Laporan Pendahuluan
23 Juni 2009
TRAUMA CAPITIS
OLEH
TITI ISWANTI AFELYA
C 121 04 039
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada
kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau
kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma
langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasideselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya
otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
B. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :
1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.
2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika
energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.
Mekanisme cedera kepala
1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam. Contoh : akibat pukulan lemparan.
2. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.
3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas
bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
2
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.
Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada
tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu :
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain
dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,
pergeseran otak dan rotasi otak .
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada
orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada
coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala
primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak
banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan
cedera
kepala
skunder
dapat
mempengaruhi
tingkat
kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,
hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab
intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak
(brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
E. Evaluasi Diagnostik
Serebral : menunjukkan
kelainan
sirkulasi
serebral
seperti
1. Survey Primer
a. A (Airway)
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas
kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering
terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh
benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas
yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan
dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk
menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring.
8
b. B ( Breathing)
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan
napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita
dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal (1).
c. C (Circulation)
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai
warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi
perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera
kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila
denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan
sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba
pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka (1).
2. Survey sekunder
9
11
kepala
berat
seringkali
menampilkan
Edema serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema
vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya
peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak
sehingga
13
akan
14
Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintahperintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.
Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti
perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara ,
namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon
motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit
sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan
posisi dekortikasi-deserebrasi.
Frekuensi
keparahan
15
Minor
GCS 13 15
55 %
Sedang
GCS 9 12
24 %
GCS 3 8
Berat
21 %
16
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Dasar data Pengkajian Pasien
Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital.
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda :
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi
dengan bradikardia, disritmia).
Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresidan
impulsif.
Eliminasi
17
status
mental
(orientasi,
kewaspadaan,
perhatian,
Nyeri/Kenyamanan
18
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi. Gangguan penglihatan. Kulit laserasi, abrasi,
perubahan warna, seperti raccoon eye tanda Batle di sekitar telinga
(merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan
(drainase) dari
Pemenuhan Pembelajaran
Gejala : penggunaan alkohol/obnat lain. Pertimbangan Rencana Pemulangan :
19
20
bertujuan
(patuh
terhadap
perintah,
berusaha
untuk
kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi
dapat
juga
22
dalam
abduksi
pada
mata,
mengindikasikan
menghambat
aliran
darah
vena.yang
selanjutnya
akan
meningkatkan TIK.
i.
Kolaborasi :
-
2.
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.
d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam
keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan
ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup
besar terhadap perfusi serebral.
e. Kolaborasi :
-
25
Mendemonstrasikan
perubahan
perilaku/gaya
hidup
untuk
mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker
R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal
atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan
atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian
mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara
perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat
tertentu.
b.
sensasi/kemampuan untuk
Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi
kognitif.
R/
Pendekatan
penatalaksanaan
antar
disiplin
terintegrasi
yang
dapat
menciptakan
didasarkan
atas
rencana
kombinasi
minimal
(nilai
1);
memerlukan
bantuan
sedang/dengan
R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki
faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan
menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu
kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses
yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.
5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit
rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan
nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas
tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan : mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis
jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan
sebagainya), catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil,
diaforosis, dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru
secara terus menerus, observasi karakterisitk sputum.
R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase
29
30
31
Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui
oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental.
R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan
kemampuan pasien.
Intervensi :
a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya.
R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas
kebutuhan secara kebutuhan.
b.
33
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth .2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Edisi 8 Volume
3.Jakarta : EGC.
Doenges E. Marilynn .2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
Gallo, and Huddack. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume II .Jakarta :
EGC.
Price A. Sylvia & Wilson M. Lorraine .2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit Edisi 4 Buku II. Jakarta : EGC.
Satyanegara; Editor, L. Djoko Lestiono.Ilmu Bedah Syaraf Edisi III.
Garamedia Pustaka Utama.
Jakarta :