Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

6 APRIL 2014

LAPORAN TUTORIAL
MODUL 2
BERCAK KEMERAHAN DI KULIT
BLOK KEDOKTERAN TROPIS DAN PENYAKIT INFEKSI

DISUSUN OLEH :
Nama

: M. Adjis Rasyidi

Stambuk

: 10 777 038

Kelompok

: 3 (tiga)

Pembimbing

: dr. Mohammad Zulfikar

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2014

BAB 1
PENDAHULUAN

MODUL 2
1.1 Skenario
Seorang ibu rumah tangga berumur 30 tahun datang dengan keluhan
kemerahan pada daerah dada yang dialami sejak 1 minggu yang lalu.
1.2 Kata kunci :
1.2.1
Ibu rumah tangga berumur 30 tahun.
1.2.2
Keluhan kemerahan pada daerah dada.
1.2.3
Dialami sejak seminggu yang lalu.
1.3 Pertanyaan :
1.3.1
A Jelaskan abatomi, fisiologi, dan histologi kulit ?
1.3.2
Bagaimana patofisiologi kemerahan pada kulit ?
1.3.3
Bagaimana cara mendiagnosis kelainan yang terjadi dari
1.3.4
1.3.5

skenario ?
Sebutkan tipe efloresensi pada scenario ?
DD ?

1.4 Mind Map

BAB 2
PEMBAHASAN
TINEA CORPORIS

Gambaran Klinis Tinea Corporis


Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul di tepi. Daerang tengahnya biasanya lebih tenang.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk
papul berwarna coklat, yang perlahanlahan menjadi besar. Stratum korneum
begian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini, setelah
beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaranlingkaran skuama yang konsenteris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari
bagian tengah kea rah luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap
kedalam. Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat
bertemu dengan lingkaran-lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk
pinggir yang polikistik. Pada permulaan infeksi penderita dapa merasa sangat
gatal, akan tetapi kelainan yang menahun tidak menimbulkan keluhan pada
penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai
iktiosis. Kulit kepala penderita dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya
tidak. Tinea unguium juga sering menyertai penyakit ini.
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah
tinea favosa dan favus. Penyakit ini biasanya di mulai di kepala sebagai titik
kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi
krusta berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut
biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat
dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat
lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh
kepala dan meninggalkan parut dan yang disebabkan oleh jamur lain, favus
tidak menyembuh pada uisa akil balik. Biasanya dapat tercium bau tikus
(mousy odor) pada para penderita favus. Kadang-kadang penyakit ini dapat
menyerupai dermatitis seboroika. Tinea favosa pada kulit dapat dilihat
sebagai kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan
kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian menjadi jaringan parut.
Favus pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium pada
umumnya, yang disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga spesies
dermatofita dapat menyebabkan favus, yaitu Trichophyton violaceum, dan
Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak

bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak


dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita sendiri.
Labolatorium
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat
berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10 x 10, kemudian dengan pembesaran 10 x
45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x 100 biasanya tidak diperlukan.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artospora) pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. Pada sediaan
rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora).
Spora dapat tersusun diluar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut
(endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang
dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa
Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik
(kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua zat teresubut
diperlukan untuk menghindari kontaminasi bakteri maupun jamur kontaminan.

Pengobatan Tinea Corporis


Dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian
griseosulfin yang bersifat fungistatik. Bagian dosis pengobatan griseosulfin
dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk
orang dewasa dan 0,25 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10 25 mg per
kg berat badan. Lama pengobatan pada lokasi penyakit, penyebab penyakit,
dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu
agar tidak residif. Dosis harian dibagi menjadi 4 kali sehari. Untuk
mempertinggi absorbsi obat dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersamasama makanan yang banyak mengandung lemak. Untuk mempercepat waktu

penyembuhan, kadang-kadang diperlukan tindakan khusus atau pemberian


obat topikal tambahan.
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan
utama ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping yang
lain dapat berupa gangguan traktus digestunus ialah nausea, vomitus, dan
diare. Obat tersebut juga bersifat fotosintesis dan dapat mengganggu fungsi
hepar.
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol
yang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofilvin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi
untuk penderita kelainan hepar.
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik
terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari, dapat diberikan suatu obat
tiazol yaitu itrakonazol yang merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat
tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lender oleh penyakit jamur biasanya
cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari. Khusus untuk
onikomikosis dikenal sebagai dosis denyut selama 3 bulan. Cara
pemberiannya sebagai berikut, diberikan 3 tahap selama 1 minggu dengan
dosis 2 x 200 mg sehari dalam kapsul.
Hasil pemberian itrakonazol dengan dosis denyut untuk onikomikosis
hamper sama dengan pemberian terbinafin 250 mg sehari selama 3 bulan.
Kelebihan itrakonazol terhadap terbinafin adalah efektif terhadap
onikomikosis.
Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari
bergantung pada berat badan.
Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang
tersering gengguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri
lambung, diare, konstitusi, umumnya ringan. Efek samping yang lain dapat
berupa gangguan pengecapan, presentasinya kecil rasa pengecapan hilang
sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat
sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3 - 7% kasus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu


penyakit dalam. Ed 5th. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Jilid III.
2. Widoyono. Penyakit Tropis. Ed 2nd. Jakarta: Erlangga; 2011.
3. Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Ed 6th. Jakarta: . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2011
4. Mandal. B.K, et al. Lecture Notes : Penyakit Infeksi. Ed 6 th. Jakarta:
Erlangga; 2008.

Anda mungkin juga menyukai