Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Kejang Demam adalah kejang pada anak sekitar usia 6 bulan sampai 5 tahun yang terjadi
saat demam yang tidak terkait dengan kelainan intrakranial, gangguan metabolik, atau riwayat
kejang tanpa demam. Penyebab demam pada pasien kejang demam biasanya adalah
gastroenteritis (38,1%), infeksi saluran nafas atas (20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%).
Sementara menurut Chung & Wong (2007), infeksi saluran nafas (79,5%), gastroenteritis (5,5%),
roseola (2,9%), infeksi saluran kencing (1,1%) dan bakteriemia (0,9%) merupakan penyebab
demam pada pasien kejang demam. Hauser (1994) menyatakan bahwa insiden kejang demam di
Amerika dan Eropa terjadi pada 2-5% anak dan biasanya pada anak yang berumur antara 3 bulan
dan 5 tahun, dengan puncak kejadian pada 18 bulan. Di Asia angka insidensi kejang demam
lebih tinggi yakni 8,3% di Jepang, 5-10% di India, dan 14% di Guam. Kejang demam dibagi
menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Dalam sebuah
penelitian di Iran, dari 302 anak yang menderita kejang demam didapatkan 221 kasus (73.2%)
kejang demam sederhana, 81 kasus (26.8%) kejang demam kompleks. Selain itu, dari penelitian
lain di Iran juga didapatkan rasio laki-laki dan perempuan penderita kejang demam yakni 1,2:1.
Rasio jenis kelamin yang tidak jauh berbeda didapatkan pula pada penelitian di Indonesia yang
dilakukan oleh Lumbantobing pada tahun 1975 yaitu 1,25:1. Genetik memiliki pengaruh yang
kuat dalam terjadinya kejang demam. Insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang
demam berkisar antara 8-22% dan pada saudara kandung antara 9-17%. 1,2,3
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai
pada bayi dan anak. Ketika anak mengalami kejang, kebanyakan orang tua merasa khawatir dan
adapula yang mengira anak mereka akan mati, padahal sebagaian besar dari kejang demam
bersifat jinak, jarang menimbulkan kerusakan otak, dan kematian akibat kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Dari sebuah penelitian di Iran dengan menggunakan kuesioner yang
melibatkan 126 ibu pasien kejang demam didapatkan bahwa sebanyak 49 ibu (39%) mengira
anaknya akan meninggal karena kejang demam. Hal yang menjadi perhatian ibu pada saat anak
kejang demam pertama adalah kesehatan anak di masa depan, berulangnya kejang demam
berulang, terjadinya retardasi mental, paralisis, kecacatan fisik, dan gangguan belajar.1,2,3
Secara teori, anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan pengobatan yang
tidak efektif dapat terjadi dampak sebagai berikut: (1) Penurunan IQ anak, namun dalam pelitian

Nelson, et al. (1978) dan Verity (1985) tidak didapatkan perbedaan kemampuan belajar pada
anak kejang demam dengan pembanding, kecuali jika anak tersebut memiliki abnormalitas
neurologis sebelumnya. (2) Epilepsi. Anak dengan kejang demam sederhana mempunyai risiko
terjadinya epilepsi yang sama jika dibandingkan dengan populasi umum pada saat usia 7 tahun.
Risiko terjadinya epilepsi meningkat jika terdapat abnormalitas neurologis sebelumnya, kejang
demam kompleks, memiliki riwayat epilepsi dalam keluarga, dan durasi demam yang singkat
untuk menimbulkan kejang. (3) Berulangnya kejang demam. Adanya riwayat kejang demam
dalam keluarga, usia kurang dari 18 bulan, suhu tubuh kurang dari 400 C saat kejang pertama,
kejang kurang dari 1 jam setelah onset demam dapat meningkatkan risiko kejang demam
berulang (Seinfeld & Pellock, 2013). (4) Kematian. Anak yang mengalami kejang demam dapat
meninggal, oleh karena injury, aspirasi, atau aritmia.1
Kejadian kejang demam merupakan hal sangat mengkhawatirkan bagi orang tua.
Kekhawatiran orang tua dapat bertambah jika anak mengalami kejang demam berulang.
Kemungkinan kejang demam berulang perlu diwaspadai pada anak yang memiliki usia kurang
dari 18 bulan, suhu tubuh kurang dari 40o C, memiliki riwayat kejang demam dalam keluarga,
dan durasi demam kurang dari 1 jam. Dengan mengetahui gambaran deskriptif kejang demam
sederhana seperti usia, jenis kelamin, suhu tubuh, penyebab demam, dan riwayat kejang demam
dalam keluarga, diharapkan dapat diketahui perkiraan kemungkinan terjadinya kejang demam
berulang sehingga orang tua pasien dapat diedukasi untuk meningkatkan kewaspadaan.1

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS
Identitas:
Nama

: An. D. M

Umur

: 2 1/12 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Motoboi Kecil, Kotamobagu Selatan

Agama

: Islam

Suku

: Mongondow

MRS

: 7 Juni 2015

Keluhan Utama: Kejang


Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke RS dengan keluhan kejang. Kejang
dialami sejak 4 jam SMRS. Frekuensi kejang 1x dengan lama kejang 5 menit. Saat
kejang seluruh badan pasien kaku dengan mata mendelik ke atas. Setelah kejang pasien
sadar. Pasien juga mengalami demam sejak 1 hari yang lalu. Demam mendadak tinggi,
demam turun setelah diberikan obat kemudian naik lagi. Keluhan batuk juga dialami
oleh pasien sejak 4 hari yang lalu. Batuk berdahak, tidak ada sesak napas. Sebelumnya
pasien sempat dibawa ke puskesmas dan sudah diberikan obat penurun demam. Riwayat
trauma pada kepala tidak ada. Riwayat sakit telinga dan keluar cairan dari telinga tidak
ada. Buang air kecil warna biasa, jumlah biasa. Buang air besar warna biasa, konsistensi
biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.

PEMERIKSAAN FISIK :
Pemeriksaan Umum :
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran

: sadar

- Nadi

: 104 kali/menit

- Pernafasan

: 30 kali/menit

- Suhu

: 39,8C

- Berat badan

: 13 kg

- Sianosis

: tidak ada

- Edema

: tidak ada

- Anemia

: tidak ada

- Ikterik

: tidak ada

Kulit :
- Teraba hangat.
- Tidak ada sianosis.
Kelenjar Getah Bening :
- Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Kepala :
- Bulat, simetris.
- Ubun-ubun sudah menutup.
- Lingkar kepala = 46 cm (Standar Nelhaus : normal)

Rambut :
- Warna hitam.
- Tidak mudah rontok.
Mata :
- Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
- Pupil isokor, diameter kiri/kanan = 2mm/2mm, refleks cahaya pada kedua mata normal.
Telinga :
- Tidak ditemukan kelainan.
Hidung :
- Tidak ditemukan kelainan.
Tenggorokan :
- Tidak dapat dievaluasi
Gigi dan Mulut :
- Mukosa bibir dan mulut basah.
Leher :
- Kaku kuduk tidak ada.
Dada :
Paru :
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan.
Palpasi

: Fremitus normal, kiri sama dengan kanan.

Perkusi

: Sonor kiri dan kanan.

Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing


tidak ada.
Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak tampak.
Palpasi

: Iktus teraba di Linea Mid Clavicula Sinistra RIC V.

Perkusi

: Batas jantung :
Atas

: RIC II.

Kanan

: LSD.

Kiri

: Linea Mid Clavicula Sinistra RIC V.

Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama sinus, bising tidak ada.


Perut :
Inspeksi : Datar.
Palpasi

: Lemas, Hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Perkusi

: Tympani.

Auskultasi : Bising usus ada, normal


Punggung :
- Tidak ditemukan kelainan.
Alat Kelamin :
- Tidak ditemukan kelainan.
Anus :
- Tidak dilakukan pemeriksaan.

Anggota Gerak :
- Akral hangat, perfusi baik.
- Refleks fisiologis (+/+) normal.
- Refleks patologis :
Babinsky (-/-)
Chaddock (-/-)
Gordon (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schauffer (-/-)
Tanda Rangsang Meningeal : Brudzinsky I tidak ada
Brudzinsky II tidak ada
Kernig tidak ada

Pemeriksaan Laboratorium:
WBC: 14,6 103/mm3
RBC: 4,37 106/mm3
HGB: 11,1 g/dl
HCT: 33,1 %
PLT: 593 103/mm3

RESUME:
Pasien anak laki-laki, umur 2 1/12 tahun datang ke UGD RSUD Kota Kotamobagu
dengan keluhan kejang. Kejang dialami sejak 4 jam SMRS. Frekuensi 1x dengan lama
kejang 5 menit. Saat kejang seluruh badan pasien kaku dengan mata mendelik ke atas.
Setelah kejang pasien sadar. Demam (+) sejak 1 hari yang lalu. Demam mendadak tinggi,
demam turun setelah diberikan obat kemudian naik lagi. Batuk (+) sejak 4 hari yang lalu.
Batuk berdahak, tidak ada sesak napas. Sebelumnya pasien sempat dibawa ke puskesmas
dan sudah diberikan obat penurun demam. Riwayat trauma pada kepala tidak ada.
Riwayat sakit telinga dan keluar cairan dari telinga tidak ada. Buang air kecil warna
biasa, jumlah biasa. Buang air besar warna biasa, konsistensi biasa. Pasien tidak pernah
mengalami kejang sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
Pemeriksaan Fisik:
KU: cukup
N: 104x/m

Kes: compos mentis


R: 30x/m

S: 39,8C

Kep: conj an-/-, skl ikt -/-, kaku kuduk (-)


Thx: c: Si-ii reg N, bising (-)
p: Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh-/Abd: datar, lemas, BU (+) N, NTE (-), H/L ttb
Eks: Akral hangat, RF +/+, RP -/Pemeriksaan Lab:
WBC: 14,6 103/mm3

DIAGNOSA KERJA :
- Kejang Demam Sederhana

DIAGNOSA BANDING :
- Kejang Demam Kompleks
- Epilepsi

PENATALAKSANAAN:
-

IVFD RL 15 gtt/m

Diazepam rectal 10 mg k/p

Paracetamol rectal 250 mg k/p

Ibuprofen syr 3xI C

Cefotaxime inj 400mg / 8 jam IV (ST)

FOLLOW UP:
Tgl 8/06/2015
S: Demam (+), Kejang (-)
O: KU cukup
N: 100x/m

Kes CM
R: 26x/m

S: 38,2C

Kep: conj an -/-, skl ikt -/Thx: c: S1-2 reg (N), bising (-)
p: Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/Abd: datar, lemas, BU (+) N, H/L ttb
Eks: Akral hangat

A: Kejang Demam Sederhana


P: - IVFD RL 15 gtt/m
- Cefotaxime inj 400mg / 8 jam IV (ST)
- Ibuprofen 3xI C k/demam
- Diazepam rectal 10 mg k/kejang
- Paracetamol rectal 250 mg k/p

Tgl 9/06/2015
S: Demam (-), Kejang (-)
O: KU cukup
N: 100x/m

Kes CM
R: 26x/m

S: 37,1C

Kep: conj an -/-, skl ikt -/Thx: c: S1-2 reg (N), bising (-)
p: Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/Abd: datar, lemas, BU (+) N, H/L ttb
Eks: Akral hangat
A: Kejang Demam Sederhana
P: - IVFD RL 15 gtt/m Aff IVFD
- Cefixime syr 2 x cth
- Ibuprofen syr 3xI C k/demam
- Rawat Jalan

PEMBAHASAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh tanpa
adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik lain. Kejang demam
merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak.
Kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.2,3
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat
dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut sebagai autoanamnesis, atau dilakukan terhadap
orang tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, yang disebut sebagai
aloanamnesis. Termasuk di dalam aloanamnesis adalah semua keterangan dari dokter yang
merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya
sendiri. Oleh karena bayi dan sebagian besar anak belum dapat memberikan keterangan, maka
dalam bidang kesehatan anak aloanamnesis menduduki tempat yang jauh lebih penting daripada
autoanamnesis. Salah satu sistematika yang lazim dilakukan dalam membuat anamnesis adalah
sebagai berikut mula-mula dipastikan identitas pasien dengan lengkap. Kemudian ditanyakan
keluhan utama, yang dilanjutkan dengan perjalanan penyakit sekarang, yakni sejak pasien
menunjukkan gejala pertama sampai saat dilakukan anamnesis. Langkah berikutnya adalah
menanyakan riwayat penyakit terdahulu, baik yang berkaitan langsung dengan penyakit sekarang
maupun yang sama sekali tidak ada kaitannya. Kemudian tanyakan riwayat penyakit dalam
keluarga.4
Anamnesis pada kasus ini didapatkan pasien seorang anak laki-laki umur 2 tahun yang
datang ke RS dengan keluhan utama kejang. Kejang dialami sejak 4 jam SMRS dengan
frekuensi kejang 1x dengan lama kejang 5 menit. Pasien juga mengalami demam tinggi sejak 1
hari yang lalu dan batuk sejak 4 hari yang lalu. Berdasarkan teori yang ada, tanda dan gejala
terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh diluar infeksi sistem saraf pusat
misalnya tonsillitis, bronchitis, dan lain-lain. Kejang demam dikalsifikasikan menjadi 2 yaitu

kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complec febrile
sezure).3,4,5

Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) adalah kejang yang berlangsung
kurang dari 15 menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.

Kejang demam kompleks (complec febrile seizure) adalah kejang yang


berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau parsial 1 sisi kejang umum
didahului kejang fokal dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada kejang demam. Umumnya dapat
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu pemeriksaan suhu, frekuensi pernapasan, denyut
nadi, serta tekanan darah pada penderita. Yang menonjol disini biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh. Pemeriksaan tingkat kesadaran diperlukan pasca kejang untuk memperhatikan
apakah ada defisit neurologis atau tidak. Bentuk pemeriksaan kesadaran yang digunakan dapat
berbentuk pemeriksaan kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat kesadaran kualitatif pasien terbagi
atas:6
a.
b.
c.
d.

Compos mentis: sadar terhadap diri dan lingkungan


Delirium: gaduh gelisah, kacau, disorientasi
Somnolen: mengantuk, mudah dibangunkan, menangkis nyeri
Stupor: dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat, kemudian kesadaran turun

lagi
e. Koma: tanpa gerakan sama sekali
Secara kuantitatif dapat digunakan Glaslow Coma Scale. Pemeriksaan tanda rangsangan
meningeal dapat digunakan untuk mengeksklusi adanya meningitis. Bentuk pemeriksaan
meningeal meliputi kaku kuduk, kernig sign, laseque sign, dan brudzinsky sign.6
Pada kasus ini didapatkan adanya peningkatan suhu tubuh sebelum dan selama terjadi
kejang. Kemudian setelah kejang, pasien sadar. Kesadaran pasien dinilai dalam bentuk kualitaif
yaitu compos mentis. Pada pemeriksaan reflex fisiologis dan reflex patologis tidak diapatkan
kelainan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa pada kasus
anak

dengan

kejang

demam

adalah

elektroensefalografi (EEG), dan pencitraan.4


Pemeriksaan laboratorium

pemeriksaan

laboratorium,

pungsi

lumbal,

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan, misalnya darah lengkap, elektrolit, dan gula darah.4

Pungsi lumbal
Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

diagnosis meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal
dianjurkan pada:4
1. Bayi (kurang dari 12 bulan) dangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi 12 18 bulan dianjurkan
3. Anak umur > 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal.

Elektroensefalografi
Elektroensefalogram (EEG) merekam aktivitas listrik yang dihasilkan oleh korterks

serebri. Irama EEG mengalami maturasi sepanjang masa kanak-kanak. Ada tiga komponen kunci
irama dasar, simetri, dan ada tidaknya aktivitas epileptiform. Irama dasar bervariasi menurut
umur, namun secara umum harus terlihat simetri irama dasar kedua hemisfer tanpa adanya
daerah terlokalisasi yang memiliki amplitudo lebih tinggi atau frekuensi lebih lambat
(perlambatan fokal).4
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya,
tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas, misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang
demam fokal.4

Pencitraan
Pencitraan otak dan medula spinalis dapat dilakukan dengan seperti compute tomography

scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI). CT dapat dilakukan dengan cepat dan
sesuai dengan keperluan emergensi. MRI memberikan detail yang halus dan dengan sekuens

yang berbeda-beda, memungkinkan deteksi kelainan otak yang samar, anomali vaskular, tumor
low grade, dan perubahan iskemik. Pada anak dengan cedera kepala atau sakit kepala mendadak,
CT kepala merupakan pemeriksaan terpilih. Pada anak dengan awitan baru kejang parsial
kompleks, MRI merupakan pemeriksaan terpilih. MRI juga dapat memberikan gambaran yang
baik dari seluruh medula spinalis. Ultrasonografi kepala adalah prosedur pemeriksaan bedside
noninvasif yang dapat memvisualisasikan otak dan ventrikel pada bayi dan anak kecil dengan
fontanel yang terbuka.4
Pada pasien kejang demam foto X-ray kepala dan pencitraan seperti compute tomography
scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin, dan
hanya atas indikasi, seperti:4
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium darah lengkap.
Hasil pemeriksaan pada kasus ini adalah adanya leukositosis. Leukositosis adalah peningkatan
jumlah sel darah putih yang menandakan adanya suatu respon normal terhadap infeksi atau
peradangan.
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah adalah diazepam rectal.
Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan lebih dari 10 kg atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun dan dosis 7,5 mg untuk
anak diatas usia 3 tahun. Pada kasus ini pasien diterapi dengan diazepam rectal 10 mg karena
berat badan pasien >10 kg. Penatalaksanaan saat kejang, yaitu4,7
1. Bila setelah pemberian diazepam rektal belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara
dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
2. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5mg/kg

3. Bila kejang tetap belum berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 1020mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50mg/menit. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
4. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
Pemberian obat pada saat demam
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya
kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 -15 mg/kg/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Berdasarkan dari teori yang ada, pasien diterapi dengan ibuprofen 3x1 sendok.
Paracetamol dan ibuprofen adalah obat antipiretik yang direkomendasikan untuk
digunakan pada anak. Pemberian paracetamol rectal dipertimbangkan apabila anak
muntah atau pemberian oral tidak memungkinkan. Dosis paracetamol rectal adalah 125
mg jika berat badan <10 kg dan 250 mg jika berat badan > 10 kg. Pasien ini juga diterapi
dengan paracetamol rectal 250 mg. Paracetamol dan ibuprofen ditoleransi dengan baik
dan merupakan antipiretik yang efektif ketika digunakan sesuai dosis. 4
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
resiko berulangnya kejang demam pada 30-60% kasus, begitu pula dengan diazepam
rektal dosis 0,5mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,50C.4
Jika terjadi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, pemberian antibiotic dapat
dipertimbangkan. Pada kasus ini diberikan antibiotik cefotaxime inj 400 mg / 8 jam IV.
Cefotaxime adalah antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai khasiat
bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri.
Cefotaxime memiliki aktivitas spectrum yang luas terhadap organisme gram positif dan gram
negative. Antibiotik ini dapat diberikan secara i.v dan i.m dan diberikan tiap 12 jam dengan dosis
50-100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2-4 dosis. Pencegahan berulangnya kejang demam perlu

dilakukan karena bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara
profilaksis, yaitu:4
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien.
Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari
10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula
diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu
pasien demam.
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan)
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya
epilepsi dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5
mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.1 Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 12 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Profilaksis
terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan
neurologis sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam
oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan kejang demam sederhana yaitu:4
1. Kejang demam berulang

Sekitar sepertiga dari semua anak dengan pengalaman berulangnya kejang demam sejak
kejang demam pertama. Faktor risiko kejang demam berulang antara lain sebagai berikut:
- Usia muda pada saat kejang demam pertama
- Relatif rendah demam pada saat kejang pertama
- Keluarga riwayat kejang demam
- Durasi singkat antara onset demam dan kejang awal
- Beberapa kejang demam awal selama episode yang sama
Pasien dengan semua 4 faktor risiko yang lebih besar dari 70% kemungkinan
kekambuhan. Pasien dengan tidak ada faktor risiko memiliki kurang dari 20%
kemungkinan kekambuhan.
2. Epilepsi
Ada beberapa faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari:
- Kejang demam kompleks
- Faktor yang merugikan lain berupa kelainan status neurologi sebelum kejang demam
-

pertama (misal: serebral palsy atau retardasi mental)


Onset kejang demam pertama pada umur < 1 bulan
Riwayat epilepsi atau kejang afebris pada orang tua atau saudara kandung
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari

akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 %, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam
hanya 2%-3% saja.
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik. Dari penelitian yang
ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan
pertama. Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal
(1973) mendapatkan: 6,7
-

Pada anak berumur <13 tahun, terulangnya kejang demam pada wanita 50%
dan pria 33%

Pada anak berumur 14 bulan-3 tahun dengan riwayat keluarga adanya


kejang,terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang
25%

Sebagai seorang dokter sebaiknya kita mengurangi kecemasan orang tua dengan cara:7
-

Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya memiliki prognosis yang baik

Memberitahukan cara penangan kejang

Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.

PENUTUP

Kesimpulan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium dan faktor herediter
juga mempunyai peranan. Pada kejang demam, ditemukan perkembangan dan neurologis yang
normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis dan ensefalitis (misalnya kaku kuduk atau
penurunan kesadaran). Pengobatan dengan cepat memiliki prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. No name. Kejang Demam Sederhana. Repository. 2014. Available on:


repository.wima.ac.id/1243/2/Bab%201.pdf
2. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Demam. Unit Kerja
Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:2006.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Kejang Demam. Jakarta:2009.

4. Julianti RA, Thenager C, Saimima P, dkk. Kejang Demam Sederhana. Fakultas


Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. 2015. Available on:
https://www.scribd.com/doc/259378052/Kejang-Demam-Sederhana-docx
5. Supriyanti. Kejang Demam Sederhana. 2013.Available on:
https://www.scribd.com/doc/191648475/KEJANG-DEMAM-SEDERHANA
6. Deprisicka S. Referat Kejang Demam Sederhana. Universitas Yarsi. 2015. Available on:
https://www.scribd.com/doc/263470298/Referat-Kejang-Demam-Sederhana
7. Maduwu AL. Kejang Demam Pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana. 2014.

Anda mungkin juga menyukai