Manajemen sinusitis fungal alergika dengan steroid oral dan nasal postoperatif: sebuah
penelitian terkontrol
Mubasher Ikram, FCPS, Akbar Abbas, FCPS, Anwar Suhail, FRCS, Maisam Abbas Onali,
MBBS, Shabbir Akhtar, FCPS, and Moghira Iqbal, FCPS
Abstrak
Pada pasien dengan sinusitis fungal alergika, arus utama terapi masih berupa operasi bedah
penghilangan musin alergik dan debris fungal. Tapi sebagai modalitas tunggal, operasi bedah
berhubungan dengan angka kekambuhan yang tinggi, sehingga sejumlah modalitas medis
adjunctive telah dicoba, termasuk terapi kortikosteroid postoperatif. Kami melakukan
penelitian pada 63 pasien dengan sinusitis fungal alergika yang melakukan prosedur operasi
bedah sinus endoskopik dengan atau tanpa terapi steroid post operatif. Sebuah grup 30 pasien
yang telah diterapi sebelum Januari 2000 telah melakukan operasi saja; kasus mereka
direview secara retrospektif, dan mereka dianggap sebagai kontrol riwayat. Selain itu grup 33
pasien lainnya yang diterapi setelah bulan Juni 2000 melakukan operasi bedah ditambah
dengan terapi steroid nasal. Semua pasien diamati paling sedikit selama 2 tahun.
Kekambuhan terjadi pada 50% (15/30) pada grup no-steroid (grup yang tidak diberikan
steroid) dan 15.2% (5/33) pada grup steroid (grup yang diberikan steroid)-perbedaannya
signifikan secara statistik (p=0.008). Hasil dari penelitian kami sangat mendukung
penggunaan
steroid
untuk
mengontrol
sinusitis
fungal
alergika
dan
mencegah
kekambuhannya, dan kami merekomendasikan penelitian lebih lanjut untuk dosis optimal dan
durasi terapi.
Pendahuluan
Sinusitis fungal alergika pertama kali dijelaskan pada awal tahun 1980an oleh Millar et al di
Inggris dan oleh Katzenstein et al di Amerika Serikat. Organisme yang bertanggung jawab
pada kebanyakan kasus ini yaitu Aspergillus sp dan anggota famili fungi dematiaceous.
Khasnya, pasien adalah orang dewasa muda dan imunokompeten, dan mereka memiliki
riwayat penyakit atopik.
Onset sinusitis fungal alergika terjadi pada inhalasi spora fungal pada pasien yang alergi.
Sebagai respon, mukosa sinonasal memproduksi sekresi dalam jumlah yang banyak sekali,
tapi proses pembuangan (clearance) siliar mukosa gagal menghilangkan spora. Spora fungal
kemudian memperbanyak diri pada musin dan terus menyediakan stimulus antigenik. Polips
dan mukosa hiperplastik terbentuk sebagai hasil stimulus inflamasi ini.
Kriteria diagnosis untuk sinusitis fungal alergika termasuk adanya pembentukan polip nasal,
atopi terhadap fungi, temuan khas pada computed tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI), dan juga gambaran histopatologik yang khas dimana hifa fungal ditemukan
pada msuin eosinofilik tanpa adanya bukti invasi jaringan.
Manajemen sinusitis fungal alergika termasuk sulit, dan kegagalan terapi umum terjadi.
Faktanya, angka kekambuhan sangat tinggi yaitu 100% yang dilaporkan pada manajemen
operasi bedah yang dijalani. Sebagai usaha untuk menurunkan risiko kekambuhan,
penggunaan terapi medis postoperatif dengan kortikosteroid telah dicoba pada berbagai pusat
di
seluruh
dunia,
berdasarkan
pada
pengalaman
dengan
terapi
asperigillosis
bronkopulmonalis alergika.
Kami melaporkan pengalaman kami dalam manajemen pasien dengan sinusitis alergika
fungal yang telah melakukan terapi sinus endoskopik dengan atau tanpa steroid postoperatif
tambahan.
Pasien dan metode
Tujuan penelitian ini yaitu untuk menentukan jika tambahan terapi steroid postoperatif
memiliki efek dalam mencegah kekambuhan pada pasien yang menjalani operasi bedah sinus
endoskopik untuk terapi sinusitis fungal alergika. Penelitian ini dilakukan pada Department
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery di Aga Khan University Hospital yang berada di
Karachi, Pakistan. Popilasi penelitian diambil dari pasien yang telah didiagnosa dengan
sinusitis fungal alergika pada dasar temuan klinis yang khas dan dikonfirmasi dengan temuan
intraoperatif (musin dan debris fungal) dan analisis histopatologik. Kriteria eksklusi termasuk
infeksi invasif yang telah mencapai hingga hidung dan sinus paranasal, penurunan sistem
imun (immunocompromise), kegagalan untuk berpartisipasi pada follow-up reguler, dan
operasi bedah revisi.
Penelitian ini dilakukan pada dua bagianfase prospektif dan review retrospektif. Pada fase
prospektif, kami meneliti 33 pasien21 pria dan 12 wanita (rata-rata usia 31 tahun)dimana
2
sinusitis telah diterapi dengan operasi bedah ditambahkan dengan terapi steroid (grup
steroid). Untuk tujuan perbandingan, kami melakukan review catatan dari 30 kontrol riwayat
16 pria dan 14 wamita (usia rata-rata 29 tahun)yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yang sama dan mereka yang sinusitis telah diterapi hanya dengan operasi bedah saja
(grup no-steroid). Semua pasien yang berada pada grup yang tidak diterapi dengan steroid
(grup no-steroid) telah diterapi sebelum tahun 2000, ketika ini bukan kewenangan institusi
kami untuk memberikan terapi steroid postoperatif tambahan. Semua pasien pada grup yang
diberikan steroid (grup steroid) diterapi setelah Juni 2000. Semua 63 pasien pada panelitian
ini dioperaso pada departemen kami oleh dokter bedah tunggal yaitu M. Ikram.
Pada grup steroid, pasien diberikan prednisone oral postoperatif (0.5 mg/kg) untuk satu
bulan, diikuti dengan beclamethasone topikal (2 semprotan disetiap sisi dua kali sehari) untuk
lima bulan. Jika gambaran mukosa nasal lebih baik dari stadium 0 seperti yang dideksripsikan
oleh Kupferberg et al selama terapi steroid nasal, pemberian singkat steroid oral pada dosis
0.5 mg/kg/hari untuk 1 sampai 2 minggu diberikan untuk mengembalikan mukosa pada
stadium 0.
Semua pasien diamati paling sedikit selama 2 tahun. Pasien dilakukan follow-up satu kali
sebulan untuk 6 bulan, kemudian setiap 3 bulan selama paling sedikit 18 bulan. Pada followup bulanan, semua pasien yang menjalani endoskopi nasal dilakukan pengukuran level IgE
mereka. Semua pasien secara aktif diberikan semangat untuk melakukan perawatan harian
nasal dengan cairan salin normal, yang dipercaya dapat membantu membersihkan krusta dan
debris dari hidung. Semua kekambuhan diterapi dengan operasi bedah revisi.
Data kami secara statistik dianalisis dengan bantuan Statistical Package for the Social
Sciences software (versi 13; SPSS; Chicago), dan data kekambuhan dianalisis menggunakan
analisis Kaplan-Meier.
Hasil
Pada persentasi, kebanyakan pasien memiliki penyakit bilateral, polip nasal, obstruksi nasal
dan sakit kepala (Tabel 1).
Steroid
n (%)
11/19 (36.7%/63.6%)
30 (100%)
30 (100%)
27 (90%)
13 (43.3%)
n (%)
14/19(42.4/57.6)
33 (100%)
33 (100%)
25 (75.8%)
18 (54.5%)
Sinusitis fungal alergika mengalami kekambuhan pada 15 dari 30 pasien yang tidak diberikan
steroid (50%), dibandingkan dengan hanya 5 orang dari 33 pasien yang diberikan steroid
(152%). Perbedaan signifikan secara statistik (p=0.008).
Menurut analisis Kaplan-Meier, kemungkinan respon terapi 0.8 pada grup yang tidak
diberikan steroid (Tabel 2) dan 0.9 pada grup yang diberikan steroid (Tabel 3). Kemungkinan
kumulatif bebas penyakit yang tersisa yaitu 0.4565 pada grup yang tidak diberikan steroid
dan 0.8156 pada grup yang diberikan steroid (Gambar 1, Tabel 2, dan Tabel 3).
Kemungkinan
Kemungkinan
penelitian
mengalami kekambuhan
respon
kumulatif
n (%)
0
30 (100)
1.0
1.0000
150
30 (100)
0.9
0.9666
180
29 (96.7)
0.9
0.9326
270
28 (93.3)
0.9
0.8992
360
27 (90.0)
0.9
0.8658
450
26 (86.7)
0.9
0.7991
540
24 (80.0)
0.9
0.7657
630
23 (76.7)
0.9
0.7323
720
22 (73.3)
0.9
0.6989
810
21 (70.0)
0.9
0.6322
900
19 (63.3)
0.8
0.5656
990
17 (56.7)
0.9
0.5322
1,080 15
(50.0)
0.8
0.4656
Kemungkinan
Kemungkinan
penelitian
mengalami
respon
kumulatif
kekambuhan
n (%)
0
33 (100)
1.0
1.0000
450
33 (100)
0.9
0.9696
630
32 (97.0)
0.9
0.9090
810
30 (90.9)
0.9
0.8786
900
29 (87.9)
0.9
0.8483
990
28 (87.9)
0.9
0.8156
Diskusi
Sejumlah faktor yang berkonstribusi berhubungan dengan sinusitis fungal alergika. Misalnya,
atopi, paparan terus menerus untuk antigen dan inflamasi, semuanya memainkan peran kunci
dalam penyakit dan kekambuhan.
Secara historis, semua bentuk sinusitis fungal diterapi dengan kombinasi operasi bedah
debridemen ekstensif dan terapi medis. Namun, di sebagian besar laporan awal, sinusitis
fungal alergika tidak cukup dibedakan secara jelas dengan bentuk sinusitis fungal lain dan ini
menyulitkan dalam membandingkan berbagai terapi.
Sejak sinusitis fungal alergika pertama kali dijelaskan, mode utama terapi yaitu reseksi bedah
musin alergik dan menghalangi hipertrofik mukosa penyakit. Baru-baru ini, prosedur bedah
yang konservatif seperti debridemen endoskopi telah diterapkan. Sekarang ini, selain operasi
bedah pengangkatan musin alergik dan debris fungal, terapi termasuk penciptaan ostia sinus
paten yang cukup untuk aerasi yang cukup besar dan drainase sinus. Tapi bedah sinus
endoskopi yang disebutkan terkait dengan tingginya tingkat kekambuhan. Dalam upaya untuk
mengurangi angka kekambuhan ini, para peneliti telah mencoba berbagai terapi medis
sebagai terapi tambahan, termasuk agen anti-fungal, imunoterapi dan steroid.
Antifungal agen. Penulis beberapa laporan awal merekomendasikan penggunaan obat antifungal, tetapi tidak ada penelitian prospektif terkontrol yang telah dilakukan untuk
mendukung penggunaan tersebut. Pada kenyataannya, dalam penyakit fungal yang noninvasif, risiko yang terkait dengan obat-obat ini mungkin lebih besar daripada keuntungan
mereka. Ricch-etti et al melaporkan bahwa penggunaan anti-fungal topikal (Amfoterisin B
nasal lavage) mencegah kekambuhan poliposis nasal, tetapi pasien pada penelitian tersebu
tidak didiagnosis dengan alergi sinusitis fungal alergika klasik dan penelitian tidak memiliki
grup kontrol. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi
temuan mereka.
Imunoterapi.
Kesamaan
antara
alergi
sinusitis
fungal
alergika
dan
aspergillosis
bahwa pasien pada imunoterapi dapat tidak membaik atau memperburuk. Akibatnya,
penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum imunoterapi dapat diterima secara luas sebagai
mode utama pengobatan untuk sinusitis fungal alergika.
Steroid. Kesamaan antara sinusitis fungal alergika dan aspergillosis bronkopulmonalis
alergika juga mendorong penggunaan steroid, dan banyak penelitis menganjurkan
penggunaan mereka. Dalam satu laporan awal, Waxman et al menguraikan hubungan ini dan
menyarankan penggunaan steroid sistemik postoperatif. Sejak saat itu, steroid sistemik dan
topikal telah direkomendasikan, meskipun dosis optimal dan durasi terapi tetap masih belum
jelas.
Dalam penelitian pada 26 pasien dengan sinusitis fungal alergika, Kupferberg et al
menemukan bahwa steroid berhubungan dengan perbaikan yang besar. Meski demikian,
Schubert dan Goetz menganalisis hasil secara retrospektif antara 67 pasien yang diterapi dan
dilakukan follow-up selama 8 tahun. Semua pasien telah diberikan terapi yang sama yang
mengarah ke bedah sinus, immunoterapi, semprotan anti-inflamasi nasal dan antihistamin.
Kira-kira setengah dari pasien ini diterapi dengan steroid oral pascaoperasi bedah dan
setengah lainnya tidak. steroid oral berhubungan dengan peningkatan klinis yang lebih besar
dan insiden signifikan yang lebih rendah pada revisi bedah sinus.
Kuhn dan Javer telah menganjurkan sebuah protokol pemberian steroid pasca operasi yang
dimulai dengan prednison oral 0.4 mg/kg/hari untuk 4 hari. Dosis kemudian diturunkan
sebesar 0,1 mg/kg/hari setiap 4 hari juga diturunkan sampai 20 mg/hari atau 0.2 mg/kg/hari,
yang bersifat lebih baik. Dosis rendah tersebut diberikan selama 1 bulan, di mana pada suatu
titik dosis disesuaikan sehingga semua pasien diberikan dosis 0.2 mg/kg/hari. Dosis
dipertahankan sementara pasien di follow-up perbulan dengan endoskopi nasal dan
pengukuran level IgE mereka. Kemudian, dosis steroid disesuaikan lagi untuk
mempertahankan gambaran membran nasal pasien pada stadium 0. Untuk pasien yang
mempertahankan gambaran stadium 0 selama 4 bulan, dosis steroid oral akan diturunkan
sampai 0,1 mg/kg/hari dan steroid topikal ditambahkan. Jika stadium 0 berlanjut selama 2
bulan, maka akan dilakukan tapered off steroid oral sepenuhnya dan steroid topikal
dilanjutkan selama 1 tahun.
Hasil penelitian kami sangat mendukung penggunaan steroid oral dan nasal
untuk
mengontrol
Kami
sinusitis
fungal
alergika
dan
untuk
mencegah
kekambuhan.
merekomendasikan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi dosis optimal dan durasi
terapi.
Penghargaan
Kami sangat berterimakasih kepada Dr. Iqbal Azam dari Department of Community Health
Sciences di Aga Khan University Hospital untuk analisis data statistik.
Dari Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, Aga Khan University Hospital,
Karachi, Pakistan. Mubasher Ikram, FCPS, Department of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, Aga Khan University Hospital, Stadium Rd., PO Box 3500, Karachi 74800,
Pakistan. Telepon: 92-21-486-4779 or -4770; fax 92-21-493-4294 or -2095; e-mail:
mubasher.ikram@aku.edu
Referensi