Anda di halaman 1dari 25

STATUS RESPONSI

(Cor Pulmonale Kronik)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Responsi Kepanitraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Jantung

Disusun Oleh :
Gustafianza Fachresha Pradana
I11108007

SMF Ilmu Penyakit Jantung


Rumah Sakit tingkat II Dustira Cimahi
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Cimahi
2016
1

BAB I
PENDAHULUAN

Cor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi


dari ventrikel kanan yang disebabkan oleh adanya gangguan primer dari system
pernapasan. Hipertensi pulmonal merupakan factor penghubung tersering antara
disfungsi paru-paru dan jantung dalam cor pulmonal. Meskipun cor pulmonal
seringkali berlangsung kronis dengan progress yang lambat, onset akut cor
pulmonal dapat memburuk dengan komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
Cor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus
penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih
dari 50% kasus cor pulmonale.
Sebaliknya, cor pulmonale akut biasanya menjadi kelainan sekunder
akibat adanya emboli paru massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab
paling sering dari cor pulmonale akut yang mengancam jiwa pada orang dewasa.
Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat dalam setahun akibat
emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal
jantung kanan.
Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antar tiap negara,
tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk
penyakit paru-paru yang bervariasi.
2

BAB I
PENYAJIAN KASUS

Nama Penderita : Ny. A Ruang : III No.Cat. Med :


Jenis kelamin : Perempuan Umur : 57 tahun Agama : Islam
Jabatan/Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Baros

Diagnosa/Diagnosa Kerja
Dokter : Cor Pulmonale Kronik
Co-Ass : Cor Pulmonale Kronik

A. ANAMNESA

Keluhan Utama : Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan perutnya yang dirasa semakin membesar
sejak 1 bulan SMRS. Namun pasien mengaku tidak ada rasa nyeri di perut akibat
pembesaran tersebut. Keluhan perut membesar tersebut didahului dengan rasa
sesak nafas yang muncul sejak ± 2 bulan SMRS, namun mulai memberat sejak 1
bulan terakhir. Sesak yang dirasa pasien memberat apabila pasien sedang
berbaring, dan berkurang apabila pasien duduk atau bersandar. Mual (+), Muntah
(-), Nafsu makan normal, badan lemah (+), Batuk (+).

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan perut membesar sebelumnya.
Namun pasien pernah menderita TB Paru yang hanya menjalani pengobatan
selama 3 bulan dan berhenti sekitar dua bulan SMRS. Pasien mengaku tidak
memiliki penyakit jantung sebelumnya. Pasien juga mengaku tidak memiliki
riwayat Hipertensi dan Penyakit Diabetes Melitus.
3

Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 30 tahun. Namun pasien tidak
pernah mengkonsumsi alkohol. Pasien juga jarang berolah raga.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien tidak memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan
yang sama. Namun pasien mengaku pernah memiliki kerabat yang meninggal
akibat menderita penyakit jantung.

Keluhan-keluhan Lain :
Kulit : Tidak ada
Ketiak : Tidak ada
Keluhan kelenjar limfe : Tidak ada
Keluhan kel. endokrin : Tidak ada
Haid : Tidak ada
DM : Tidak ada
Tiroid : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
4

B. STATUS PRAESEN
I. Kesan Umum
a. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Watak : Kooperatif
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Pergerakan : Aktif
Tidur : Dengan 2 bantal
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 55 Kg
Keadaan Gizi : IMT 21,4 (normal)
Bentuk Badan : Piknikus
Umur Yang ditaksir : Sesuai
Kulit : Sawo matang

b. Keadaan Sirkulasi
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 36,2 C
Keringat Dingin : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada

c. Keadaan Pernafasan
Tipe : Abdominothorakal
Frekuensi : 28 x/menit
Corak : Cepat dangkal
Hawa/bau Nafas: Normal
Bunyi Nafas : Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

4
5

II. PEMERIKSAAN KHUSUS


a. Kepala
1. Tengkorak
- Inspeksi : Simetris, normosefal
- Palpasi : Simetris
2. Muka
- Inspeksi : simetris
- Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Mata
- Letak : Simetris
- Kelopak Mata : tidak ada kelainan
- Kornea : Tidak ada kelainan
- Refleks Kornea : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pupil : Bulat, Isokor 3cm/3cm
- Reaksi konvergensi : +/+
- Lensa Mata : Tidak ada kelainan
- Sklera : Ikterik +/+
- Konjungtiva : Anemi -/-
- Iris : Tidak ada kelainan, sinekia -/-
- Pergerakan : Normal ke segala arah
- Reaksi Cahaya : Direk +/+, Indirek +/+
- Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Telinga
- Inspeksi : Simetris, massa (-), fistula (-)
- Palpasi : Tidak ada kelainan
- Pendengaran : Tidak ada gangguan
5. Hidung
- Inspeksi : Rhinore -/-, PCH -/-
- Sumbatan : Tidak ada
- Ingus : Tidak ada

5
6

6. Bibir
- Sianosis : Tidak ada
- Khelitis : Tidak ada
- Stomatitis Angularis : Tidak ada
- Rhagaden : Tidak ada
- Perlecha : Tidak ada
7. Gigi dan Gusi: Perdarahan Gusi (-)
8. Lidah
- Besar : Normal, tidak ada kelainan
- Bentuk : Tidak ada kelainan
- Pergerakan : Tremor (-)
- Permukaan : Mukosa basah, tepi tidak hiperemis
9. Rongga Mulut
- Hiperemis : Tidak ada
- Lichen : Tidak ada
- Apthea : Tidak ada
- Bercak : Tidak ada
10. Rongga Leher
- Selaput lendir : Sulit dinilai
- Dinding belakang pharinx : Sulit dinilai
- Tonsil : Sulit dinilai

b. Leher
1. Inspeksi
- Trakhea : Tidak terlihat deviasi
- Kelenjar tiroid : Tak terlihat membesar
- Pembesaran Vena : tidak ada pembesaran vena
- Pulsasi Vena : Terlihat
2. Palpasi
- KGB : Tidak teraba membesar
- Kelenjar tiroid : Tidak ada kelainan

6
7

- Tumor : Tidak ada


- Otot Leher : Tidak ada kelainan
- Kaku Kuduk : Tidak ada
3. Pemeriksaan Tekanan Vena jugularis : 5 + 3 cmH2O
Hepato jugular refluks : terdapat peningkatan

c. Ketiak
1. Inspeksi
- Rambut ketiak : tidak dilakukan pemeriksaan
- Tumor : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Palpasi
- KGB : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Tumor : Tidak dilakukan pemeriksaan

d. Pemeriksaan Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
- Bentuk Umum : Simetris, tidak ada deformitas
- Sela Iga : Tidak ada pelebaran/penyempitan
- Diameter Frontal Sagital : diameter frontal < diameter sagital
- Pergerakan : Simetris
- Muskulatur : Tidak ada kelainan
- Kulit : Tidak ada kelainan
- Tumor : Tidak ada
- Ictus Kordis : Tidak terlihat
- Pulsasi lain : Tidak ada
- Pelebaran Vena : Tidak ada

2. Palpasi
- Kulit : Tidak ada kelainan

7
8

- Muskulatur : Tidak ada kelainan


- Mamame : Tidak ada kelainan
- Sela Iga : Tidak ada pelebaran/penyempitan
- Thorax/Paru
- Pergerakan : Simetris
- Vokal Fremitus : Normal
- Ictus Cordis : teraba
- Lokalisasi : -
- Intensitas : teraba reguler
- Pelebaran : teraba 2 cm lateral linea midclavicula sinistra ICS VI
- Thrill :-
3. Perkusi
- Paru-Paru Kanan Kiri
- Perkusi Perbandingan : Sonor Redup
- Batas paru Hepar : ICS V, line midclavikularis dextra
- Peranjakan : Satu sela iga
- Jantung
Batas kanan : ICS IV linea Midklavikula dextra
Batas kiri : ICS VI linea Midklavikula sinistra
Batas Atas : ICS II Linea parasternalis Sinistra, ICS II Linea parasternalis
Sinistra
4. Auskultasi
- Paru-Paru Kanan Kiri
Suara pernafasan : VBS Kanan = Kiri
Suara tambahan : Ronkhi +/+, Wheezing -/-
Vocal Resonance : Kuat Melemah
- Jantung
Irama : Reguler
Bunyi Jantung : M1 >M2 P1 > P2
T1 > T2 A1 > A2
Bunyi Jantung tambahan : Ada, gallop (-), murmur (-)

8
9

Bising Jantung : Tidak ada


Bising gesek jantung : Tidak ada

Thorax Belakang
1. Inspeksi
- Bentuk : Simetris, deformitas –
- Pergerakan : Simetris
- Kulit : Tidak ada kelainan, lesi –
- Muskulatur : Tidak ada kelainan

2. Palpasi Kanan Kiri


- Sela Iga : Tidak ada pelebaran/penyempitan
- Muskulatur : Tidak ada kelainan
- Vocal fremitus : Normal Kanan = Kiri

3. Perkusi Kanan Kiri


Perkusi Perbandingan : Sonor Redup

4. Auskultasi
- Pernafasan : VBS Kanan = Kiri
- Suara tambahan : Ronkhi +/+, Wheezing -/-
- Vocal Resonance : Kuat Melemah

e. Abdomen
1. Inspeksi
- Bentuk : Cembung
- Otot dinding perut : Tidak tegang, supel
- Kulit : Tidak ada kelainan
- Umbilicus : Tidak menonjol
- Pergerakan Usus : Tidak terlihat

9
10

- Pulsasi : Tidak terlihat


- Venektasi : Tidak ada

2. Auskultasi
- Bising usus : (+) Frekuensi normal
- Bruit : Tidak ada
- Lain-lain : Tidak ada

3. Perkusi
- Suara Perkusi : tympani
- Asites : Ada
- Pekak Samping : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pekak Pindah : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Fluid Wave : Ada

4. Palpasi
- Dinding Perut : Tidak tegang
- Nyeri tekan lokaL : tidak ada
- Nyeri tekan difus : Tidak ada
- Nyeri lepas : Tidak ada
- Defans muscular : Tidak ada
- Hepar
Besar : Hepar teraba 3 jari di bawah arkus kosta
Konsistensi : Lembut
Permukaan : rata
Tepi : tumpul
Nyeri tekan :-
- Lien tidak terabapembesaran
- Tumor/massa : Tidak teraba
- Ginjal : Tidak teraba
-

10
11

f. CVA : nyeri ketok -/-

g. Lipat Paha
1. Inspeksi
Tumor : tidak dilakukan pemeriksaan
KGB : tidak dilakukan pemeriksaan
Hernia : tidak dilakukan pemeriks
2. Palpasi
Tumor : tidak dilakukan pemeriksaan
KGB : tidak dilakukan pemeriksaan
Pulsasi A. Femoralis: tidak dilakukan pemeriksaan

3. Auskultasi
A. Femoralis : tidak dilakukan pemeriksaan

h. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan


i. Sakrum : tidak ada kelainan
j. Anus dan rektum : tidak dilakukan pemeriksaan
k. Ekstremitas atas-bawah
1. Inspeksi Atas Bawah
- Bentuk : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Pergerakan : Tidak terbatas Tidak terbatas
- Kulit : Kesan Ikterik Kesan Ikterik
- Otot : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Edema : Tidak Ada Tidak Ada
- Clubbing finger : Tidak ada Tidak ada
- Palmar eritem : Tidak ada Tidak ada
2. Palpasi
- Nyeri tekan : Tidak ada Tidak ada
- Tumor : Tidak ada Tidak ada
- Edema : Pitting Edema Pitting Edema

11
12

- Pulsasi arteri : Teraba Teraba

l. Sendi-sendi
1. Inspeksi
- Kelainan bentuk : Tidak ada
- Tanda radang : Tidak ada
- Lain-lain : Tidak ada
2. Palpasi
- Nyeri tekan : Tidak ada
- Fluktuasi : Tidak ada
- Lain-lain : Tidak ada

m. Neurologik : Tidak dilakukan pemeriksaan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium Darah

- Hb : 14,4 g/dL
-
Eritrosit : 4,7 x 106/mm2
- Leukosit : 11 x 103/mm2
- Hematokrit : 44,0 %
- Trombosit : 128 x 103/mm2
- Natrium : 131
- Kalium : 4,0
- Klorida : 96
- Ureum : 42
- Kreatinin : 1,1
- Trigliserida : 80
- GDS : 96

12
13

Elektro Kardio Grafi

- Irama Sinus
- Ritme Reguler
- Right Axis Deviation
- Right Bundle Branch Block di Lead V1
- Low voltage di Lead I, aVL, V6
- Right Ventrikel Hipertofi

Rontgen Thorak
- Sudut Kosto-frenikus kiri tidak ada
- Tampak perselubungan pada bagian bawah dari paru kiri
- Tampak lesi berawan pada paru kiri bagian atas
- Tampak pergeseran trakhea ke arah kanan
- Tampak peningkatan corak bronkhus kanan
- Batas jantung kiri sulit dinilai
- Batas jantung kanan tampak melebar
Kesimpulan : Kesan pembesaran ventrikel kiri, deviasi trakhea ke kanan, efusi pleura
kiri

C. Resume

Pasien datang dengan keluhan perutnya yang dirasa semakin membesar sejak 1 bulan
SMRS. Namun pasien mengaku tidak ada rasa nyeri di perut akibat pembesaran tersebut.
Keluhan perut membesar tersebut didahului dengan rasa sesak nafas yang muncul sejak ± 2
bulan SMRS, namun mulai memberat sejak 1 bulan terakhir. Sesak yang dirasa pasien
memberat apabila pasien sedang berbaring, dan berkurang apabila pasien duduk atau
bersandar. Mual (+), Muntah (-), Nafsu makan normal, badan lemah (+), Batuk (+).
Pasien tidak pernah mengalami keluhan perut membesar sebelumnya. Namun pasien
pernah menderita TB Paru yang hanya menjalani pengobatan selama 3 bulan dan berhenti
sekitar dua bulan SMRS. Pasien mengaku tidak memiliki penyakit jantung sebelumnya.
Pasien juga mengaku tidak memiliki riwayat Hipertensi dan Penyakit Diabetes Melitus.

13
14

Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 30 tahun. Namun pasien tidak pernah
mengkonsumsi alkohol. Pasien juga jarang berolah raga.
Pasien tidak memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama.
Namun pasien mengaku pernah memiliki kerabat yang meninggal akibat menderita penyakit
jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan JVP 5 + 3 cmH2O, sclera ikterik
kanan dan kiri, ascites pada perut disertai dengan shifting dullness, kesan ikterik pada
ekstremitas, dan terdapat hepatojugular refluks. Pada pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan peningkatan leukosit sejumlah 11.000 mm2 dan penurunan trombosit 128.000
mm2. Pemeriksaan EKG di dapatkan perubahan axis jantung ke kanan diserta Right
Ventrikel Hipertrofi. Demikian pula pada foto rontgen thoraks didapatkan kesan pembesaran
ventrikel kanan

Usulan Pemeriksaan

- FUNGSI HATI
Dapat terjadi peningkatan SGOT - SGPT
- ECHOCARDIOGRAPHY
Fraksi ejeksi menurun, RVH

D. Penatalaksanaan

Non Medikamentosa :

- Tirah Baring dengan posisi kepala lebih tinggi

- Nassal Kanul O2 3 Lpm

- Pasang Kateter Urin

- Balance Cairan Tubuh

- Konsul bagian Bedah untuk pemasangan Water Shield Drainage apabila sesak
semakin hebat

14
15

Medikamentosa :

- Rawat bersama dengan bagian Paru untuk penatalaksanaan TB paru putus obat pada
pasien

- Inj. Furosemide 3 x II amp/hari Intravena 20mg

- Inj. Ondansetron 2 x 1 amp/hari Intravena 4 mg

- P.O Verapamil 3 x 1 tab/hari 120mg

E. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam


Quo ad Sanactionam : Dubia ad Malam
Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

15
16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi 1,2

Cor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan yang disebabkan oleh adanya gangguan primer dari system pernapasan.
Hipertensi pulmonal merupakan factor penghubung tersering antara disfungsi paru-paru dan
jantung dalam cor pulmonal. Kelainan pada ventrikel kanan yang disebabkan oleh adanya
kelainan utama pada ventrikel kiri tidak dianggap sebagai cor pulmonal, tetapi cor pulmonal
dapat berkembang dan menjadi penyebab berbagai proses penyakit pada kardiopulmonal.
Meskipun cor pulmonal seringkali berlangsung kronis dengan progress yang lambat, onset
akut cor pulmonal dapat memburuk dengan komplikasi yang dapat mengancam jiwa.

2. Epidemiologi 1,3

Meskipun prevalensi PPOK di Amerika Serikat terdapat sekitar 15 juta, prevalensi


yang tepat dari cor pulmonale sulit untuk ditentukan karena tidak terjadi pada semua kasus
PPOK, pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk mendeteksi adanya hipertensi pulmonal.
Cor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit
jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena
bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus cor pulmonale.
Sebaliknya, cor pulmonale akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat adanya
emboli paru massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering dari cor
pulmonale akut yang mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar 50.000 angka
kematian di Amerika Serikat dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya
terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan.
Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antar tiap negara, tergantung pada
prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk penyakit paru-paru yang
bervariasi.

16
17

3. Etiologi dan Patogenesis 1,4

Cor pulmonale biasanya timbul kronis, namun terdapat 2 keadaan yang dapat
menyebabkan cor pulmonale akut, antara lain : emboli paru (lebih sering) dan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS). Patofisiologi yang mendasari emboli paru dalam
menimbulkan cor pulmonale adalah adanya peningkatan mendadak resistensi pulmonal.
Dalam ARDS terdapat dua factor yang menyebabkan overload ventrikel kanan, yaitu proses
patologi dari sindrom itu sendiri dan adanya mekanisme ventilasi. Pada mekanisme
ventilasi, volume udara tidal yang semakin meninggi membutuhkan tekanan transpulmonal
yang lebih tinggi.
Dalam kasus cor pulmonale kronik pada umumnya terjadi hipertropi ventrikel kanan.
Dalam cor pulmonale akut dapat terjadi dilatasi ventrikel kanan. Dalam kasus ARDS, cor
pulmonale dapat berpotensi meningkatkan kemungkinan pergeseran shunt kanan ke kiri
melalui paten foramen ovale dan mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Pelebaran atau hipertropi ventrikel kanan pada cor pulmonale kronis adalah efek
langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis dan hipertensi
arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan. Ketika
ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban kerja melalui dilatasi atau hipertropi,
kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi.
Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang
akan menyebabkan cor pulmonale, mekanisme tersebut antara lain :
1. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia darah, hal ini dapat
menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika hipertensi pulmonal tersebut cukup parah
akan dapat menyebabkan cor pulmonale
2. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada darah seperti :
polisitemia vera, sickle cell disease, makroglobulinemia
3. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru
4. Hipertensi pulmonal idiopatik primer
Mekanisme diatas dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis.

Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel kiri yang
lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa tekanan. Ventrikel kanan

17
18

memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload dibandingkan dengan afterload. Dengan
adanya peningkatan afterload, ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan sistolik untuk
menjaga gradient. Pada titik tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih lanjut
menyebabkan dilatasi ventrikel kanan yang signifikan.
Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic ventrikel kiri
menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output ventrikel kiri menyebabkan
penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan menurunnya aliran darah pada arteri
koronaria termasuk arteri koronaria kanan yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan.
Hal ini menjadi suatu lingkaran setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikel
kanan.

4. Gambaran Klinis 1,5

A. Gejala
Manifestasi klinis dari cor pulmonale biasanya tidak spesifik. Beberapa gejala
bisanya tidak terlalu tampak pada stadium awal penyakit ini.
Pasien dapat mengeluhkan kelelahan, denyut jantung yang cepat dan batuk. Nyeri
dada juga dapat terjadi dan mungkin juga karena iskemik ventrikel kanan. Beberapa gejala
neurologis juga dapat timbul akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.
Hemoptisis dapat terjadi akibat adanya rupture arteri pulmonalis yang berdilatasi
maupun terjadi atherosclerosis.
Pada tahap lanjut, dapat terjadi kongestif hepar sekunder karena kegagalan ventrikel
kanan menyebabkan anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut kanan atas, serta kekuningan.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat menyebabkan peningkatan tekanan
vena perifer dan tekanan kapiler. Dengan adanya peningkatan gradient tekanan hidrostatik
mengakibatkan terjadinya transudasi cairan yang terakumulasi menjadi edema perifer.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan filtrasi natrium karena
hipoksemia memainkan peran penting dalam edema perifer pada pasien dengan cor
pulmonale dengan peningkatan tekanan atrium kanan.

18
19

B. Tanda
Dari pemeriksaan fisik dapat mencerminkan penyakit paru yang mendasari
terjadinya cor pulmonal seperti hipertensi pulmonal, hipertropi ventrikel kanan, dan
kegagalan ventrikel kanan. Peningkatan diameter dada, sesak yang tampak dengan retraksi
dinding dada, distensi vena leher dan sianosis dapat terlihat.
Pada auskultasi, lapangan paru dapat terdengar wheezing maupun ronkhi. Suara
jantung dua yang terpisah dapat terdengar pada tahap awal. Bising ejeksi sistolik diatas area
arteri pulmonalis dapat terdengar pada tahap penyakit yang lebih lanjut bersamaan dengan
bising regugirtasi pulmonal diastolic.
Pada perkusi, suara hipersonor dapat menjadi tanda PPOK yang mendasari
timbulnya cor pulmonal, asites dapat timbul pada kasus yang berat.

5. Diagnosis 1

Pendekatan umum untuk mendiagnosa cor pulmonal dan untuk menyelidiki


etiologinya dimulai dengan pemeriksaan laboratorium rutin, radiografi dada dan
elektrokardiografi. Echocardiografi juga memberikan informasi yang penting tentang
penyakit dan etiologinya. Kateterisasi jantung kanan adalah pemeriksaan yang paling akurat
untuk mengkonfirmasi diagnosis cor pulmonale dan penyakit yang mendasarinya.
Pada pasien dengan cor pulmonale kronis, rontgen dada dapat menunjukkan
pembesaran pembuluh darah paru sentral. Hipertensi pulmonal harus dicurigai jika diameter
pembuluh arteri pulmonalis kanan lebih dari 16 mm dan arteri pulmonalis kiri lebih dari 18
mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan diameter transversal dari
bayangan jantung ke kanan pada proyeksi posteroanterior dan mengisi ruang udara
restrosternal pada proyeksi lateral. Pada pemeriksaan dengan elektrokardiograph, tampak
adanya hipertropi ventrikel kanan.

6. Diagnosis Banding 1

Dalam mendiagnosa cor pulmonale, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan


penyakit tromboemboli dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi. Diagnosis banding lain
untuk cor pulmonale antara lain :
1. Gagal jantung kongestif

19
20

2. Perikarditis konstriktif
3. Kardiomiopati infiltrative
4. Stenosis pulmonal
5. Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
6. Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
7. Defek septum ventrikel

7. Penatalaksanaan 1,6

Terapi medis untuk cor pulmonale kronis umumnya difokuskan pada pengobatan
penyakit paru yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi serta fungsi ventrikel kanan
dengan meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan mengurangi vasokonstriksi
pulmonal. Pada kasus cor pulmonale akut dilakukan terapi untuk menstabilkan
hemodinamika pasien. Pada cor pulmonale akut dengan gagal ventrikel kanan meliputi
pemberian cairan dan vasokonstriktor untuk mempertahankan tekanan darah yang cukup.
Untuk tromboemboli paru yang berat pertimbangkan pemberian antikoagulasi, agen
trombolitik dan embolectomy terutama jika kolaps sirkulasi tidak dapat dicegah. Juga
pertimbangkan pemberian bronkodilator dan pengobatan infeksi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan agen steroid ataupun imunosupresant pada
penyakit infiltratif dan fibrosis paru.
Terapi oksigen, diuretic, vasodilator dan antikoagulasi merupakan modalitas berbeda
yang dapat digunakan pada terapi jangka panjang cor pulmonale kronik. Terapi oksigen
sangat penting pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang
mendasarinya. Pada cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2) cenderung berada
dibawah 55 mmHg dan menurun lebih lanjut pada saat beraktivitas ataupun tidur. Terapi
oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia yang kemudian dapat
meningkatkan curah jantung, meredakan hipoksemia jaringan dan meningkatkan perfusi
ginjal. Pada suatu penelitian dengan percobaan terapi oksigen nocturnal secara acak
menunjukkan bahwa terapi oksigen dengan aliran rendah yang terus menerus untuk pasien
dengan PPOK berat memberikan penurunan angka kematian yang signifikan.
Secara umum pada pasien dengan PPOK terapi oksigen jangka panjang dianjurkan
ketika PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2 kurang dari 88%. Namun, pada kasus

20
21

cor pulmonale dengan gangguan fungsi mental maupun fungsi kognitif, terapi oksigen dapat
dilakukan meskipun PaO2 lebih dari 55 mmHg atau saturasi O2 lebih dari 88%.
Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi peningkatan volume pengisian ventrikel
kanan pada pasien dengan cor pulmonale kronik. Agen ini dapat meningkatkan fungsi kedua
ventrikel kanan dan kiri. Namun, diuretic dapat menimbulkan efek yang merugikan
hemodinamik jika tidak digunkan secara hati-hati. Deplesi volume yang berlebihan dapat
menyebabkan penurunan curah jantung.
Calsium channel blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonalis
yang telah terbukti keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang cor pulmonale kronis
yang diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis. Glikosida jantung seperti digitalis dapat
digunakan pada gagal ventrikel kanan karena dapat meningkatkan fungsi ventrikel kanan
namun harus digunankan secara hati-hati dan dihindari selama episode akut cor pulmonale.
Indikasi utama pemberian antikoagulan oral dalam pengobatan cor pulmonale adalah adanya
tromboemboli yang mendasari ataupun adanya hipertensi arteri pulmonal primer.
Methilxanthin seperti teofilin dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan untuk cor
pulmonale kronis dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Selain efek bronkodilator
methilxanthine dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan menyebabkan efek
vasodilatasi ringan pada paru. Teofilin memiliki efek inotropik lemah, dengan demikian
dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri. Teofilin dosis rendah disarankan untuk
mendapatkan efek antiinflamasi yang membantu untuk mengontrol penyakit paru yang
mendasari seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan efek
mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan memiliki
efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara intravena dan
iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan
endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi pulmonal
primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis,
dan peningkatan hemodinamika. Sildenafil merupakan inhibitor PDE5 telah dipelajari secara
intensif dan telah disetujui untuk pengobatan hipertensi pulmonal. Sildenafil secara selektif
dapat merelaksasikan otot polos pembuluh darah vascular paru. Warfarin merupakan
antikoagulan yang dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi tromboemboli. Peran

21
22

menguntungkan dari penggunaan antikoagulan dalam mengurangi gejala dan angka


kematian pada pasien telah dibuktikan dalam beberapa penelitian.

8. Komplikasi 1

Komplikasi cor pulmonale termasuk sinkop, hipoksia, edema bahkan kematian.

9. Prognosis 1,11

Prognosis cor pulmonale bergantung pada patologi yang mendasarinya.


Perkembangan cor pulmonale sebagai hasil dari penyakit paru primer biasanya mempunyai
prognosis yang lebih buruk. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang berkembang menjadi cor pulmonale memiliki kesempatan 30% untuk
bertahan hidup 5 tahun, namun apakah cor pulmonale memiliki nilai prognostic yang
independen atau hanya mencerminkan tingkat keparahan yang mendasari PPOK tersebut
atau penyakit paru lainnya masih belum jelas. Prognosis pada kasus akut karena emboli paru
berat ataupun sindrom gangguan pernapasan akut belum pernah terbukti bergantung pada
ada atau tidaknya cor pulmonale, namun dalam satu penelitian menunjukkan bahwa pada
kasus emboli paru, kor pulmonal dapat menjadi prediktor kematian di rumah sakit. Para
peneliti telah mengumpulkan data demografi, komorbiditas, dan data manifestasi klinis pada
582 pasien rawat inap pada unit gawat darurat maupun unit perawatan intensif dan
didiagnosa menderita emboli paru. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada pasien
emboli paru dengan hemodinamik yang stabil factor-faktor berikut dapat menjadi predictor
independen kematian di rumah sakit, yaitu :
1. Usia yang lebih tua dari 65 tahun
2. Istirahat total selama lebih dari 72 jam
3. Menderita cor pulmonale kronis
4. Sinus takikardia
5. Takipneu

22
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Sovari AA. Cor Pulmonale: Overview of Cor Pulmonale Management. Medscape. 2011.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/154062-overview#showall
2. Weitzenblum E, Chaouat A. Cor Pulmonale. Medscape. 2009;6(3): 177-185. Available
at http://www.medscape.com/medline/abstract/19643833
3. Han MK et all. Pulmonary disease and the heart. Medscape. 2007;116(25): 2992-3005.
Available at http://www.medscape.com/medline/abstract/18086941
4. Mekontso DA et all. Prevalence and prognosis of shunting across patent foramen ovale
during acute respiratory distress syndrome. Medscape. 2010;38(9): 1786-1792.
Available at http://www.medscape.com/medline/abstract/20601861
5. Fedullo PF et all. Chronic thromboembolic pulmonary hypertension. Medscape.
2001;345(20): 1465-1472. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/11794196
6. Anderson JR, Nawarskas JJ. Pharmacotheurapetic management of pulmonary arterial
hypertension. Medscape. 2010;18(3): 148-162. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/20395700
7. Singh TP et all. A randomized, placebo-controlled, double-blind, crossover study to
evaluate the efficacy of oral sildenafil therapy in severe pulmonary artery hypertension.
Medscape. 2006;151(4): 851. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/16569546
8. Hoeper MM. Drug treatment of pulmonary arterial hypertension : current and future
agents. Medscape. 2005;65(10): 1337-1354. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/15977967
9. Hanania NA et all. Tratments for COPD. Medscape. 2005;99. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/16239101
10. Sitbon O et all. Long term response to calcium channel blockers in idhiopathic
pulmonary arterial hipetension. Medscape. 2005;111(23): 3105-3111. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/15939821

23
24

11. Volschan A et all. Predictors of hospital mortality in hemodynamically stable patients


with pulmonary embolism. Medscape. 2009;93(2): 135-140. Available at
http://www.medscape.com/medline/abstract/19838490

24

Anda mungkin juga menyukai