Anda di halaman 1dari 20

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini. Dalam
pembuatan makalah ini, banyak kesulitan yang kami alami terutama disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan. Namun berkat bimbingan dan bantuan dari semua pihak akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah yang kami buat ini yang
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran agar
makalah ini menjadi lebih baik serta berdaya guna dimasa yang akan datang.

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Untuk menjadi seorang wirausaha yang SUKSES dan KAYA itu bukan bakat, dan
juga tidak harus keturunan. Tapi, Sukses dan kaya itu mimpi atau visi. Mimpi yang
menjadi kenyataan. Artinya, kalau kita tidak berusaha sama sekali untuk menjadi kaya,
misalnya dengan jalan berwirausaha, maka mana mungkin kekayaan itu kita dapat.
Terlepas dari itu, tapi yang jelas, semua orang pasti punya mimpi. Setiap kita
menjalankan bisnis apapun, sebenarnya yang kita cari bukanlah semata-mata uang
atau ingin kaya. Tapi, karena adanya keinginan kita untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Sebagai konsekuensi logis atas jerih payah kita adalah kita bisa mendapatkan
keuntungan atau uang, dan bisa juga aset kita yang semakin bertambah. Hal itu seiring
dengan kegigihan kita di dalam menjalankan bisnis.
Jika kita sebagai seorang entreprener atau wirausahawan, yang namanya
mimpi-mimpi bisnis tak akan ada habisnya. Seolah kita adalah sosok yang tak akan
pernah kehabisan mimpi. Apalagi, kita termasuk entreprener yang kreatif dan inovatif.
Bisnis yang satu maju pesat, bisnis yang lainnya ikut berkembang. Sementara, bisnis
yang lainnya lagi ikut bermunculan. Sehingga, tak terasa atau bagaikan sebuah mimpi,
ternyata bisnis kita semakin banyak. Aset yang kita miliki juga semakin bertambah.
Kalau bisnis kita semakin maju, tentu akan ada percepatan dalam penambahan
aset. Bukan tak mungkin, kita akan semakin pintar memutar bisnis kita, bahkan mampu
mendatangkan dana dari luar yang nantinya juga akan menjadi aset kita,itu semua
berjalan seiring dengan mimpi atau visi kita sebagai entreprener.
Entrepreneur itu sosok yang seharusnya tidak takut dengan mimpi.Apalagi mimpi
itu tidak perlu biaya. Tetapi, masalahnya adalah belum tentu semua orang punya
keberanian bermimpi. Sehingga tidak berlebihan kalau untuk bermimpi pun
membutuhkan sebuaah keberanian.Hal ini bisa terjadi karena kita terkadang masih
terpaku pada mitos-mitos yang tengah mentradisi di kalangan masyarakat luas.
Misalnya, ada mitos yang mengatakan bahwa kalau kita mau sukses, kita harus punya
gelar sarjana. Padahal kenyataannya, cukup banyak orang yang sukses tanpa
menyandang gelar sarjana.

2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pengelompokkan program pembangunan di bidang ekonomi
menurut Program pembangunan nasional 2000 2004 ke dalam tujuh kelompok
program antara lain kelompok program pertama, yaitu menanggulangi kemiskinan dan
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan kelompok program kedua, yaitu
mengembangkan usaha skala mikro, kecil menengah dan koperasi, maka programprogram yang harus dilaksana-kan dan penting untuk digarisbawahi adalah :

1. Program penciptaan iklim usaha yang kondusif


2. Program peningkatan akses kepada sumber daya produktif
3.

Program pengembangan kewirausahaan dan kredit usaha kecil menengah


berkeunggulan kompetitif .
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan haruslah mendukung program
pemerintah tersebut melalui pendidikan serta penerapan program kepada masyarakat
khususnya para mahasiswa. Perguruan tinggi banyak menghasilkan lulusan pekerja,
bukan wirausahawan, yang dengan pengua-saan sains dan teknologinya berusaha
secara mandiri dalam mensejahterakan diri dan masyarakatnya. Walaupun ada
beberapa

sarjana

yang

berhasil

membangun

industri

atau

perusahaan

dan

kreatifitasnya dapat menjadi suatu produk komoditas pasar, namun hal tersebut bukan
sebagai akibat dari tumbuhnya sikap kewirausahaan sebagai hasil pendidikan formal.
Dalam makalah ini juga diberikan contoh-contoh kasus tentang kewirau-sahaan,
agar dapat menjadi informasi bagi pembaca. Namun demikian, makalah ini juga masih
sangat jauh dari sempurna, karena penulis menyadari bahwa ilmu kewirausahaan
sebagai suatu seni masih akan selalu berkembang, baik dari segi metode maupun
alatnya. Oleh karena itu, penulis akan tetap selalu berharap untuk mendapatkan
masukan berupa kritik dan saran dari teman-teman pembaca. Semoga makalah ini
dapat berguna .

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Komunikasi Interpersonal


Komunikasi dapat didefinisikan sebagai penyampain informasi antara dua orang atau
lebih. Komunikasi merupakan suatu proses yanh vital dalam organisasi karena komunikasi
diperlukan bagi evektifitas kepemimpinan, perencanaan, pengendalian, koordinasi, latihan ,
manajemen konfilk, serta proses-proses organisasi lainnya.
Komunikasi interpersonal biasanya didefinisikan oleh komunikasi ulama dalam berbagai
cara, biasanya menggambarkan peserta yang tergantung pada satu sama lain dan memiliki
sejarah bersama. Hal ini dapat melibatkan satu pada satu percakapan atau individu berinteraksi
dengan banyak orang dalam masyarakat. Ini membantu kita memahami bagaimana dan mengapa
orang berperilaku dan berkomunikasi dengan cara yang berbeda untuk membangun dan
menegosiasikan realitas sosial . Sementara komunikasi interpersonal dapat didefinisikan sebagai
area sendiri studi, itu juga terjadi dalam konteks lain seperti kelompok dan organisasi.
Komunikasi interpersonal adalah termasuk pesan pengiriman dan penerimaan pesan
antara dua atau lebih individu. Hal ini dapat mencakup semua aspek komunikasi seperti
mendengarkan, membujuk, menegaskan, komunikasi nonverbal , dan banyak lagi. Sebuah
konsep utama komunikasi interpersonal terlihat pada tindakan komunikatif ketika ada individu
yang terlibat tidak seperti bidang komunikasi seperti interaksi kelompok, dimana mungkin ada
sejumlah besar individu yang terlibat dalam tindak komunikatif. Deddy Mulyana (2005)
menyatakan: komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara
orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang
lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal. (Mulyana, 2005:73).
Individu juga berkomunikasi pada tingkat interpersonal berbeda tergantung pada siapa
mereka terlibat dalam komunikasi dengan. Sebagai contoh, jika seseorang berkomunikasi dengan
anggota keluarga, bahwa komunikasi akan lebih dari mungkin berbeda dari jenis komunikasi
yang digunakan ketika terlibat dalam tindakan komunikatif dengan teman atau penting lainnya.
Secara keseluruhan, komunikasi interpersonal dapat dilakukan dengan baik dan tidak langsung
media komunikasi langsung seperti tatap muka interaksi, serta komputer-mediated-komunikasi.

Sukses mengasumsikan bahwa baik pengirim pesan dan penerima pesan akan menafsirkan dan
memahami pesan-pesan yang dikirim pada tingkat mengerti makna dan implikasi.
Tujuan komunikasi boleh jadi memberikan keterangan tentang sesuatu kepada penerima,
mempengaruhi sikap penerima, memberikan dukungan psikologis kepada penerima, atau
mempengaruhi penerima.
B. Persepsi Interpersonal dan Konsep Diri dalam Keahlian Komunikasi Interpersonal
Konsep diri dan Persepsi interpersonal sangat dibutuhkan untuk pencapaian dalam
kelancaran komunikasi. Orang yang lancar dalam berkomunikasi berarti orang tersebut
mempunyai keahlian dalam berkomunikasi. Persepsi interpersonal besar pengaruhnya bukan saja
pada komunikasi interpersonal, tetapi juga pada hubungan interpersonal. Karena itu kecermatan
persepsi interpersonal akan sangat berguna untuk meningkatkan kualitas komunikasi
interpersonal kita. Faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi nterpersonal diantaranya
adalah pengalaman, motivasi, kepribadian, stereotyping,atribusi.
Perilaku kita dalam berkomunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi
interpersonal. Jadi persepsi interpersonal membawa pengaruh yang besar bagi komunikasi
interpersonal. Kegagalan komunikasi dapat diperbaiki apabila orang tersebut menyadari bahwa
persepsinya salah. Komunikasi interpersonal kita akan menjadi lebih baik bila kita mengetahui
bahwa persepsi kita bersifat subjektif dan cenderung keliru.
Konsep diri diperlukan agar kita bisa mengamati diri dan sampailah pada gambaran dan
penilaian diri kita. William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai pandangan dan
perassan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis.
Konsep diri bisa juga dijadikan alat pengukur kepercayaan diri kita.
Faktor-faktor yang mempengruhi konsep diri diantaranya adalah orang lain dan
kelompok. Ada kelomok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini,
orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.
Pengaruh konsep diri pada komunikasi interpersonal diantaranya adalah sebagai berikut:
Nubuat yang dipenuhi sendiri
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal
karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya.
Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri deisebut sebagai nubuat yang

dipenuhi sendiri. Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri
yang positif atau negatif. Sebagai peminat komunikasi, sebaiknya kita mampu mengidentifikasi
tanda-tanda konsep diri yang positif atau negatif.
Membuka diri
Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama
berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka
diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman
kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan
baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan
orang lain.
Percaya diri
Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari
kurangnya kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri. Orang yang tidak menyenangi dirinya
merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengatasi persoalan. Orang yang kurang percaya diri
akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Ia takut kalau orang lain akan
mengejeknya atau menyalahkannya.
Selektivitas
Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi
kepada pesan apa anda bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa
yang kita ingat. (Anita Taylor 1977: 112). Dengan singkat, konsep diri menyebabkan terpaan
selektif, persepsi selektif, dan ingatan selektif.
C. Hubungan Keahlian komunikasi Interpersonal dalam Komunikasi
Orang yang mempunyai keahlian komunikasi maka komunikasi orang tersebut akan
berjalan efektif. Kita harus memupuk keahlian kita dalam komunikasi interpersonal melalui
konsep diri. Konsep diri seperti yang telah tertuang diatas sangat penting dilakukan agar kita ahli
dalam berkomunikasi. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang
baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami tetapi hubungan
dengan komunikan menjadi rusak. DeVito (1992) memandang komunikasi interpersonal yang
efektif berdasarkan humanistic model dan pragmatic model. Humanistic model (soft approach)
menunjukkan bahwa kualitas komunikasi interpersonal yang efektif ditentukan oleh 5 faktor,
sebagai berikut: Openness (keterbukaan), Empathy, Supportiveness (mendukung), Positiveness

(sikap positif), Equality (kesetaraan). Pragmatic model (behavioural) atau disebut juga sebagai
pendekatan keras (hard approach) atau (competence model) fokus pada perilaku tertentu yang
harus digunakan oleh pelaku komunikasi interpersonal baik sebagai pembicara maupun sebagai
pendengar apabila ingin efektif. Pendekatan ini pun menyatakan ada 5 skemampuan yang harus
dimiliki, yaitu sebagai berikut:
Confidence (percaya diri) maksudnya adalah para pelaku komunikasi interpersonal harus
memilki rasa percaya diri secara sosial (social confidence).
Immediacy merujuk pada situasi adanya perasaan kebersamaan antara
pembicara dan pendengar (oneness). Immediacy ditunjukan dengan sikap memperhatikan,
menyenangi, dan tertarik pada lawan bicara
Interaction management maksudnya adalah kemampuan untuk mengontrol interaksi demi
memuaskan kedua belah pihak pelaku komunikasi.
Expressiveness maksudnya adalah kemampuan untuk secara sungguhsungguh terlibat dalam
proses komunikasi.
Other orientation maksudnya adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan orang lain selama
proses komunikasi interpersonal berlangsung.
Butir-butir tersebut di atas menjelaskan kemampuan yang harus dimiliki agar suatu
proses komunikasi interpersonal efektif. Idealnya semua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh
para pelaku komunikasi interpersonal. Namun DeVito (1992) memberikan peringatan bahwa
dalam menerapkan kemampuan tersebut setiap situasi komunikasi, dan aspek budaya yang
berbeda pada pelaku komunikasi. Jadi aturan-aturan komunikasi interpersonal yang efektif
tersebut harus diterapkan secara fleksibel.
Ada sejumlah model untuk menganalisa hubungan personal, tetapi dengan mengikuti ikhtisar
dari Coleman dan Hammen (1974:224-231). Model-model tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
Model pertukaran sosial
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Model peranan masyarakat
Model peranan melihatnya sebagai panggung sandiwara. Di sini setiap orang harus memainkan
peranannya sesuai dengan naskah yang telah dibuat masyarakat. Hubungan interpersonal

berkembang baik bila setiap individu bertindak sesuai dengan ekspedisi peranan dan tuntutan
peranan, memiliki keterampilan peranan, dan terhindari dari konflik peranan dan kerancunan
peranan.
Model permainan
Dalam model ini, orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan. Mendasari
permainan ini adalah tiga bagian kepribadian manusia.
Model interaksional
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki
sifat-sifat struktural, integratif, dan medan. Semua sistem terdiri dari subsistem-subsisitem yang
saling tergantung dan bertindak bersama sebagai suatu kesatuan.
Pola-pola komunikasi interpersonal mempuanyai efek yang berlainan pada hubungan
interpersonal. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi
interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Yang menjadi soal bukanlah
berapa kali komunikasi dilakukan. Tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Faktor-faktor
yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal adalah percaya,
kejujuran, sikap suportif.
2.

Motivasi kewirausahaan

2.1

Definisi motivasi
Motivasi didefinisikan sebagai keadaan dalam diri individu yang menyebabkan

mereka berperilaku dengan cara yang menjamin tercapainya suatu tujuan. Motivasi
menerangkan mengapa orang-orang berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Semakin wirausahawan mengerti perilaku anggota organisasi, semakin mampu mereka
mempengaruhi perilaku tersebut dan membuatnya lebih konsisten dengan pencapaian
tujuan organisasional. Karena produktivitas dalam semua organisasi adalah hasil dari
perilaku anggota organisasi, mempengaruhi perilaku ini adalah kunci bagi
wirausahawan untuk meningkatkan produktivitas.
2.2

Model-Model Motivasi

Model motivasi kebutuhan-tujuan

Model motivasi kebutuhan dan tujuan dimulai dengan perasaan kebutuhan individu.
Kebutuhan ini kemudian ditransformasi menjadi perilaku yang diarahkan untuk
mendukung pelaksanaan perilaku tujuan. Tujuan dari perilaku tujuan adalah untuk
mengurangi kebutuhan yang dirasakan. Secara teoritis, perilaku mendukung tujuan dan
perilaku tujuan berkelanjutan sampai kebutuhan yang dirasakan telah sangat
berkurang.
Contoh, seseorang mungkin merasakan kelaparan. Kebutuhan ini ditransformasikan
pertama kedalam perilaku yang diarahkan untuk mendukung pelaksanaan perilaku
tujuan untuk makan. Contoh dari perilaku yang mendukung termasuk juga aktivitasaktivitas seperti membeli, memasak dan menyajikan makanan untuk dimakan. Perilaku
pendukung tujuan tersebut dan perilaku tujuan makan itu sendiri akan berkelanjutan
sampai individu merasakan kebutuhan lapar menjadi berkurang. Sekali individu
mengalami kebutuhan lapar kembali, daur tersebut akan mulai kembali.

Model ekspektasi motivasi Vroom


Model ekspektasi Vroom mengatasi beberapa kerumitan tambahan. Model ekspektasi
Vroom didasarkan pada premis bahwa keburuhan yang dirasakan menyebabkan
perilaku kemanusiaan. Akan tetapi, Disamping itu model ekspektasi Vroom
mengungkapkan isu kekuatan motivasi. Kekuatan motivasi adalah tingkatan keinginan
individu untuk menjalankan suatu perilaku. Ketika keinginan meningkat atu menurun,
kekuatan motivasi dikatakan berfluktuasi.

Model motivasi Porter-Lawler


Portel dan Lawler telah mengembangkan suatu model motivasi yang menggambarkan
uraian proses motivasi yang lebih lengkap disbanding model kebutuhan-tujuan atau
model ekspektasi Vroom. Model motivasi Porter-Lawler ini konsisten dengan dua model
sebelumnya dimana model ini menerima premis bahwa
(1)

kebutuhan yang dirasakan akan menyebabkan perilaku kemanusiaan; dan

(2)

usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tugas ditentukan oleh nilai balas

jasa yang dirasakan yang dihasilkan dari suatu tugas dan probabilitas bahwa balas jasa
tersebut akan menjual nyata.

Disamping itu, model motivasi Porter-Lawler menekankan tiga karakteristik lain dari
proses motivasi:
1. Nilai balas jasa yang dirasakan ditentukan oleh baik balas jasa intrinsic dan ekstrinsik
yang menghasilkan kepuasan kebutuhan ketika suatu tugas diselesaikan. Balas jasa
intrinsik berasal langsung dari pelaksanaan suatu tugas, sementara balas jasa
ekstrinsik tidak ada hubungannya dengan tugas itu sendiri.
2. Tingkatan dimana individu secara efektif menyelesaikan suatu tugas ditentukan oleh
dua variablel:
(1) persepsi individu tentang apa yang diperlukan untuk mrlaksanakan suatu tugas, dan
(2) Kemampuan sesungguhnya daru individu untuk menjalankan suatu tugas.
3. Keadilan balas jasa yang dirasakan akan mempengaruhi jumlah kepuasan yang
dihasilkan oleh balas jasa tersebut. Pda umumnya, semakin adil balas jasa yang
dirasakan oleh individu, semakin besar kepuasan yang dirasakan sebagai hasil dari
menerima balas jasa tersebut
2.3

TEORI MOTIVASI

a. Teori Tiga Kebutuhan David McClelland


1.

NAch,
Wirausaha yang memiliki motivasi ini selalu ingin berprestasi/ meraih yang terbaik,

umumnya memiliki ciri-ciri :

Ingin mengatasi sendiri kesulitan-kesuliatan dan persoalan-persoalan yang timbul pada


dirinya.

Selalu memerlukan umpan balik yang segera untuk dapat mengukur keberhasilan atau
kegagalan

Memiliki tanggung jawab personal yang tinggi

Berani menghadapi resiko dengan penuh tantangan

Menyukai tantangan dan melihat tantangan secara seimbang.


2.

NPow,
yaitu hasrat untuk mempengaruhi, mengendalikan dan menguasai oranglain.

Ciri umumnya adalah :

Senang bersaing

Berorientasi pada status

Menguasai orang lain.


3.

NAff,

yaitu hasrat untuk dapat diterima dan disukai oleh orang lain. Wirausaha yang berafiliasi
tinggi lebih menyukai persahabatan, bekerjasama daripada persaingan dan saling
pengertian.

b. Maslow (Teori Kebutuhan)


Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada
pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
(1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex;
(2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental,
psikologikal dan intelektual;
(3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
(4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai
simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan
nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan
primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas
dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat
materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.

Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam
kehidupan organisasional, teori klasik Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan
mengalami koreksi. Penyempurnaan atau koreksi tersebut terutama diarahkan pada konsep
hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah hierarki dapat diartikan sebagai
tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga
berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep
tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha
memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat
pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan
pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan koreksi dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang
diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan
manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang
pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman
serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu
ditekankan bahwa :
1.Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang
akan datang;
2.Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari
pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
3.Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai titik jenuh dalam arti tibanya suatu kondisi
dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah

memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi
pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..
Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara
satu kenyataan dengan dorongan yang ada dalam diri. Apabila pegawai kebutuhannya tidak
terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku kecewa. Sebaliknya, jika
kebutuhannya terpenuhi amak pegawai tersebut akan memperlihatkan perilaku yang gembira
sebagai manifestasi dari rasa puasnya.
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak
mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya.
Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia
adalah sebagai berikut :
1.Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas,
seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai
kebutuhan yang paling dasar
2.Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman, bahaya,
pertentangan, dan lingkungan hidup
3.Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok,
berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai
4.Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai olehorang lain
5.Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan,
skill dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan
kritik terhadap sesuatu

c. Teori Keadilan
Keadilan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat

kerja seseorang, jadi

perusahaan harus bertindak adil terhadap setiap karyawannya. Penilaian dan pengakuan
mengenai perilaku karyawan harus dilakukan secara obyektif. Teori ini melihat perbandingan

seseorang dengan orang lain sebagai referensi berdasarkan input dan juga hasil atau kontribusi
masing-masing karyawan (Robbins, 2007).

d. Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan pandangan nyata mengenai manusia. Pandangan pertama
pada dasarnya negative disebut teori X, dan yang kedua pada dasarnya positif disebut teori Y
(Robbins, 2007).
McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas
beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka
terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.

e. Teori dua Faktor Herzberg


Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg dengan asumsi bahwa hubungan seorang
individu dengan pekerjaan adalah mendasar dan bahwa sikap individu terhadap pekerjaan bias
sangat baik menentukan keberhasilan atau kegagalan. (Robbins, 2007).
Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan
bawa ketidakpuasan kerja berasal dari ketidakberadaan faktor-faktor ekstrinsik. Faktor-faktor
ekstrinsik (konteks pekerjaan) meliputi :
1.

Upah

2.

Kondisi kerja

3.

Keamanan kerja

4.

Status

5.

Prosedur perusahaan

6.

Mutu penyeliaan

7.

Mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan bawahan

Keberadaan kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka.
Tetapi ketidakberadaannya menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan, karena mereka perlu
mempertahankan setidaknya suatu tingkat tidak ada kepuasan, kondisi ekstrinsik disebut
ketidakpuasan,atau faktor hygiene. Faktor Intrinsik meliputi :
1.

Pencapaian prestasi

2.

Pengakuan

3. Tanggung Jawab
4.

Kemajuan

5.

Pekerjaan itu sendiri

6.

Kemungkinan berkembang.

Tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi
jika ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh
karena itu, faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai pemuas atau motivator.

2.4

Reinforcement Theory
Mengapa orang berhasrat untuk berwirausaha ? Menurut Wirasasmita (1994),

orang berhasrat untuk berwirausaha karena :


a) Alasan Keuangan, yaitu mencari nafkah, untuk menjadi kaya, untuk mencari
pendapatan tambahan, sebagai jaminan stabilitas keuangan.
b) Alasan Sosial, yaitu memperoleh gengsi/status, untuk dapat dikenal dan dihormati,
utnuk menjadi panutan, agar dapat bertemu dengan orang banyak.
c) Alasan Pelayanan, yaitu memberi pekerjaan kepada masyarakat, membantu anak
yatim, membahagiakan orang tua, demi masa depan keluarga
d) Alasan pemenuhan diri, yaitu menjadi atasan/ mandiri, untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan, untuk menghindari ketergantungan pada orang lain, untuk menjadi produktif
dan untuk menggunakan kemampuan pribadi
2.5

Proses kewirausahaan Diawali oleh Inovasi (Carol Noore)

Inovasi dipengaruhi oleh :


1. Faktor Internal seperti locus of control, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, pengalaman.
2. Faktor ekternal/lingkungan seperti model peran, aktivitas, peluang,organisasi, keluarga
Strategi Menciptakan Inovasi sbb:

Menciptakan manfaat

Meningkatkan nilai inovasi

Beradaptasi dengan lingkungan sosial ekonomi pelanggan

Menyajikan apa yang dianggap bernilai dari pelanggan


Konsep 3M (A.Gym)

Mulai dari yang kecil


Mulai dari diri sendiri
Mulai saat ini juga

Konsep 5D (Robert T.Kiyosaki)

2.6

Dream
Data
Drive
Dedication
Do-It
+ Doa dan Tawakal
Teori-teori proses terbentuknya wirausaha

1. Teori life path change


Shapero & Sokol (1982) : tidak semua wirausaha lahir dan berkembang menjadi
jalur yang sistematis dan terencana.
Penyebab :
1. Negative displacement
2. Being between things
3. Having positive pull

2. Teori goal directed behavior


Wolman (1973) : Seseorang menjadi wirausaha karena termotivasi untuk
mencapai tujuan tertentu
Keputusan menjadi wirausaha diambil dengan tujuan memecahkan masalah
kekurangan yang dia miliki. Masalah kekurangan diidentifikasi dengan adanya
HARAPAN sebagai pemecahan.
3. Teori pengambilan keputusan
Sebelum mengambil keputusan untuk berwirausaha, seseorang memiliki
berbagai macam pertimbangan-pertimbangan. Pengambilan keputusan tidak mudah
bahkan menimbulkan konflik, antara dirinya sendiri bahkan dengan orang lain
Moore (1954) : Pengambilan keputusan adalah perpaduan antara kegiatan
berpikir, memilih dan bertindak.
Crimmon (1976) : pengambilan keputusan dapat mengarahkan perilaku tindakan
seseorang dalam mencapai tujuannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan antara lain:
Berasal dari situasi lingkungan keputusan itu sendiri serta Faktor-faktor yang berasal
dari dalam diri si pengambil keputusan itu sendiri
4. Teori outcome expectancy
Bandura (1986) : keyakinan tentang konsekuensi yang diterima setelah
seseorang melakukan suatu tindakan tertentu.
Jenis-jenis Insentif Outcome Expectancy : primer, sensoris, sosial, ekonomis,
aktivitas, status, pengaruh, terpenuhinya standar internal.
Kenapa usaha kecil sering gagal?
Kesalahan dalam :

Pengelolaan uang

Pengelolaan usaha dan manajemen

Kompetensi

Kredit perbankan

Membidik pasar

Administrasi usaha dan hokum


2.7

Tujuh rahasia menjadi enterprener

Berani mengambil resiko terbesar

Meminimumkan mimpi-mimpi besar

Hargai pelanggan lebih tinggi

Pelihara anak buah anda

Dalam kondisi susah, mampu bertahan

Percaya pada diri sendiri

Punya gairah dan semangat untuk maju


2.8

Esensi kewirausahaan
Menciptakan nilai tambah melalui proses pengkombinasian

SDA+SDM+Teknologi dan harus berbeda dengan yang lain, agar mampu bersaing
dengan cara :
1. Pengembangan teknologi baru
2. Perbaikan produk dan jasa yang ada
3. Penemuan produk baru dan cara-cara baru

BAB III
PENUTUP

Dengan memperhatikan kondisi bangsa Indonesia saat ini (seperti banyaknya


tenaga kerja, lapangan kerja yang sangat terbatas, rendahnya produktivitas, masih
belum optimalnya penggunaan sumber daya alam serta ketidakstabilan ekonomi), maka
peluang untuk meningkatkan produktivitas bangsa melalui pengembangan
kewirausahaan sangat diperlukan dan masih terbuka lebar.
Wirausaha adalah orang yang menciptakan cara baru dalam mengorganisasikan proses produksi, Tugas Wirausaha adalah melakukan sesuatu dengan cara
yang berbeda, bukan hanya sekadar dengan cara yang lebih baik.
Motivasi didefinisikan sebagai keadaan dalam diri individu yang menyebabkan
mereka berperilaku dengan cara yang menjamin tercapainya suatu tujuan. Motivasi
menerangkan mengapa orang-orang berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Semakin wirausahawan mengerti perilaku anggota organisasi, semakin mampu mereka
mempengaruhi perilaku tersebut dan membuatnya lebih konsisten dengan pencapaian
tujuan organisasional. Karena produktivitas dalam semua organisasi adalah hasil dari
perilaku anggota organisasi, mempengaruhi perilaku ini adalah kunci bagi
wirausahawan untuk meningkatkan produktivitas.
Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam membuat sesuatu menjadi
baru dalam keberadaannya. Kreativitas juga berhubungan dengan adanya perubahan
ide. Hubungan kreativitas dengan kewirausahaan sangat erat dan terkadang overlap walaupun tidak sama diantara keduanya
Pengembangan kewirausahaan saat ini sangat dibutuhkan dalam rangka
memperluas kesempatan kerja serta mempersiapkan keunggulan bersaing bangsa
Indonesia pada era pasar global. Oleh karena itu perlu dibentuk inkubator bisnis pada
setiap perguruan tinggi yang berfungsi untuk mengadopsi pengembangan
kewirausahaan ke dalam proses belajar dan mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

http://episentrum.com/artikel-psikologi/Kreativitas wirausaha/#more- 515. 13 November


2010.
http://www.justelsa.com/2010/05/teori-motivasi-david-c-mcclelland.html. 13 November
2010.
Aryati. D. 2009. Kewirausahaan. Jakarta
Bachruddin, Zaenal, Mudrajad Kuncoro, Budi Prasetyo Widyobroto, Tridjoko Wismu
Murti, Zuprizal, Ismoyo. 1996. Kajian Pengembangan Pola Industri Pedesaan Melalui
Koperasi dan Usaha Kecil. LPM UGM dan Balitbang Departemen Koperasi & PPK,
Yogyakarta.
Dwi, Benedicta Prihatin. 2003. Kewirausahaan: Dari Sudut Pandang Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Grasindo
Suryana. 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses, Ed
III. Jakarta: Salemba Empat
Soetrisno, Loekman. 1995. Membangun Ekonomi Rakyat Melalui Kemitraan: Suatu
Tinjauan Sosiologis, makalah dalam Diskusi Ekonomi Kerakyatan, Hotel Radisson,
Yogyakarta, 5 agustus.
Wiratmo, Masykur. 1996. Pengantar Kewiraswastaan: Kerangka Dasar Memasuki
Dunia Bisnis, Ed I. Yogyakarta: BPFE
khafidz-cobapertama.blogspot.com
moethya26.wordpress.com/2010/11/13/motivasi-kewirausahaan/

Anda mungkin juga menyukai