Oleh :
Ahmad Syukri Harahap
101031
1010311
Preseptor :
dr. Hj. Roza Kurniati, Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi - kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipolikemia
merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. 1
2.2 Epidemiologi
Insidens tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus
tipe 1 antara satu sampai lima persen, berdasarkan
beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat
dan nampaknya konstan
dalam
beberapa
dekade
terakhir di negara-negara barat. Namun demikian
studi epidemiologi terbaru memperkirakan insidens total
mengalami peningkatan, terutama disebabkan oleh karena
peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2. Laju insidens
tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000
pasien dengan diabetes. Sedangkan insidens DM tipe 2 sendiri
di Indonesia, diperkirakan berkisar antara 6-8% dari total
penduduk. 2,4,5
rasional,
serta
memadai
sesuai
dengan
dasar
insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak ditemukan faktor pencetus.
Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD,
namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau
kurangnya dosis insulin dapat menjadi faktor pencetus penting. Tabel 1
memberikan gambaran mengenai faktor-faktor pencetus penting untuk
kejadian KAD. Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia
dan infeksi saluran kemih yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus.
Penyakit medis lainnya yang dapat mencetuskan KAD adalah
penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan infark miokard.
Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat
menyebabkan KAD diantaranya adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat
simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik
berlebihan pada pasien lansia. 4
Kasus (%)
Infeksi
19-56
Penyakit kardiovaskular
3-6
Insulin inadekuat/stop
15-41
10-22
10-12
Tidak diketahui
4-33
2.4 Patofisiologi
1,2,4,7,8
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, ketokolamin, kortisol, dan
hormon
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan
hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun
gejala dan tanda klinis KAD dapat dkelompokkan menjad dua bagian yaitu:
Akibat hiperglikemia
Akibat ketosis
Peranan Insulin
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra
regulasi yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan).
Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen
ataieksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses
patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati dan otot. Perubahan
yang terjadi terutama melibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat.
Peranan Glukagon
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glucagon yang paling berperan
dalam ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat proses glikolisis dan menghambat
pembentukan malonyl CoA adalah suatu penghambat cartnitine acyl transferase
(CPT
dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan
demikian peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan
ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulasi dengan baik, bila
kadar insulin rendah maka kadar glukagon darah sangat meningkatserta mengakibatkan
reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.
Gambar 2. Mekanisme produksi badan keton. (a) Peningkatan lipolisis menghasilkan produksis
asetil KoA dari asam lemak, sebagai substrat sintesis badan keton oleh hati. Defisiensi insulin
menyebabkan penurunan utilisasi glukosa dan penurunan produksi oksaloasetat. (b) Jumlah
oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi dengan asetil KoA berkurang; dan (c)
menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan (d) mengalami kondensasi untuk
membentuk asetoasetat diikuti reduksi menjadi beta-hidroksibutirat.
4,6,7
10
abdomen, di mana dapat dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya
sedang menuju ke arah KAD.
Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau
napas
seperti
buah
atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui
sistem
respirasi
dan
tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang
kering,
takikardia
dan
hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai
letargi
yang
berat;
meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH yang dirawat dengan
penurunan
kesadaran.
Tabel 2. Frekuensi dan lama gejala yang dilaporkan oleh pasien dengan KAD sedang sampai
berat.
Gejala
Poliuria
75,2
22,3 33,6
Polidipsia
74,4
23,1 33,9
Polifagia
33,1
26,3 34,2
Penurunan berat
42,1
89,9 97,7
Nausea
83,4
3,2 3,1
Vomitus
78,5
3,1 3,1
Nyeri abdomen
51,2
3,4 3,3
Catatan: Data dari 138 pasien dengan KAD sedang sampai berat, 30 diantaranya mempunyai diabetes mellitus tipe
2. (6)
Patofisiologi
Hiperglikemia (glukoneogenesis)
Pemecahan
jaringan
(lipolisis,
11
penentuan segera analisa gas darah, glukosa darah dan urea nitrogen darah;
penentuan
elektrolit
serum,osmolalitas, kreatinin dan keton; dilanjutkan pengukuran darah lengkap
dengan
hitung
jenis.
Kultur bakterial urin, darah dan jaringan lain harus diperoleh dan antibiotika
yang
sesuai
harus diberikan apabila terdapat kecurigaan infeksi. Pada kanak-kanak tanpa
penyakit
jantung,
paru
dan ginjal maka evaluasi awal dapat dimodifikasi, sesuai penilaian klinisi, dengan
pemeriksaan
pH
vena untuk mewakili pH arteri. Pemeriksaan rutin untuk sepsis dapat dilewatkan
pada
kanak-kanak,
kecuali diindikasikan oleh penilaian awal, oleh karena pencetus utama KAD pada
kelompok
usia
ni
adalah penghentian insulin.
anion. Namun, kebanyakan laboratorium saat ini menghitung natrium dan klorida
menggunakan
elektroda spesifik ion,sehingga konsentrasi klorida plasma terhitung lebih
tinggi 2-6 mEq/L
dibandingkan metoda sebelumnya; sehingga gap anion normal terkini dilaporkan
berkisar antara 7-9 mEq/L. Dengan menggunakan nilai-nilai ini, maka gap anion
>10-12 mEq/L telah mengindikasikan adanya asidosis dengan peningkatan gap
anion.
Tabel 4. Kriteria diagnostik untuk KAD
DKA
Glukosa plasma >250
(mg/dL)
pH arterial
7,25-7,30
Bikarbonat serum 15-18
(mEq/L)
Keton urin*
Positif
Keton serum*
Positif
Gap anion
>10
Perubahan
Sadar
kesadaran atau
obtundasi
Ringan
>250
Sedang
>250
7,00-<7,24
10-<15
<7,00
<10
Positif
Positif
>12
Sadar/mengantuk
Positif
Positif
>12
Stupor/koma
Berat
3,4
KAD Asidosis
laktat
Asidosis
uremik
Ketosis
alkohol
(kelaparan)
Intoksikasi
Koma
etanol atau hiperosmolar
etilen glikol
Koma
hipoglikemik
pH
Normal
Ringan
Normal
Normal
Glukosa
plasma
Normal
Normal/
Normal
>500 mg/dL
Glikosuria
(-)
(-)
(-)
(-)
ringan moderat
Normal
Normal
Normal/sedikit
Normal
Normal/sedikit
Normal
(-)
Keton
Sedikit
plasma total
Normal
Gap anion
Sedikit
Normal
(-)
Normal
Osmolalitas Normal
Normal
Normal
Normal
>330mOsm/kg
Asam urat
Normal
Normal/
Normal
Normal
Normal
Ringan
(kelaparan)
Normal
di dalam urin. Metanol dan etilen glikol merupakan alkohol dengan berat
molekular rendah, sehingga keadaan mereka di dalam darah dapat
diindikasikan dengan peningkatan gap osmolar plasma (> mOsm/kg). Gap
osmolar plasma didefinisikan sebagai perbedaan antara osmolalitas plasma
terukur dengan osmolalitas plasma hitung. Intoksikasi dengan paraldehid
diindikasikan dengan bau napas kuat yang khas.
2.7 Tatalaksana
1,3,4,9
2.7.2Farmakoterapi
a.Insulin
Selain pada KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
merupakan
pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K + <3,3 mEq/L)
disingkirkan,
bolus
insulin
regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam
(5-7
unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak
direkomendasikan
untuk
pasien
anak dan remaja; infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai
pada
kelompok
pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa
plasma
dengan
laju
5075 mg/dL/jam sama dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa
plasma
tidak
turun
50
mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila
memungkinkan
infus
insulin dapat digandakan setiap jam sampai penurunan glukosa stabil antara 50-75
mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL maka dimungkinkan
untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam)
dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju
pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk
mempertahakan kadar glukosa di atas sampai asidosis atau perubahan kesadaran
membaik.
Selama terapi untuk KAD sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam
untuk
mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum
(terutama
KAD).
Pada KAD ringan, insulin regular baik diberikan subkutan maupun
intramuskular
setiap
jam,
sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan
badan
keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis
priming
insulin
regular
0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh sebagai
injeksi
subkutan
atau
intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam secara
subkutan ataupun
intramuskular dapat diberikan.
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL,
serum
bikarbonat
18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih
dipuasakan
maka
insulin
dan
penggantian cairan intravena ditambah suplementasi insulin regular subkutan
setiap
4
jam
sesuai
keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa, suplementasi ini dapat diberikan
dengan kelipatan
5 unit insulin regular setiap peningkatan 50 mg/dL glukosa darah di atas 150
mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar glukosa 300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang sesuai
keperluan
untuk
mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam setelah
regimen
campuran
terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
b. Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan
sedang
dapat
terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan
ekspansi
volume
menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia,
penggantian
kalium
dimulai
apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan
terdapat
keluaran
urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO 4) untuk setiap
liter
cairan
infus
mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L. Pada
keadaan
tertentu,
pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini,
penggantian
kalium
harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian insulin ditunda
sampai
kadar
kalium
mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka mencegah terjadinya aritmia atau
henti
jantung
dan
kelemahan otot pernapasan.
c.Koreksi asidosis metabolik
Penggunaan bikarbonat pada KAD tetap kontroversial, dengan pH >7,0
memperbaiki
aktivitas insulin dapat menghambat lipolisis dan menghilangkan ketoasidosis tanpa
perlu tambahan bikarbonat.
Karena asidosis berat dapat menyebabkan berbagai efek vaskular berat,
maka untuk tatalaksana pasien dewasa dengan pH <7,0 menggunakan
100 mmol natrium bikarbonat diencerkan dengan 400 ml aqua bidestilata dan dan
diberikan
dengan
laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 sampai 7,0, maka 50 mmol natrium
bikarbonat
dapat
diberikan setelah diencerkan dengan 200 ml aqua bidestilata dan diinfus dengan
laju
200
ml/jam.
Pada pasien dengan pH di atas 7,0 maka tidak diperlukan pemberian natrium
bikarbonat.
Terapi insulin dapat menurunkan kalium serum, sehingga suplementasi
kalium harus diberikan di dalam cairan intravena sesuai protokol di atas dan
dilakukan pemantauan hati-hati.
d. Fosfat
Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun
fosfat
serum
dapat normal ataupun meningkat. Konsentrasi fosfat menurun dengan terapi insulin.
Meskipun demikian, untuk mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta
depresi pernapasan akibat hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hatihati dapat diindikasikan pada pasien dengan disfungsi jantung, anemia atau
depresi pernapasan dan pada pasien dengan konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL.
Pada saat dibutuhkan, kalium fosfat 20-30 mEq/L dapat ditambahkan ke dalam
cairan pengganti.
Pemantauan terapi
Pemantauan ketat tanda vital, kondisi klinis dan parameter laboratorium
sangat
penting.
Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap setengah jam untuk satu jam pertama,
setiap
jam
untuk
4
jam berikutnya dan setiap 2 - 4 jam sampai KAD pulih. Pencatatan akurat keluaran
urin
setiap
jam
sangat penting untuk memantau fungsi ginjal. Pada saat masuk
perawatan,
pemeriksaan
komprehensif meliputi analisa gas darah arterial atau vena, kadar glukosa
plasma,
elektrolit, nitrogen urea darah dan kreatinin, kadar keton serum atau urin atau
keduanya
dan
osmolalitas serum. Kadar glukosa darah kapiler harus dipantau setiap jam untuk
penyesuaian
dosis
infus insulin. Kadar elektrolit harus dinilai setiap 1-2 jam awalnya dan setiap 4
jam
kemudian.
Pengukuran pH vena dapat menggantikan pH arteri dan harus dilakukan setiap 4
jam
sampai
KAD
7
terkoreksi.
Tujuan terapi pada KAD adalah untuk menghentikan ketogenesis,
dengan
konsekuensi
resolusi asidosis. Pengukuran kadar glukosa kapiler telah digunakan sebagai
penanda
antara
untuk
perbaikan gangguan metabolik, meskipun demikian kadar glukosa seringkali
tidak
stabil
dengan
penggunaan sliding scale dan apabila terjadi hiperglikemia penting diketahui
apakah
ini
disertai
dengan ketosis yang menandakan adanya dekompensasi metabolik atau
tidak.
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo
atau
hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus diberikan
kepada pasien
dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko gastroparesis dan aspirasi. Kateterisasi
urin harus
dipertimbangkan bila terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien tidak mengeluarkan
urin setelah
4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena sentral harus dipertimbangkan
perindividu,
namun diperlukan pada pasien tua atau dengan keadaan gagal jantung sebelumnya. 8
ada
namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD, dan tidak
mengkonfirmasi
adanya
infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis, demam dan peningkatan CRP merupakan
biomarker
yang
lebih
8
terpercaya.
25
2.8 Komplikasi
b
e
r
k
e
m
b
a
n
g
m
e
n
j
a
d
i
A
R
D
S
.
D
e
n
g
a
n
m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n
t
e
k
a
n
a
n
a
t
r
i
u
m
k
i
r
i
d
a
n
m
e
n
u
r
u
n
k
a
n
t
e
k
a
n
a
n
k
o
l
o
i
d
o
s
m
o
t
i
k
,
i
n
f
u
s
k
r
i
s
t
a
l
o
i
d
y
a
n
g
b
e
r
l
e
b
i
h
a
n
d
a
p
a
t
m
e
n
y
e
b
a
b
k
a
n
p
e
m
b
e
n
t
u
k
a
n
e
d
e
m
a
p
a
r
u
(
b
a
h
k
a
n
d
e
n
g
a
n
f
u
n
g
s
i
j
a
n
t
u
n
g
y
a
n
g
n
o
r
m
a
l
)
.
2.9 Pencegahan
3,4
Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat (termasuk nonkomplians) dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini dapat
dicegah dengan akses yang lebih baik terhadap perawatan medis, termasuk
edukasi pasien intensif dan komunikasi efektif dengan penyedia layanan
kesehatan selama kesakitan akut.
Target-target pencegahan pada krisis hiperglikemik diantaranya mengendalikan
defisiensi
insulin,
menurunkan sekresi hormon stres berlebihan, menghindari puasa berkepanjangan
dan
mencegah
dehidrasi berat.
29
BAB III
KESIMPULAN
1. Ketoasidosis diabetik paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe 1 tetapi tidak
jarang pada pasien diabetes tipe 2.
2. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen
atau karena peningkatan kebutuhan insulin akibat keadaan atau stres tertentu.
3. Penanganan pasien penderita ketoacidosis diabetik adalah dengan memperoleh riwayat
menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu
4. Pengobatan utama terhadap kondisi ini adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan
isotonic saline) dengan pergantian potassium serta terapi insulin dosis rendah.
5. Faktor yang sangat penting pula perlu diperhatikan adalah komplikasi akibat terapi
sehingga tidak memperburuk kondisi pasien.
Daftar Pustaka
1
Sudoyo W. Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Jakarta; EGC hal
1874-1877.
2. English, P and Williams, G. Hyperglycaemic crises and lactic
acidosis in diabetes mellitus. Liverpool :
s.n., October 2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
3. Kitabchi, AE, et al. Hyperglycemic Crises in Diabetes.
Suplement 1, January 1, 2004, Diabetes Care, Vol. 27, pp. S94S102.
4. Kitabchi, AE, et al. Management of hyperglycemic
crises in patients with diabetes.1, January 1, 2001, Vol. 24, pp.
131-153.
5. Diabetes Surveillance 2001. Centers for Disease Control, Division of
Diabetes Translations.Centers
for Disease Control Website.
[Online] January
18,
2005.
[Cited: May
22, 2009.]
http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/.
6. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. Diabetic
ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus: Clinical
and biochemical differences.September 27, 2004, Archive of
Internal
Medicine,
Vol.
164,
pp.
1925-1931.
7. TM, Wallace and DR, Matthews. Recent advances in the
monitoring and management of diabetic ketoacidosis.2004, Q J
Med, Vol. 97, pp. 773-780.
8. Chiasson, JL, et al. Diagnosis and treatment of
diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
state.7, April 1, 2003, Canadian Medical Association Journal, Vol.
168, pp. 859-866.