Anda di halaman 1dari 44

Syndrom Serangan Jantung Akut (ACS) adalah kondisi yang membahayakan nyawa

dimana kondisi tersebut dapat memberhentikan hidup pasien kapan saja melalui
penyakit arteri jantung. Syndrome ini berbentuk seperti sebuah kesatuan yang
dimulai dengan pola kejang jantung yang tidak stabil hingga kemudian berkembang
menjadi infark miokard (MI), berkembang menjadi kebekuan otot jantung atau
irreversible necrosis secara akut (lihat gambar 7.1). Semua ACS menunjukkan
mekanisme patologi awal yang sama, seperti yang akan diulas pada bab ini.
SYNDROME KORONER AKUT
ANGINA YANG TIDAK STABIL
GAMBAR 7.1

NON-ST-ELEVATION MI

Frekuensi ACS itu bersifat tiba-tiba atau mengejutkan: lebih dari dari 1.4 juta
orang dirujuk ke rumah sakit di Amerika Serikat tiap tahunnya karena kondisi ini.
Sekitar 38% pasien yang mengalami ACS mati karena kondisi ini. Terlepas dari data
statistic yang menakutkan tersebut, keterkaitan kematian dengan ACS telah
berkurang dalam beberapa decade sebagai hasil dari penerapan major terapi dan
pencegahan lebih lanjut. BAB ini membahas tentang kejadian-kejadian yang
mengarah ke ACS, patologi, perubahan-perubahan fungsi yang akan menyusul,
serta pendekatan terapi seperti apa yang dapat memperbaiki kelainan fisiologis ini.
PATOGENESIS SYNDROME SERANGAN JANTUNG AKUT
Lebih dari 90% dampak ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerotik disertai
dengan pengumpulan platelet yang berkelanjutan serta terbentuknya trombus
intrakoroner. Trombus mengubah bentuk salah satu bagian plak sehingga
menyempit jadi satu atau dengan kata lain telah menyebabkan kemacetan, dan
kemudian aliran darah yang melemah menyebabkan ketidakseimbangan antara
suplay oksigen untuk miokard dengan oksigen yang dibutuhkan. Bentuk dari ACS
yang berdampak itu tergantung dari tingkat gangguan pada system coronary dan
yang berhubungan dengan iskemia (see Fig. 7.1). oklusif pada sebagian thrombus
merupakan penyebab khas dari syndrome yang terkait dengan ketidakstabilan
angina (UA) dan non ST-elevasi infraksi miokard (NSTMI, sejarah menunjukkan
bahwa hal ini berhubungan dengan non-Q-wave MI), dibedakannya yang terakhir
dengan yang sebelumnya karena adanya nekrosis miokard. Pada akhir yang lain
dari spectrum, iskemia yang lebih parah akan terjadi dan jumlah necrosis akan lebih
besar jika thrombus menghalangi pembuluh coroner, sebagai wujud dari ST-elevasi
infraksi miokard (STEMI, sejarah menunjukkan bahwa hal ini berhubungan dengan
non-Q-wave MI). tanggung jawab thrombus berubah melalui interaksi interaksi antar
plak aterosklerotik, endothelium coroner, sirkulasi thrombosis, dan dinamika sifat
vasomotor yang ada pada dinding pembuluh, yang mana hal tersebut memberatkan
mekanisme antritrombosis yang akan digambarkan pada bagian selanjutnya.

HEMOSTASIS NORMAL
Ketika pembuluh darah normal cedera, permukaan endhotelial akan terganggu dan
jaringan penghubung trombogenic akan terbuka. Hemostasis utama merupakan
barisan pertahanan terdepan dalam melawan pendarahan. Proses ini dimulai dalam
hitungan detik dari cedera pembuluh tadi, dan ditengahi oleh thrombosis yang
bersikulasi atau beredar, thrombosis tersebut mengikuti kolagen yang ada pada
subendothelium vascular dan kemudian berkumpul untuk membentuk sumbatan
platelet atau sumbatan trombosit. Ketika sumbatan hemostatic utama terbentuk,
ketika itu pula factor pembukaan jaringan subendhotelial memicu adanya aliran
koagulasi plasma, yang memulai proses homostasis kedua. Protein-protein koagulasi
plasma yang terlibat dalam homostasis kedua ini diaktifkan secara berturut-turut
pada bagian cedera tersebut dan membentuk gumpalan fibrin yang dilakukan oleh
thrombin. Gumpalan tersebut memstabilkan dan menguatkan sumbatan trombosit
tadi.
Sistem hemostasis normal meminimalisir kehabisan darah karena cedera
pembuluh namun ada sedikit perbedaan antara respon fisiologis ini dengan proses
patologi dari thrombosis coroner yang dipicu oleh gangguan pada plak
atherosclerotic.

Mekanisme Endogen Antithrombotik


Pembuluh darah normal, termasuk arteri coroner, dipenuhi dengan penjagaan yang
mencegah oklusi dan thrombosis yang terjadi secara spontan, beberapa contohnya
dapat dilihat pada gambar 7.2.
INAKTIVASI/MEMATIKAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GUMPALAN
Beberapa inhibitor alami mengatur proses koagulasi untuk melawan pembentukan
gumpalan dan menjaga kecairan darah. Dan salah satu inhibitor paling penting
adalah antithrombin, protein C dan S, serta inhibitor tissue factor pathway (TFPI).
ANTITHROMBIN merupakan protein plasma yang kuat mengikat pada
thrombin dan factor gumpalan lainnya, mematikan factor-faktor tersebut dan
memfasilitasi pembersihan faktof-faktor tersebut dari system sirkulasi (lihat
mekanisme 1 pada gambar 7.2). keefektifan antithrombin akan meningkat 1000 kali
lipat dengan cara melekat pada heparin sulfat, molekul yang mirip heparin
normalnya hadir pada permukaan luminal yang ada pada sel endhotelial.

Faktor
jaring
an

Gumpal
an
fibrin

Penonaktifan

Produk
Fibrin yang
terpisahpisah

Inhibisi
thrombin
yang
menetap

Gambar 7.2: Mekanisme perlindungan endogen terhadap thrombosis dan oklusi pembuluh.
(1) penonaktifan thrombin yang dilakukan oleh antithrombin (AT). Keefektifan antithrombin
diperkuat dengan mengikat AT pada heparin sulfat (2) penonaktifan factor-faktor gumpalan
Va dan VIIIa dengan cara mengaktifkan Protein C (Protein C*). Aksi tersebut kemudian
diperkuat oleh protein S. protein C diaktifkan oleh thrombomodulin (TM)- thrombin complex.
(3) penonaktifan factor VII/factor jaringan komplek dilakukan oleh tissue pathway inhibitor
(TFPI). (4) Lysis pada gumpalan fibrin dihasilkan oleh pengaktif jaringan plasminogen (tPA).
(5) aktifasi inhibisi trombosit dilakukan oleh prostacyclin dan N0.
Protein C/Protein S/ Thrombomodulin membentuk system anticoagulant alami yang
menonaktifkan factor-faktor akselerasi yang merupakan penghubung coagulasi (contohnya
seperti factor Va dan VIIIa). Protein C dibentuk dalam liver dan bersirkulasi diri dalam bentuk
yang tidak aktif. Thrombomodulin merupakan reseptor penghubung thrombin yang
normalnya hadir di sel endothelial. Thrombin bergabung dengan thrombomodulin tidak bisa
mengubah fibrinogen menjadi fibrin (reaksi terakhir dari pembentukan gumpalan). Namun,
thrombin-thrombomodulin komplek menghidupkan protein C. pengaktifan protein C
mengurangi peran factor Vs dan VIIIa (lihat mekanisme 2 pada gambit 7.2), maka terjadilah
inhibisi coagulase. Hadirnya protein S pada system sirkulasi memperkuat fungsi inhibisi yang
dilakukan oleh protein C.
TFPI merupakan inhibitor plasma serine protease yang diaktifkan oleh coagulase
factor Xa. Kombinasi factor Xa-TFPI saling mengikat dan menonaktifkan factor jaringan
komplek dengan faktof VIIa yang secara normal akan memicu jalur coagulase luar (lihat
mekanisme 3 pada gambar 7,2). Namun, TFPI memberikan hasil yang negative pada
inhibitor yang dapat mempengaruhi coagulase.
LYSIS PADA GUMPALAN FIBRIN
Pengaktif jaringan plasminogen (tPA) merupakan protein yang dihasilkan oleh sel endothelial
sebagai bentuk respon terhadap banyaknya pemicu pembentuk gumpalan. Ia memasukkan
protein plasminogen ke plasmin yang aktif, yang mana kemudian secara enzyme
menggurangi gumpalan fibrin (lihat mekanisme 4 pada gambar 7.2). ketika tPA mengikat diri
pada fibrin dalam bentuk gumpalan, kemampuannya dalam mengubah plasminogen
menjadi plasmin akan semakin kuat.

ATEROSKLERO
SIS

Plak yang diam

Pendarahan intra
plak

Diameter
Jaringan
Lumen

Pelepasan
Jaringan
Faktor

Aktivasi
Aliran
Koagulasi

Disfungsional
endothelium

Pelepasan
Kolagen
Subendothelial

Turbulensi
Aliran Darah

Aktivasi &
Agregasi
Platelet/tro
mbosis

Thrombosis Koroner

Efek
Vasolidato
r

VasoConstrik
si

Efek
Antithromboti
c

Gambar 7.3 Mekanisme Formasi Thrombosis Koroner. Faktor-faktor yang


berkontribusi pada proses ini adalah gangguan plak (contoh; rupture/diam) dan
vasoconstriksi yang tidak cocok dan kehilangan pertahanan antithrombotic normal
dikarenakan disfunsi endothelium
INHIBISI TROMBOSIT/PLATELET ENDOGENOUS DAN VASODILATASI
Prostacyclin disatukan dan disekresi kan oleh sel endothelial (lihat mekanisme 5
pada gambar 7.2). seperti yang telah dijelaskan pada BAB 6. Prostacyclin
meningkatkan level trombosit/platelet yang ada pada cylic AMP dan kemduian
dengan kuat menginhibisi aktivasi dan agregasi trombosit. Ia juga secara tidak
langsung menginhibisi coagulase melalui kekuatan yang ia miliki dalam melakukan
vasodilasi. Vasodilatasi membantu pertahanan dalam melawan thrombosis dengan
cara memperbesar aliran darah (yaitu meminimalisir kontak antara factor-faktor
yang pro terhadap coagulant) dan juga dengan cara mengurangi tekanan
pemotongan (penyebab aktifasi trombosit/platelet).
Nitric oxide (NO) disekresidengan oleh sel endothelial juga, seperti yang
dijelaskan pada bab 6. Ia bergerak didaerahnnya saja untuk menginhibisi aktifasi
platelet. Dan ia berperan sebagai vasilidator yang kuat.

PATOGENESIS THROMBOSIS KORONER


Secara normal, mekanisme yang diperlihatkan pada gambar 7.2 berjalan untuk
mencegah intravascular formasi thrombus yang terjadi secara spontan. Namun,
abnormalitas yang tekait dengan luka atheorclerotic memberatkan pertahananpertahanan ini dan berdampak pada thrombosis coroner dan oklusi pembuluh (lihat
gambar 7.3). atherosclerosis berkontribusi pada bentuk thrombus dengan (1) plak
rupture/diam, yang membuka elemen-elemen sirkulasi darah untuk zat-zat
thrombogenik, dan (2) disfungsi endothelial dengan pelindung normal
antithrombotic yang hilang dan property vasodilator.
Rupture plak atherosclerotic dianggap sebagai pemicu berat terhadap
thrombosis coroner. Penyebab yang digaris bawahi akan terganggunya plak adalah
(1) factor kimia yang membuat lesi atherosclerotic tidak stabil dan (2) stress fisik
yang karena itulah lesi terjadi. Seperti yang dijelaskan pada bab 5, plak
atherosclerotic terdiri dari inti lipid-laden yang dikelilingi oleh penutup luar

fibrous/serat. Zat-zat dilepas dari sel inflamasi yang ada dalam plak dapat
menjamin kekuatan penutup fibrous. Contoh, T lymphocytes mengelaborasikan yinterferon, yang menginhibisi kolagen sintesis dengan mengguanak sel otot polos
atau smooth muscle dan kemudian berperan pada kuatnya penutup. Kemudian, sel
didalam lesi atherosklerotik memproduksi enzim (seperti contohnya
metalloproteinases) yang menurunkan kemampuan matrix interstitial, kemudian
menyebabkan stabilitas plak. Plak yang lemah atau memiliki penutup yang tipis
merupakan penyebab rupture, terutama dibagian bahunya (perbatasan dengan
dinding arteri normal yang merupakan penyebab tinggi stress circumferential) baik
itu secara spontan maupun dorongan fisik, seperti tekanan darah intraluminal dan
pilinan akibat dari pukulan miokard.
ACS terkadang terjadi dalam beberapa bentuk pemicu, seperti aktifitas fisik yang
stress atau emosi kekecewaan. Aktifasi sisten saraf sympathetic pada situasi ini
meningkatkan tekanan darah, detak jantung, dan pemaksaan pada kontraksi
ventricular, aksi tersebut dapat menenkan lesi atherosclerotic, kemudian
menyebabkan plak menjadi rupture atau fissure/retak. Selain itu, MI cenderung
terjadi dijam-jam pagi hari. Pengamatan ini mungkin berhubungan dengan stressor
kunci fisiologis yang lebih cenderung (seperti tekanan darah sistolik, kekentalan
darah, dan level epinephrine plasma) yang lebih meningkat ketika waktu-waktu pagi
itu, dan factor-faktor ini membuat plak rentan untuk rupture.
Setelah plak menjadi rupture, formasi thrombus terbentuk melalui
mekanisme yang ditunjukkan pada gambar 7.3. pembukaan jaringan factor dari ini
atheromatous memicu coagulase bergerak, sementara pembukaan kolagen
subendothelial mengaktifkan platelets/trombosit. Pengaktifan trombosit melepaskan
konten-konten yang dimiliki oleh granule trombosit, yaitu terdiri dari fasilitator
agregasi platelet/trombosit (e.g. adenosine diphosphate [ADP] dan fibrinogen),
aktifator-aktifator aliran coagulase (contoh, thromboxane dan serotonin).
Perkembangan thrombus intracoronary, intraplak hemorrhage, dan vasoconstriction
semuanya berkontribusi terhadap penyempitan pembuluh lumen, menciptakan
turbulensi aliran darah yang mengakibatkan stres dan aktifasi trombosit yang lebih
lanjut.
Disfungsional endothelium yang tampak bahkan pada penyakit coronary
atherosclerotic ringan, juga meningkatkan kemungkinan terbentuknya formasi
thrombus. Dalam hal disfungsi endothelial, terjadinya pengurangan jumlah
vasodilators (contoh NO dan prostacyclin) yang dilepas dan inhibisi agregasi
trombosit yang dilakukan oleh factor-faktor ini terpisah, sehingga hilangnya
pertahanan kunci melawan thrombosis.
Tidak hanya disfungsinal endothelium kurang diperkuat untuk mencegah agregasi
trombosit, tapi juga kurangnya perlawanan dari produk vasoconstrict yang ada pada
trombosit. Selama formasi thrombus terjadi, vasocontriksi dihadirkan baik oleh
produk platelet (thromboxane dan serotonin) dan juga oleh thrombin yang ada

didalam gumpalan yang sedang berkembang. Platelet/trombosit normal yang


berkaitan dengan respon vascular adalah vasodilatasi, karena produk
platelet/trombosit menstimulasi endothelial NO dan pelepasan prostacyclin,
pengaruhnya lebih besar daripada vasocontriktor yang dipengaruhi oleh trombosit
(lihat gambar 6.4). namun, pengurangan sekresi dari endothelial vasodilator yang
ada di atherosclerosis membuat vasoconstriksi berproses tanpa dicek terlebih
dahulu. Selain itu, thrombin pada gumpalan yang terbentuk merupakan constrictor
kuat dari vascular otot polos yang terjadi pada disfunsional endothelium.
Vasoconstriksi menyebabkan tekanan-tekanan torsional yang berkontribusi
terhadap terjadinya rupture plak atau dapat memblokade jaringan stenosis dengan
cara meninggikan tone arteri. Pengurangan pada aliran darah coroner disebabkan
oleh vasoconstriksi yang juga mengurangi protein coagulase, sehingga memperkuat
terjadinya thrombogenisitas.

protein coagulase, sehingga memperkuat terjadinya thrombogenisitas.

Signifikansi Thrombosis Koroner


Formasi thrombus intrakoroner memiliki dampak dalam beberapa bentuk (gambar
7.4). contoh, rupture pada plak terkadang besar, kecil, atau terbatas, seperti yang
kecil, bentuk-bentuk thrombus nonoklusif. Dalam hal ini, thrombus mungkin saja
tidak berperan dalam pertumbuhan lesi atheromatous melalui fibriotic, atau
mungkin ia disejajarkan oleh mekanisme fibrinolytic alami. Rupture plak
asymptomatic yang kumat dalam tipe ini mungkin menyebabkan pembesaran
stenosis koroner sedikit demi sedikit.
Namun, rupture plak yang lebih dalam mungkin terjadi dalam bentuk
pembesaran pemaparan kolagen subendothelial dan factor jaringan yang lebih
besar, dengan formasi thrombus yang lebih besar dapar memblokade lumen
pembuluh. Halangan tertentu yang terjadi dapat mengakibatkan keparahan iskemia
yang lebih lama dan membuat ACS semakin berkembang. Jika thrombus
intraluminal pada plak yang terganggu memblokade pembuluh sepenuhnya, aliran
darah yang berada dibalik halangan tersebut akan berhenti, iskemia akan terjadi
lebih lama lagi, dan MI (biasanya disebut ST-elevasi MI) akan terjadi.

Thrombus Kecil
(tidak ada
pembatasan

Tidak ada
Penyembuhan dan
perubahan ECG
pembesaran plak

Thrombus Oklusif
Sebagian

Depresi ST
Segmen dan/atau
gelombang inversi
Angina yang tidak
T
stabil

(Iskemia
sementara)

Oklusif
Iskemia

Gambar 7.4: thrombus kecil terbentuk pada rupture plak yang besar yang mungkin
tidak terlihat pada symptom atau electrocardiogram (ECG) abnormalitas, namun
penyembuhan dan organisasi fibrous mungkin menggabungkan thrombus kedalam
plak sehingga menyebabkan lesi atherosclerotic membesar. Occlusive thrombus
sebagian (dengan atau tanpa supersimposed vasospasm) mempersempit lumen
arteri, membatasi aliran darah, dan menyebabkan ketidakstabilan angina atau nonST-Elevation MI, itu mungkin terjadi pada ST segment depresi dan/atau pada
gelombang inversi T yang terlihat pada ECG. Occlusive thrombus penuh dengan
iskemia berlanjut merupakan penyebab umum dari ST-Elevasi MI, yang mana ECG
menunjukkan adanya ST segment elevation, kemudian diikuti oleh perkembangan
gelombang Q atau Q wave, Occlusive thrombus yang hadir kembali atau yang
berkembang pada daerah tertentu dilayani oleh aliran darah collateral yang cukup,
sehingga berkurangnya iskemia lanjutan dan justru terjadinya non-st-elevation MI.
penanda atau marker dari necrosis miokard termasuk didalamnya troponins khusus
cardiac dan creatinekinase MB isoenzyme.

Jika thrombus memblokade pembuluh sebagian (atau jika sepenuhnya diblokade


namun hanya sementara karena rekanalisasi secara spontan atau karena bantuan
superimposed vasospasm), keparahan dan durasi iskemia akan berkurang, dan
NSTEMI yang lebih kecil atau UA yang lebih kecil akan terjadi. Perbedaan antara
NSTEMI dan UA terlihat berdasarkan tingkat iskemia dan berdasarkan apakah
kejadian tersebut cukup parah dalam menyebabkan nekrosis, diindikasikan oleh
hadirnya serum biomarkers (lihat gambar 7.4). namun, NSTEMI dan UA berperan
kurang lebih sama, dan pengelolaannya pun sama.
Terkadang, infark non-ST elevation terjadi dari oklusi coroner secara
keseluruhan. Dalam hal ini, suplay darah collateral substantial (lihat bab 1)

cenderung membatasi pembesaran nekrosis sehingga ST-elevation MI yang lebih


besar tercegah.
NON-ATHEROSCLEROTIK MENYEBABKAN SYNDROME SERANGAN JANTUNG AKUT
Kadang-kadang, mekanisme selain formasi akun thrombus dapat mempercepat ACS
(table 7.1). hal ini patut dicurigain ketika tidak terlihat factor-faktor coroner. Contoh
emboli coroner yang berasal dari katup jantung mekanis atau yang terinfeksi akan
tersangkut pada sirkulasi coroner, inflamasi dari vasculitis akut dapat memulai
oklusi coroner, atau pasien dengan kelainan jaringan koneksi, atau perempuan
peripartum akan jarang mengalami pemotongan pembuluh coroner secara spontan
(sobekan pada dinding pembuluh, digambarkan pada bab 15). Terkadang,
kekejangan kuat coroner yang terjadi sementara dapat mengurangi supply darah
miokard yang terjadi pada UA atau infraks.
Penyebab lain dari ACS adalah penyalahgunaan kokain, kokain dapat
meningkatkan detak sympathetic karena ia memblokade presynaptic reuptake
norepinephrine dan ia juga memperkuat pelepasan adrenalin catechilamines, yang
mana dapat menyebabkan vasospasm dan itu mengurangin suplay oxygen pada
miokard. ACS terjadi karena peningkatan permintaan oxygen miokard karena
pdemasukan kokain yang mensrimulasi miokard sympathetic (meningkatkan detak
jantung dan tekanan darah) mengurangi supplay oxygen.
TABEL 7.1 PENYEBAB-PENYEBAB SYNDROME SERANGAN JANTUN

Rupture Plak Atherosclerotic disertai dengan superimposed thrombus


Syndrome Vasculitic (lihat bab 15)
Embolism coroner (contoh dari endocarditis, katup jantung buatan)
Kelainan-kelainan congenital pada arteri coroner
Luka coroner atay aneurysm
Kekejangan parah pada artery coroner (yang utama atau karena kokain)
Meningkatnya viskositas darah (contoh polycythemia vera, thrombocytosis)
Pemotongan pembuluh coroner secara spontan
Meningkatnya permintaan oksigen miokard (contoh seperti aortic stenosis
parah)

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


MI (baik itu STEMI maupun NSTEMI) terjadi ketika iskemia miokard biasanya parah
dan menyebablan myocyte nekrosis. Meskipun UA tidak terjadi pada nekrosis, MI
mungkin saja terjadi jika patofisiologi tertentu dari angina yang tak stabil tidak
ditangani dengan tepat dan segera.

Kemudian klasifikasi klinisnya, infarksi dapat digambarkan segara patologis


dengan melihat bagaimana pelebaran nekrosis yang ia produksi didalam dinding
miokard. Infarksi transmural menjangkau seluruh saluran sempit myocardium dan
menyebabkan oklusi total dan berlanjut pada pembuluh coroner epicardial.
Subendocardial infarksi melibatkan lapisan terdalam miokard. Subendocardium
rentan terhadap iskemia karena ia merupakan zona tempat terjadinya tekanan
paling tinggi dari ruang ventricular, ia memiliki beberapa koneksi collateral yang
menyuplay nya, dan ia disemburkan oleh pembuluh yang harus melewati lapisan
miokard.
Infarksi menghadirkan puncak aliran yang dimulai oleh iskemia, yang mana
hal tersebut berkembang dari fase yang dapat dicegah menuju ke fase sel miokard
yang mematikan yang tidak dapat dicegah, sel tersebut dibawa oleh pembuluh
yang tertutup, dan dengan cepat pembuluh tersebut mati. Jaringan yang
berdekatan mungkin saja tidak menjadi nekrosa dengan cepat karena mungkin saja
ia dikeluarkan oleh pembuluh yang kuat. Namun, sel yang ada disekitar itu akan
terus meningkat menjadi iskemik selamanya karena permintaan oksigen terus
berlanjut akibat dari supply oksigen yang terus menurun. Namun, tempat terjadinya
infarksi akan terus melebar keluar. Jumlah jaringan yang mengalami infarksi dan
kemudian hal tersebut mungkin terkait dengan terjadinya (1) membesarnya aliran
miokard karena pembuluh yang menyumbat. (2) magnitude dan durasi aliran darah
coroner yang terpisah. (3) permintaan oksigen pada daerah-daerah yang terinfeksi,
(4) cukupnya pembuluh collateral yang menghasilkan aliran darah dari arteri
coroner yang berada disekitar dan tidak mengalami penyumbatan, dan (5) tingkat
respon jaringan yang merubah proses iskemik.
Perubahan patofisiologi yang terjadi selama MI ada dua tahap: perubahanperubahan awal pada waktu infarksi akut dan perubahan-perubahan lanjutan
selama penyembuhan miokard dan pembentukan ulang.

PERUBAHAN AWAL PADA INFARKSI


Perubahan-perubahan awal termasuk didalamnya evolusi histologi dari infarksi dan
dampak fungsional dari hilangnya oksigen pada miokard kontrak. Perubahan ini
berujung pada coagulative necrosis miokard dalam waktu 2 hingga 3 hari.

PERUBAHAN SELULAR
Pada saat tingkat oksigen menurun di supply miokard karena penyumbatan
pembuluh coroner, adanya pergeseran cepat dari metabolism aerobic menjadi
anaerobic (lihat gambar 7.5). karena mitrochondria tidak lagi mengoksidasi lemaklemak atau produk-produk glycolysis, produksi energy tinggi dari fosfat turun secara

drastic dan glycolysis anaerobic menyebabkan pengumpulan lactic acid. Hal ini
terjadi pada pH rendah.
Selain itu, kekurangan energy tinggi fosfat seperti contohnya adenosine
trifosfat (ATP) mempengaruhi transmembrane Na+_k+_ATPase, elevasi yang
dihasilkan pada konsentrasi intraselular Na+ dan ekstra selular K+. meningkatnya
intraselular Na+ berkontribusi terhadap edema selular. Kebocoran membrane dan
meningkatnya extraselular K+ berkontribusi terhadap perubahan potensi listrik
transmembran, dan merubah miokardium menjadi lethal arrhythmias. Kalsium
intraselular berkumpul tepat di myocytes yang rusak dan hal tersebut berkontribusi
terhadap penghancuran sel melalui aktifasi lipase dan protease yang telah
terdegradasi.
Secara keseluruhan, perubahan metabolic ini meningkatkan fungsi miokard
setelah 2 menit terjadinya penyumbatan thrombosis. Tanpa intervensi, cedera sel
yang tak bisa dicegah terjadi dalam waktu 20 menit dan itu ditandai dengan
perkembangan membrane cacat. Enzim proteolytic bocor disepanjang membrane
yang telah berubah milik myocyte, menghancurkan miokardium yang ada
disekitarnya, dan melepas molekul kecil tertentu menuju ke sirkulasi yang mana
sirkulasi tersebut menandai bahwa telah terjadi akut infarksi secara klinis.
Edema miokardium berkembang dalam waktu 4 hingga 12 jam, hal itu
dikarenakan permeabilitas vascular meningkat dan tekanan interstitial oncotic
meningkat (meningkat karena kebocoran protein intraselular). Perubahanperubahan histologi awal dari cedera irreversible salah satunya adalah gelombang
myofibers, yang muncul karena intercellular edema dan berperan dalam
memisahkan sel-sel miokard yang terseret pada sekitaran daerah tersebut,
fungsional miokardium (gambar 7.6). kumpulan kontraksi dapat dilihat didekat
perbatasan infarksi: sarcomere dikontrak dan dikonsolidasikan dan kemudian
muncul sebagai pengikat eosinophilic.
Respon inflamasi akut, dengan infiltasi neutrophils dimulai setelah sekitar 4 jam dan
membuat kerusakan jaringan yang lebih jauh, Dalam waktu 18 hingga 24 jam,
koagulasi necrosis merupakan bukti dengan pyknotic nuclei dan bland eosinophilic
cytoplasm. Dapat dilihat dengan cahaya microscopy. Perubahan awal ini
diperlihatkan pada gambar 7.6 dan diringkas pada table 7.2

Terpis

Potensial
membrane
yang
berubah

Metabolism
anaerobik

Pengumpalan
kromatin
Denaturasi protein

Sel mati
Gambar 7.5. mekanisme kematian sel dalam infarksi myocardial. Iskemia akut
secara cepat menghabiskan suplay adenosine trifosfat (ATP) pada intraselular
karena kegagalan metabolism aerobic. Intracellular acidosis yang kedua dan ATPdependent yang terpisah akhirnya berproses pada tempat terkumpulkan kalsium
intraselular, edema dan sel mati.

PERUBAHAN KOTOR
Perubahan morphologi yang mungkin saja terjadi tidak muncul hingga 18-24 jam
setelah penyumbatan coroner, meskipun teknik-teknik pewarnaan (contohnya
seperti tetrazolium) membuat para ahli patologi dapat mengidentifikasi tempat
terjadinya infarksi lebih awal. Paling sering iskemia dan infarksi dimulai pada
subendocardium dan kemudian melebar dan keluar menuju epicardium.

PERUBAHAN-PERUBAHAN TELAT PADA INFARKSI


Perubahan perubahan patologis pada kejadian MI akut (lihat table 7.2) yaitu (1)
pembersihan myocardium necrotic dan (2) pengendapan kolagen untuk membentuk
jaringan parut.
Cedera myocyctes yang tidak dapat dicegah tidak berdampak; melainkan,
sel-sel dihapus dan diganti oleh jaringan fibrous. Macrofag menginvasi myocardium
terinflamasi tepat setelah infiltrasi neutrophil dan kemudian menghilangkan
jaringan necrotic.

gGambar 7.6. Evolusi patologis pada infarksi myocardial. A. gelombang myofiber


awal dan edema; myocardium yang kuat bisa dilihat pada kiri paling bawah. B.
koagulasi nekrosis dan infiltrasi neutrofil yang padat. C. Netrotic myocytes secara
besar-besaran dihilangkan oleh phagocytes (dalam waktu 7 hingga 10 hari);
myokardium yang kuat bisa dilihat pada paling bawah kiri D. jaringan granulasi
dengan endapan kolagen awal; capilary baru telah terbentuk (tanda panah). E.
jaringan parut fibriotik yang terlambat. (dicetak ulang melalui izin FJ. Interventionala
and sugical cardiovascular pathology-clinical correlation and basic principles.
Philadelphia, PA; Saunders; 1989:67.)

TABLE 7.2 Rentang waktu patologis pada infarksi transmural


WAKTU
Perubahan awal
1-2 menit
10 menit
20-24 menit
1-3 jam
4-12 jam
18-24 jam
2-4 jam

PERUBAHAN
TELAH
5-7 hari
7+ hari
7 minggu

KEJADIAN
Tingkat ATP menurun; Penghentian kontraktilitas
50% penipisan ATP; edema selular, berkurangnya membrane
potensial dan kerentanan terhadap arrhythmias
Cedera sel yang parah
Terjadinya gelom ang myofibers
Hemorrhage, edema, mulai terjadinya infiltrasi PMN
Koagulasi Nekrosis (pynotic nuclei dengan eosinophilic
cytoplasm), edema
Koagulasi nekrosis secara total (tidak ada nuclei ataupun
striations, dilingkari oleh jaringan hyperemic); munculnya
monocytes; puncak infiltrasi PMN

Pelemahan kuning dari resorpsi jaringan yang telah mati


dilakukan oleh macrophages
Pemodelan ulang ventricular
Fibrosis dan jaringan parut selesai dengan utuh

Periode resorpsi jaringan ini disebut dengan PELEMAHAN KUNING/YELLOW


SOFTENING karena element jaringan penghubung dihancurkan dan dihilangkan
bersama-sama dengan sel-sel miokard yang telah mati. Pembersihan phagocytic,
dikombinasikan dengan penjarangan dan dilatasi zona yang terkena infarksi, hal itu
terjadi pada struktur lemah dinding ventricular dan kemungkinan akan terjadinya
rupture dinding miokard pada tahap ini. FIBRIOSIS terjadi dan scarring/pemarutan
pun selesai dalam waktu 7 minggu setelah infarksi (lihat gambar 7.6).
PERUBAHAN FUNGSIONAL
KECACATAN PEMENUHAN DAN KONTRAKLITAS
Perusakan fungsi sel miokard yang terjadi ketika infarksi membuat konstraksi
ventricular menjadi rusak/cacat (disfungsi sistolik). Kemudian terjidinya sesuatu
pada cardiac karena kesesuaian kontraksi myocytes telah hilang. Istilah khusus
digunakan untuk menggambarkan tipe-tipe dinding yang menunjukkan
abnormalitas yang mungkin terjadi. Area yang mengalami pengurangan kontraksi
disebut dengan hypokinetic, sedangkan bagian yang tidak ada kontraksi sama

sekali disebut dengan akinetik, sementara dyskinetik adalah bagian yang menonjol
keluar ketika terjadinya kontraksi sisa dari bagian ventrikel yang masih berfungsi.
Selama terjadinya ACS, ventrikel bagian kiri dipengaruhi oleh disfungsi
diastolic, iskemia dan/atau infarksi relaksasi diastolic yang rusak (sebuah energyproses bebas; lihat bab 1), yang mengurangi pemenuhan ventricular dan
berkontribusi terhadap eleveasi tekanan pengisian ventricular.

MIOKARD YANG KUAT


Terkadang miokard iskemia sementara bisa terjadi dalam waktu lama, namun
sedikit demi sedikit ia hilang, periode disfungsi kontraktil, contoh, seperti yang
digambarkan pada bab 6, miokardium yang kuat merupakan jaringan yang
menjalankan disfungsi sistolik dalam waktu lama setelah terjadinya episode
berlainan yang terjadi pada iskemia parah, meskipun restorasi aliran darah yang
cukup, dan pengembalian kontraktil dalam beberapa hari hingga seminggu
kemudian. Kekuatan tersebut berperan penting pada pasien yang mengalami UA
atau miokard yang dekat dengan daerah infarksi akut. Pada kedua contoh ini,
disfungsi kontraktil akibat pengaruh bagian-bagian ventricular mungkin bisa
dijadikan bukti setelah kejadian, memperlihatkan adanya jaringan yang terkena
infarksi. Namun, jika jaringan lebih kuat daripada nekrotik, fungsinya akan terus
memperbaiki diri.
Prekondisional iskemia
Iskemia yang terlihat jelas mengganggu area-area miokard yang mungkin
membuat jaringan menjadi lebih kuat dalam bertahan pada episode berikutnyam
fenomena tersebut disebut dengan prekondisional iskemia, tanda klinisnya adalah
pasien yang mengalami MI berkelanjutan dalam proses mengalami angina yang
kurang morbiditas ataupun mortalitas dibandingkan mereka-mereka yang tidak
mengalami tahap-tahap iskemia. Mekanisme fenomena ini tidak diketahui namun ia
hadir untuk memenuhi jalur sinyal-sinyal, termasuk didalamnya adenosine dan
bradykinin yang dipercaya sebagai pemicu kunci jalur-jalur ini.
PEMODELAN ULANG VENTRIKULAR
Setelah MI, perubahan terjadi pada geometris otot ventricular yang terinfarksi
maupun yang tidak terinfarksi. Perubahan-perubahan pada ukuran ruangan dan
penyempitan dinding yang berefek jangka panjang terhadap tungsi cardiac dan
prognosa.
Pada periode awal setelah MI, penyebaran infarksi mungkin saja terjadi, yang
mana area-area di ventricular yang terpengaruh mulai melebar tanpa ada

tambahan myocyte necrosis. Ekspansi infarksi menyempitkan dan melebarkan zona


necrotic yang ada pada jaringan tersebut, cenderung seperti itu karena licin pada
fiber-fiber otot, dan itu terjadi pada saat jumlah myocytes di area tersebut menurun.
Penyebaran infarksi tersebut bisa diatur karena ia meningkatkan ukuran ventricular,
yang mana (1) menambah tekanan-tekanan pada dinding, (2) merusak fungsi
systolic contractile, dan (3) meningkatkan kecenderungan pembentukan aneurysm.
Selain itu, pada awal-awal penyebaran wilayah yang terinfarksi, pemodelan
ulang ventrikel melibatkan pelebaran area-area yang tidak terinfarksi, yang mana
berperan dalam peningkatan tekanan dinding. Pelebaran ini dimulai pada awal-awal
periode paska terjadinya infarksi dan kemudian berlanjut berminggu-minggu dan
berbulan-bulan. Awalnya, pelebaran ruang tersebut berperan sebagai pengganti
karena ia meningkatkan output cardiac melalui mekanisme Frank-Starling (lihat bab
9). Namun, kemajuan pelebatan bisa saja menyebabkan kegagalan jantung dan
mempengaruhi arrhythmias ventricular.
Pemodelan ulang ventricular yang tidak bagus dapat diubah dengan
beberapa intervensi. Pada saat terjadinya infarksi, contoh, reperfusi terapi-terapi
akan membatasi ukuran infarksi dan kemudian membuat menurunkan
kecenderungan terjadinya pelebaran ekspansi. Selain itu, obat yang diberikan
bersamaan dengan system renin-angiotensi mengurangi pertumbuhan pemodela
ulang dan mengurangi mortalitas jangka panjang maupun jangka pendek paska
infarksi (seperti yang akan didiskusikan di bab selanjutnya).
FITUR-FITUR KLINIS SYNDROME SERANGAN JANTUNG AKUT
Karena ACS mengakibatkan kelainan-kelainan sepanjang ia terjadi, fitur-fitur
klinisnya tumpang tindih. Pada umumnya, keparahan symptom dan yang
berhubungan dengan apa yang ditemukan di lab tentang apa yang terjadi pada UA
pada tahap awal continum, melalui NSTEMI ke STEMI pada akhir continuum (lihat
gambar 7.1). membedakan syndrome-syndrome ini harus berdasarkan tanda-tanda
klinis, penemuan menggunakan alat electrocariographic, dan serum biomarker
terhadap kerusakan myocardia. Untuk menjalankan terapi yang sesuai, perbedaan
paling penting untuk membedakan antara ACS adalah ketika ia menunjukkan
adanya ST segment elevation pada alat electrocardiogram (STEMI) dan syndromesyndrome akut tersebut yang tidak menunjukkan adanya UA maupun NSTEMI.
MI telah dibagi dalam dua bentuk yaitu infarksi Q-wave dan infarksi non-Qwave. Transmular infarksi memproduksi Q waves (setelah periode awal ST
elevation) pada elecetrocardiogram (ECG), sedangkan infarksi subendocardial
mengubah tekanan ST tanpa adanya perkembangan pada Q-wave. Namun,
sekarang diketahui bahwa penemuan-penemuan ECG ini secara reliable tidak
berkorelasi dengan penemuan patologis dan terlalu banyak tumpang tindih diantara
type-type infarksi. Selain itu, penggunaan Q-wave dalam mengklasifikasikan ACS
dijaman sekarang ini tidak penting secara klinis, karena Q-waves yang tidak sama

dengan perubahan ST lebih menyita waktu dalam menerapkannya, lebih lama dan
berjam-jam dalam berkembang dan tidak bisa digunakan sebagai terapi awal.
Namun, buku ini (dan dalam setting klinis), istilah STEMI dan NSTEMI digunakan
untuk menggantikan Q-wave dan non-Q-wave MI, keduanya.
TANDA-TANDA KLINIS
ANGINA YANG TIDAK STABIL
UA hadir sebagai gejala percepatan iskemia, dan ia hadir dalam beberapa bentuk:
(1) pola peningkatan dimana pasien yang mengalami angina stabil dan kronis juga
mengalami peningkatan frekuensi, durasi dan intensitas tahap-tahap iskemik secara
tiba-tiba; (2) episode angina yang terjadi saat diam, tanpa ada provokasi; atau (3)
serangan terbaru dari episode angina digambarkan sebagai sebuah sesuatu yang
parah pada pasien yang tidak mengalami gejala penyakit pembuluh koroner
sebelumnya. Bentuk-bentuk yang hadir ini berbeda dengan pola angina stabil dan
kronis, yang mana dalam pola angina stabil dan kronis dapat sakit pada dada dapat
diprediksi, jelas dan tidak berlanjut, hanya terjadi pada saat fisik lelah atau saat
sedang stress. Pasien yang mengalami UA kemungkinan akan mengalami ACS lebih
dari tahapan yang seharusnya dan mulai mengembangkan gejala-gejala nekrosis
(contoh: akut NSTEMI dan STEMI), kecuali jika kondisi tersebut diketahui dan diobati
secara tepat.
INFARKSI MIOKARD AKUT
Gejala-gejala dan penemuan fisik akan penyakit MI akut (baik itu STEMI ataupun
NSTEMI) dapat diprediksi melalu patofisiologi yang digambarkan sebelumnya pada
bab ini dan diringkas pada table 7.3. pengalaman sakit selama MI mirip dengan
angina pectoris namun ia lebih parah, lebih lama dan lebih mempengaruhi yang
lain. Seperti angina, sensasinya bisa terjadi ketika pelepasan mediator seperti
adenosne dan lactate dari dalam sel iskemik miokard menuju ke akhir saraf yang
ada disekitar. Karena iskemia yang ada di MI akut membuat neckrosis menjadi
tahan lama dan memprosesnya, dua hal provokait ini bergabung dan kemudian
menghidupkan saraf aferen dalam jangka waktu periode yang lebih lama. Sakit juga
terjadi pada area-area C& lainnya melalu T$ dermatomes, termasuk didadalamnya
leher, bahu, dan lengan. Gejala awal biasanya serangan cepat dan kuat dan
membuat korbannya merasakan seperti benturan. Tidak seperti serangan angina
yang terjadi sementara, sakit yang dirasa tidak menurun, dan mungkin ada sedikit
respon jika diberikan sublingual nitroglycerin.
Sakit dada yang berhubungan dengan MI akut sering bersifat parah, tipi tidak
selalu seperti itu. Faktanya, lebih dari 25% pasien yang mengalami MI berkelanjutan
mengalami asymptomatic selama kejadian akut itu terjadi,dan diagnose hanya
dilakukan pada proses peninjauan kembali. Secara khusus hal ini biasa terjadi pada
pasien diabetes yang mungkin tidak merasakan sakit karena peripheral neuropathy.

Kombinasi sakit yang intens dan baroreseptor yang tidak masuk (jika
hypotensi ada) akan memicu respon dramatis dari saraf sympatetik. Tanda-tanda
sistemik terlepasnya carecholamine adalah adanya diaphoresis (berkeringat),
tachycardia, dingin dan kulit membasah disebabkan oleh vasoconstriksi.
Jika iskemia mempengaruhi myocardium lebih besar, kontraktilitas ventricular
kiri (LV) dapat dikurangi (disfungsi sistolik), kemudian menurunkan volume stroke
dan mendatangkan volume diastolic serta membuat tekanan didalam LV meningkat.
Peningkatan pada LV disertai dengan kekakuan iskemia membuat ruang tersebut
menjadi kaku (disfungsi diastolic) berlanjut ke atrium kiri dan pembuluh darah
pulmonary. Kongesi pulmonary menurunkan perlawanan paru-paru dan
menstimulasi reseptor juxtacapillar. Efek reseptor-reseptor J ini cepat, menelan
pernapasan dan membuat pernasan jadi sulit. Transudasi cairan menuju ke alveoli
TABELgejala-gejala
7.3. TANDA-TANDA
DAN GEJALA INFARKSI MIOKARD
akan memperburuk
ini.
1. KARAKTERISTIK PENYAKIT

2. EFEK SYMPATETIK

4. RESPON INFLAMASI
5. GEJALA CARDIAC

6. LAIN-LAIN

3. PARASIMPATETIK (EFEK VAGAL)

PARAH, TAHAN LAMA, DAN


SUBTERNAL
DIAPHORESIS
KULIT DINGIN DAN BASAH
MUAL, MUNTAH
LEMAH
DEMAM KECIL
S4 ( S1 jika adanya disfungsi
sistolik) cepat
RALE PARU-PARU (JIKA TERJADINYA
GAGAL JANTUNG)
DISTENSI SARAF JUGULAR (JIKA
TERJADI GAGAL JANTUNG DAN MI
SEBELAH KANAN VENTRIKULAR

Gejala fisik selama terjadinya MI akut tergantung dari lokasi dan pelebaran
infarksi. Suara S4, mengindikasikan terjadina kontraksi atrial kedalam ventrikel kiri
(lihat bab 2). Suara S3, mengindikasikan volume yang berlebihan akibat dari
gagalnya fungsi sistolik pada LV, suara itu bisa didengar. Dengungan sistolik muncul
jika iskemia yang mengalami induksi disfungsi otot palillary menyebabkan insufisien
pada mitral valvular, atau jika infarksi mengalami rupture melalui interventrikular
septum untuk menciptakan kecacatan pada ventricular septal. (akan dibahas nanti
pada bab ini)
Miokardial nekrosis menghidupkan respon sistemik terhadap inflamasi.
Cytokines seperi interleukin 1 (IL-1) dan tumor nekrosis factor (TNF) dilepas dari
macrophages dan vascular endothelium sebagai bentuk respon akibat terjadinya

cedera pada jaringan. Mediator-mediator ini menghadirkan respon klinis, salah


satunya yang mereka sebabkan adalah adanya demam rendah.
Tidak semua pasien dengan sakit dada yang parah berada dipertengahan MI atau
UA. Table 7.4 memberikan daftar tanda-tanda umum sakit dada, serta tanda-tanda
klinis, lab dan radiografi yang menunjukkan perbedaan mereka dengan ACS.

TABEL 7.4 KONDISI YANG BISA SAJA MEMBINGUNGKAN YANG TERJADI PADA
SINDROM SERANGAN JANTUNG AKUT
KONDISI
CARDIAC
Syndrome serangan jantung akut

PERBEDAAN TANDA-TANDA

Pericarditis

Diseksi aortic

Paru-paru/pulmonary
Embolism pulmonary

Pneumonia

Tekanan retrosternal, radiasi pada


leher, rahang atau bahu kiri dan
lengan; akan dialami lebih para
dan lebih lama dibandingkan
serangan angina yang terjadi
sebelumnya
ECG: melokalisasikan ST elevation
atau depressions
Sakit pada bagian pleuritic
(memburuk)
Sakit tergantung posisi (hilang jika
duduk dengan posisi lurus)
Gesekan auscultasi dibalik
precordium
ECG: difusi st elevasi (lihat bab 4)
Berair mata, nyeri (dada dan
punggung)
Asymmetry tekanan darah pada
lengan
Pelebaran mediastinum pada
radiografi dada
Nyeri dibagian pleuritic, disertai
dengan dyspenia
Gesekan pleural mungkin saja
terjadi
Kondisi rentan pada urat
thrombosis
Sakit dada pleuritic
Batuk dan menghasilkan dahak
Auscultasi dan percussi pada

Pneumothorax

Gastrointertinal
Esophageal spasm

Cholecystitits akut

paru-paru menjadi tidak normal


(contohnya seperti consolidasi)
Infiltrasi terlihat ketika dilakukan
radiografi pada dada
Terasa tusukan tiba-tiba, neyri
pada dada unilateral pleuritic
Menurunnya suara pernafasan
dan adanya hyperresonance
Radigrafi dada menunjukkan
adanya peningkatan lucency dan
tidak adanya tanda-tanda
pulmonary
nyeri pada retrosternal,
memburuk jika menelan
pernah mengalami dysphagia
kehalusan tepat diatas abdominal
quadrant
sering disertai dengan mual
pernah mengkonsumsi makanan
berlemak yang berlebihan

TABEL 7.5 MEMBEDAKAN TANDA-TANDA SINDROME SERANGAN JANTUNG AKUT


INFARKSI
MIOKARD
TANDA TANDA
TANDA KHUSUS

SERUM BIOMARKER
INISIAL
ELEKTROKARDIOGR
AM

ANGINA TIDAK
STABIL
CRESCENDO,
ISTIRAHAT,
SERANGAN BARU
ANGINA YANG
PARAH

DEPRESI ST
DAN/ATAU INVERSI
T-WAVE

NSTEMI

STEM

SAKIT DADA YANG


LEBIH LAMA

LEBIH PARAH, DAN


RADIASINYA LEBIH
PARAH
DIBANDINGKAN
DENGAN ANGINA
BIASA
YA
ELEVASI ST
(DISUSUL Q-WAVE)

YA
DEPRESI ST DAN
ATAU INVERSI TWAVE

DIAGNOSA SERANGAN JANTUNG AKUT


Diagnose dan perbedaan pada ACS dapat dilihat dalam beberapa hal berikut (1)
gejala-gejala yang ditunjukkan oasien, (2) abnormalitas ECG akut, dan (3) deteksi
penanda serum khusus pada miokard nekrosis (lihat gambar 7.4 dan table 7.5).
secara khusus, UA merupakan diagnose klinis yang didukung oleh gejala-gejala
pada pasien, abnormalitas ST sementara yang ditunjukkan ECG (biasanya ST
depresi dan/atau inversi T wave), dan tidak adanya serum biomarker miokard
nekrosis. Bagian Non-ST elevation pada MI dapat dibedakan dengan UA berdasarkan
deteksi serum marker atau penanda serum pada nekrosis dan pertahanan yang
lebih sering dari ditunjukkan oleh abnormalitas ST dan T wave. Kemampuan yang
ditunjukkan oleh ST-elevasi MI merupakan sejarah klinis yang cocok dipasangankan
dengan ST elevasi pada ECG ditambah dengan deteksi serum marker pada miokard
nekrosis.

ABNORMALITAS ECG
Abnormalitas ECG menunjukkan abnormal elektrik selama terjadinya ACS, biasanya
berbentuk dalam beberapa karakter. Pada UA atau NSTEMI, bagian ST depression
dan/atau inversi T Wave paling sering terjadi (lihat gambar 7.7). abnormalitas ini
mungkin saja bersifat sementara, hanya terjadi selama episode sakit dada yang
dialami pasien ketika UA, atau abnormalitas tersebut akan bertahan lebih lama
pada pasien dengan NSTEMI. Dilain hal, seperti yang digambarkan pada bab 4,
STEMI hadir dalam bentuk abnormalitas bertahap dan sementara; elevasi ST pada
bagian awal kemudian disusul dengan adanya inversi T wave beberapa jam dan
kemudian disusul perkembangan Q wave (lihat gambar 7.8). harus digaris bawahi
bahwa pola karakteristik abnormalitas ECG pada ACS ini dalam dikecilkan atau
Angina
tidak stabil/non-ST-elevation
dbatalkan segera dengan
intervensi
terapi.
pada infarksi miokard

Beberapa minggu
Inversi Q wave

kemudian

atau

Tanpa Q wave

GAMBAR 7.7. ABNORMALITAS ECG PADA ANGINA TIDAK STABIL DAN NON-ST-ELEVATION PADA INFARKSI
MIOKARD

AKUT

JAM

HARI 1-

*INVERSI T
WAVE

*
DIMULAINYA
Q WAVE

* Q WAVE
LEBIH DALAM

HARI
SELANJUTNY
A

*
NORMALISA
SI ST

MINGGU
SELANJUTNY
A

*Q WAVE
BERTAHAN

*T WAVE
DIINVERSI

GAMBAR 7.8 PERUBAHAN ECG SELAMA ST-ELEVATION DI INFARKSI MIOKARD TERJADI

SERUM MARKER/PENANDA SERUM PADA INFARKSI


Jaringan nekrosis miokard mengganggu sarcolemma, sehingga intraselular
macromolecules masuk kedalam cardiac interstitium dan kedalam aliran darah
(gambar 7.9). deteksi pada beberapa molekul didalam serum, terutama pada
tronponin cardiac dan creatine kinase MB isoenzyme, merupakan diagnose penting
dan berperan pada prognosa. Pada pasien yang mengalami STEMI atau NSTEMI,
penanda atau marker ini meningkat melebihi level yang seharusnya yang dijelaskan
dalam bentuk tahap-tahap sementara.
TRONPONIN CARDIAC
Tronponin merupakan protein pengatur pada sel-sel otot yang mengontrol interaksi
antara myosin dan actin (lihat bab 1). Ia terdiri dari 3 sub unit yaitu: TnC, TnI, dan
TnT meskipun subunit ini ditemukan pada Skeletal dan otot cardiac, namun bentuk
cardiac tronponin I (cTnI) dan tronponin T (cTnT) secara struktur unik, dan memiliki
karakter deteksi yang khusus pada serum yang telah dikembangkan. Karena tingkat
serum mereka tidak dimiliki oleh pasien yang sehat, kehadiran elevasi kecil dari
cTnI atau cTnT menunjukkan adanya marker atau penanda yang sensitif dan kuat
yang menandai adanya kerusakan myocyte. Permulaan peningkatan karakter
sensitifitas tronponin telah memindahkan beberapa bentuk ACS yang sebelumnya

disebut UA namun diganti dengan NSTEMI. Juga harus digaris bawahi bahwa
tronponin cardiac dapat dideteksi dalam jumlah kecil ada serum dalam kondisi yang
lain dimana kondisi tersebut menyebabkan jaringan cardiac akut atau inflamasi
(contoh, exacerbasi kegegalan jantung, miokarditis, krisis hipertensi, atau
pulmonary embolism (yang mana bisa menyebabkan sekelompok ventricular).

Level MI berlipat
ganda

LEVEL NORMAL MI

hari-hari setelah serangan infarksi


Pada kasus MI, level serum cardiac tronponin mulai meningkat 3 sampai 4
jam setelah serangan sakit, puncak antara 18 dan 36 jam, dan kemudian menurun
sedikit demi sedikit, deteksi bisa dilakukan diatas 10 hingga 14 hari setelah MI
besar. Namun pengukuran pada mereka tersebut dapat berguna bagi deteksi MI
dalam waktu 2 minggu setelah kejadian. Memberikan sensitifitas mereka yang
tinggi dan kehebatan mereka, cardiac tronponin merupakan serum biomarker yang
dipilih untuk mendeteksi miokard nekrosis.
CREATINE KINASE
Enzim creatine kinase (CK) memindahkan sekelompok fofat dari kreatine fosfat, dari
ruang endogenous yang dimiliki oleh jaringan fosfat yang memiliki energy tinggi
menuju ke ADP, dan kemudian memproduksi ATP. Karena keratin kinase ditemukan
di hati, di otot skeletal, otak dan banyak organ lainnya, konsentrasi serum pada
enzyme bisa menjadi terelevasi dan kemudian disusul terjadinya cedera pada
jaringan-jaringan ini.
Ada beberapa namun hanya 3 isoenzymes CK yang meningkatkan diagnosa
menjadi lebih baik: CK:MM (ditemukan terutama di otot skeletal), CK-BB (dominan
berlokasi di otak), dan CK-MB (kebanyakan di hati). Perlu digaris bawahi bahwa
jumlah yang kecil dari CK-MB ditemukan pada jaringan diluar hati, termasuk
dijaringan uterus, prostat, usus, diafragma, dan lidah. CK-MB juga membangun 1%

hingga 3% creatine kinase di otot skeletal. Ketiadaan luka pada organ-organ dan
jaringan ini, elevasi CK-MB penting untuk ditujukan ke cedera miokard. Untuk
menfasilitasi diagnose MI menggunakan marker/penanda. Sudah biasa dilakukan
perhitungan rasio CK-MB ke total CK. Rasio biasanya lebih dari 2.5% dalam kasus
cedera miokard dan kurang dari itu ketika elevasi CK-MB didapat dari sumber yang
lain.
Level serum CK-MB mulai meningkat 2 sampai 8 jam kemudian disusul
hadirnya infarksi, puncaknya pada 24 jam dan kemudian kembali ke normal dalam
waktu 48 hingga 72 jam (lihat gambar 7.9). tahap-tahap sementara ini penting
karena sumber lain CK-MB (seperti cedera otot skeletal) atau kondisi non MI-cardiac
lainnya yang meningkatkan tingkat serum isoenzyme (contoh, miokard) biasanya
tidak menujukkan adanya pola puncak tertunda seperti ini. Hal ini seharusnya
diperkuat bahwa CK-MB tidak sesensitif atau sespesifik cardiac tronponin untuk
mendeteksi cedera miokard.
Karena tronponin dan tingkat CK MB tidak terelevasi pada serum hingga
waktu setidaknya beberapa jam setelah serangan gejala MI, satu tindakan yang
diambil diawal ketika elevasi (contoh, di departemen gawat darurat rumah sakit)
tidak menghilangkan MI akut; namun, manfaat diagnosa dari biomarket ini terbatas
pada periode kritis saja. Hasilnya adalah, membuat keputusan segera pada pasien
yang mengalami ACS harus berdasarkan pada sejarah pasien dan tanda-tanda yang
ditunjukkan ECG.

GAMBARAN
Terkadang diagnosa awal MI akan tersisa bahkan setelah elevasi sejarah pasien,
ECG, dan serum biomarker. Dalam situasi ini, diagnosa tambahan yang mungkin
berguna adalah echocardiography, yang secara khusus menunjukkan abnormalitas
kontraksi ventricular di area terjadinya iskemia atau infarksi.
TREATMEN UNTUK SINDROME SERANGAN JANTUNG AKUT
Kesuksesan penanganan ACS membutuhkan inisiasi terapi segera untuk
mengurangi kerusakan miokard dan meminimalisir komplikasi. Terapi harus
ditujukan ke intracoronary thrombus yang mendorong gejala dan menyediakan
pengukuran anti iskemia untuk mengembalikan keseimbangan antara supply
oksigen dan permintaan oksigen pada miokard. Meskipun aspek-aspek terapi
tertentu sudah biasa digunakan pada semua ACS, ada perbedaan yang kuat dalam
pendekatan pada pasien yang menunjukkan adanya ST elevasi (STEMI)
dibandingkan pasien yang tidak menunjukkan adanya ST elevasi (UA dan NSTEMI).
Pasien dengan STEMI biasanya memiliki oklusi total pada pembuluh coroner dan
dibutuhkan terapi reperfusi (farmakologi dan mekanis), sementara pasien tanpa ST

elevasi tidak (seperti yang ada pada gambar 7.10 dan yang akan dibahas nanti
pada bab ini)

Gambar 7.10. strategi penanganan pada sindrom serangan jantung akut (ACS).
Pada pengukuran yang ditunjukkan di paling atas kotak seharusnya digunakan pada
semua pasien dengan ACS. Bagi yang mengalami STEMI, PCI utama merupakan
pendetakan pilihan jika tersedia dalam waktu 90 menit. Pada UA/NSTEMI, intervensi
invasive segera disarankan jika pasien menunjukkan tanda-tanda beresiko tinggi.
GP, glycoprotein; LMWH, heparin molecular weight renndah; PCI, intervensi
percutaneous coroner.

Pengukuran yang biasanya dilakukan dirumah sakit adalah memberikan pasien


pelayanan intensive dengan melanjutkan tindakan monitor ECG untuk arrhythmias.
Pasien tetap istirahat di tempat tidur untuk meminimalisir permintaan oksigen
miokard, sementara suplemen oxygen disediakan (masker wajah atau nasal
cannula), jika ada gunakan hypoxemia dalam tingkat apapun, untuk meningkatkan
supply oxygen. Analgesic seperti morfin contohnya dapat diberikan untuk
mengurangi sakit dada dan kecemasan dan kemudian mengurangi kebutuhan
oksiden pada miokard.
TREATMEN AKUT PADA ANGINA TIDAK STABIL DAN INFARKSI MIOKARD NON-ST
ELEVASI
Penanganan UA dan NSTEMI sama dan dibahas dalam satu bahasan, sedangkan
pendekatan STEMI akan dibahas nanti, treatmen yang difokuskan untuk UA dan
NSTEMI terdiri dari pemberian anti iskemik untuk mengembalikan keseimbangan
antara supplay dan permintaan oksigen miokard, diberikan juga terapi anti
thrombotic bertujuan untuk mencegah pertumbuhan lebih jauh, dan membuat
adanya perubahan oklusive coroner thrombus.
TERAPI ANTI ISKEMIK
Obat farmakologi yang sama digunakan untuk mengurangi permintaan oksigen
pada miokard yang dialami ketika kronis angina tidak stabil terjadi, obat itu cocok
digunakan pada UA dan NSTEMI namun sering diberikan secara lebih agresif. B
blockers menurunkan tekanan sympatetik kearah miokardium, kemudian
mengurangi permintaan oksigen, dan kemudian menstabilkan elektrik.
Kelompok obat ini mengurangi kecendurungan berkembangnya UA menjadi MI dan
menurunkan tingkat mortlitas pada pasien yang mengalami infarksi. Disaat tidak
adanya kontra indikasi (contoh: bradycardia, bronchospasm, gagal jantung
mematikan atau hipertensi), B bloker biasanya dimulai di 24 jam awal untuk

mencapai detak jantung yang ditargetkan sekitar 60 denyut permenti. Terapi


tertentu biasanya dilanjutkan setelah masuk rumah sakit karena adanya mortalitas
yang lebih lama yang bermanfaat pada MI.
Nitrates membantu melepaskan angina melalui venodilasi, dan mengurangi
permintaan oksigen pada miokard dengan cara mengurangi venous kembali ke hati
(mengurangi pengisian ulang dan mengurango tekanan dinding). Nitrates
meningkatkan aliran coroner dan mencegah vasospasm melalui vasodilasi coroner.
Dalam kasus UA atau NSTEMI, nitroglycerin sering diberikan melalui rute sublingual,
diikuti infuse intravenous. Selain itu, ia juga menyediakan pelepasan symptomatic
angina, intravenous nitroclycerin berguna sebagai vasolidator pada pasien yang
mengalami ACS yang disertai dengan gagal jantung dan hipertensi parah.
Nondihydropyridine saluran antagonis kalsium (seperti verapamil dan
diltiazem) memanfaatkan efek anti iskemia dengan menurunkan detak jantung dan
kotraktilitas dan melalui alat-alat vasodilatory yang mereka miliki (lihat bab 6).
Agen-agen ini tidak memberikan keuntungan mortalitas pada pasien yang
mengalami ACS dan digunakan untuk mereka yang mengalami Iskemia yang
bertahan daripada menggunakan B-bloker atau nitrate. Obat ini tidak seharusnya
diberikan pada pasien dengan disfungsi sistolik LV karena percobaan klinis yang
telah dilakukan menunjukkan adanya dampak buruk yang terjadi dalam beberapa
kasus.
TERAPI ANTI TROMBOTIC
Terapi antithrombitic yang terdiri dari antiplatelet dan pemberian obat anticoagulant
bertujuan untuk mencegah aktifitas lebih jauh oklusive intravoronary thrombus
sambil menfasilitasi solusi dengan memberikan mekanisme endogenous.
Obat antiplatelet
Aspitin menginhibisi platelet sintesis thrombozane A 2+ a sebagai mediator kuat
terhadap aktivitas platelet (lihat bab 17, dan aspirin merupakan salah satu
intervensi yang paling penting untuk mengurangi mortalitas pada pasien yang
mengalami semua jenis ACS. Harus diberikan segera pada pasien tanpa kontra
indikasi akan penggunaan aspirin ini (contoh seperti alergi atau kelainan
pendarahan tertentu)
Karena aspirin hanya memblokir satu jalur aktivasi dan agregasi platelet,
antithrombotic lain juga telah diteliti. CLOPIDOGREL, thienopyridine derivative,
memblokir aktivasi reseptor P2Y12 ADP pada platelet/thrombosis (lihat bab 17). Obat
ini direkomendasikan sebagai obat antiplatelet pengganti jika ada pasien yang
alergi aspirin. Selain itu, kombinasi aspirin dan clopidogrel hanya aspirin yang
bekerja lebih kuat dalam mengurangi mortalitas cardiovascular, kambuhnya cardiac
dan stroke pada pasien yang mengalami UA dan NSTEMI. Clopidogrel
direkomendasikan pada pasien yang mengalami UA atau NSTEMI, kecuali untuk

mereka yang akan dioperasi beda (karena tingginya resiko pendarahan pada terapi
ini).
Tidak semua pasien merespon clopidogrel dengan manfaat yang sama, ini
merupakan obat yang membutuhkan cytochrome biotransformasi yang
dimediasikan dengan P450 untuk metabolisme aktif. Contoh, pasien yang membawa
agen CYP2C19 pengurangan fungsi akan mengurangi inhibisi platelet, dan akan
mendapatkan manfaat klinis yang lebih sedikit. Oleh karena itu, generasi terbatu
platelet bloker receptor P2Y12 ADP telah dikembangkan tanpa ada kekurangankekurangan yang disebutkan diatas. Dalam hal ini, PRASUGREL, derivative
thienopyridine dimetabolismekan lebih efisien dan memiliki efek antiplatelet yang
lebih hebat. Dibandingkan dnegan clopiidogrel, telah ditunjukkan bahwa obat ini
mengurangi tingkat terjadinya gagal jantung pada pasien yang mengalami ACS dan
sedang menjalani intervensi percutaneous coronary (PCI), namun resiko pendarahan
yang tinggi.
reseptor antagonis Glycoprotein (GP) IIb/IIIa (yang terdiri dari antibody
abciximab dan molekul-molekul kecil eptifibatide dan tirofiban) merupakan obat
antiplate yang kuat untuk memblokir jalur terakhir agregasi platelet (lihat bab 17).
Obat ini efektif dalam mengurangi terjadinya serangan jantung pada pasien yang
sedang menjalai PCI. Pada pasien yang menunjukkan adanya UA atau NSTEMI,
manfaat obat ini berguna pada mereka yang memiliki resiko tinggi komplikasi
(contoh: level serum troponin terelevasi atau episode sakit dada kambuh lagi).
Kemudian, terapi reseptor antagonis Gp IIb/IIIa diberikan pada pasien yang memiliki
resiko paling besar dan diberikan saat PCI berlangsung.

OBAT-OBAT ANTICOAGUANT
Heparin unfractionated intravenous (UFG) telah lama menjadi obat terapi
anticoagulant untu UA dan NSTEMI. Ia mengikat anthrombin, yang mana dengan
hebat meningkatkan potensi protein plasma dalam mematikan gumpalan thrombin.
UFH menginhibisi factor Xa coagulase, melambatkan pertumbuhan thrombin dan
kemudian melambatkan pertumbuhan gumpalan. Pada pasien yang mengalami UA
atau NSTEMI, UFG meningkatkan dampak cardiovascular dan mengurangi
kecenderungan pertumbuhan UA menjadi MI. UFH diberikan dalam bentuk pil besar,
kemudian disertai dengan infuse intravenous. Karena tingginya tingkat variabilitas
farmakodinamis obat ini maka efek anticoagulant yang dimiliki obat ini harus
dipantau terus, dan dosisnya harus disesuaikan melalui pengukuran terus menerus
terhadap waktu aktifasi thromboplastin (aPTT). Ini merupakan obat anticoagulant
yang tidak terlalu mahal.
Untuk mengatasi kekurangan farmakologi yang dimiliki oleh UFH, heparin
rendah berat molecular (LMWHs) dikembangkan. Seperti UFH, LMWHs berinteraksi
dengan antithrombin namun lebih dipilih dalam menginhibisi coagulase factor Xa.

Mereka memberikan respon farmakologi yang dapat diprediksi dibandingkan yang


dilakukan oleh UFH. Selanjutnya, LMWHs lebih mudah digunakan, diresepkan 1 atau
2 perhari dalam bentuk injeksi tergantung dari berat pasien. Tidak seperti UFH,
LMWHs tidak dibutuhkan pemantauan test darah dan pengaturan dosis. Dalam uji
coba klinis pada pasien UA atau NSTEMI, enoxaparin LMWH (lihat bab 17) telah
digunakan mengurangi kematian dan tingkat kejadian iskemia dibandingkan
dengaan UFH.
Dua tipe anticoagulant yang lain telah menunjukkan manfaat pada kasus UA
dan NSTEMI dan terkadang digunakan ketika UFH atau LMWHs (1) pemberian factor
Xa inhibitor fondaparinux secara subcutaneously (dibalik kulit) (lihat bab 17) sama
dengan LMWH enoxaparin dalam mengurangi kerjadian buruk cardiac namun
mengurangi komplikasi pendarahan (2) intravenous lansung menuju ke inhibitpr
thrombin bivalirudin (lihat bab 17) memproduksi hasil klinis yang kuat dibandingkan
dengan kombinasi UFH dan reseptor antagonis GP IIb/IIIa pada pasien dengan UA
atau NSTEMI ditreatmenkan dengan strategi serangan awal, terutama dilakukan
untuk pengurangan insiden pendarahan. Pemilihan anticoagulant untuk pasien
sering tergantung dari apakah diikuti oleh convervative atau pendekatan invasive.

PENANGANAN KONSERVATIVE VERSUS PENANGANAN INVASIVE AWAL PADA UA DAN


NSTEMI
Banyak pasien yang mengalami UA atau NSTEMI stabil dalam beberaoa hal karena
beberapa terapi yang telah dijelaskan sebelumnya, sementara yang lain menuju ke
ACS yang lebih parah. Tidak ada definisi jelas untuk memprediksi arah mana pasien
akan dituntun atau melihat individu yang mana yang mengalami keparahan CAD
yang menjamin adanya revascularisasi coroner. Ketidakjelasan ini menuntuk ke
beberapa strategi UA/NSTEMI berikut: (1) pendekatan invasive segera, dimana
disana dijalankan catheterisasi cardiac dan dijalankan koronaro revascularisasi
dijalankan sebagai sebuah indikasi, atau (2) pendekatan conservative, dimana
pasien ditangani dengan obat (seperti yang dijelaskan pada seksi sebelumnya) dan
menjalankan angiografi hanya jika episode iskemia secara spontan kambuh atau
jika hasil test stress mengindikasikan adanya pengurangan iskemia. Pendekatan
conservative memberikan keuntungan secara harga dan resiko yang dimiliki oleh
procedure invasive. Semantara strategi invasive segera memberikan identifikasi
cepat dan menjelaskan treatment yang tepat (contoh revascularisasi) untuk mereka
yang mengalami penyakit coroner kritis.
Pada umumnya, pendekatan invasive segera direkomendasikan pada pasien dengan
refractory angina, dengan komplikasi seperti shock atau ventricular arrhythmias,
dan bagi mereka yang mengalami hal-hal klinis yang perlu dipertimbangkan.
Algoritma pengukuran resiko mempertimbangkan beberapa resiko dan membantu
dalam mengidentifikasi yang memiliki kecenderungan hasil yang buruk. Satu alat

yang paling umum digunakan adalah skore resiko thrombolysis untuk infarksi
miokard (TIMI) yang menjalankan 7 variabel untuk memprediksi level resiko pasien:
1. umur lebih dari 65 tahun
2. 3 atau lebih factor resiko penyakit artery coroner (sperti yang dijelaskan bab
5)
3. Diketahui adanya stenosis coroner pada tingkat 50% atau lebih berdasarkan
hasil angiografi
4. Deviasi ST yang ditunjukkan ECG
5. Setidaknya Ada 2 episode angina dalam 24 jam
6. Menggunakan aspirin pada 7 hari pertama (menggunakan resitensi sebagai
efek dari aspirin)
7. Mengelevasi serum troponin atau CK-MB
Penelitian klinis telah mengkonfirmasikan bahwa skor resiko TIMI
memprediksi kecenderungan kematian atau iskemik yang terjadi
berkelanjutan, karena itu dibutuhkan invasive strategi untuk pasien yang
mendapatkan skore lebih tinggi (3 atau lebih). Jika pendekatan invasive
segera dilakukan, pasien seharusnya menjalani pemeriksaan angiografi
dalam waktu 24 jam.
TREATMEN AKUT ST ELEVASI PADA SAAT INFARKSI MIOKARD
Berbeda dengan UA dan NSTEMI, artery yang salah pada STEMI sepenuhnya
disumbat. Kemudian, untuk membatasi kerusakan miokardial, focus utama
treatmen akut adalah untuk mencapai reperfusi cepat dari miokardium yang
dijiopardikan menggunakan obat fibrinolitik mekanisme revascularisasi
percutaneous coronary. Pendekatan ini mengurangi perluasan nekorsis
miokard dan meningkatkan pertahanan. Untuk menjadi efektif, mereka harus
dijalani sesegera mungkin; semakin cepat dintervensi, semakin besar jumlah
miokard yang dapat diselamatkan. Keputusan terkait dengan terapi harus
diambil dalam masa-masa pemeriksaan pasien, berdasarkan temuan sejarah
dan electrocardiografi, sebelum serum marker nekrosis meningkat.
Selain itu, pad kasus UA dan NSTEMI, pengobatan khusus dilakukan
segera untuk mencegah thrombosis lebih lanjut dan untuk mengembalikan
keseimbangan antara supplay dan permintaan oksigen di miokard. Contoh,
antiplatelet terapi menggunakan aspirin menurunkan tingkat mortalitas dan
tingkat reinfarksi setelah STEMI. Hal tersebut harus diberikan segera (dengan
menghisap table agar adanya absorpsi) dan dilanjutkan dengan oral terapi
harian. Intrvenous UFH diinfuskan untuk membantu pembuluh coroner dan
tambahan penting untuk regimens fibriolytic modern. B-bloker mengurangi
permintaan oksigen dan menurunkan resiko kekambuhan iskemia,
arrhythmias, dan reinfarksi. Tidak adanya kontra indikasi (contoh: asma,
hipertensi, atau bradycardia yang kuat), pemberian oral B-bloker dilakukan
untuk meningkatkan detak jantung menjadi 50 ke 60 denyut permenit. Terapi
intravenous bloker seharusnya diberikan pada pasien yang mengalami
intervensi, pemberian tersebut juga bijak diterapkan kepada yang mengalami

peningkatan cardiogenic shock di STEMI. Terapi nitrate biasanya yang


diberikan adalah nitroclycerin digunakan untuk mengontrol nyeri iskemia dan
juga bermanfaat sebagai vasolidator pada pasien yang mengalami gagal
jantung atau hipertensi yang parah
TERAPI FIBRINOLYTIC
Obat fibrinolytic mengakselerasi lisis penyumbatan thrombus intracoronary di
STEMI, mengembalikan aliran darah dan membatasi kerusakan miokardial.
Bagian ini tidak berpengaruh pada pasien UA atau NSTEMI, dan pasien yang
mengalami UA atau NSTEMI tidak mendapatkan manfaat dari terapi
fibrinolytic.
Penggunaan obat fibrinolytic termasuk didalamnya kombinasi activator
plasminogen (alteplase, tPA) rateplase (rPA), dan tenecteplase (TNK-tPA).
Streptokinase, salah satu penelitian fibrinolytics terbaru, dan sekarang hanya
digunakan di amerika serikat. Tiap-tiap fungsi obat yang dilakukan dengan
menstimulasi system alami fibrinolytic, mengubah precursor plasminogen
yang tidak aktif menjadi protease plasmin yang aktif, yang mengecilkan
gumpalan fibrin. Meskipun thrombus intracoronary merupakan target,
plasmin memiliki substrat yang sedikit dan bisa menurunkan potensi protein
yang lain, termasuk fibrinogen precursor milik fibrin. Kemudian, terjadilah
pendarahan sebagai bentuk komplikasi umum akibat obat-obat ini. Meskipun
begitu, tidak seperti obat streptokinase, obat paling baru melekat ke fibrin
dalam bentuk thrombus (contoh gumpalan intrakoroner), kemudian
menegerasikan plasmin disitu juga, dengan sedikit intervensi coagulase pada
circulasi umum (gambar 7.11) namun, pendarahan tetap merupakan resiko
dari fibrinolitic ini.
rPA dan TNKA-tPA merupakan turunan dari tPA dengan hidup setengah
lebih lama. Manfaat utama mereka adalah mereka bisa diberika dalam
bentuk IV kapsul besar, yang mana lebih meyakinkan dan kurang beresiko
jika terjadi administrasi yang salah daripada infuse intravenous yang penting
untuk tPA.
Pemberian fibrinolytic agen dijam-jam pertama pada akut STEMI
mengembalikan aliran darah pada sebagian besar oklusi coroner (70 hingga
80%) dan secara signifikan mengurangi kerusakan jaringan lebih jauh.
Meningkatkan kekuatan artery diubah menjadi peningkatan tingkat
pertahanan dan mengurangi komplikasi paska infarksi. Inisiasi cepat
pemberian fibrinolysis sangat penting dilakukan: pasien yang menerima
terapi dalam waktu 2 jam saat serangan gejala STEMI memiliki mortalitas
setengah daripada mereka yang menerimanya setelah 6 jam.
Kesuksesan reperfusi ditandai dengan peredaan nyeri dada,
mengembalikan ST segment ke dasar, dan lebih cepat dari biasanya serum
marker necrosis memuncak, seperti tronponins dan CK-MB. Selama proses
reperfusi, arrhythmias sementara biasa terjadi dan tidak membutuhkan
treatmen. Untuk mencegah penyumbatan pembuluh ulang dengan segera

setelah kesuksesan thrombolysis, regimen antithrombitic diberikan, seperti


yang akan dijelaskan selanjutnya.
Karena resiko utama thrombosis adalah pendarahan, maka
kontraindikasi pada terapi tertentu termasuk didalamnya situasi dimana
gumpalan fibrin yang penting didalam sirkulasi akan dipertimbangkan
sebagai hal yang berbahaya (contoh pasien dengan penyakit ulcer peptic
atau yang memiliki kelainan pendarahan, pasien yang baru saja mengalami
strok, atau pasien yang sedang dalam penyembuhan operasi bedah).
Hasilnya, sekitar 30% pasien mungkin tidak cocok untuk thrombolysis.
Beberapa perbandingan obat fibrinolytic skala besar telah dilakukan.
Penelitian baru-baru ini, percobaan international GUSTO-1 menemukan
manfaat kecil tPa akan pertahanan paska infarksi dibandingkan dengan
streptokinase, pelebaran resiko kecil intracranial hemorrhage dengan tPA.
Percobaan lainnya menbandingkan tPA dengan agen terbaru rPA dan TNK-tPA
dan menemukan kemanjuran klinisi yang sama pada 3 obat ini. Pesan
penting dari percobaan-percobaan ini adalah kekuatan segera dan berlanjut
pada artery coroner yang terkait dengan infarksi akan meningkatkan
pertahanannya. Tidak peduli fibrinolytic yang mana dyang diberikan, yang
penting harus diberikan sesegera mungkin, idealnya dalam 30 menit pasien
ada dirumah sakit.

Gumpalan
fibrin

Gumpalan
fibrin

Mengecilkan gumpalan
tanpa perlakukan lyctic
sistemik

Gambar 7.11 contoh agen fibrinolytic digunakan pada st-elevasi miokardial infarksi.
A. jaringan activator plasminogen (tPA) meletakkan plasminoget pengikat fibrin (P)
untuk membentuk plasmin aktif (P1) yang mengecilkan gumpalan fibrin. Pemilihan
tPA untuk P fibrin terikat terjadi di thrombolysis dan meminimalisir sistemik
fibrinolysis. TNK-tPA dan rPA (lihat text) beraktifitas sama seperti tPA tapi tidak bisa
diberikan dalam bentuk kapsul besar, jadi diberikan secara sederhana. B. fibrinolytic
streptokinase (SK) yang lebih tua berkombinasi dengan ikatan fibrin dan
mengsirkulasikan plasminogen untuk membentuk sebuah komplek yang aktif, yang
menghidupkan molekul-molekul plasminogen tambahan, mengurangnya pemilihan
untuk plasminogen fibrin terikat pada perlakukan sistemik lyctic.

TERAPI ANTITHROMBOTIC TAMBAHAN SETELAH PEMBERIAN FIBRINOLISIS


Seperti yang dijelaskan sebelumny, aspirin terapi paling utama pada semua pasien
yang mengalami ACS biasanya diberikan pada pasien. Anticoagulant diberikan
dengan terapi fibrinolytic pada STEMI dapat memperkuat lysis gumpalan dan
mengurangi tingkat penyumbatan. Kemudian, bagi pasien yang diobati dengan tPA,
rPA, atau TNK-tPA, IV UFG lanjutan diberikan dalam waktu lebih dari 48 jam. Terapi
LMWH merupakan alternative untuk UFH seperti yang ditunjukkan bahwa itu dapat
mengurangi komplikasi iskemik, namun meningkatkan resiko intracranial
hemorrhage pada pasien yang lebih tua.
Obat antiplatelet CLOPIDOGREL diberikan dan dikombinasikan dengan aspirin
dapat mengurangi mortalitas dan kejadian cardiovascular pada pasien STEMI yang
menerima obat fibrinolytic. Berlanjut, antiplatelet GP receptor antagonis IIb/IIIa tidak
bertindak memberikan manfaat bertahan pada pasien yang diterapi dengan
fibrinolysis dan tidak seharusnya diberikan secara rutin pada pasien seperti
tertentu.
INTERVENSI UTAMA PERCUTANEOUS CORONARY
Terapi alternative fibrinolytic pada pasien yang mengalami STEMI adalah cardiac
catherizasi dan PCI yang bertanggung jawab pada saat infarksi. Pendekatan ini
diistilahkan dengan nama primary PCI dan melibatkan angioplasty, dan stenting
pada pembuluh rusak. PCI utama merupakan metode efektif untuk menetapkan
ulang perfusi coronary, pada percobaan klinisi yang terlah dilakukan telah mencapai
aliran yang optimal pada infarksi terkait dengan pembuluh pada lebih dari 95
pasien. Dibandingkan dengan terapi fibrinolytic, Primary PCI atau PCI utama
menghasilkan pertahanan yang lebih kuat dengan menurunkan tingkat reinfarksi
dan pendarahan. Kemudian, primary PCI biasanya merupakan pendekatan reperfusi
yang dipilih saat terjadinya STEMI akut, jika prosedur dapat dilaksanakan sesuai
dengan pengalaman pelaksana dalam waktu yang segera (dalam waktu 90 menit ia
dirawat dirumah sakit). Sebagai tambahan, primary PCI dipilih untuk pasien yang
memiliki kontra indikasi terhadap terapi fibrinolysis, termasuk pasien yang telat

menunjukkan (lebih dari 3 jam gejala serangan tepat setelah sampai di rumah sakit)
atau mereka yang sedang daam keadaan shock cardiogenic.
Lebih lanjut, penyelamatan PCI direkomendasikan pada pasien yang diawal
diberikan terapi fibrinolytic namun tidak menunjukkan responn yang layak,
termasuk perubahan gejala dan st elevasi.
Sebagai lanjutan dari aspirin dan heparin, pasien yang sedang menjalani primary
PCI biasanya menerima reseptor antagonis intravenous GP IIb/IIa sebagai prosedut
lanjutan untuk mengurangi kompliasi thrombitic (perlu digaris bawahi bahwa
bivalirudi sebagai inhibitor langsung terhadap thrombin dapat diganti dengan
kombinasi heparin dan antagonis GP IIb/IIIa). Pada pasien yang menerima stens
coroner selama PCI, pemberian thienopyridines oral (contohnya clopidogrel) telah
menunjukkan kesuksesan dalam mengurangi resiko komplikasi iskemia dan stent
thrombosis. Clopidogrel (atau prasugel thienopyridine potensial) merupakan terapi
yang diberikans selanjutnya untuk yang memiliki periode yang lebih lama (sering
lebih dari 12 bulan), tergantung dari tipe stent.

TERAPI LANJUTAN
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor membatasi pemodelan ulang
ventricular buruk dan mengurangi insiden gagal jantung, dan mencegah
kekambuhan iskemia, dan mortalitas setelah MI. manfaat mereka ada pada aspirin
dan B-bloker, dan mereka telah menunjukkan peningkatan yang baik pada pasien
yang memiliki resiko tinggimereka yang terkena infarksi dinding anterior atau
disfungsi sistolik LV.
Statin penurun kolesterol (HMG-CoA reductase inhibitor)mengurangi tingkat
mortalitas pada pasien yang meiliki penyakit artery coroner (lihat bab 5). Percobaan
klinis pada pasien dengan ACS telah dilakukan yang menunjukkan bahwa aman
untuk memberika statin diawal-awal masa dirumah sakit, dan itu dirancang untuk
mencapai densitas lipoprotein yang rendah (LDL) level kurang dari 70 mg/dL,
memberikan perlindungan yang lebih kuat melawan kejadian cardiovascular dan
kematian dibandingkan target standar (contoh mencapai LDL kurang dari 100
mg/dL). Manfaat terapi statin akan melebar melewati lipid lowering, karena
sekelompok obat ini telah diberikan dan bisa meningkatkan disfungsi endothelial,
menginhibisi agregasi platelet, dan merusak formasi thrombus.
Kemudian, penggunaan anticoagulant heparin jangka pendek telah digambarkan
sebelumnya, penggunaan lebih lanjut diikuti dengan oral anticoagulant (contoh
warfarin) cocok untuk pasien yang memiliki resiko thromboembolism yang tinggi,
contoh pasien yang dicatat memiliki intraventricular thrombus (biasanya
diidentifikasi oleh echocardiografi) atau atrial fibrillasi dan mereka yang mengalami

MI anterior akut dengan akinesis pada wilayah itu (yang mana berpenaruh pada
formasi thrombus karena berhentinya aliran darah).

KOMPLIKASI
Di UA, komplikasi paling potensial itu adalah kematian (5% hingga 10%) atau
infarksi lebih lanjut (10% hingga 20%) melebihi waktu hari dan minggu biasa. Ketika
infarksi mulai diketahui, terutama STEMI, komplikasi bisa terjadi dari inflamasi,
mekanis, dan abnormalitas elektrik dimasukkan oleh area-area miokard necrosing
(gambar 7.12). komplikasi awal terjadi karena miokardial necrosis itu sendiri.
Mereka yang mulai mengembangkan itu beberapa hari hingga beberapa minggu
kemudian mewakili inflamasi dan menyembuhkan jaringan necrotic.

ISKEMIA KAMBUH
Paska infarksi angina telah dilaporkan terjadi pada 20% hingga 30% pasien
melanjutkan MI. tingkat ini belum dikurangi dengan menggunakan terapi
thrombolytic, namun berkurang pada mereka yang menjalani percutaneous
angioplasty atau implantasi coronary stent sebagai bagian dari penanganan MI.
indikasi pengurangan aliran darah coroner yang tidak cukup, merupakan hasil yang
buruk dan berkorelasi dengan peningkatan resiok reinfarksi. Beberapa pasien
biasanya membutuhkan cardiac catherization, sering diikuti oleh revascularisasi
menggunakan teknik-teknik percutaneous atau bedah bypass artery coroner.

Gambar 7.12. komplikasi MI. infarksi bisa terjadi pada kontraktilitas yang berkurang,
ketidakstabilan eletrik, dan jaringan nekrosis, yang mana bisa menyebabkan
sequelae.

TABEL 7.6 ARRHYTHMIAS YANG TERJADI PADA INFARKSI MIOKARDIAL AKUT


RITME
SINUS BRADYCARDIA
SINUS TACHYCARDIA

PENYEBAB
VAGAL TONE
PERFUSI SA ARTERY NODAL
NYERI DAN CEMAS
GAGAL JANTUNG
VOLUME DEPLESI


APBs, ATRIAL FIBRILASI
VPBs, VT, VF
AV BLOCK (1 DERJAT, 2 DERJAT, 3
DERJAT)

OBAT CHRONOTROPIK
(CONTOH:DOPAMIN)
GAGAL JANTUNG
ATRIAL ISKEMIA
ISKEMIA VENTRIKULAR
GAGAL JANTUNG
IMI:
VAGAL TONE DAN
ALIRAN
AV NODAL ARTERY
AMI: PERUSAKAN BERLEBIHAN
PADA JARINGAN KONDUKSI

ARRHYTHMIAS
Arrhythmias terjadi terus menerus selama MI akut berlangsung dan merupakan
sumber utama dari mortalitas ketika baru sampai dirumah sakit. Untungnya, unit
pelayanan coroner modern mampu mendeteksi dan mentreatmen gangguan ritme;
dan ketika pasien dirawat, arrhythmia yang menyebabkan kematian jarang terjadi.
Mekanisme yang berkontribusi terhadap terjadinya arrhythmogenesi setelah MI
adalah yang diatas (table 7.6)
1. Gangguan anatomi dari aliran darah untuk membentuk konduksi jalur itu
(contoh sinoatrial node, atrioventrikular node, dan cabang yang terikat kuat);
perfusi normal dari komponen yang ada pada system konduksi dibahas di
table 7.7)
2. Akumulasi produk racun metabolic (contoh: cellular acidosis) dan konsentrasi
ion transselular abnormal karena keluarnya brane.
3. Stimulasi otomatis (simpatetik dan parasimpatetik)
4. Pemberian obat arrhythmogenic (contoh: dopamine)

TABEL 7.7 SUPPLAY DARAH PADA SISTEM KONDUKSI


JALUR KONDUKSI
SA NODE
AV NODE
BUNDLE
RBB
LBB
FASCICLE ANTERIOR KIRI

SUPPLY ARTERY UTAMA


RCA (70% PASIEN)
RCA (85% PASIEN)
LAD (CABANG SEPTAL)
PORSI PROXIMAL OLEH LAD
PORSI DISTAL OLEH RCA

LAD

FASCICLE POSTERIOR KIRI

LAD dan PDA

VENTRIKULAS FIBRILLASI
Ventrikulas fibrillasi (aktifitas elektrik yang cepat dan tidak terorganisir pada
ventrikel) bertanggung jawab terhadap kematian cardiac tiba-tiba selama
terjadinya MI akut. Episode paling fatal terjadi sebelum sampai dirumah sakit,
trend yang bisa berdampak akibat meningkatnya ketersediaan defibrillator
eksternal secara otomatis di tempat-tempat umum. Episode ventricular
fibrillasi yang terjadi selama 48 jam pertama kejadian MI sering terkain
dengan ketidakstabilan elektrik atau listrik sementara, prognosa jangka
panjang pada orang-orang yang selamat dibeberapa kejadian tidak
berpengaruh buruk. Namun, ventrikulas fibrillasi terjadi setelah 48 jam
setelah akut MI biasanya menunjukkan adanya disfungsi LC dan berhubungan
dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Detak etopic ventricular, ventrikulas tachycardia dan ventrikulas
fibrillasi selama akut MI muncul dari sirkuit atau sel ventrikulas yang
meningkat secara otomatis (lihat bab 11). Dekat ventrikulas ectopic yang
umum dan bisanya tidak diterapi kecuali jika detaknya mulai berurutan,
banyak suara, dan terus menerus. Personil unit layanan cardiac mampu
mendeteksi arrhythmia dan institusi pengobatan harus lebih keras terhadap
perkembangan arrhythmias ventrikulas. Terapi untuk ventrikulas arrhythmias
digambarkan di bab 12.
ARRHYTHMIAS SUPRAVENTRIKULAR
Supraventrikulas arrhythmias umum terjadi di akut MI. sinus bradycardia
terjadi dari baik itu stimulasi vagal yang berlebihan maupun iskemia
sinoatrial, biasanya dalam setting dinding inferior MI. sinus tachycardia
terjadi teratur dan menghasilkan nyeri dan cemas, serta gagal jantung, dan
pemberian obat (seperti dopamine), atau deplesi volume intravascular.
Karena sinus tachycardia meningkatkan permintaan oxygen di miokardial dan
bisa memperburuk iskemia, mengidentifikasi dan mengobati penyebab
tersebut itu sangat penting. Detak premature atrial dan fibrillasi atria (lihat
bab 12) menyebabkan iskemia atria atau atrial distensi menjadi gagal LV
pada MI akut. Mereka mungkin menyebabkan iskemia atau nekrosis pada
saluran konduksi, atau pada kasus pemblokiran atroventrikular, yang mana
dapat berkembang karena meningkatnya vagal tone. Aktifitas vagal bisa
ditingkatkan karena stimulasi serat afferent dengan miokardium yang
terinflamasi atau hasil dari aktivasi otomatis yang terkait dengan nyeri pada
MI akut.
DISFUNGSI MIOKARD
Gagal jantung congestive
Iskemia cardiac akut terjadi di kontraklitas ventricular yang cacat (disfungsi
sistolik) dan meningkatkan kekerasan miokardial (disfungsi diastolic),
keduanya dapat menyebabkan pada gejala gagal jantung. selain itu,

pemodelan ulang ventrikulas, arrhythmias dan komplikasi mekanikal akut MI


(digambarkan nanti) akan berakhir dengan gagal jantung. tanda-tanda dan
gejala gejala decompensasinya adalah sulit bernafas, pulmonary rales, dan
suara jantung ketiga (S3). Penanganannya terdiri dari terapi gagal jantung
standar, yang termasuk didalamnya adalah diuretics untuk melepaskan
volume yang berlebihan, dan inhibitor ACE dan terapi B-bloker untuk
mortalitas jangka panjang akan bermanfaat (lihat bab 9). Selain itu, pasien
yang mengalami gagal jantung paska MI dan pecahan pelepasan LV sebesar
kurang dari 40%, sebuah obat antagonist aldosterone (spironolactone atau
eplerenonedigambarkan di bab 9) seharusnya dipertembangkan, seperti
percobaan klinis yang telah ditunjukkan bahwa terapi lebih jauh
meningkatkan pertahanan dan mengurangi tingkat untuk kembali kerumah
sakit, namun, ketika aldosterone antagonisr diberikan beserta inhibitor AC,
level serum potasium seharusnya dipantau dengan sangat hati-hati untuk
mencegah hyperkalemia.
Shock cardiogenic
Shock cardiogenic merupakan kondisi yang menurunkan dampak cardiac dan
hypertensi (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg) dengan perfusi
pada jaringan peripheral yang tidak memadai yang berkembang ketika lebih
dari 40% LV telah melakukan infarksi. Itu mungkin akan disertai dengan
komplikasi MI parah yang akan dijelaskan nanti. Shock cardiogenic
merupakan pengabdian diri karena (1) hipertensi menurunkan perfusi coroner
yang mana memperburuk kerusakan iskemia, dan (2) menurunkan volume
strok meningkatkan ukuran LV dan menyebabkan penambahan permintaan
oksigen miokard (lihat gambar 7.12). shock cardiogenic terjadi pada lebih
dari 10% pasien paska MI, dan tingkat mortalitas yang terjadi adalah lebih
dari 70%. Catherisasi cardiac awal dan revasculariasi dapat meningkatkan
prognosa.
Pasien yang mengalami shock cardiogenic membutuhkan obat
intravenous inotropic (cntoh. Dobutamine) untuk meningkatkan output
cardiac dan ketika tekanan darah meningkat, arterial vasodilator mengurangi
pertahanan kontraksi LV. Pasien sering distabilkan dengan pemasangan balon
pompa intra-aortic. Dipasang kedalam aorta melalui artery femoral, pompa
tersebut terdiri dari inflatable, ruang fleksibel yang melebar selama diastole
untuk meningkatkan tekanan inra-aortic, dan kemudian menambah perfusi di
artery coroner. Selama systole, ia turun untuk menciptakan sebuah vacuum
yang bertindak untuk mengurangi pemasukan ulang ventrikel kiri, kemudian
membantu pelepasan darah ke aorta dan meningkatkan output cardiac dan
perfusi jaringan peripheral.
Jika dukungan hemodinamik berlebihan dan tahan lama dibutuhkan,
alat bantuk percutaneous ventricular kiri (LVAD) dapat dipasang.
Menggunakan cannulae yang dipasang melalui jaringan femoral, mesin
diletakkan diluar batang pompa memberikan darah oksigen dari LA atau LV

(tergantun dari model nya) menuju aorta dan cabang-cabangnya, membantu


LV.
Infarksi ventricular kiri
Sekitar 1 pertiga pasien yang mengalami farksi dinding inferior LV juga
mengembangkan porsi nekrosis di kiri ventrikel, karena artery coroner yang sama
(biasanya coroner kiri) menyembur ke kedua area pada sebagian besar pasien.
Kontraksi abnormal yang dihasilkan dan kompikasi menurun dari ventricular kanan
menunjukkan tanda-tanda kegagalan jantung sebelah kanan (contoh: distensi venus
jugular) keluar dari proporsi untuk menandari kegagalan jantung sebelah kiri. Selain
itu, hipertensi bisa saja terjadi ketika disfungsi ventricular kiri membuat gagal aliran
darah melalui paru-paru, sehingga ventrikel kiri pun tidak terisi. Dalam hal ini infusi
volume intravenous memperbaiki hypertensi, sering dituntun oleh pengukuran
hymodinamic melalui chateter artery pulmonary tranvenous (lihat BAB 3)
Komplikasi mekanik
komplikasi mekanik pada MI terjadi karena iskemia jaringan cardiac dan necrosis.
Rupture otot papillary
Nekrosis iskemia dan rupture otot LV papillary bisa saja fatas karena danya
regurgitasi mitral yang parah, seperti valve leaflets kehilangan kelekatan mereka.
Rupture sebagian dengan regurgitasi yang lebih modern tidak mematikan segera
tapi bisa menyebabkan gejala gagal jantung atau pulmonary edem, karena ia
memiliki supplay darah yang sulit, otot posteromedial LV papillary lebih rentan
terhadap infarksi daripada anterolateral.
RUPTURE DINDING BEBAS VENTRIKULAR
Tidak sering tapi mematikan, rupture pada dinding bebas LV melalui perpecahan
pada necrotic miokardium dapat terjadi dalam 2 minggu pertama setelah MI. umum
terjadi pada wanita dan pasien yang memiliki sejarah hipertensi. Hemorrhage
kedalam ruang pericardial karena rupture dinding bebas LV terjadi di temponade
cardiac, yang mana darah mengisi ruang pericardial dan membatasi pengisian
pada ventricular (lihat bab 14). Jarang ada yang bertahan.
Dalam kejadian ini, PSEUDOANEURYSM terjadi jika rupture pada dinding
bebera tidak terjadi sepenuhkan dan ditangani oleh formasi thrombus yang
menutup lubang miokardium. Situasi ini disebut dengan cardiac equivalent bomb
waktu, karena rupture yang lengkap kearah pericardium dan tamponade akan
menyusul. Jika dideteksi (biasanya oleh penelaahan gambar), perbaikan dengan
bedah dapat mencegah hasil disastrous yang lain.
RUPTURE VENTRIKULAR SEPTAL

Komplikasi ini sejalan degan rupture dinding bebas LV, namun aliran darah tidak
normal tidak mengarah sepanjang dinding LV ke pericardium. Melainkan darah
didorong melaluin septum ventricular dari kiri ventrikel ke kanan ventrikel, biasanya
menunda gagal jantung karena volume yang berlebihan pulmonary capillaries.
Sistolik murmur yang ada dikiri perbatasan menunjukkan adanya aliran transseptal,
hal ini sering terjadi pada situasi ini. Meskipun tiap-tiap kejadian pada sistolik
murmur, rupture ventricular septal dapat dibedakan degna akut mitral regurgitasi
dengan melihat lokasi murmur (lihat gambar 2.11). melalui dopplet
enchocardiografi, atau dengan mengukur saturasi darah O 2 disebelah kiri ruang
jantung melalui cathere transvenous. Konten O 2 disebelah kiri ventrikel secara
abnormal lebih tinggi dibandingkan yang disebelah kanan atrium jika ada
perpindahan darah yang dioksigenkan dari kiri ventrikel menuju ke septal defect.
Aneurysm ventricular sejati
Komplikasi telat MI membuat ventricular aneurysm yang sebenarnya tterjadi
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah infarksi akut, ia berkembang
ketika dinding ventrikulas melemah, namun tidak dilubangi, dengan pembersihan
phagolytic milik jaringan nekrotik, dan ia tejadi pada tonjolan diluar (dyskinesia)
ketika sisa kontrak otot hati bekerja kuat. Tidak seperti pseudoaneurysm yang
digambarkan sebelumnya, aneurysm yang sebenarnya tidak terlibat dalam
komunikasi antara rongga LV dan pericardium, jadi rupture dan tamponade tidak
berkembang. Komplikasi potensial dari LV aneurysm adalah (1) formasi thrombus
didalam area tempat aliran darah berhenti, bertindak sebagai sumber emboli ke
organ peripheral; (2) ventrikulas arrhythmias behubugnan dengan tarikan
myofibers; dan (3) kegagalan jantung diakibatkan oleh pengurangan output cardiac,
karena beberapa volume stroke LV terbuang dengan mengisinya ke aneurysm
selama terjadinya systole.
Tanda-tanda adanya LV aneurysm adalah bertahannya ST elevasi pada ECG
berminggu setelah ST elevasi MI dan tonjolan pada perbatasan LV ditunjukkan saat
dilakukan radiografi pada bagian dada. Abnormalitas dapat dikonfirmasikan melalui
echocardiografi.
PERICARDITIS
Pericarditis akut mungkin terjadi diawal (dirumah sakit) periode paska MI sebagai
perluasan inflamasi dari miokradium ke pericardium. Nyeri ditusuk, demam, dan
gesekan pericardial terjadi pada situasi ini dan membantu membedakan pericarditis
dengan sakit kambuh iskemia miokardial (lihat bab 14). Gejala-gejala biasanya
dengan cepat merespon jika diberikan terapi aspirin. Anticoagulant relative kontra
indikatif pada MI karena pericarditis untuk menghindari hemorrhage dari inflamasi
pericardial. Frekuensi MI yang terkait dnegan pericariditis telah ditolak sejak
pengenalan strategi reperfusi akut, karena pendekatan tersebut membatasi
peluaasan kerusakan miokard dan inflamasi.

Sindrom dressler
Sindrom dressler merupakan bentuk tidak biasa lainnya dari pericarditis yang bisa
terjadi diluar minggu-minggu itu melanjutkan MI. penyebabnya tidak jelas,tapi
proses imun yang diarahkan melawan kerusakan jaringan miokardial dicurigai
memainkan peran dalam hal ini. Sindrom ini disertai dengan demam, rasa sakit, dan
nyeri tusuk, sakit dada disertai dengan leukocytosis, tingkat erythrocyte
sedimentasi, dan efusi pericardial. Sama dengan bentuk lain dari akut pericarditis,
sindrom dressler umumnya merespon aspirin atau terapi anti-inflamasi
nonsteroidal.
THROMBOEMBOLISM
Aliran darah menetap di area-area kontraksi LV yang cacat setelah MI terjadi di luar
rongga thrombus, khususnya ketika infarksi melibatkan LV apex, atau ketika
aneurysm sejati terbentuk. Thromboemboli bisa terjadi di infarksi organ peripheral
(contoh cerebrovascular [stroke] disebabkan oleh embolism ke otak)
PEMAPARAN RESIKO DAN PENANGANAN SETELAH INFARKSI MIOKARDIAL
Prediktor paling penting pada hasil pasca MI adalah disfungsi LV yang melebar.
Tanda-tanda lain yang menunjukkan hasil yang buruk adalah kekambuhan dini akan
gejala iskemia, volume besar sisa volume miokard tetap beresiko karena penyakit
coroner yang parah, dan tingginya tingkat ventricular arrhythmias.
Untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki resiko komplikasi tinggi yang mungkin
mendapatkan manfaat dari cardiac cathertisasi dan revascularisasi, test latihan
treadmill harus sering dilakukan (kecuali pasiennya sudah melewati masa
catherisasi dan revacularisasi untuk sindrom coroner). Pasien yang menunjukkan
hasil abnormal yang signifikan atau mereka yang menunjukkan kekambuhan
spontan dan dini angina, sebaiknya dirujuk ke cardiac catherisasi untuk
menunjukkan anatomy coroner mereka.
Terapi standar paska terjadinya itu termasuk aspirin, B-bloker, dan inhibitor
reductase HMG-CoA (statin) untuk meningkatkan nilai LDL kurang dari 70 mg/dL.
Inhibitor AC diresepkan untuk pasien yang disfungsi kontraktil LV; aldosterone
antagonis dipertimbangkan pada pasien yang memiliki gejala gagal jantung.
perhatikan factor resiko cardiac, seperti merokok, hypertensi, diabeter, butuh untuk
menjalankan program latihan rehabilitasi.
Pasien yang memiliki pelepasan fraksi LV sama dengan atau kurang 30% setelah MI
akan memiliki resiko tinggi kematian mendadak dan merupakan kandidat
pemasangan prophylactic implantable cardioverter deribrillator. Petunjuk terbari
merekomendasikan penundaan impantasi setidaknya 40 hari paska MI karena
percobaan klinis tidak menunjukkan manfaat bertahan di tahap-tahap awal.

RINGKASAN
1. ACS diantaranya adalah UA, NSTEMI, dan STEMI. Kebanyakan episode ACS
ditunjukkan oleh thrombus coroner di bagian plak atherosclerotic. Rupture
plak merupakan pemicu yang biasa pada terbentuknya thrombus melalui
aktifasi thrombosis atau platelet dan pembekuan aliran. Disfungsi endothelial
pada atherosclerosis berkontribusi terhadap proses dengan menurunkan
jumlah vasolidator dan mediator antithrombotic.
2. Perbedaan antara tipe-tipe ACS itu berdasarkan keparahan iskemia dan
bagaimana miokardial nekrosisnya terjadi. STEMI berhubungan dengan
penyumbatan thrombus dan iskemia disertai nekrosis yang parah. ACS tanpa
ST elevasi (NSTEMI dan UA) biasanya terjadi karena penyumbatan thrombus
setengah dengan iskemia yang kurang intens. Dibandingkan dengan UA,
gangguan pada NSTEMI itu kadarnya cukup untuk menyebabkan miokardial
nekrosis.
3. ACS terjadi di biochemical dan perubahan mekanikal yang merusak kontraksi
systolic, menurunkan komplikasi mikoradial, dan mempengaruhi arrhythmias.
Infarksi memulai respon inflamasi yang membersihkan jaringan nekrotik dan
membentuk parutan. Iskemia parah sementara tanpa infarksi menyebabkan
miokardium yang kuat, kondisi disfungsi kontraktil yang bertahan lebih dari
periode iskemia yang seharusnya, dengan penyembuhan fungsi secara
bertahap dan sedikit demi sedikit.
4. Diagnosa khusus ACS mengikuti sejarah pasien, adanya abnormalitas ECG
dan tampilan biomarker khusus pada serum (contoh cardiac troponin)
5. Treatmen akut untuk UA dan NSTEMI adalah pemberian terapi anti iskemia
untuk mengembalikan keseimbangan permintaan dan supplay oksigen di
miokardial (contoh terapi pemberian b-Blokers dan nitrates) dan terapi
antithrombotic untuk memfasilitasi resolusi thrombus intrakoroner (aspirin,
dan anticoagulant [contoh IV heparin, LMWH], antagonist receptor ADP
[contoh, clopidogrel]. Dan reseptor antagonisr GP IIb/IIIa). Terapi statin biasa
digunakan. Angiografi dini dengan revasculatisasi coroner bertahap
bermanfaat bagi pasien yang memiliki resiko tinggi.
6. Treatmen akut untuk STEMI adalah strategi reperfusi dengan menggunakan
obat fibrinolytic atau intervensi percutaneous catherer. Pengukuran penting
lainnnya dalah antiplatelet terapi (aspirin, clopidogrel), anticoagulant, bblocket, dan terkadang terapi nitrates. statin dan inhibitor AC layak
digunakan.
7. Komplikasi potensial pada infarksi diantaranya adalah arrhythmias (contoh
seperti ventrikulas tachycardia dan fibrillasi), blok atrioventrikulas, dan blok
gulungan cabang atau bundle branck block. Shock cardiogenic atau
kegagalan jantung congestive dapat terjadi karena disfunsi ventricular atau
berkembangnya komplikasi mekanikal (contoh regurgitasi mitral akut atau
ventricular septal defect). Abnormalitas dinding merupakan segment yang
berefek pada terbentuknya thrombus.

8. Terapi farmakologi standar mengikuti apa yang dilakukan oleh rumah sakit
diantaranya adalah pengukuran untuk mengurangi resiko thrombosis (aspirin
dan clopidogrel), kekambuhan iskemia (b-bloker), atherosclerosis berlanjut
(terapi penurunan kolesterol, biasanya pemberian statin), pemodelan ulang
ventricular rusak (ACE inhibitor, khususnya jika adanya disfungsi LV).
Anticoagulant sistemik dengan warfarin diindikasikan jika adanya
intraventrikular thrombus, bagian akinetik yang besar, atau atrial fibrilasi.
9. Seriko pasca ACS dapat mengidentifikasi pasien dengan resiko kekambuhan
iskemia, infarksi ulang, kematian. Fungsi LV yang cacat, arrhythmias
ventricular tingkat tinggi, dan perubahan-perubahan iskemia selama latihan
menguji hasil yang tidak diharapkan dan menjamin investigasi dan treatmen
lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai