Anda di halaman 1dari 13

PERAN BAHASA DALAM HEGEMONI POLITIK, SOSIAL, DAN BUDAYA

Oleh : Walfajri
STAIN Jurai Siwo Metro
Email: walfajri77@yahoo.com

Abstrak

Bahasa adalah sebuah simbol universal yang digunakan oleh manusia untuk
mengekspresikan dan mengemukakan benda-benda, fenomena, fakta, pemikiran dan
perasaannya.Meskipun demikian, bahasa bukanlah sistem sisbol yang bebas nilai dan
tidak ada hubunganya dengan dunia di luar bahasa itu sendiri, sebagaimana anggapan
kaum strukturalis. Sebaliknya, bahasa adalah dunia yang penuh makna. Makna itu
sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep, pemikiran, atau ide yang diberikan
oleh penulis, pembaca atau pembicara dalam bentuk linguistik seperti kata, kalimat,
atau wacana yang diciptakan oleh pengguna bahasa tersebut.Sehingga, makna kata
tersebut sangat subjektif. Di samping itu, bahasa merupakan produk budaya dan
kejadian social yang kompleks yang berkaitan dengan sejarah dan proses sosial
dimana bahasa itu dibuat.Oleh karena itu, bahasa selalu hadir dalam seluruh dimensi
kehidupan manusia: politik, social, dan budaya yang penuh dengan berbabagai
ketertarikan dalam perjuangan hegemoni diantara penguasa dan menguasai. Lebih
lanjut, dengan dukungan media masa, bahasa memainkan peran yang sangat penting
sebagai instrumen yang efektif untuk membangun dan meemelihara hegemoni politik,
social, dan budaya.
Kata kunci: Bahasa, hegemoni dan media massa
Abstract
The language is a universal symbol used by a human to express and present objects,
phenomena, facts, his thought and feeling. Nevertheless, the language is not just a free-value
(objective) system of symbol which does not relate to another world out of the language itself,
as the assumption of structuralists. On the contrary, the language is a meaningful world. The
meaning itself can be defined as a concept, thought or idea given by a writer, a reader, or a
speaker to the linguistic forms such as words, sentences, or discourses that are created
according to the language user. So, the meaning of word is very subjective. Besides, the
language is a product of culture and a complex social event that relates to the history and
social process where the language is produced. So, the language always presents in all
dimensions of human life: politic, social, and culture that are full of interests in a struggle of
hegemony between the dominant and the dominated. Furthermore, with the support of mass
media, the language plays a very vital role as an effective instrument to build and maintain
the political, social, and cultural hegemony.
Keywords: Language, Hegemony, Mass Media.

A. Pendahuluan
Semenjak

lahirnya

linguistik

deskriptif

(descriptive

linguistics)

yang

diperkenalkan oleh kaum linguistik strukturalis, telah banyak kontribusi yang


diberikan dalam memecahkan berbagai persoalan kebahasaan (internal bahasa).
Namun di sisi lain, ia juga telah memunculkan permasalahan baru. Bahasa menjadi
terasing atau terpisah dalam jarak yang sangat jauh dari makna dan fungsi yang
sesungguhnya dalam konteks politik, sosial, dan budaya di mana bahasa itu
diproduksi. Makna dan fungsi bahasa menjadi sempit. Bahasa dinilai seolah sebagai
sesuatu yang obyektif dan tidak memihak.
Menurut Mudjia Rahardjo, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam
linguistik. Bahasa memiliki dunianya sendiri yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan dunia lain, seperti sosial, politik, budaya, agama, dan
sebagainya.1 Bahasa merupakan wilayah kajian linguistik, sedangkan dunia di luar
bahasa tersebut merupakan wilayah kajian ilmu lain, seperti ilmu sosial, ilmu politik,
ilmu budaya, teologi, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Mudjia Rahardjo, dalam kajiannya terhadap bahasa, pemikiran,
dan peradaban, menyimpulkan bahwa antara ketiga aspek (bahasa, pemikiran, dan
peradaban) tersebut terdapat hubungan yang sangat kuat dan cukup rumit.
Terdapat sinergi yang sangat kuat antara bahasa, pemikiran, dan peradaban
manusia.2
Tanpa bahasa, sehebat apapun pemikiran tidak akan bisa disampaikan
kepada dan dipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, bahasa
manusia tidak akan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa dan
pemikiran manusia ini menyempurnakan kebudayaan, dan secara lebih khusus
peradaban manusia.
Sementara itu, kemajuan pemikiran dan peradaban manusia, yang memiliki
hubungan sangat kuat dengan bahasa, mencakup berbagai dimensi kehidupan;
sosial, politik, budaya, sejarah, seni, agama, dan sebagainya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa bahasa hadir dalam berbagai ranah kehidupan manusia.
Di samping itu, di dalam berbagai ranah kehidupan manusia tersebut sarat
dengan berbagai kepentingan antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai. Pihak
1Mudjia

Rahardjo, Bahasa dan Kekuasaan, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal


4 Maret 2012.
2Mudjia Rahardjo, Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan
Sosiolinguistik), dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012.

yang berkuasa, dengan berbagai cara, media, dan sarana, terus berupaya untuk
mempertahankan kekuasaannya (hegemoni) terhadap pihak yang dikuasai. Di lain
pihak, mereka yang dikuasai, dengan berbagai cara, media, dan sarana, terus
berupaya untuk melawan hegemoni tersebut.
Pertanyaannya, bagaimanakah peran bahasa dalam kancah perebutan
hegemoni (kekuasaan) tersebut? Apakah bahasa itu bersifat netral dan bebas nilai
(obyektif), tak lebih dari sistem lambang yang berdiri sendiri, tidak ada hubungan
dengan dunia lain di luar bahasa, sebagaimana anggapan kaum linguistik
strukturalis? Ataukah justru bahasa memainkan peran sebagai medium dan
instrumen yang sangat vital dan efektif dalam pertarungan hegemoni (kekuasaan)?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan fokus pembahasan pada
peran bahasa dalam hegemoni politik, sosial, dan budaya.

B. Peran Bahasa Dalam Hegemoni Politik


Manusia memiliki ciri khas yang membedakannya dari makhluk lain
(hewan), yaitu kemampuan menandai aneka benda dan peristiwa secara simbolik,
dan sekaligus memaknai simbol-simbol seolah sebagai benda dan kejadian
sebenarnya. Oleh karena kemampuannya yang unik ini, manusia dijuluki homo
symbolicum (makhluk pengguna lambang).3 Di antara sejumlah simbol yang
berkembang dan dikembangkan manusia, bahasa merupakan simbol yang paling
universal digunakan, serta paling generatif untuk mempresentasikan benda,
kejadian, dan gagasan.
Dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan dunia yang penuh makna. Makna
diartikan sebagai objek, arti, fikiran, gagasan, konsep atau maksud yang diberikan
oleh penulis, pembaca atau pembicara terhadap suatu bentuk kebahasaan baik
berupa kata, kalimat maupun wacana (teks).4
Sementara itu, ahli komunikasi memandang makna kata sangat subyektif dan
tidak pernah tunggal, words do not mean what people mean. Makna diciptakan sesuai
kepentingan penggunanya. Hal ini terlihat dalam praktek politik bahwa kekuasaan

3Mudjia

Rahardjo, Bahasa, Media, dan Kuasa: Fenomenologi Hegemoni Politik di Abad


Informasi, http://mudjiarahardjo.blogspot.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012.
4Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 57.

menyebar bukan saja lewat alat-alat produksi termasuk di dalamnya birokrasi, tetapi
juga melalui bahasa.
Pada masa Orde Baru, politisasi bahasa sudah menjadi karakter dari
penggunaan bahasa kekuasaan. Penguasa Orde Baru telah menjadikan bahasa
sebagai subordinat dari kekuasaan politik yang tercermin dalam pembangunan.
Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompokkelompok dominan.
Munculnya istilah-istilah yang secara makna dikudeta oleh para penguasa
Orde Baru telah mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang
menjadi subjek bahasa. Kata demi persatuan atau demi stabilitas negara
dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir kritis. Demikian
kuatnya politisasi bahasa pada masa Orde Baru tersebut, sehingga seolah sudah
menjadi sebuah ideologi kebahasaan.
Menurut Lewuk, sebagaimana dikutip Dadang Anshori, terdapat empat
kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan.5
Pertama, bahasa berdimensi satu, suatu ideologi kebahasaan yang menuntut orang
yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan
penguasa. Di sini tidak ditemukan logika protes, seperti halnya tidak ada tempat
bagi para oposisi di masa Orde Baru. Di masa Orde Baru setiap pemikiran harus
relevan dan tidak boleh berbeda dengan konsep pembangunan. Bagi mereka yang
mengkritik konsep pembangunan, penguasa menyebut dengan anti-pembangunan
atau anti-Pancasila.
Kedua, orwelianisme bahasa, dalam konteks ini adalah teknik penyatuan dua
pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar
dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan
mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yang
dikeluarkan pihak penguasa. Untuk menunjukkan sikap demokratis, dipakai
istilah kritik konstruktif atau kritik membangun yang maknanya setiap kritik
tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak
kekuasaan.

5Dadang

S. Anshori, Hegemoni dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca Orde Baru:
Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik di Indonesia, Makalah disajikan dalam Seminar dan
Lokakarya Nasional, diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI, 30
Agustus 2008.

Ketiga, bahasa takut-takut, yaitu bahasa yang diucapkan masyarakat yang


memiliki kepanutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan
melalui simbol bahasa. Pada saat Pemilu, kita mendengar Golput haram atau
Golput berarti tidak bertanggung jawab terhadap demokrasi.
Keempat, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai
alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang
memanipulasi bahasa itu sendiri. Kita bisa menyaksikan model bahasa yang terakhir
ini di saat kampanye Pemilu. Idiom-idiom berupa janji-janji partai dengan mudah
bertebaran dilontarkan oleh partai politik hanya untuk memanipulasi rakyat yang
awam politik. Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa
propaganda.
Selain itu, Melanie Barnes menuturkan ada dua model bahasa politik yang
sering digunakan oleh pemerintah, para politikus, para aktivis, dan masyarakat
umum. Pertama, model singkatan-singkatan, akronim, dan jargon yang lebih banyak
digunakan oleh Pemerintah (penguasa) dan para politikus. Kedua, model ungkapanungkapan plesetan, yang sering digunakan oleh para aktivis dan masyarakat umum,
yang berada di luar struktur pemerintahan dan tidak memiliki kekuasaan untuk
mempengaruhi secara langsung keputusan politik.6
Selama masa kampanye pemilu 2004 2009 (Pemilu Legislatif, Pilpres, dan
Pilkada), ada banyak contoh singkatan, akronim, atau jargon politik yang sering
digunakan oleh para calon. Antara lain: pemberantasan/bebas KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme), penegakkan HAM (Hak Asasi Manusia), pemilu yang Jurdil
(Jujur dan Adil), dan sebagainya.
Namun demikian, banyak semboyan atau jargon yang terlalu sering
digunakan dan keluar dari mulut pemerintah dan para politikus, tetapi tidak disertai
dengan bukti tindakan nyata, akibatnya ungkapan-ungkapan tersebut menjadi
kering dan klise, kehilangan maknanya, dan menjadi kata kosong yang tidak
dipercaya lagi oleh masyarakat.
Di pihak yang lain, masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan dan berada di
luar struktur pemerintahan, lebih sering mengungkapkan bahasa politiknya dalam
bentuk plesetan, sebagai salah satu bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan
masyarakat terhadap realitas politik, juga sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka
6Melanie

Barnes, Bahasa dan Politik: Wacana Poiltik dan Plesetan, Laporan Penelitian Australian
Consortium for In-Country Indonesian Students (ACICIS) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, September 2004.

terhadap pemerintah dan para politikus, serta bentuk perlawanan secara tidak
langsung terhadap hegemoni pemerintah (penguasa). Beberapa contoh plesetan yang
sering muncul dalam bahasa politik antara lain:
1. Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan pada masa Orde Baru,
diplesetkan masyarakat dengan ungkapan Hari-hari Omong Kosong.
2. UUD (Undang Undang Dasar) diplesetkan menjadi Ujung Ujungnya Duit.
3. KUD (Koperasi Unit Desa) diplesetkan menjadi Ketua Untung Duluan.
4. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) diplesetkan menjadi Kasih
Uang Habis Perkara.
5. PDI-P yang memiliki jargon Partainya Wong Cilik, namun begitu berkuasa
banyak rakyat kecil yang tidak puas dan kecewa. Kemudian jargon tersebut
diplesetkan menjadi Partainya Wong Licik, dan sebagainya.
Dengan demikian, bahasa memainkan peran yang sangat vital sebagai
medium dan alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi opini publik dalam
membangun atau mempertahankan hegemoni (kekuasaan) politik.

C. Peran Bahasa Dalam Hemegoni Sosial-Budaya


Budaya dalam bahasa Inggris disebut culture, yang berarti setiap seni dan
manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif,
termasuk di dalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari
sekelompok masyarakat tertentu.
Dalam bahasa Indonesia, budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
buddhayah, bentuk jama dari kata buddhi (budi atau akal), yang berarti segala
sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan menurut Selo
Soemardjan, kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat.7
Jadi, budaya bersifat abstrak karena ia merupakan sistem pengetahuan yang
di dalamnya terdapat ide dan gagasan pemikiran manusia. Namun, bentuk
perwujudannya adalah berupa benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk berbudaya, seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang
berbentuk materi dan nyata.
Berbicara tentang kehidupan politik, sosial, dan budaya pada era sekarang ini
tidak bisa lepas dari persoalan globalisasi. Globalisasi merupakan peristiwa
7Alfina Hidayah, Global Pop Culture: Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni Sosial
Budaya, dalam http://suarapembaca.detik.com. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

mendunia yang telah menyebar dengan sangat cepat dan memasuki seluruh aspek
kehidupan manusia sekitar abad 21. Peristiwa tersebut berdampak pada pergeseran
pusat kekuasaan dari tanah, lalu capital (modal), dan selanjutnya penguasaan
terhadap sains, teknologi, dan informasi.
Proses globalisasi juga merupakan bagian yang berperan penting dalam
perubahan dunia yang sangat cepat. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam
dunia ekonomi, politik, dan teknologi, tetapi juga meliputi ranah kehidupan
masyarakat yang lebih luas, seperti dunia sosial, budaya, seni, pendidikan, bahkan
agama.
Semua itu merupakan obyek globalisasi yang saling berhubungan satu
dengan lainnya. Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat
kepada dunia Timur, khususnya negara-negara berkembang, sehingga muncullah
negara-negara dengan ideologi, budaya, dan moral atau etika tunggal dan seragam
yang terangkum dalam sebuah masyarakat global (baca: masyarakat Barat).
Ada beragam pengertian globalisasi beserta berbagai isme yang memiliki
kesamaan maksud dengannya, seperti westernisme, modernisme, liberalisme, dan
lain-lain yang dikemukakan para ahli. Namun, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses tatanan masyarakat
universal yang tidak mengenal batas wilayah. Suatu tatanan tertentu muncul dari
suatu negara tetentu kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara
lain, yang disadari atau tidak, telah menjadi panutan dan kiblat bagi bangsa-bangsa
di seluruh penjuru dunia.8
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan suatu
bentuk hegemoni: sebuah system melakukan pemaksaan kekuasaan terhadap pihak
lain melalui cara yang halus, yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia
dikuasai.
Hegemoni sosial dan budaya juga sering kali dilakukan melalui bahasa.
Mekanisme yang dilakukan ada dua cara: Pertama, dengan cara tidak memberikan
ruang bagi bahasa-bahasa lain karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, bahasa
digunakan untuk menyampaikan informasi yang berafiliasi dengan kepentingan

Ibid.

kekuasaan.9 Dalam hal ini, Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari sebuah system
kekuasaan yang hegemonik untuk menyebarluaskan ideologi dominan.
Representasi budaya global dunia dewasa ini menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara peran bahasa-bahasa dunia dengan proses munculnya
suatu budaya menjadi budaya global. Uraian-uraian yang disampaikan oleh
Pennycook dalam bukunya The Cultural Politics of English as an International
Language mengindikasikan bahwa bahasa, dalam hal ini Bahasa Inggris, telah
menjadi alat yang sangat ampuh untuk menyebarkan budaya penutur bahasa
tersebut ke seluruh dunia.10
Itulah sebabnya ketika kita telusuri ke belakang kita akan menemukan bahwa
hampir seluruh budaya populer yang sifatnya mendunia saat ini berasal dari negaranegara yang penduduknya berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat. Beberapa
contoh di antaranya adalah musik pop, film, makanan dan minuman, pakaian ala
Barat, dan pengunaan istilah-istilah berbahasa Inggris baik dalam bentuk lisan
ataupun tulisan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran bahasa Inggris sebagai bahasa
internasional telah tak tersaingi oleh bahasa-bahasa dunia lainnya dalam rentang
waktu yang cukup lama. Fenomena seperti ini bahkan tetap berlangsung ketika
dunia berada dalam perang dingin, dimana sebagian negara di dunia terpolarisasi
dalam blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dimotori
oleh Uni Soviet.
Kenyataan bahwa pada waktu itu Uni Soviet merupakan salah satu negara
super power dunia ternyata tidak mampu menempatkan peran bahasa Rusia sejajar
dengan bahasa Inggris dalam percaturan dunia internasional. Sejak zaman Presiden
Amerika Serikat John F. Kennedy sampai Ronald Reagen yang mengakhiri perang
dingin bersama Michael Gorbachev dunia lebih terekspos dengan budaya populer
asal Amerika daripada budaya populer asal Uni Soviet yang hampir sama sekali tak
terdengar gaungnya pada waktu itu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa status sebuah negara sebagai
negara

super

power

dunia

plus

kemapanan

tekhnologi

atau

media

jurnalistik/komunikasinya tanpa keunggulan dominasi bahasa tidaklah mencukupi


9Taufik

Bilfagih, Media dan Hegemoni, dalam http://buntu-grup.blogspot.com. Diakses


Tanggal 5 Maret 2012.
10Abdul Hadi, Peran Bahasa Inggris Terhadap Keseimbangan Budaya Global, dalam
http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

untuk mengantarkan budaya ataupun gaya hidup yang dimiliki negara tersebut
menjadi budaya atau gaya hidup global.
Di samping sebagai produk budaya, bahasa juga merupakan peristiwa sosial
yang kompleks dan terkait erat dengan sejarah serta proses sosial dimana bahasa itu
diproduksi. Pertukaran linguistik sebagai sebuah relasi komunikasi antara pengirim
dan penerima pesan disamping dilihat sebagai peristiwa dan konteks sosial, juga
bisa dianggap sebagai pertukaran ekonomi. Di dalamnya berlaku logika ekonomi
seperti produsen dan konsumen, modal linguistik, dan pasar di mana orang bisa
memperoleh keuntungan baik material ataupun simbolik.
Dalam hal antisipasi keuntungan simbolik ini, Bourdieu melihat bahasa
memiliki tiga makna.11 Pertama, bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah
kemampuan khas manusia yang didapat dari pengalaman empirisnya berhubungan
dengan manusia lain. Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan
kapital simbolik, karena melalui bahasalah pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat
dilakukan oleh manusia. Penguasaan yang canggih atas bahasa, memungkinkan
seseorang memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam pertarungan sosial.
Kedua, bahasa adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks.
Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja sebagai sesuatu yang steril, tetapi
merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus
linguistik yang dimiliki pelaku sosial.
Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah
konsep, maka bukan kata atau konsep itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi,
nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu juga
kita bawa, sadar atau tidak. Singkatnya, bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya
dengan kepentingan.
Ketiga, bahasa erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan untuk
mendapatkan keuntungan, bukan hanya sekedar keuntungan material tetapi juga
keuntungan yang bersifat simbolik.
Di dalam pertarungan kekuasaan inilah, ditentukan identitas individu dan
sosial, juga kekuasaan simbolik, yaitu mendapatkan kehormatan dan pengakuan
atas posisinya di dalam hirarki sosial. Kapital simbolik dan kekuasaan simbolik
sangat penting, karena dengan memilikinya maka kita memiliki legitimasi untuk
11 Suma Riella Rusdiarti, Bahasa, Kapital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan: Tinjauan
Filsafat Sosial Pierre Bourdieu, dalam http://www.lontar.ui.ac.id. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

menentukan wacana kita sendiri yang artinya menentukan aturan permainan kita
sendiri.

D. Bahasa dan Perlawanan terhadap Hemegoni


Selain sebagai alat membangun dan mempertahankan sebuah hegemoni,
bahasa juga bisa menjadi senjata ampuh dalam melakukan perlawanan bahkan
meruntuhkan kekuasaan hegemonik. Sebagai contoh, di Indonesia tanda-tanda akan
jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru, tampak jelas dari berbagai bentuk
penggunaan bahasa masyarakat lewat aneka performance symbol komunikasi
(bahasa).
Perlawanan bahasa terhadap hegemoni kekuasaan pemerintah tersebut
terefleksikan dalam penggunaan bahasa di berbagai perbincangan pribadi, retorika
sosial, diskusi ilmiah, media massa cetak dan elektronik, di samping spanduk,
baliho, leaflet, booklet, dan aneka bentuk lainnya sejak pertengahan 1997 hingga
pertengahan Mei 1998.
Berita (news) dan opini sedemikian bebas dimuat atau disiarkan oleh media
cetak atau elektronik. Bahkan, muatan media massa yang mengarah trial by the press
begitu leluasa membentuk wacana publik. Terutama yang memiliki tujuan
menghabisi hegemoni kekuasaan rezim Orde Baru.
Hal tersebut bisa terjadi sebab dalam konteks kekuasaan, bahasa adalah
sarana komunikasi politik yang dapat dimanfaatkan sedikitnya untuk mewujudkan
dua kepentingan. Petama, untuk membela dan mempertahankan kekuasaan (status
quo). Kedua, untuk melawan dan menghancurkan kekuasaan.12
Namun, ada sebuah pertanyaan yang menarik, jika bahasa memiliki peran
penting sebagai instrument dalam pertarungan kekuasaan (hegemoni), baik oleh
pihak yang dominan (penguasa) maupun pihak yang didominasi, lantas siapakah
yang akan memenangkan pertarungan hegemoni tersebut?
Di sinilah media massa memainkan peran yang sangat besar dalam
menjadikan bahasa sebagai alat hegemoni. Siapa yang menguasai media massa,
dialah yang akan menang. Sebagaimana dikatakan oleh Mudjia rahardjo, menguasai
media massa berarti pula menguasai sekian banyak dunia batin manusia. Bahkan

12 Novel Ali, Bahasa, Komunikasi, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Negara, dalam
http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732. Diakses Tanggal 5 Maret 2012.

10

media massa, sekarang ini, telah diakui sebagai pilar keempat kekuasaan, di luar tiga
pilar dalam trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).13
Media massa pada gilirannya akan diposisikan menjadi agent politik, sosial,
dan budaya dari kelas dominan dengan kekuasaan modal. Realitas yang disajikan
oleh media massa bukanlah realittas yang sesungguhnya, melainkan realitas yang
telah melewati proses seleksi oleh sekelompok orang (jurnalis, pekerja di rumah
produksi, produser, sutradara, hingga pemilik modal dan penguasa) yang memiliki
sistem nilai dan ideologi tertentu.
Bahasa media mampu menghegemoni sebagian besar masyarakat, sehingga
mereka, sadar atau tidak, mengikutinya (melihat, mendengar, mendiskusikan, dan
membenarkannya). Hegemoni politik, sosial dan budaya melalui bahasa media
tersebut masuk ke wilayah pemikiran dan perasaan masyarakat, bergerak di wilayah
publik dan wilayah domestik.14
Coba perhatikan, media televisi kita selalu memproduksi tayangan-tayangan
hyperrealita, misalnya sinetron dan infotainment. Sadar atau tidak, sebagian besar
masyarakat terhipnotis oleh tayangan media, akibatnya memandulkan kesadaran
realitas. Dampak dari tayangan-tayangan TV yang hyperrealita itu adalah terjadinya
perubahan secara drastis dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka lebih
bangga dan memilih cita-cita untuk menjadi artis atau aktor sinetron dari pada
menjadi seorang ilmuwan dan peneliti. Perilaku pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan menjadi hal wajar dan biasa. Pola hidup, pola makan, dan berpakaian
pun berubah mengikuti trend modern. Pola fikir masyarakat menjadi pragmatis dan
hedonis (mengejar kesenangan materi sesaat).
Hal inilah yang menyebabkan media massa khususnya televisi menjadi
tidak bebas nilai. Dapat kita lihat sekarang ini hampir seluruh tayangan TV
mempresentasikan kepentingan budaya di Negara Maju (baca: Amerika dan Eropa).
Di samping itu, karena televisi dikuasai pemilik modal, maka siaran yang
ditayangkan akan mengukuhkan dominasi kaum pemilik modal (kapitalis) dan tidak
akan mengganggu eksistensi mereka.
Dengan semakin mengglobalnya televisi, maka tidak aneh bila kebudayan
yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di
negara maju (Amerika dan Eropa). Bila hal ini terjadi terus menerus, maka Amerika
13
14

Mudjia Rahardjo, Op. Cit.


Taufik Bilfagih, Op. Cit.

11

dan Eropa akan selalu dianggap sebagai impian jutaan manusia. Ini artinya,
kebudayaan

Amerika

dan

Eropa

akan

terus

menguasai

(menghegemoni)

kebudayaan dunia ketiga (berkembang), termasuk Indonesia. Dengan demikian,


sadar atau tidak, media masa dihadapkan pada salah satu dari dua pilihan antara:
maju tak gentar membela yang benar atau maju tak gentar membela yang bayar.

E. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa, sebagai simbol yang
paling universal digunakan oleh manusia untuk mempresentasikan benda, kejadian,
dan gagasan, bukanlah sekedar sistem lambang yang bebas nilai (obyektif) dan
bersifat netral, tidak ada hubungan dengan dunia lain di luar bahasa itu sendiri,
seperti sosial, politik, budaya, seni, agama, dan sebagainya, sebagaimana anggapan
kaum linguistik strukturalis. Lebih dari itu, bahasa merupakan dunia yang penuh
makna yang diciptakan sesuai dengan kepentingan penggunanya. Oleh karena itu,
makna kata sangat subyektif dan tidak pernah tunggal.
Di samping sebagai produk budaya, bahasa juga merupakan peristiwa sosial
yang kompleks dan terkait erat dengan sejarah serta proses sosial di mana bahasa itu
diproduksi. Oleh karena itu, bahasa selalu hadir dalam berbagai ranah kehidupan
manusia: politik, sosial dan budaya yang sarat dengan berbagai kepentingan dalam
pertarungan hegemoni (kekuasaan) antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai.
Bahkan dengan dukungan media massa, bahasa justru memainkan peran penting
sebagai

instrumen

yang

sangat

vital

dan

efektif

dalam

membangun,

mempertahankan atau melawan hegemoni (kekuasaan) politik, sosial, dan budaya.


F.

Referensi

Ali, Novel, Bahasa, Komunikasi, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Negara,


dalam http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732. Diakses Tanggal 5
Maret 2012.
Anshori, Dadang S., Hegemoni dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca
Orde Baru: Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik di Indonesia, Makalah
disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, diselenggarakan oleh
Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI, 30 Agustus 2008.
Barnes, Melanie, Bahasa dan Politik: Wacana Poiltik dan Plesetan, Laporan Penelitian
Australian Consortium for In-Country Indonesian Students (ACICIS) bekerja

12

sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Muhammadiyah Malang, September 2004.
Bilfagih, Taufik, Media dan Hegemoni, dalam http://buntu-grup.blogspot.com.
Diakses Tanggal 5 Maret 2012.
Hadi, Abdul, Peran Bahasa Inggris Terhadap Keseimbangan Budaya Global,
dalam http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17. Diakses Tanggal 6 Maret
2012.
Hidayah, Alfina, Global Pop Culture: Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni
Sosial-Budaya, dalam http://suarapembaca.detik.com. Diakses Tanggal 6 Maret
2012.
Rahardjo, Mudjia, Bahasa dan Kekuasaan, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses
Tanggal 4 Maret 2012.
--------------, Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan
Sosiolinguistik), dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret
2012.
--------------, Bahasa, Media, dan Kuasa: Fenomenologi Hegemoni Politik di Abad
Informasi, http://mudjiarahardjo.blogspot.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012.
--------------, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur,
Malang: UIN-Malang Press, 2007.
--------------, Relung-Relung Bahasa: Bahasa Dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer,
Aditya Media, 2002.
Rusdiarti, Suma Riella, Bahasa, Kapital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan:
Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu, dalam http://www.lontar.ui.ac.id.
Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai