Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu


masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas
dan kepadatanpenduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan
di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orangterinfeksi dan 24
orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luaske seluruh Indonesia.1
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis.Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempatiurutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968
hingga tahun 2009, WorldHealth Organization (WHO) mencatat negara Indonesia
sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.1
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
Dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1,
Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Keempat serotipe
terdapat virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamat virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersikulasi
sepanjang tahun. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan
diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Infeksi virus dengue adalah infeksi yang disebabkan virus dengue yang
termasuk group arbovirus, yang mengakibatkan sprektum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah
dengue disertai syok (dengue shock syndrom = DSS).1
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,
nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut
dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat
menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.2
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena
atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase
demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm
di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan
dengan berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih sering ditemukan
pada penderita dengan syok. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase
demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai
dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus
dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara,
pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.2

2.2. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus
Dengue. Virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3,
DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap
serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama
hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah
di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak
tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe
ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Di Indonesia terutama oleh DEN3. Walau akhir-akhir ini ada kecenderungan dominasi oleh DEN-2. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.2,3,4

2.3. Cara Penularan


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan

transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.2
2.4. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)
Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana
transportasi.2
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan

Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi
peningkatan yang pesat.2
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia,
dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar
antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C)
dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama
di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.2
2.5. Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD
dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara
tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan
serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak

dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag.3
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE),
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigenantibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan

peningkatan

permeabilitas

dinding

pembuluh

darah

dan

merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada


pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 %
dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.3
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai

kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut


didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.3
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah.Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigenantibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.3
Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada
hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu,
dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni
kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa

lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah
dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti :
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi.
Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan
Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai
kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma
yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.2
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.3
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,
nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut
dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat
menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.3
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena
atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase
demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm
di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan
dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan
pada penderita dengan syok.3
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini
terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan

sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan


sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat
penderita dapat mengalami syok.3
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:3

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:


o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)


sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemi.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II

Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau


perdarahan lain.

Derajat III

Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,


tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.

10

Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.3

Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/l biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang
disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk
DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok
terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian
cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat
sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.
PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi
trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura,
terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan beratringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat
ditemukan bilateral.2
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian
jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar
mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan
pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan
diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan
segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat

11

menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,


perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa
penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan
sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik
apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan.2
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,
flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus
yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.2
Definisi kasus DD/DBD
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan
demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala,
nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan,
leukopenia, uji HI 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien
berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium
sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali
pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
B. Secara Klinis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:

Uji tourniquet positif

Petekia, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan

Hematemesis atau melena

3. Trombositopenia <100.00/l.
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:

12

Peningkatan nilai hematrokrit 20 % dari nilai baku sesuai umur


dan jenis kelamin.

Penurunan nilai hematokrit 20 % setelah pemberian cairan yang


adekuat.

Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.

Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :

Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer


menurun.

Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.2

Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya
infeksi virus dengue, yaitu:3
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai
gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk
studi sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut
atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap
sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang
baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman.
Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.

13

3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)


Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat
antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan
HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan
lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac
Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui
kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian
diikuti dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai
negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat
pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka
uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk
pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesivisitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa

14

Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang
untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid
IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa.2

2.6. Diagnosis,4.5,6,7
Berdasarkan pedoman WHO (1997) diagnosa kerja DBD Gejala klinis berikut
harus ada, yaitu:
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari
Terdapat manifestasi perdarahan dilandai dengan:
uji bendung positif
petekie, ekimosis, purpura
perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
hematemesis dan atau melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( < 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan
:sngan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan
pasien tampak gelisah.
Laboratorium
Trombositopenia (100 000/l atau kurang)
Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,
dengan manifestasi sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dari nilai standar,
Penurunan hematokrit >20%, setelah mendapat terapi cairan,
Efusi pleura/perikardial: asites, hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.
2.7. Klasifikasi Klinis 4,5,6,7
Penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) berdasarkan WHO, yaitu:

15

Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah
uji bendung.
Derajat II
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit
dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.
Derajat IV
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.3,5,6,7
2.8. Diagnosa Banding2
1

Chikungunya Hemoragic Fever

Idiopatik Trombositopenia Purpura ( ITP )

Demam tifoid
4

Malaria

2.9 Tatalaksana
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi
suportif.Penanganan yang tepat oleh dokter dan perawat dapat menyelamatkan
pasien DBD.Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%.Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi

16

2.9.1

Tatalaksana pada anak

Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi.Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum,
muntah atau nyeri perut yang berebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan.Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia, dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan dalah jus buah, air
tehmanis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50
ml//kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi
kemudian diberikan cairan rumatan 80-100 ml/KgBB dalam 24 jam berikutnya.
Bayo yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila
terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulasif selama
demam.
DBD tanpa syok (derajat I dan II)2
Medikamentosa
-

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian Parasetamol bukan

aspirin.
Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam

hati.
Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat

perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.


Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif2
-

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan


permeabilitas kapiler dan perdarahan.

17

Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa


peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever

differvesencedengan baik.
Cairan intravena diperlukan, apabila (I) anak terus-menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya
syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

Penatalaksanaan kasus DBD2


Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus
selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan
(tersering perdarahan kulit dan mukosa yaitu petekie atau mimisan) disertai
penurunan jumlah trombosit <100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 %
atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor
tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi
12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda
vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam.
Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka
apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas
cepat (distres pernafasan), frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan
nadi < 20 mmHg memburuk, disertai peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan
menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada perbaikan tetesan dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan dan Ht naik maka
berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht turun berarti terdapat
perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis
membaik, maka cairan disesuaikan.2

18

Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.2

19

Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.2

20

Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.2

21

Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.2

2.9.2 Tatalaksana DBD pada dewasa2


Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :

22

1. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi


2. Praktis dalam pelaksanaannya
3. Mempertimbangkan cost effectiveness
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1
Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana Sindoma Syok Dengue pada dewasa
Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok
Potokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diguga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga
dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila didapatkan :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000,


pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht,
Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keaadaan penderita
memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat)

Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.

23

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tampak syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg 20)
Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500 + 20 x (55 20) = 2200 ml
(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic
Fever : Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan HB, Ht tiap 24 jam :

Bila Hb, HT meningkat 10 20% dan trombosit <100.000 jumlah


pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan tian 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian


cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan
Ht > 20 %.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%


Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
sebanyak 5%.Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7 ml/kgBB/jam.Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi
urin meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2
jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus

24

menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.

2 jam kemudian

dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka


jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak
menunjukkan

perbaikan

maka

jumlah

cairan

infus

dinaikkan

menjadi

15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk


dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.2,7
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD deawasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam.
Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan
DBD tanpa syok lainnya.Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID.Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi.FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID.2
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh
karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan.

25

Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan
penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan
penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang
tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini,
dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.2
Pada

kasus

SSD

cairan

kristaloid

adalah

pilihan

utama

yang

diberikan.Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.


Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta
ureum dan kereatinin.2,7
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit
tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi
7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit keadaan tetap stabil pemberian
cairan menjadi 5ml/kgBB/jam.Bila dalam 60 120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).2,7
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid
hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat
pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan
baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis.Diuresis diusahakan

26

2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah


trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan
kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal
bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan
dapat diulang sesuai kebutuhan.2
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut.Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan
dengantetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila
keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan
dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.2,7
2.10. Prognosis
Bila tidak disertai syok, prognosa baik. Biasanya dalam 24-36 jam
cepat menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda perbaikan
maka kemungkinan sembuh kecil dan prognosa menjadi buruk.
2.11. Komplikasi
1

Perdarahan gastro Intestinal

Ensefalopati dengue

Kelainan ginjal

Udem paru

27

BAB III
KESIMPULAN
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
danatau nyeri sendi yang disertai lekopeni, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom syok dengue adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh syok.
Untuk mengurangi kecenderungan penyebarluasan wilayah terjangkit
DBD,

mengurangi

kecenderungan

peningkatan

jumlah

penderita

dan

mengusahakan agar angka kematian tidak melebihi 3% maka pemerintah terus


menyempurnakan program pemberantasan DBD. Strategi pemberantasan DBD
lebih ditekankan pada upaya preventif.
Peran dokter dalam program pemberantasan DBD adalah penemuan,
diagnosis, pengobatan dan perawatan penderita, pelaporan kasus dan penyuluhan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengetahuan patofisiologi, patogenesis,
manifestasi klinis atau laboratoris DBD, pengenalan vektor dan pemberantasannya
adalah sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

28

1. Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2006 : 1709-1713
2. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2004.
3. Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006.
Hal. 1731-5
4. Mansjoer Arif dkk. Demam Dengue. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran
Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius FKUI : 2004 : 428-433
5. WHO. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,
dan Pengendalian. Jakarta : EGC : 1999
6. Chen Khie dkk. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Medicinus. Edisi Maret-Mei. Jakarta : 2009
7. Murwani Arita. Perawatan Pasien Dengue Hemorrhagic Fever (Demam
Berdarah). Dalam : Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Mitra
Cendikia Press. 2009. 125-132

Anda mungkin juga menyukai