Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PAPER

Teknologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan


Inseminasi Buatan pada Kerbau

Oleh :
Rosita Wahyu Kartikasari

135130100111011

Louise Emy Violetta

135130100111014

Andrea Puput Handayani

135130100111015

Syaifuddin Rahman

135130100111016

Lidya Ester Parti Siahaan

135130101111007

Regi Abdul Rozzaaq. AS

135130101111008

Alex Haryono Putra

135130107111009
2013 A

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2
1.3 Tujuan ................................................................. ................................................2
BAB II ISI
2.1

Pengertian Inseminasi Buatan

...........................................................................4
2.2 Sejarah Ib Secara Umum ...................................................................................4
2.3 Alat reproduksi betina kerbau...........................................................................5
2.4 Deteksi Birahi Kerbau ........................................................................................8
2.5 Sinkronisasi Estrus Pada Kerbau..................................................................... 9
2.6 Koleksi, Pengenceran, Dan Penanganan Sperma Kerbau ............................11
2.7 Pelaksanaan IB Kerbau ...................................................................................12
2.8 Kelebihan Dan Kekurangan Inseminasi Buatan Pada Kerbau ...................15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................18

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Cipta (2007), perkembangbiakan ternak ternak superior banyak
bergeser dari perkawinan alam kearah rekayasa reproduksi mulai dari inseminasi buatan
(IB), transfer embrio (TE), in vitro fertilisasi (IVF) dan yang terakhir kloning hewan
dan ternak. Pada terknologi reproduksi inseminasi buatan bertujuan mempercepat
peningkatan mutu genetik ternak, mencegah penyebaran penyakit reproduksi yang
ditularkan melalui perkawinan alam, meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan
unggul, serta menurunkan/ menghilangkan biaya investasi pengadaan dan pemeliharaan
ternak pejantan (Kartasudjana, 2001).
Inseminasi buatan merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan
dalam usaha meningkatkan mutu genetik dan populasi ternak sapi di Indonesia. Salah
satu metode untuk meningkatkan produktivitas biologik ternak lokal Indonesia melalui
teknologi pemuliaan yang hasilnya relatif cepat dan cukup memuaskan serta telah
meluas dilaksanakan adalah mengawinkan ternak tersebut dengan ternak unggul impor
(Hastuti, 2008). Inseminasi buatan sebagai teknologi merupakan suatu rangkaian proses
yang terencana dan terprogram karena akan menyangkut kualitas genetik ternak di masa
yang akan datang. Pelaksanaan dan penerapan teknologi Inseminasi Buatan di lapangan
di-mulai dengan langkah pemilihan pejantan unggul sehingga akan lahir anak-anak yang
kualitasnya lebih baik dari induknya. Selanjutnya dari pejantan tersebut dilakukan penampungan semen, penilaian kelayakan kualitas semen, pengolahan dan pengawetan
semen dalam bentuk cair dan beku, serta teknik inseminasi yaitu cara penempatan
(inseminasi/ deposisi) ke dalam saluran reproduksi ternak betina (Siregar, 2001).
Program IB pada kerbau telah lama dilaksanakan, tetapi tingkat keberhasilannya
masih sangat rendah yang ditandai dengan persentase kebuntingan kurang dari 30% dan
persentase kelahiran kurang dari 25%. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil IB
antara lain adalah kualitas semen, kesuburan hewan betina, inseminator, dan ketepatan
dalam mendeteksi berahi. Khusus pada kerbau, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa rendahnya keberhasilan IB adalah karena kesulitan dalam mendeteksi puncak

berahi akibat intensitas berahi yang rendah. Rendahnya intensitas berahi ditandai
dengan tingginya kasus berahi tenang (silent heat) dan subestrus (Kartasudjana, 2001).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dibutuhkan suatu pemahaman tentang
keberhasilan pelaksanaan IB pada kerbau. Sehingga, tujuan dari pembuatan makalah ini
yaitu untuk mengetahui cara pengkoleksian semen, teknik-teknik dalam melaksanakan
inseminasi buatan dan tingkat keberhasilan inseminasi buatan pada kerbau.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari pembuatan
makalah ini, yaitu :
1. Apa yang dimaksud inseminasi buatan ?
2. Bagaimana sejarah dari inseminasi buatan ?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB pada kerbau ?
4. Bagaimana cara pengkoleksian semen pada kerbau ?
5. Bagaimana teknik-teknik pelaksanaan inseminasi buatan pada kerbau ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui pengertian dari inseminasi buatan.
2. Mengetahui sejarah inseminasi buatan.
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB pada kerbau.
4. Mengetahui cara pengkoleksian semen pada kerbau.
5. Mengetahui teknik-teknik dalam pelaksanaan inseminasi buatan pada kerbau.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan adalah salah satu bentuk bioteknologi dalam bidang
reproduksi ternak yang memungkinkan manusia mengawinkan ternak betina yang
dimilikinya tanpa perlu seekor pejantan utuh. Inseminasi buatan sebagai teknologi
merupakan suatu rangkaian proses yang terencana danterprogram karena akan
menyangkut kualitas genetik ternak di masa yangakan datang. Pelaksanaan dan
penerapan teknologi Inseminasi Buatan dilapangan di-mulai dengan langkah pemilihan
pejantan unggul sehingga akanlahir anak-anak yang kualitasnya lebih baik dari
induknya. Selanjutnya dari pejantan tersebut dilakukan pe-nampungan semen, penilaian
kelayakan kualitas semen, pengolahan dan pengawetan semen dalam bentuk cair dan
beku, serta teknik inseminasi yaitu cara penempatan (inseminasi/ deposisi) ke dalam
saluran reproduksi ternak betina (Perera, 2011).
IB adalah usaha manusia memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi
betina dengan menggunakan peralatan khusus. IB dikatakan berhasil bila kerbau induk
yang dilakukan IB menjadi bunting. Tingkat keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh
empat faktor yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya
yaitu pemilihan kerbau akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi birahi oleh
para peternak dan ketrampilan inseminator. Dalam hal ini inseminator dan peternak
merupakan ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus sebagai pihak yang bertanggung
jawab terhadap berhasil atau tidaknya program IB di lapangan (Bearden , 2004)
2.2 Sejarah Ib Secara Umum
Sejarah Inseminasi Buatan diawali oleh seorang pangeran Arab yang telah
mencuri semen dari vagina seekor Kuda milik musuhnya yang baru saja dikawinkan
secara alam dengan menggunakan tampon. Selanjutnya tampon tersebut dimasukkan
kedalam vagina kuda betina yang sedang berahi miliknya sendiri
Ternyata kuda betina tersebut bunting. Seorang peneliti dari Belanda, Anton van
Leeuwenhoek pada tahun 1677 yang merupakan penemu mikroskop beserta Johan

Hamm berhasil menemukan sel-sel kelamin jantan. Dan selanjutnya sel-sel kelamin
tersebut dinamakan spermatozoa.Inseminasi Buatan pertama kalidilakukan di Eropah
pada tahun 1890 pada peternakan Kuda.
Pada tahun 1902, Sand dan Stribolt dari Denmark telah berhasil melakukan IB
pada kuda dengan menghasilkan 4 konsepsi dari 8 ekor yang di Inseminasi secara
buatan. Pada Sapi dan Domba teknik IB ini dipelopori oleh Ivanoff. Di Indonesia, IB
pertama kali diperkenalkan oleh Profesor B.Seit seorang peneliti dari Denmark sekitar
tahun lima puluhan dan telah dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor.
Keberhasilan ini diikuti dengan dibentuknya Balai Inseminasi Buatan guna menunjang
kegiatan IB pada Sapi, yaitu di Lembang (untuk Sapi perah) dan BIB Singosari (Sapi
potong) (Peter and Ball, 2004).
2.3 Alat reproduksi betina kerbau
Sistim reproduksi hewan betina terdiri dari sepasang ovarium dan sistim duktus
(saluran) betina. Sistim duktus betina meliputi oviduct, uterus, cervix, vagina, dan
vulva. Embrional ovarium berasal dan secondary sex cord dan genital ridge, sedangkan
sistim duktus berasal dan mullerian ducts, yaitu sepasang duktus yang muncul saat
perkembangan embrio awal (Barile, 2005).
A. Ovarium
Ovarium merupakan organ reproduksi primer pada hewan betina. Disebut organ
primer karena ovarium menghasilkan sel garnet betina (yaitu ovum) dan hormon
kelamin betina. Hormon kelamin yang dihasilkan oleh ovarium dibedakan dalam dua
kelompok yaitu hormon steroid dan hormon peptida. Hormon steroid terdiri dan
progesteron dan estrogen, sedangkan hormon peptida terdiri dari inhibin, activin,
relaxin, dan oxytocin.
Ovarium tersusun oleh bagian-bagian medula yang terletak di dalam dan korteks
yang terletak diluamya. Komposisi bagian medula yaitu jaringan ikat fibroelastik,
jaringan syaraf dan pembuluh darah yang berhubungan dengan ligamentum mesovarium
melalui hilus. Bagian korteks berisi folikel-folikel, corpus luteum, stroma, pembuluh
darah, pembuluh limfe, dan serabut otot polos. Di bagian paling luar, ovarium
dikelilingi oleh epitel germinal dan terbungkus oleh tunica albuginea.

B. Oviducts
Oviducts terbagi ke dalam 4 segmen dengan fungsi yang berbeda, yaitu: fimbria,
infundibulum, ampulla dan isthmus. Fimbria berbentuk seperti jari-jari, merupakan
bagian ujung oviducts yang bebas kecuali di satu titik di sudut atas ovarium, sehingga
dipastikan bahwa fimbria terletak sangat dekat dengan permukaan ovarium. Kondisi
tersebut membutuhkan proses penangkapan ovum pada saat diovulasikan dan folikel
ovarium.
Infundibulum merupakan saluran berbentuk cerobong yang bermuara di dekat
ovarium, yang kemudian membentuk bursa ovari. Ampulla, panjangnya sekitar setengah
dan panjang oviducts dengan diameter 3-5 mm, merupakan bagian oviducts yang paling
lebar. Ampulla selanjutnya bergabung dengan isthmus. Perbatasan ampulla dan isthmus
disebut sebagai ampulla-isthmus junction, di tempat inilah ovum dan sperma bertemu
hingga terjadi fertilisasi.
Isthmus, berdiameter lebih kecil dari ampulla yaitu 0,5-1 mm, merupakan
penghubung antara oviducts dan comua uteri. Isthmus terhubung langsung dengan
uterus, pada tempat yang disebut utero-tubal junction, sambungan tersebut. Pada sapi
dan domba dan kerbau, di bagian uterotubal junction terdapat fleksura (lekukan),
terutama pada masa estrus. Ketebalan lapisan musculus pada oviducts memngkat dan
ujung dekat ovanium ke ujung dekat uterus.
C. Uterus
Uterus items terdiri dari 2 buah comua uteri, sebuah corpus uteri, dan cervix.
Porporsi masing-masing bagian tersebut, termasuk bentuk dan rangkaian berbeda-beda
di antara spesies. Kedua sisi uterus terhubung ke dinding pelvis dan abdomen oleh
ligamentum lata uteri.
Uterus mempunyai sejumlah fungsi. Endometrium beserta cairannya mempunyai
peranan yang utama dalam proses reproduksi meliputi:
a. Transport sperma dan tempat deposisi semen ke tempat fertilisasi di
oviducts dengan bantuankontraksi myometrium, sedangkan endometrium
berperan dalam proses kapasitasi spermatozoa
b.

Pengaturan fungsi corpus luteum melalui pelepasan prostaglandin F-2-

c.

Inisiasi implantasi dengan menyediakan nutrisi bagi embrio

d. Tempat terjadinya kebuntingan.


e.

Proses partus melaiui kontraksi myometrium akan mendorong fetus


keluar, dan involusi uterus terjadi pasca partus untuk persiapan
kebuntingan berikutnya

D. Cervix
Cervix merupakan organ yang sebagian besar tersusun oleh jaringan ikat fibrosa dan
hanya sebagian kecil saja jaringan otot polos. Struktur cervix seperti sphincter
(pengunci) yang mengarah ke bagian kaudal ke vagina. Ciri khas cervix adalah dinding
tebal dan lumen berkerut. Struktur cervix berbeda-beda diantara spesies, begitu juga
ukurannya. Pada ruminansia terdapat bentukan seperti cincin disebut annular ring yang
susunannya interlocking saling mengunci satu-dengan yang lain sehingga cervix
tertutup.
Cervix selalu dalam keadaan tertutup, kecuali pada saat estrus. Saat estrus cervix
sedikit relaksasi, sehingga spermatozoa dapat masuk ke uterus. Mukus yang dilepaskan
oleh cervix kemudian keluar melalui vulva. Mukus cervix berubah-ubah kualitasnya
selama siklus estrus, dipengaruhi oleh hormon estrogen progesteron. Pada saat estrus
dan ovulasi, saat hormon estrogen tinggi kadarnya, mukus kekentalannya menurun,
namun jumlahnya meningkat, hal ini untuk memudahkan sperma melewatinya.
Sebaliknya pada fase luteal dimana kadar progesteron tinggi, mukus cervix menjadi
lebih sedikit dan sangat kental sehingga dapat mencegah masuknya spermatozoa.
Fungsi cervix adalah :
a. Transport spermatozoa, dimana kerjanya tergantung status hormonalnya
(lihat di atas)
b. Tempat penampungan dan seleksi spermatozoa, adanya lipatan mukosa
membuat spermatozoa yang tidak baik dan mati akan terperangkap,
sehingga hanya spermatozoa berkualitas baik yang bisa melanjutkan
perjalanan
c. Sebagai barier antara uterus dengan bagian luar untuk mencegah masuknya
mikroorganisme dan luar, melalui perubahan kekentalan mukus dan
mekamsme interlocking cincin cervix

d. Berperan dalam proses partus, dimana pada saat partus cervix akan dilatasi
sehingga fetus dapat keluar.
E. Vagina
Vagina merupakan saluran reproduksi betina di kaudal cervix, tersusun oleh lapisan
epithel, lapisan otot, dan lapisan serosa. Lapisan muskulusnya dilengkapi dengan
pembuluh darah,syaraf, sekelompok sel syaraf, serta jaringan ikat. Berbeda dengan
hewan ternak lain, dimana terdapat sphincter dibagian posterior, maka pada sapi juga
ditambah dengan sphincter dibagian vagina. Selama siklus estrus, keadaan vagina
berubah-ubah, namun derajat perubahannya berbeda-beda di antara spesies. Perbedaan
tersebut mungkin disebabkan oleh tingkat sekresi estrogen dan progesteron yang
berbeda. Oleh karena itu pemeriksaan preparat apus vagina tidak bisa digunakan untuk
mendiagnosa fase dalam siklus estrus maupun abnormalitas hormonal. Adapun fungsi
vagina adalah:
a. Sebagai organ kopulasi
b. Tempat penampungan spermatozoa sementara setelah kawin alam
c.

Transport spermatozoa

d. Sebagai saluran pembuangan dan saluran di atasnya


e.

Jalan lewat fetus path saat partus

2.4 Deteksi Birahi Kerbau


Deteksi birahi merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan IB pada
ternak, karena dengan melakukan pendeteksian birahi akan dapat ditentukan kapan
saatnya yang tepat untuk melakukan pelayanan inseminasi pada saat ternak betina
berada pada puncak kesuburannya. Namun adanya fenomena silent heat (birahi tenang)
pada kerbau menyulitkan pendeteksian birahi. Fenomena ini terjadi karena hormon FSH
tidak mampu mendorong sistesis hormon estrogen oleh sel granulosa dari folikel de
Graaf sehingga tidak muncul tanda-tanda birahi walaupun hormon FSH itu sendiri
mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi (Tambing dkk.,
2000).

Masalah utama yang dihadapi di lapangan adalah intensitas birahi pada ternak
kerbau hanya nyata pada malam hari karena ternak tersebut bersifat nokturnal, sehingga
birahi jarang teramati pada siang hari. Namun demikian, pengamatan birahi yang
dilakukan pada waktu subuh sampai sebelum fajar menyingsing dan pada waktu magrib
sesudah matahari terbenam sampai satu jam sesudahnya dapat mengungkapkan gejalagejala birahi pada ternak kerbau. Alasan lainnya yang membuat siklus birahi sulit
dikontrol dikarenakan sistem peternakan kerbau di Indonesia masih tradisional (kecuali
untuk sistem pemeliharaan semi intensif ataupun intensif). Oleh karena itu, untuk
memudahkan proses pendeteksian birahi terdapat berbagai metode yang mungkin dapat
diterapkan pada kerbau, diantaranya penggunaan pejantan pengusik (teaser-animal),
pedometer atau dengan mount-detectors. Beberapa metode deteksi birahi tersebut
memiliki tingkat efektifitas berbeda diantaranya, penggunaan hewan pengusik selama
empat kali sehari dengan interval enam jam dan disertai dihasilkan efisiensi deteksi
birahi pada kerbau sebesar 93,8% dibandingkan bila deteksi birahi hanya dua kali
sebesar 56,8%. Bila menggunakan pedometer ternyata tingkat akurasi deteksi birahi
kerbau 85% bila dibandingkan melalui visualisasi hanya 14%. Dari berbagai macam
metode yang ditawarkan cara lain yang lebih efektif adalah dengan jalan merangsang
dan mensinkronisasikan birahi pada sekelompok ternak kerbau betina. Sinkronisasi
birahi dengan menggunakan hormon akan lebih memperjelas ekspresi tanda-tanda
birahi yang dapat diamati dan dideteksi secara bersamaan pada kelompok ternak
tersebut (Tambing dkk., 2000).
2.5 Sinkronisasi Estrus Pada Kerbau
Sinkronisasi birahi pada ternak dimaksudkan agar ternak-ternak betina serentak
birahinya dalam waktu yang sama. Selanjutnya ternak-ternak tersebut dapat
diinseminasi secara bersama-sama sehingga dapat diprediksi waktu kelahiran yang
bersamaan. Sistem ini dapat dipakai dalam perencanaan kelahiran anak dan pemasaran
ternak di masa depan. Metode sinkronisasi birahi pada kerbau dapat dilakukan dengan
menggunakan preparat hormon seperti prostaglandin dan progesteron (Tambing dkk.,
2000).

10

Prostaglandin. Prostaglandin F2 (PGF-2) bersifat luteolitik yang berperan


untuk meregresikan corpus luteum (CL), mengakibatkan penghambatan yang dilakukan
hormon progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang.
Akibat yang ditimbulkannya dalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam
ovarium. aplikasi PGF-2 untuk sinkronisasi birahi pada kerbau bervariasi tergantung
pada metode yang digunakan. Penyuntikan satu kali secara intramuskuler kurang
berhasil dibandingkan penyuntikan dua kali. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain : (1) belum terbentuknya CL dalam ovarium, (2) hipofungsi
ovarium, dan (3) birahi pendek. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan
penyuntikan, yaitu 11-12 hari setelah penyuntikan pertama. Berhubung harga PGF-2
untuk satu dosis penyuntikan secara intramuskuler cukup mahal bagi para peternak di
Indonesia, maka diupayakan pemberiannya secara intrauterin yang membutuhkan hanya
sampai 1/5 dari dosis untuk injeksi secara intramuskuler (Tambing dkk., 2000).
Progesteron. Prinsip penggunaan progesteron dalam sinkronisasi birahi
didasarkan pada daya kerja hormon tersebut dengan umpan balik negatifnya terhadap
FSH dan LH. Penghambatan pengeluaran FSH dan LH dan penghilangan hambatan
tersebut 7-9 hari kemudian akan menimbulkan birahi pada sekelompok ternak betina
pada waktu yang (hampir) bersamaan. Alat yang umum dipakai adalah CIDR
(controlled internal drug release) dan PRID (progesteron releasing intravaginal device).
Mekanisme kerja dari kedua alat ini sama, yaitu alat ini dimasukkan dan didiamkan
dalam vagina selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di dalam alat
ini akan diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran darah yang akan
menghambat pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis melalui mekanisme umpan
balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat pada saat alat disisipkan
dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama periode penyisipan alat ini,
kemudian akan segera turun dan mencapai level basal setelah alat ini dicabut. Setelah
alat ini dicabut akan terjadi rebound-effect dan akhirnya terjadi pelepasan hormon FSH
dan LH dari adenohipofisis sehingga akan terjadi pematangan folikel, birahi dan ovulasi
(Tambing dkk., 2000).

11

2.6 Koleksi, Pengenceran, Dan Penanganan Sperma Kerbau


Dipilih pejantan yang telah mencapai dewasa kelamin 5 dan telah didomestikasi
serta dilatih untuk ditampung semennya. Semen ditampung satu kali/minggu yang
selanjutnya diencerkan dengan pengencer Laktosa (Triwulanningsih dkk., 2008) yang
mengandung 20% v/v kuning telur itik dan Glutation 1 mM (Tabel 1). Semen beku
dikemas dalam mini straw 0,25 ml dengan konsentrasi 100 juta spermatozoa/ml
(Sianturi dkk., 2012).

Selanjutnya hal lain yang perlu diperhatikan ialah penanganan selama proses
pembekuan semen kerbau yang perlu mendapat perhatian adalah pada waktu ekuilibrasi,
pemindahan ke dalam container dan thawing (pencairan kembali). Proses pemindahan
semen ke dalam container sering kurang diperhatikan padahal turut pula mempengaruhi
kualitas semen beku. Sebelum semen dipindahkan ke dalam container, terlebih dahulu
dilakukan proses penguapan selama 10-15 menit, dengan jalan menempatkan semen
pada rak 2-3 cm di atas permukaan N2 cair. Setelah mengalami proses penguapan,
semen langsung dipindahkan ke dalam container yang berisi N 2 cair. Semen yang telah
berada dalam container harus dijaga dan jangan terlalu sering dipindah-pindahkan atau
dikeluarkan lewat mulut container, karena salah satu penyebab tingginya kematian
spermatozoa setelah thawing adalah terjadinya perubahan suhu semen beku dalam
container akibat manipulasi semen beku di dalam container N2 cair yang tidak benar
(Sianturi dkk., 2012).

12

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam proses kriopreservasi semen kerbau
adalah pengaturan suhu dan waktu thawing. Semen beku yang dithawing pada suhu
yang tidak tepat akan menurunkan kualitas spermatozoa dan mempengaruhi fertilitas.
Suhu yang tinggi dalam media thawing akan menyebabkan proses metabolisme
spermatozoa meninggi sehingga memerlukan energi yang tinggi pula. Namun pada
kondisi tersebut spermatozoa akan cepat kehilangan energi sehingga berakibat kematian
pada spermatozoa itu sendiri. Standar suhu dan waktu thawing semen beku kerbau saat
ini masih bervariasi, namun dari berbagai hasil penelitian memperlihatkan suhu thawing
semen beku kerbau terbaik tidak melebihi suhu kamar (37 oC) dengan lama thawing 1530 detik (Sianturi dkk., 2012).
2.7 Pelaksanaan IB Kerbau
2.7.1 Faktor Pemilihan Ternak
Pemilihan ternak akseptor IB tersebut dengan kriteria memilki skor kondisi
tubuh (body condition score, BSC) > 3, sesuai penilaian kisaran BCS 1-5 (Alapati dkk.,
2010). Semua ternak dipalpasi rektal untuk mengetahui status reproduksi dan
memastikan bahwa kerbau tidak dalam keadaan bunting. Ternak terpilih diberi nomor
identifikasi dan dicatat data-data yang diperlukan seperti pemilik ternak, umur, ciri khas
ternak, status ternak (dara atau pernah beranak) dan lain-lain. Bila pada kawanan kerbau
tersebut telah dilakukan sinkronisasi birahi, maka IB dilakukan dengan sesuai waktu
yang dijadwalkan pada masing-masing perlakuan sinkronisasi tanpa memperhitungkan
gejala-gejala birahi (Sianturi dkk., 2012).
Faktor terpenting dalam pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu
pemasukan semen pada puncak kesuburan ternak betina. Puncak kesuburan ternak
betina adalah pada waktu menjelang ovulasi. Pada umumnya ovulasi berlangsung
sesudah akhir periode birahi. Menurut Hafez (1993) bahwa ovulasi pada ternak kerbau
terjadi 15-18 jam sesudah akhir birahi atau 35-45 jam sesudah munculnya gejala birahi.
Sebelum dapat membuahi sel telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi, spermatozoa
membutuhkan waktu kapasitasi untuk menyiapkan pengeluaran enzim-enzim zona
pelucida dan masuk menyatu dengan ovum menjadi embrio. Waktu kapasitasi pada

13

kerbau diperkirakan sama dengan waktu kapasitasi pada sapi, yaitu 5-6 jam (Bearden
dan Fuquai, 1997).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, penentuan waktu terbaik untuk
inseminasi pada kerbau adalah mulai 12-16 jam sesudah munculnya gejala birahi
sampai 8-9 jam sebelum akhir birahi dan ini telah dibuktikan oleh Avanell (1981)
dimana angka konsepsi yang diperoleh 57-83% bila diinseminasi 12-16 jam setelah
munculnya gejala birahi pada kerbau lumpur. Metode inseminasinya adalah sama
dengan pada sapi, yaitu peletakan semen pada posisi 4 (pada pangkal corpus uteri).
2.7.2 Peralatan Inseminasi Buatan

Termos transport (bisa juga dengan termos air ukuran kecil), digunakan
inseminator untuk membawa bibit ke lokasi ternak sapi yang akan dikawinkan.

Gunting, sebaiknya gunting yang digunakan adalah gunting steril, gunting


digunakan untuk memotong ujung straw semen beku.

Gun, ini merupakan alat utama untuk menghantarkan semen beku ke dalam
uterus sapi betina.

Glove, sarung tangan dari plastik digunakan untuk melindungi tangan dari
kotoran sapi, selain itu untuk menghindari penyakit menular baik yang zoonosis
sekalipun.

Plastic sheet, plastik perupa pipet yang digunakan untuk membungkus gun yang
telah diisi dengan straw semen beku.

Pinset, digunakan untuk mengambil straw dari dalam termos

Air, sebaiknya air hangat digunakan untuk mencairkan semen beku.

14

2.7.3 Prosedur Inseminasi Buatan pada Kerbau


Prosedur Inseminasi Buatan adalah sebagai berikut:

Sebelum melaksanakan prosedur Inseminasi Buatan (IB), semen harus dicairkan


(thawing) terlebih dahulu dengan mengeluarkan semen beku dari nitrogen cair
dan memasukkannya dalam air hangat atau meletakkannya dibawah air yang
mengalir. Suhu untuk thawing yang baik adalah 37oc.

Jadi semen/straw tersebut dimasukkan dalam air dengan suhu badan 37oc,
selama 7-18 detik.

Setelah dithawing, straw dikeluarkan dari air kemudian dikeringkan dengan


tissue.

Kemudian straw dimasukkan dalam gun, dan ujung yang mencuat dipotong
dengan menggunakan gunting bersih.

Setelah itu Plastic sheath dimasukkan pada gun yang sudah berisi semen
beku/straw.

Kerbau dipersiapkan (dimasukkan) dalam kandang jepit, ekor diikat.

Petugas Inseminasi Buatan (IB) memakai sarung tangan (glove) pada tangan
yang akan dimasukkan ke dalam rektum.

Tangan petugas Inseminasi Buatan (IB) dimasukkan ke rektum, hingga dapat


menjangkau dan memegang leher rahim (servix), apabila dalam rektum banyak
kotoran harus dikeluarkan lebih dahulu.

Semen disuntikkan/disemprotkan pada badan uterus yaitu pada daerah yang


disebut dengan 'posisi ke empat'.

Setelah semua prosedur tersebut dilaksanakan maka keluarkanlah gun dari


uterus dan servix dengan perlahan-lahan (Afiati dkk, 2013).
Langkah IB diatas adalah IB pada sapi menurut kami hampir sama dengan pada

kerbau, akan tetapi pada kerbau semenna dithawing pada suhu 38,2-38,4 mengikuti
suhu badan dari kerbau itu sendiri. Didapat korelasi keadaan berahi dengan kesulitan
inseminator untuk melakukan IB, dimana inseminasi dapat memasukkan IB gun
-dengan mudah sampai posisi 4 (post cervix) pads kerbau yang menunjukkan gejala
berahi yang jelas. Pada kerbau dengan gejala berahi yang tidak jelas dan tidak berahi IB

15

hanya dilakukan pada posisi 2 atau 3 (os 1 atau os 2 dari cervix). (Situmorang dkk,
1997).
Produksi semen beku dari kerbau jantan unggul yang sudah dilatih untuk
dikoleksi semennya. Pembuatannya adalah dengan pengencer dasar laktosa yang
mengandung 20% kuning telur bebek dan glutathione 1mm. Semen beku dikemas
dalam straw 0,25 ml (Adiati dkk, 2010).
IB dilakukan dengan semen beku yang dikemas dalam ministraw -0,25-cc
dengan konsentrasi 100 juta spermatozoa/ml dan diinseminasikan sebanyak 2
dosis/straw pada waktu yang sesuai. IB dilakukan dengan sesuai waktu yang
dijadwalkan pada masing-masing perlakuan sinkronisasi dan tanpa memperhitungkan
gejala-gejala berahi. IB dilakukan dua kali secara langsung sehinga setiap ternak
akseptor diseminasi dengan dua straw semen beku yang sudah dicairkan. Selain
mengamati hasil persentase kebuntingan dari masing-masing metode sinkronisasi, juga
diamati perbedan status ternak yang di IB (dara atau induk yang sudah pernah beranak)
dan posisi IB (pencapaian ujung gun IB) sat IB pada kerbau-kerbau akseptor dari tiga
metode sinkronisasi estrus (Ovsynch, konvensional, Select synch). Pencapaian ujung
gun IB pada saluran reproduksi kerbau pada sat IB adalah sebagai posisi IB, misalnya
untuk posisi 2-3 (ujung gun IB mencapai cincin serviks ke-2 atau ke-3) dan posisi 4
adalah ujung gun IB dapat melewati serviks dan posisi 4 merupakan posisi terbaik
dalam pelaksanan IB. Mengamati posisi IB (pencapaian ujung gun IB) perlu diamati
khususnya pada kerbau dara, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap hasil kebuntingan
(Purwantara dkk, 2012).
2.8 Kelebihan Dan Kekurangan Inseminasi Buatan Pada Kerbau
Keleibahan dari inseminasi buatan yang dilakukan pada kerbau adalah sebagain
berikut (Darodjah Rasad,2006) :
1

Mempertinggi penggunaan pejantan-pejantan unggul, dalam hal ini daya guna


seekor pejantan dengan nilai genetic tinggi dapat dimanfaatkan semaksimal

mungkin
Dapat menghemat biaya pemeliharaan pejantan serta dapat menghindari bahaya
dan menghemat tenaga dalam pemeliharaan pejantan

16

Memungkinkan peningktan potensi seleksi guna untuk memperbaiki mutu

genetic ternak
Penularan penyakit dapat dicegah dengan menghindari kontak kelamin saat

perkawinan
Memperpendek Calving interval serta menurunkan jumlah betina yang kawin
berulang (repeat breeders)
Sedangkan untuk kekurangan inseminasi buatan yang dilakukan pada kerbau

adalah sebagai berikut (Darodjah Rasad,2006) :


1 Diperlukannya pelaksana atau operator yang trampil, dalam melaksanakan
teknik IB dari mulai penampungan semen, evaluasi semen, pengenceran,
pembekuan serta proses penyampaian semen baik semen segar atau pun semen
2

beku kedalam saluran reproduksi betina.


Kemungkinan menjadi alat penyebaran abnormalitas genetic seperti sistik ovari,

konformasi tubuh yang buruk dan lain sebagainya


Bila ketersediaan pejantan sedikit, maka peterna ktidak dapat memilih pejantan

sesuai yang diingikan


Inseminasi intra uterin pada kerbau yang bunting dapat menyebabkana bortus

17

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inseminasi buatan merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan
dalam usaha meningkatkan mutu genetik dan populasi ternak. Inseminasi buatan
sebagai teknologi merupakan suatu rangkaian proses yang terencana dan terprogram
karena akan menyangkut kualitas genetik ternak di masa yang akan datang. Program IB
pada kerbau telah lama dilaksanakan, tetapi tingkat keberhasilannya masih sangat
rendah yang ditandai dengan persentase kebuntingan kurang dari 30% dan persentase
kelahiran kurang dari 25%. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil IB antara lain
adalah kualitas semen, kesuburan hewan betina, inseminator, dan ketepatan dalam
mendeteksi berahi. Rendahnya keberhasilan IB pada kerbau dikarenakan kesulitan
dalam mendeteksi puncak berahi akibat intensitas berahi yang rendah. Rendahnya
intensitas berahi ditandai dengan tingginya kasus berahi tenang (silent heat) dan
subestrus. Sistim duktus betina pada kerbau meliputi oviduct, uterus, cervix, vagina, dan
vulva. Inseminasi buatan pada kerbau dengan cara semen dithawing pada suhu 38,238,4 mengikuti suhu badan dari kerbau itu sendiri. Didapat korelasi keadaan berahi
dengan kesulitan inseminator untuk melakukan IB, dimana inseminasi dapat
memasukkan IB gun, dengan mudah sampai posisi 4 (post cervix) pada kerbau yang
menunjukkan gejala berahi yang jelas. Pada kerbau dengan gejala berahi yang tidak
jelas dan tidak berahi IB hanya dilakukan pada posisi 2 atau 3 (os 1 atau os 2 dari
cervix).IB dilakukan dengan semen beku yang dikemas dalam ministraw -0,25-cc
dengan konsentrasi 100 juta spermatozoa/ml dan diinseminasikan sebanyak 2
dosis/straw pada waktu yang sesuai.Panjang siklus estrus kerbau kira-kira 21 hari dan
lama estrus berkisar antara 1230 jam.

18

DAFTAR PUSTAKA
Afiati ddk. 2013. Pembibitan Ternak Dengan Inseminasi Buatan. Penebar Swadaya.
Jakarta Timur.
Alapati, A., S.R. Kapa, S. Jeepalyam, S.M.P. Rangappa and K.R. Yemireddy. 2010.
Development of The Body Condition Score Systemi in Murrah buffaloes: Validation
through Ultrasonic Assessment of Body Fat Reserves. J. Vet. Sci. 11: 1-8.
Avanell, J.A. 1981. Freezing of Swamp Buffalo Semen and Conception Following
Inseminatioan. Balai Penelitian Ternak Bogor, Indonesia.
Bearden, H.J. and J.W. Fuquai. 1997. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing
Co., Inc. Prentice Hall Co. Reston Virginia.
Bearden, H.J., J.W. Fuquay and S.T. Willard. 2004. Applied Animal Reproduction. Sixth
Edition. Pearson. Prentice Hall. New Jersey.
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Edition. Lea and Febiger,
Philadelphia.
Perera, B.M.A.O. 2011. Reproductive cycles of buffalo. Anim. Reprod. Sci. 124: 194199.
Peters, A.R., and Ball, P.J. 2004. Reproduction in Cattle.3rd ed. Blackwell Science, Inc.
Purwantara dkk, 2012, Optimasi Inseminasi Buatan pada Kerbau Lumpur (Bubalus
bubalis) Melalui Teknik Sinkronisasi Estrus dan Ovulasi. Balai Penelitian Ternak.
Bogor.
Sianturi, Riasari Gail. B. Purwantara, I. Supriatna. Amrozi dan P. Situmorang. 2012.
Optimasi Inseminasi Buatan pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Melalui
Teknik Sinkronisasi Estrus dan Ovulasi. JITV Vol. 17( 2) : 94 95.
Situmorang dkk, 1997. Peningkatan Produktivitas Kerbau Dwiguna (Daging dan Susu).
Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Tambing, Surya Natal. Mozes R. Toelihere. Tuty l. Yusuf. 2000. Optimasi Program
Inseminasi Buatan pada Kerbau. Wartazoa. Vol 10 (2) : 44 50.
Triwulanningsih, E., P. Situmorang, R.G. Sianturi, D. A Kusumaningrum, E. Mardinah,
I. Zuraida, R. Hernawati dan I.K. Pustaka. 2008. Peningkatan Kualitas Semen Cair
(Shilled) Kerbau dengan Penambahan Antioksidan. Kumpulan Hasil-Hasil
Penelitian APBN T.A.2007 - Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan. Badan
Litbang. Deptan.

19

Anda mungkin juga menyukai