in situ vesika 3. Infeksi
saluran kemih 4. Prostatitis 5. Batu ureter distal 6. Batu vesika kecil. I. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut1 a. Inkontinensia Paradoks b. Batu
Kandung Kemih c. Hematuria d. Sistitis e. Pielonefritis f. Retensi Urin Akut Atau
Kronik g. Refluks Vesiko-Ureter h. Hidroureter i. Hidronefrosis j. Gagal Ginjal J.
Penatalaksanaan Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak
diperlukan teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga
terapi bedah minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat
keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa
watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal
invasif3. Watchful Waiting Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan
keluhan ringan (skor IPSS <>3. 1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum
setelah makan malam agar mengurangi nokturia. 2. Menghindari obat-obat
parasimpatolitik (mis: dekongestan). 3. Mengurangi kopi. 4. Melarang minum
minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan
untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS. 5.
Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan. Terapi Medikamentosa Pilihan
terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga
macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan
penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi3.
Penghambat adrenergik a-1 Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1
yang banyak ditemukan pada otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan
kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga
tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi.
Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif cepat. Efek samping
dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan
pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan

dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan,


seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik
mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya
volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat
dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2.
Penghambat enzim 5a reduktase Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim
5a reduktase, sehingga testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron.
Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak
akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom
setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido
dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari. Kombinasi
penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase Terapi kombinasi
penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase pertama kali
dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor dan
peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1.
Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih
kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Fitoterapi Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan
poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut
mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum,
Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan
Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan
keamanannya3. Terapi Bedah Konvensional Prostatektomi digolongkan dalam 2
golongan3: 1. Prostatektomi terbuka : a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis
(Freyer) Prostatektomi retropubik (Terence Millin) Prostatektomi perinealis (Young) 2.
Prostatektomi tertutup : a. Reseksi transuretral. Bedah beku Open simple
prostatectomy Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat
terlalu besar, di atas 100 gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.
Dapat dilakukan dengan teknik transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka
memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada TUR-P1-23. Terapi
Invasif Minimal Transurethral resection of the prostate (TUR-P) Prinsip TUR-P adalah
menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi
dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih
merupakan baku emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi
dapat dilakukan dengan endoskopi3. Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi
jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia
(<1%),>3. Transurethral incision of the prostate (TUIP) Dilakukan terhadap
penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat kecil,
yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior (leher kandung kemih yang
tinggi)3. Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi
adalah
ejakulasi
retrograd3.

Anda mungkin juga menyukai