REFERAT MINI
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEI 2015
UNIVERSITAS PATTIMURA
Disusun Oleh:
Fahrianis Laitupa
NIM. 2009-83-027
Pembimbing
dr. Arie Rakhmini
BAB I
PENDAHULUAN
telah dipikirkan bahwa terdapat beberapa inividu yang memiliki kulit rentan
terhadap rosasea selama masa dewasa, ditandai dengan kemampuan yang lebih
untuk mendeteksi dan menanggapi berbagai paparan (pemicu) dibandingkan
dengan kulit wajah subjek normal. Pemicu ini, beberapa diantaranya ada pada
penyebab rosasea, merangsang pengenalan oleh kulit dan/atau reseptor
neurosensorik, yang mengarah ke berbagai respon inflamasi dan neurovaskular.1,2
Meskipun
rosasea
bukan
merupakan
penyakit
yang
mengancam
kehidupan, namun penegakkan diganosis lebih awal serta kombinasi terapi topikal
dan tabir surya yang cepat dan tepat dapat membantu mencegah risiko terapi oral
dan pengeluaran biaya yang lebih besar untuk terapi laser dan sinar. Komplikasi
yang sering terjadi pada pasien rosasea adalah Rinofima, inflamasi okuler, dan
rosasea limfadema. Prognosis dari rosasea umumnya persisten berangsur
bertambah berat melalui episode akut. Namun, adapula yang remisi secara
spontan.1,4,5
BAB II
DIAGNOSIS
b. Tipe Papulopustular
c. Rosasea phymatous
Rosasea tipe ini merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit
dan permukaan nodul yang ireguler di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau
kedua telinga, dan atau kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe
rinofima (suatu perubahan pada hidung) secara histologis yaitu tipe
glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan merupakan tipe yang
lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif), tipe
fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh
darah), dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).3,4,5
d. Rosasea okular
Menifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan
pada kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva
interpalpebra dan telangiektasis konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh
mata terasa perih atau terbakar, kering, dan iritasi dengan sensasi benda
asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan rosasea
phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh karena
itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala okular dan
dilakukan pemeriksaan fisik untuk menetukan tipe rosasea.3,4,5
2. Dermatitis seboroik
Terdapat seboroik, skuama berminyak, dan agak gatal. Tempat
predileksi retroaulikular, alis mata, sulcus nasolabialis.3,4,5
3. Dermatitis perioral
9
4. Lupus Eritematosus
Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun
klinis terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengang batas tegas
dan berbentuk kupu-kupu.3,4,5
10
BAB III
PENATALAKSANAAN
1. Topikal1,3,4,5
a. Tertrasiklin, klindamsin, eritromisin dalam salap 0,5-2,5%. Eritromisin
lebih baik hasinya dibandingan lainnya.
b. Metrinidazole 0,75% gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul dan
pustul.
c. Imidasol sendiri atau dengan ketokonazol atau sulfur 2-5% dapat
dicoba.
d. Isotretinoin krim 0,2% juga bermanfaat.
e. Anti parasit untuk membunuh D. Follikulorum; mislanya lindane,
krotamiton, atau bensoil bensoat.
f. Kortikosteroid kekuatan rendah (krim hidrokortison 1%) hanya
dianjurkan pada stadium berat.
2. Sistemik1,3,4,5
11
12
DAFTAR PUSTAKA
of
Potensial
Correlations
Between
Pathophysiologic
13