Anda di halaman 1dari 2

KATAKAN TIDAK PADA KREDIT KENDARAAN

H. Sri Sulistyanto1
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang
Jika kemarin-kemarin kemacetan menjadi salah satu brand Kota Jakarta, kini
citra tersebut seolah meningkatkan statusnya menjadi nasional. Betapa tidak, hampir
semua kota di Indonesia mengalami kondisi serupa. Bahkan tidak lagi hanya pada jamjam sibuk. Tapi hampir sepanjang hari. Dan, yang mengherankan, meski berbagai
rekayasa tranportasitermasuk seminar, workshop, dan kegiatan sejenis yang
melibatkan banyak pakar transportasitelah dilakukan, masalah tidak kunjung terurai.
Yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat mesti makin berjuang keras menembus
ruwetnya lalu lintas dari hari ke hari.
Krisis Transportasi dan Keuangan
Padahal, secara konseptual, penyelesaiannya mudah. Yakni dengan
menyeimbangkan pertambahan jalan dengan pertumbuhan kendaraan. Jangan seperti
saat ini. Rasionya kian njomplang dari waktu ke waktu. Pertumbuhan kendaraan,
khususnya milik pribadi, melebihi kapasitas jalan raya. Karenanya mudah dimengerti
jika para pakar pun mengusulkan agar Pemerintah segera membenahi transportasi
publik untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi. Asumsinya, kalau layanan
angkutan umum berubah jadi aman dan nyaman, masyarakat akan beralih
memanfaatkan fasilitas publik tersebut.
Benarkah? Meski belum dibuktikan secara empiris, bisa diduga penggunaan
kendaraan pribadi tidak akan serta merta menurun sejalan dengan membaiknya
angkutan umum. Tentu bukan tanpa alasan. Masyarakat sudah terlanjur terlena dengan
nikmatnya kendaraan pribadi. Sampai untuk memiliki kendaraan pribadi pun mereka
rela membayar bunga kredit kendaraan yang relatif tinggi.
Sementara, di sisi lain, bank maupun lembaga pembiayaan berlomba-lomba
menawarkan kredit kepemilikan kendaraan. Dengan iming-iming yang menggiurkan
lagi. Lihat saja, dengan hanya beberapa ratus ribu rupiah, seseorang sudah bisa
membawa pulang kendaraan baru. Bahkan dalam banyak kasus tanpa harus melihat
kemampuan bayar (capacity) calon debiturnya. Maka memang mudah dipahami jika
angka kredit macet (bad debt) bisnis pembiayaan kendaraan pun relatif cukup tinggi.
Sampai-sampai mendorong munculnya profesi baru. Yakni debt collector khusus
kendaraan bermotor.
Tapi, sayangnya, bangsa ini seolah lupa bahwa krisis keuangan di Amerika
Serikat tahun 2008 lalu juga bermula dari kredit macet. Ya, booming bisnis properti di
negara itu membuat pihak terkait dengan mudahnya melepas kredit kepemilikan rumah.
1Dimuat di Radar Semarang 7 April 2015.
1

Semua orang bisa memperoleh pinjaman. Meski sebenarnya tidak mempunyai


kemampuan finansial untuk menyelesaikan kewajibannya. Akibatnya, mudah diduga,
kredit macet sektor properti pun menjadi treager kejatuhan ekonomi AS. Karena, meski
ratusan atau ribuan rumah tersebut bisa ditarik kembali, namun tidak mudah untuk
mencairkannya. Apalagi dalam jangka pendek. Padahal fresh money merupakan darah
bagi perekonomian. Bukan asset berwujud rumah.
Maka, jor-joran kredit kendaraan seperti yang selama ini terjadi di Indonesia
seolah bagaikan bara dalam sekam. Tinggal menunggu waktunya terbakar. Silahkan
memilih mana yang lebih dulu. Krisis transportasi akibat kemacetan lalu lintas atau
krisis keuangan akibat kemacetan kredit kendaraan.
Tentu semua itu bukan sekedar mengada-ada. Bagaimana tidak, menurut
Indonesian Commersial Newsletter (2011), hampir 80% penjualan otomotif di negara
ini dibiayai secara kredit. Hingga, seandainya diasumsikan hanya pembeli tunai yang
punya daya beli dan kredit kendaraan dilarang, maka jalanan Indonesia hanya akan
dipenuhi oleh sekitar 20% dari total kendaraan yang ada saat ini. Bahkan, jika dianggap
50% debitur mempunyai daya beli tunai maka hanya ada 60% dari total kendaraan yang
berseliweran di jalanan.
Angka tersebut tentu cukup signifikan untuk menyelesaikan masalah kemacetan
di Indonesia. Sekaligus menekan resiko kredit macet kepemilikan kendaraan bermotor.
Karena, asumsinya, memang hanya pembeli berdaya beli tunai yang bisa memperoleh
kendaraan. Baik roda dua maupun empat.
Catatan Penutup
Oleh sebab itu memang sudah saatnya Pemerintah tegas mengatur bisnis
pembiayaan kendaraan bermotor. Misalnya dengan menetapkan batas bawah (boogey)
uang muka kredit kepemilikan kendaraan cukup tinggi. Bahkan jika perlu menghapus
jenis usaha itu. Tapi tentu disertai dengan regulasi dan pengawasan yang tidak bisa
diakali lagi seperti saat ini.
Memang bukan kebijakan yang populis. Dan, dalam jangka pendek, pasti akan
menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Namun, dalam jangka panjang, akan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari masalah yang lebih sulit diurai. Yakni krisis
transportasi dan keuangan. Setuju?

Anda mungkin juga menyukai