PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Untuk menjadi seorang wirausaha yang SUKSES dan KAYA itu bukan bakat, dan juga tidak
harus keturunan. Tapi, Sukses dan kaya itu mimpi atau visi. Mimpi yang menjadi kenyataan.
Artinya, kalau kita tidak berusaha sama sekali untuk menjadi kaya, misalnya dengan jalan
berwirausaha, maka mana mungkin kekayaan itu kita dapat.
Terlepas dari itu, tapi yang jelas, semua orang pasti punya mimpi. Setiap kita
menjalankan bisnis apapun, sebenarnya yang kita cari bukanlah semata-mata uang atau
ingin kaya. Tapi, karena adanya keinginan kita untuk mewujudkan mimpi tersebut. Sebagai
konsekuensi logis atas jerih payah kita adalah kita bisa mendapatkan keuntungan atau uang,
dan bisa juga aset kita yang semakin bertambah. Hal itu seiring dengan kegigihan kita di
dalam menjalankan bisnis.
Jika kita sebagai seorang entreprener atau wirausahawan, yang namanya mimpi-mimpi
bisnis tak akan ada habisnya. Seolah kita adalah sosok yang tak akan pernah kehabisan
mimpi. Apalagi, kita termasuk entreprener yang kreatif dan inovatif. Bisnis yang satu maju
pesat, bisnis yang lainnya ikut berkembang. Sementara, bisnis yang lainnya lagi ikut
bermunculan. Sehingga, tak terasa atau bagaikan sebuah mimpi, ternyata bisnis kita semakin
banyak. Aset yang kita miliki juga semakin bertambah.
Kalau bisnis kita semakin maju, tentu akan ada percepatan dalam penambahan aset.
Bukan tak mungkin, kita akan semakin pintar memutar bisnis kita, bahkan mampu
mendatangkan dana dari luar yang nantinya juga akan menjadi aset kita,itu semua berjalan
seiring dengan mimpi atau visi kita sebagai entreprener.
Entrepreneur itu sosok yang seharusnya tidak takut dengan mimpi.Apalagi mimpi itu
tidak perlu biaya. Tetapi, masalahnya adalah belum tentu semua orang punya keberanian
bermimpi. Sehingga tidak berlebihan kalau untuk bermimpi pun membutuhkan sebuaah
keberanian.Hal ini bisa terjadi karena kita terkadang masih terpaku pada mitos-mitos yang
tengah mentradisi di kalangan masyarakat luas. Misalnya, ada mitos yang mengatakan
bahwa kalau kita mau sukses, kita harus punya gelar sarjana. Padahal kenyataannya, cukup
banyak orang yang sukses tanpa menyandang gelar sarjana.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi ?
1
Interpersonal?
Bagaimana Hubungan Keahlian komunikasi Interpersonal dalam Komunikasi?
Apa yang dimaksud dengan motivasi kewirausaan ?
Apa saja model-model motivasi ?
Bagaimana teori motivasi ?
1.3. Tujuan
1. Mengetauhi apa yang dimaksud dengan komunikasi.
2. Mengetahui bagaimana persepsi interpersonal dan konsep diri dalam keahlian
3.
4.
5.
6.
komunikasi interpersonal.
Bagaimana hubungan keahlian komunikasi interpersonal dlam komunikasi.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan motivasi kewirausaan.
Mengetahui model-model motivasi
Mengtahui teori-teori motivasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi dapat didefinisikan sebagai penyampain informasi antara dua orang atau
lebih. Komunikasi merupakan suatu proses yanh vital dalam organisasi karena komunikasi
diperlukan bagi evektifitas kepemimpinan, perencanaan, pengendalian, koordinasi, latihan ,
manajemen konfilk, serta proses-proses organisasi lainnya.
2
Konsep diri dan Persepsi interpersonal sangat dibutuhkan untuk pencapaian dalam
kelancaran komunikasi. Orang yang lancar dalam berkomunikasi berarti orang tersebut
mempunyai keahlian dalam berkomunikasi. Persepsi interpersonal besar pengaruhnya bukan
saja pada komunikasi interpersonal, tetapi juga pada hubungan interpersonal. Karena itu
kecermatan persepsi interpersonal akan sangat berguna untuk meningkatkan kualitas
komunikasi interpersonal kita. Faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi
nterpersonal diantaranya adalah pengalaman, motivasi, kepribadian, stereotyping,atribusi.
Perilaku kita dalam berkomunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi
interpersonal. Jadi persepsi interpersonal membawa pengaruh yang besar bagi komunikasi
interpersonal. Kegagalan komunikasi dapat diperbaiki apabila orang tersebut menyadari
bahwa persepsinya salah. Komunikasi interpersonal kita akan menjadi lebih baik bila kita
mengetahui bahwa persepsi kita bersifat subjektif dan cenderung keliru.
Konsep diri diperlukan agar kita bisa mengamati diri dan sampailah pada gambaran
dan penilaian diri kita. William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai pandangan dan
perassan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan
fisis. Konsep diri bisa juga dijadikan alat pengukur kepercayaan diri kita.
Faktor-faktor yang mempengruhi konsep diri diantaranya adalah orang lain dan
kelompok. Ada kelomok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini,
orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.
Pengaruh konsep diri pada komunikasi interpersonal diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Nubuat yang dipenuhi sendiri
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi
interpersonal karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep
dirinya. Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri deisebut
sebagai nubuat yang dipenuhi sendiri. Sukses komunikasi interpersonal banyak
bergantung pada kualitas konsep diri yang positif atau negatif. Sebagai peminat
komunikasi, sebaiknya kita mampu mengidentifikasi tanda-tanda konsep diri yang positif
atau negatif.Membuka diri
Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang
sama berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita.
Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri
sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman4
pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan
lebih cermat memandang diri kita dan orang lain.
2) Percaya diri
Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari
kurangnya kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri. Orang yang tidak menyenangi
dirinya merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengatasi persoalan. Orang yang
kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Ia
takut kalau orang lain akan mengejeknya atau menyalahkannya.
3) Selektivitas
Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri
mempengaruhi kepada pesan apa anda bersedia membuka diri, bagaimana kita
mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat. (Anita Taylor 1977: 112). Dengan
singkat, konsep diri menyebabkan terpaan selektif, persepsi selektif, dan ingatan selektif.
2.3 Hubungan Keahlian komunikasi Interpersonal dalam Komunikasi
Orang yang mempunyai keahlian komunikasi maka komunikasi orang tersebut akan
berjalan efektif. Kita harus memupuk keahlian kita dalam komunikasi interpersonal melalui
konsep diri. Konsep diri seperti yang telah tertuang diatas sangat penting dilakukan agar kita
ahli dalam berkomunikasi. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal
yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami tetapi
hubungan dengan komunikan menjadi rusak. DeVito (1992) memandang komunikasi
interpersonal yang efektif berdasarkan humanistic model dan pragmatic model. Humanistic
model (soft approach) menunjukkan bahwa kualitas komunikasi interpersonal yang efektif
ditentukan oleh 5 faktor, sebagai berikut: Openness (keterbukaan), Empathy, Supportiveness
(mendukung), Positiveness (sikap positif), Equality (kesetaraan). Pragmatic model
(behavioural) atau disebut juga sebagai pendekatan keras (hard approach) atau (competence
model) fokus pada perilaku tertentu yang harus digunakan oleh pelaku komunikasi
interpersonal baik sebagai pembicara maupun sebagai pendengar apabila ingin efektif.
Pendekatan ini pun menyatakan ada 5 skemampuan yang harus dimiliki, yaitu sebagai
berikut:
1) Confidence (percaya diri) maksudnya adalah para pelaku komunikasi interpersonal harus
memilki rasa percaya diri secara sosial (social confidence)
2) Immediacy merujuk pada situasi adanya perasaan kebersamaan antara pembicara dan
pendengar (oneness). Immediacy ditunjukan dengan sikap memperhatikan, menyenangi,
dan tertarik pada lawan bicara
3) Interaction management maksudnya adalah kemampuan untuk mengontrol interaksi demi
memuaskan kedua belah pihak pelaku komunikasi.
4) Expressiveness maksudnya adalah kemampuan untuk secara sungguhsungguh terlibat
dalam proses komunikasi.
5) Other orientation maksudnya adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan orang lain
selama proses komunikasi interpersonal berlangsung.
Butir-butir tersebut di atas menjelaskan kemampuan yang harus dimiliki agar suatu
proses komunikasi interpersonal efektif. Idealnya semua kemampuan tersebut harus dimiliki
oleh para pelaku komunikasi interpersonal. Namun DeVito (1992) memberikan peringatan
bahwa dalam menerapkan kemampuan tersebut setiap situasi komunikasi, dan aspek budaya
yang berbeda pada pelaku komunikasi. Jadi aturan-aturan komunikasi interpersonal yang
efektif tersebut harus diterapkan secara fleksibel.
Ada sejumlah model untuk menganalisa hubungan personal, tetapi dengan mengikuti ikhtisar
dari Coleman dan Hammen (1974:224-231). Model-model tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1) Model pertukaran social
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang.
Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi
kebutuhannya.
2) Model peranan masyarakat
Model peranan melihatnya sebagai panggung sandiwara. Di sini setiap orang
harus memainkan peranannya sesuai dengan naskah yang telah dibuat masyarakat.
Hubungan interpersonal berkembang baik bila setiap individu bertindak sesuai dengan
ekspedisi peranan dan tuntutan peranan, memiliki keterampilan peranan, dan terhindari
dari konflik peranan dan kerancunan peranan.
3) Model permainan
Dalam model ini, orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan.
Mendasari permainan ini adalah tiga bagian kepribadian manusia.
4) Model interaksional
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem
memiliki sifat-sifat struktural, integratif, dan medan. Semua sistem terdiri dari subsistemsubsisitem yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai suatu kesatuan.
Pola-pola komunikasi interpersonal mempuanyai efek yang berlainan pada hubungan
interpersonal. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan
komunikasi interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Yang menjadi
soal bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan. Tetapi bagaimana komunikasi itu
dilakukan. Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi
interpersonal adalah percaya, kejujuran, sikap suportif.
2.4 Motivasi kewirausahaan
2.4.1 Definisi motivasi
Motivasi didefinisikan sebagai keadaan dalam diri individu yang menyebabkan mereka
berperilaku dengan cara yang menjamin tercapainya suatu tujuan. Motivasi
menerangkan mengapa orang-orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Semakin
wirausahawan mengerti perilaku anggota organisasi, semakin mampu mereka
mempengaruhi perilaku tersebut dan membuatnya lebih konsisten dengan pencapaian
tujuan organisasional. Karena produktivitas dalam semua organisasi adalah hasil dari
perilaku anggota organisasi, mempengaruhi perilaku ini adalah kunci bagi
wirausahawan untuk meningkatkan produktivitas.
2.4.2
Model-Model Motivasi
1. Model motivasi kebutuhan-tujuan
Model motivasi kebutuhan dan tujuan dimulai dengan perasaan kebutuhan
individu. Kebutuhan ini kemudian ditransformasi menjadi perilaku yang diarahkan
untuk mendukung pelaksanaan perilaku tujuan. Tujuan dari perilaku tujuan adalah
untuk mengurangi kebutuhan yang dirasakan. Secara teoritis, perilaku mendukung
tujuan dan perilaku tujuan berkelanjutan sampai kebutuhan yang dirasakan telah
sangat berkurang.
Contoh, seseorang
mungkin
merasakan
kelaparan.
Kebutuhan
ini
makanan untuk dimakan. Perilaku pendukung tujuan tersebut dan perilaku tujuan
makan itu sendiri akan berkelanjutan sampai individu merasakan kebutuhan lapar
menjadi berkurang. Sekali individu mengalami kebutuhan lapar kembali, daur
tersebut akan mulai kembali.
2. Model ekspektasi motivasi Vroom
Model ekspektasi Vroom mengatasi beberapa kerumitan tambahan. Model
ekspektasi Vroom didasarkan pada premis bahwa keburuhan yang dirasakan
menyebabkan perilaku kemanusiaan. Akan tetapi, Disamping itu model ekspektasi
Vroom mengungkapkan isu kekuatan motivasi. Kekuatan motivasi adalah tingkatan
keinginan individu untuk menjalankan suatu perilaku. Ketika keinginan meningkat
atu menurun, kekuatan motivasi dikatakan berfluktuasi.
3. Model motivasi Porter-Lawler
Portel dan Lawler telah mengembangkan suatu model motivasi yang
menggambarkan uraian proses motivasi yang lebih lengkap disbanding model
kebutuhan-tujuan atau model ekspektasi Vroom. Model motivasi Porter-Lawler ini
konsisten dengan dua model sebelumnya dimana model ini menerima premis bahwa
a. kebutuhan yang dirasakan akan menyebabkan perilaku kemanusiaan; dan
b. usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tugas ditentukan oleh nilai balas
jasa yang dirasakan yang dihasilkan dari suatu tugas dan probabilitas bahwa
balas jasa tersebut akan menjual nyata.
Disamping itu, model motivasi Porter-Lawler menekankan tiga karakteristik lain
dari proses motivasi:
1) Nilai balas jasa yang dirasakan ditentukan oleh baik balas jasa intrinsic dan
ekstrinsik yang menghasilkan kepuasan kebutuhan ketika suatu tugas
diselesaikan. Balas jasa intrinsik berasal langsung dari pelaksanaan suatu tugas,
sementara balas jasa ekstrinsik tidak ada hubungannya dengan tugas itu sendiri.
2) Tingkatan dimana individu secara efektif menyelesaikan suatu tugas ditentukan
oleh dua variablel:
Persepsi individu tentang apa yang diperlukan untuk mrlaksanakan suatu
tugas, dan
Kemampuan sesungguhnya daru individu untuk menjalankan suatu
tugas.
3) Keadilan balas jasa yang dirasakan akan mempengaruhi jumlah kepuasan yang
dihasilkan oleh balas jasa tersebut. Pda umumnya, semakin adil balas jasa yang
8
dirasakan oleh individu, semakin besar kepuasan yang dirasakan sebagai hasil
dari menerima balas jasa tersebut
2.4.3 Teori Motivasi
1. Teori Tiga Kebutuhan David McClelland
a. NAch,
Wirausaha yang memiliki motivasi ini selalu ingin berprestasi/ meraih yang
terbaik, umumnya memiliki ciri-ciri :
Ingin mengatasi sendiri kesulitan-kesuliatan dan persoalan-persoalan yang
diklasifikasikan
dengan
cara
lain,
misalnya
dengan
bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta
ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai
kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki.
Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
1. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi
di waktu yang akan datang.
2. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa
bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam
pemuasannya.
3. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai titik jenuh dalam arti
tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu
dalam pemenuhan kebutuhan itu.Kendati pemikiran Maslow tentang teori
kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan
fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang
berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan
yang dialami antara satu kenyataan dengan dorongan yang ada dalam diri. Apabila
pegawai kebutuhannya tidak terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan
perilaku kecewa. Sebaliknya, jika kebutuhannya terpenuhi amak pegawai tersebut
akan memperlihatkan perilaku yang gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya.
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak
mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya. Abraham Maslow
(Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah
sebagai berikut :
1) Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan
fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah
atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar
2) Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman,
bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup
11
3) Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh
kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta
dicintai
4) Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai
olehorang lain
5) Kebutuhan untuk
mengaktualisasikan
diri,
yaitu
kebutuhan
untuk
Mutu penyeliaan
Mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan bawahan
Keberadaan kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu
Pencapaian prestasi
Pengakuan
Tanggung Jawab
Kemajuan
Pekerjaan itu sendiri
Kemungkinan berkembang.
Tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak
puas. Tetapi jika ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan
prestasi kerja yang baik. Oleh karena itu, faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai
pemuas atau motivator.
2.4.4
Reinforcement Theory
Mengapa orang berhasrat untuk berwirausaha ? Menurut Wirasasmita (1994),
orang berhasrat untuk berwirausaha karena :
a. Alasan Keuangan, yaitu mencari nafkah, untuk menjadi kaya, untuk mencari
pendapatan tambahan, sebagai jaminan stabilitas keuangan.
b. Alasan Sosial, yaitu memperoleh gengsi/status, untuk dapat dikenal dan
dihormati, utnuk menjadi panutan, agar dapat bertemu dengan orang banyak.
c. Alasan Pelayanan, yaitu memberi pekerjaan kepada masyarakat, membantu anak
yatim, membahagiakan orang tua, demi masa depan keluarga
d. Alasan pemenuhan diri, yaitu menjadi atasan/ mandiri, untuk mencapai sesuatu
yang diinginkan, untuk menghindari ketergantungan pada orang lain, untuk
menjadi produktif dan untuk menggunakan kemampuan pribadi
2.4.5
13
2.4.6
Dream
Data
Drive
Dedication
Do-It
Doa dan Tawakal
2.4.8
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan memperhatikan kondisi bangsa Indonesia saat ini (seperti banyaknya tenaga
kerja, lapangan kerja yang sangat terbatas, rendahnya produktivitas, masih belum
optimalnya penggunaan sumber daya alam serta ketidakstabilan ekonomi), maka peluang
untuk meningkatkan produktivitas bangsa melalui pengembangan kewirausahaan sangat
diperlukan dan masih terbuka lebar.
Wirausaha adalah orang yang menciptakan cara baru dalam mengorga-nisasikan proses
produksi, Tugas Wirausaha adalah melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda, bukan
hanya sekadar dengan cara yang lebih baik.
Motivasi didefinisikan sebagai keadaan dalam diri individu yang menyebabkan mereka
berperilaku dengan cara yang menjamin tercapainya suatu tujuan. Motivasi menerangkan
mengapa orang-orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Semakin wirausahawan
mengerti perilaku anggota organisasi, semakin mampu mereka mempengaruhi perilaku
tersebut dan membuatnya lebih konsisten dengan pencapaian tujuan organisasional. Karena
produktivitas dalam semua organisasi adalah hasil dari perilaku anggota organisasi,
mempengaruhi perilaku ini adalah kunci bagi wirausahawan untuk meningkatkan
produktivitas.
Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam membuat sesuatu menjadi baru
dalam keberadaannya. Kreativitas juga berhubungan dengan adanya perubahan ide.
Hubungan kreativitas dengan kewirausahaan sangat erat dan terka-dang overlap walaupun
tidak sama diantara keduanya
Pengembangan kewirausahaan saat ini sangat dibutuhkan dalam rangka memperluas
kesempatan kerja serta mempersiapkan keunggulan bersaing bangsa Indonesia pada era
pasar global. Oleh karena itu perlu dibentuk inkubator bisnis pada setiap perguruan tinggi
yang berfungsi untuk mengadopsi pengembangan kewirausahaan ke dalam proses belajar
dan mengajar.
16
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://episentrum.com/artikel-psikologi/Kreativitas wirausaha/#more-
515.
13
November 2010.
http://www.justelsa.com/2010/05/teori-motivasi-david-c-mcclelland.html.
13
November 2010.
Aryati. D. 2009. Kewirausahaan. Jakarta
Bachruddin, Zaenal, Mudrajad Kuncoro, Budi Prasetyo Widyobroto, Tridjoko
Wismu Murti, Zuprizal, Ismoyo. 1996. Kajian Pengembangan Pola Industri Pedesaan Melalui
Koperasi dan Usaha Kecil. LPM UGM dan Balitbang Departemen Koperasi & PPK, Yogyakarta.
Dwi, Benedicta Prihatin. 2003. Kewirausahaan: Dari Sudut Pandang Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Grasindo
Suryana. 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses,
Ed III. Jakarta: Salemba Empat
Soetrisno, Loekman. 1995. Membangun Ekonomi Rakyat Melalui Kemitraan:
Suatu Tinjauan Sosiologis, makalah dalam Diskusi Ekonomi Kerakyatan, Hotel Radisson,
Yogyakarta, 5 agustus.
Wiratmo, Masykur. 1996. Pengantar Kewiraswastaan: Kerangka Dasar Memasuki
Dunia Bisnis, Ed I. Yogyakarta: BPFE
khafidz-cobapertama.blogspot.com
moethya26.wordpress.com/2010/11/13/motivasi-kewirausahaan/
17