Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan kesehatan yang semakin kompleks seiring dengan
perkembangan teknologi transportasi menyebabkan kecepatan waktu tempuh
perjalanan antar Negara melebihi masa inkubasi penyakit. Hal ini memperbesar
risiko masuk dan keluar penyakit menular (newemerging infectious diseases)
dimana ketika pelaku perjalanan memasuki pintu masuk negara gejala klinis
penyakit belum tampak. Disamping kemajuan teknologi di berbagai bidang
lainnya yang menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit, ditandai dengan
pergerakan kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya, baik pergerakan
secara alamiah maupun pergerakan melalui komoditas barang di era perdagangan
bebas dunia yang dapat menyebabkan peningkatan faktor risiko.
Melihat peningkatan faktor risiko di atas, maka Badan Kesehatan Dunia
(WHO) mengantisipasi untuk terjadinya penyakit yang menimbulkan masalah
kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia
International Concern (PHEIC)

Public Health Emergency of

dengan membentuk International Health

Regulation (IHR) yang berlaku bagi seluruh negara, dimana setiap negara wajib
melindungi rakyatnya dengan mencegah terjadinya penyakit yang masuk dan
keluar dari negaranya.
Kantor Kesehatan Pelabuhan yang selanjutnya disebut KKP adalah unit
pelaksana teknis di lingkungan Kementerian Kesehatan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. KKP dipimpin oleh seorang Kepala dan dalam
melaksanakan tugas secara administratif dibina oleh Sekretariat Direktorat
Jenderal dan secara teknis fungsional dibina oleh Direktorat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) diklasifikasikan ke dalam 4 kelas yaitu KKP kelas I,
KKP kelas II, KKP kelas III dan KKP kelas IV. Klasifikasi tersebut di dasarkan
pada beban kerja di bandara, pelabuhan dan lintas batas darat Negara.
Pada sarana dan prasarana yang dimiliki oleh KKP idealnya memenuhi
standardisasi sebagaimana klasifikasi dari KKP dengan prinsip

1. Kemanfaatan,

keselamatan,

keseimbangan

sertakeserasianlkeselarasan

bangunan gedung dengan lingkungannya.


2. Hemat, tidak berlebihan, efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan
dan ketentuan teknis yang disyaratkan .
3. Terarah dan terkendali sesuai rencana, program satuan kerja serta fungsi
setiap penggunaan .
4. Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan
memperhatikan kemampuanlpotensi nasional
Klasifikasi Kantor Kesehatan Pelabuhan ditetapkan berdasarkan kriteria
yang berupa penentuan nilai terhadap seluruh komponen yang

berpengaruh

terhadap beban kerja. Kriteria penentuan nilai sebagaimana dimaksud terdiri atas
unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama terdiri atas:
1. Kekarantinaan kesehatan yaitu upaya mencegah dan menyangkal keluar atau
masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan masyarakat.
2. Surveilans kesehatan, yaitu upaya untuk memperoleh gambaran tentang
penyakit potensial wabah dan faktor risiko melalui pengumpulan dan
pengolahan data secara terus-menerus terhadap lalu lintas alat angkut,
penyakit potensial wabah, faktor risiko, guna menghasilkan informasi yang
cepat dan akurat dalam proses pengambilan keputusan untuk respon cepat.
3. Pengendalian faktor risiko lingkungan, yaitu upaya pencegahan penyakit
dan/atau gangguan kesehatan akibat faktor risiko lingkungan.Pelayanan
kesehatan, yaitu kegiatan pelayanan kesehatan promotif, preventif, dan kuratif
secara terbatas di lingkungan pelabuhan, bandara, dan lintas batas darat.
4. Sumber daya manusia teknis, yaitu jumlah pejabat fungsional yang
melaksanakan tugas dan fungsi teknis Kantor Kesehatan Pelabuhan, termasuk
pegawai paruh waktu

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, KKP


menyelenggarakan 16 (enam belas) fungsi (Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 356/MENKES/ PER/IV/2008 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan):
1. Pelaksanaan kekarantinaan
2

2. Pelaksanaan pelayanan kesehatan;


3. Pelaksanaan pengendalian risiko lingkungan di bandara, pelabuhan, dan lintas
batas darat Negara;
4. Pelaksanaan pengamatan penyakit, penyakit potensial wabah, penyakit baru,
dan Penyakit yang muncul kembali;
5. Pelaksanaan pengamanan radiasi pengion dan nonpengion, biologi dan kimia;
6. Pelaksanaan sentra/simpul jejaring surveilans epidemiologi sesuai penyakit
yang berkaitan dengan lalu lintas nasional, regional, dan internasional;
7. Pelaksanaan, fasilitasi dan advokasi kesiapsiagaan dan penanggulangan
kejadian luar Biasa (KLB) dan bencana bidang kesehatan, serta kesehatan
matra termasuk penyelenggaraan kesehatan haji dan perpindahan penduduk;
8. Pelaksanaan, fasilitasi, dan advokasi kesehatan kerja di lingkungan bandara,
pelabuhan, Dan lintas batas darat negara;
9. Pelaksanaan pemberian sertifikat kesehatan obat, makanan, kosmetika dan
alat Kesehatan serta bahan adiktif (omkaba) ekspor dan mengawasi
persyaratan dokumen kesehatan omkaba impor;
10. Pelaksanaan pengawasan kesehatan alat angkut dan muatannya;
11. Pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan di wilayah kerja bandara,
pelabuhan, dan Lintas batas darat negara;
12. Pelaksanaan jejaring informasi dan teknologi bidang kesehatan bandara,
pelabuhan, dan Lintas batas darat negara;
13. Pelaksanaan jejaring kerja dan kemitraan bidang kesehatan di bandara,
pelabuhan, dan Lintas batas darat negara;
14. Pelaksanaan kajian kekarantinaan, pengendalian risiko lingkungan, dan
surveilans Kesehatan pelabuhan;
15. Pelaksanaan pelatihan teknis bidang kesehatan bandara, pelabuhan, dan lintas
batas Darat negara
16. Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KKP.
Pengendalian Karantina dan Surveilans Epidemiologi mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perencanaan, pemantauan, evaluasi, penyusunan
laporan, dan koordinasi pelaksanaan kekarantinaan dan surveilans epidemiologi
penyakit, penyakit potensial wabah, penyakit baru, dan penyakit yang muncul
kembali, pengawasan alat angkut dan muatannya, lalu lintas Obat, Makanan,
Kosmetika, Alat Kesehatan, dan Bahan Adiktif(OMKABA), jejaring kerja, dan
kemitraan di wilayah kerja bandara, pelabuhan, dan lintas batas darat negara.

Pengendalian Risiko Lingkungan mempunyai tugas melakukan penyiapan


bahan perencanaan, pemantauan, evaluasi, penyusunan laporan, dan koordinasi
pengendalian vektor dan binatang penular penyakit, pembinaan sanitasi
lingkungan, kesehatan terbatas, kesehatan kerja, kesehatan matra, kesehatan haji,
perpindahan penduduk, penanggulangan bencana, vaksinasi internasional, jejaring
kerja, kemitraan di wilayah kerja bandara, pelabuhan, dan lintas batas darat negara
Upaya Kesehatan dan Lintas Wilayah mernpunyai tugas melaksanakan
perencanaan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang pelayanan
kesehatan terbatas, kesehatan haji, kesehatan kerja, kesehatan matra, vaksinasi
internasional, pengembangan jejaring kerja, kemitraan, kajian dan teknologi, serta
pendidikan dan pelatihan bidang upaya kesehatan pelabuhan di wilayah kerja
bandara, pelabuhan, dan lintas batas darat negara.
Berkaitan hal tersebut di atas yang merupakan masalah

darurat yang

menjadi perhatian dunia disebabkan oleh lalu lintas alat angkut yang masuk
melalui pelabuhan, maka Kantor Kesehatan Pelabuhan dituntut mampu
menangkal risiko kesehatan yang masuk melalui orang, barang dan alat angkut
kapal dengan melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah
terjadinya risiko penularan penyakit. Melihat ancaman penyakit global, penulis
melakukan survei tentang tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan pada penyakit
TB Paru pada pekerja AKB/TKBM di Pelabuhan Rakyat, Pelabuhan Nusantara
dan Pelabuhan Kontainer Kota Kendari.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambara tingkat
pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap penyakit TB Paru pada pekerja
ABK/TKBM di Pelabuhan Rakyat, Pelabuhan Nusantara dan Pelabuhan Wawonii
Kota Kendari tahun 2016.
C. Manfaat
1. Sebagai bahan masukan bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kendari dalam
mengambil kebijakan terhadap gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan
tindakan pada penyakit TB paru.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan


yang berkaitan dengan penyakit TB paru pada ABK dan TKBM di kapal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyebab penyakit ini adalah
bakteri kompleks Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam
famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. kompleks
Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M.
microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis
merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. Bakteri ini
merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru (90%)
dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
B. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal
dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.
Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup
tinggi. Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555
tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari
dan terjadi >100.000 kematian per tahun. Hal tersebut merupakan tantangan bagi
semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya
penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan
diagnosis dini yang definitif.
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga
penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993
WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita
TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru
berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.
C. Penyebab

Penyebab tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosa,


yang berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun. M.
tuberculosis merupakan kuman berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar
3, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob, pada pewarnaan gram
maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu M.
tuberculosis disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Pada dinding sel M.
Tuberculosis

lapisan

lemak

berhubungan

dengan

arabinogalaktan

dan

peptidoglikan yang ada dibawahnya, hal ini menurunkan permeabilitas dinding


sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, yaitu
suatu molekul lain dalam dinding sel M. tuberculosis, yang berperan dalam
interaksi antara inang dan patogen, sehingga M. tuberculosis dapat bertahan hidup
di dalam makrofag.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibody monoklonal . Saat ini telah
dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38
kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam
mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000
a, protein MTP 40 dan lain lain.

D. Penyebaran
Adapun penyebaran kuman TB adalah :

1. TB tersebar lewat udara bila orang yang mengidap TB di paru-paru atau


tenggorokan batuk, bersin atau berbicara dan mengirimnya ke udara. Kalau
kuman ini terhirup orang lain, dia bisa terkena infeksi.
2. Mendapatnya kebanyakan dari pergaulan yang sering dan lama, seperti
dengan anggota keluarga atau teman.
3. TB tidak tersebar dari alat rumah tangga, misalnya sendok garpu, piring
mangkuk, gelas, seprai, pakaian atau telepon - jadi tidak perlu memakai alat
rumah tangga masing-masing.
E. Patogenesis
Menurut Depkes RI (2002) riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu
infeksi primer dan pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar
pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB
berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Saluran limfe
akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif .
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister
atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Kedua tuberkulosis paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paska
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.
8

F. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb
Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan fototoraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb
positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah
5) Pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negative
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika nonOAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
c. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
G. Diagnosa
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis
1. Gejala
a. Sistemik
1) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
2) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
3) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
b. Khusus
1) Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paruparu) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
2) Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru)
3) Disertai dengan keluhan sakit dada.
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan
kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal
atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda
pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi
redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru.
10

Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke
sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas
atau tanda adanya penebalan pleura.
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
a. S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberculosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagihari kedua
b. P (pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
c. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi hari.
Pemeriksaan

mikroskopisnya

dapat

dibagi

menjadi

dua

yaitu

pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl


Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya
dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan).
Tabel 1. Intepretasi hasil pemeriksaan TB paru
Hasil pemeriksaan
Bila 3 kali positif atau
2 kali positif, 1 kali negatif
Bila 1 kali positif, 2 kali negatif
Bila 3 kali negative

Interpretasi
BTA +
Ulangi BTA 3 kali
BTA -

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(International Union Against Tuberculosis and Lung Tuberculosis) yang
merupakan rekomendasi dari WHO.
Tabel 2. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis TB paru skala UATLD
Hasil pemeriksaan
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang
pandang
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang
Ditemukan 10-99 BTA dalam 1 lapang pandang

Interpretasi
Negatif
Ditulis dalam jumlah
kuman yang ditemukan
+ (1+)
11

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang


Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang

++ (2+)
+++ (3+)

3. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin
ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator
Tube (MGIT).
4. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang
spesifik untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua
dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah
satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai
predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat
menggambarkan daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana
pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada
beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila Curiga
adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks), Hemoptisis berulang
atau berat, Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +.
Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
a. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
dan segmen superior lobus bawah paru. Kaviti terutama lebih dari satu,
dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier.
Efusi Pleura
b. Gambaran radiologi yang dicurigai Tb paru inaktif

12

Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas
dan atau segmen superior lobus bawah. Kalsifikasi. Penebalan pleura.
H. Penatalaksanaan
Pengobatan

tuberkulosis

bertujuan

untuk

menyembuhkan

pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan


mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan
kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya
sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah
yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat
dibandingkan antibakteri lain :
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,
Streptomisin, Etambutol.
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon.
Tabel 3. Jenis dan Obat OAT
Dosis (mg) / berat
Dosi
Dosis yang dianjurkan
Dosis
badan (kg)
s
Obat (mg/kg
Harian (mg/ Intermitten (mg/ Maks
BB/hari)
<40 40-60 >60
(mg)
kgBB/hari)
kgBB/hari)
R
10-15
10
10
6000 300
450
60
H
5-10
5
10
300
150
300
450
Z
15-20
25
35
750
1000 1500
E
15-20
15
30
750
1000 1500
Sesua
S
15-18
15
15
1000 ikan
750
1000
BB
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3

13

Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
4. Kategori 4: RHZES
Kategori Diberikan pada kasus Tb kronik.
I. Komplikasi
TB paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru
dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis,
usus.
b. Komplikasi pada stadium lanjut:
1) Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik.
2) Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
3) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
4) Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya

14

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan penyakit TB Paru pada
pekerja TKBM/ABK di pelabuhan rakyat, pelabuhan nusantara dan pelabuhan
wawonii dilakukan melalui proses pembagian kuisoner dan wawancara terpimpin.
Berikut ini diuraikan bagaimana berlangsungnya kegiatan di pelabuhan rakyat,
pelabuhan nusantara dan pelabuhan wawonii.
A. Rancangan Penelitian
Survei ini adalah metode survei deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan penyakit TB
Paru pada pekerja TKBM/ABK di pelabuhan rakyat, pelabuhan nusantara
dan pelabuhan wawonii dilakukan melalui proses pembagian kuisoner dan
wawancara terpimpin Kota Kendari tanggal 12 Januari 2016.
B. Lokasi dan Waktu Survei
Lokasi Survei
Survei dilaksanakan di Pelabuhan Rakyat, Pelabuhan Nusantara dan
Pelabuhan Wawonii.
Waktu Survei
Survei ini dilakukan pada hari selasa tanggal 12 Januari 2016.
C. Populasi dan Sampel Survei
Populasi Survei
Populasi dalam survei ini adalah TKBM/ABK, yaitu sebanyak 41 orang.
Sampel Survei
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling dengan
studi deskriptif. Yang dimaksud total sampling adalah semua yang menjadi
populasi dijadikan sampel survei. Jumlah sampel adalah 41 orang.
D. Definisi Operasional
Tenaga kerja bongkar muat (TKBM) adalah semua tenaga kerja yang
terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat
di pelabuhan yang telah mengisi kuisoner dan wawancara terpimpin tentang
gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan penyakit TB paru.
Anak Buah Kapal (ABK) adalah adalah semua tenaga kerja yang
terdaftar pada pelabuhan setempat sebagai anak buah kapal di pelabuhan yang

15

telah mengisi kuisoner dan wawancara terpimpin tentang gambaran tingkat


pengetahuan, sikap dan tindakan penyakit TB paru.
E. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berasal dari data primer. Data primer adalah
data yang diperoleh langsung dari responden yaitu dari hasil pembagian
kuisoner dan wawancara terpimpin kemudian hasil tersebut diolah dan
dianalisis.

16

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan Survei


1. Distribusi menurut pekerjaan responden
Tabel 4. Distribusi menurut pekerjaan responden di Pelabuhan Rakyat,
Pelabuhan Nusantara dan Pelabuhan Wawonii Kota Kendari
Januari 2016
Pekerjaan
Jumlah (N)
%
TKBM
26
63,4
AKB
15
36,6
Total
41
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 4. dari 41 responden pada survei ini 26 responden
(63,4%) bekerja sebagai TKBM dan sebanyak 15 responden (36,6%) bekerja
sebagai AKB.
2. Distribusi menurut pendidikan responden
Tabel 5. Distribusi menurut pendidikan responden di Pelabuhan Rakyat,
Pelabuhan Nusantara dan Pelabuhan Wawonii Kota Kendari
Januari 2016
Pendidikan
Jumlah (N)
%
SD
4
9,8
SMP
8
19,5
SMA
25
61,0
Akademi/Sarjana
4
9,8
Total
41
100
Sumber : Data Primer 2016
Berdasarkan tabel 5. dari 41 responden pada survei ini yang memiliki
tingkat pendidikan SD sebanyak 4 responden (9,8 %), tingkat pendidikan
SMP sebanyak 8 responden (19,5%), tingkat pendidikan SMA sebanyak 25
responden (61,0%) dan sebanyak 4responden (9,8%) yang memiliki tingkat
pendidikan Akademi/Sarjana.

3. Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang penyakit TB paru


Tabel 6. Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang penyakit TB paru
yang dikelompokkan berdasarkan pekerjaan di Pelabuhan Rakyat,

17

Pelabuhan Nusantara dan Pelabuhan Wawonii Kota Kendari Januari


2016
Tingkat pengetahuan
Total
Pekerjaa
Kurang
Sedang
Baik
n
n
%
n
%
n
%
n
%
TKBM
8
19,5
18
43,9
0
0
26
63,4
AKB
0
0
13
31,7
2
4,9
15
36,6
Total
8
19,5
31
75,6
2
4,9
41
100
Sumber : Data Primer 2016
Tabel 6 menunjukkan bahwa 26 responden (63,4%) TKBM didapatkan
sebanyak 8 responden (19,5%) memiliki tingkat pengetahuan kurang,
sebanyak 18 responden (43,9%) memiliki tingkat pengetahuan sedang dan
tidak ada responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik. Sedangkan dari
15 responden (36,6%) ABK didapatkan tidak ada responden yang memiliki
tingkat pengetahuan kurang, tingkat pengetahuan sedang sebanyak 13
responden (43,9%) dan pengetahuan baik sebanyak 2 responden (4,9%).
4. Gambaran sikap responden terhadap penyakit TB paru
Tabel 7. Gambaran sikap responden terhadap penyakit TB paru yang
dikelompokkan berdasarkan pekerjaan di Pelabuhan Rakyat,
Pelabuhan Nusantara dan Pelabuhan Wawonii Kota Kendari
Januari 2016
Sikap
Total
Pekerjaan
Tidak baik
Baik
n
%
n
%
n
%
TKBM
5
12,2
21
51,2
26
63,4
ABK
3
7,3
12
29,3
15
36,6
Total
8
19,5
33
80,5
41
100
Sumber : Data Primer 2016
Tabel 7 menunjukkan bahwa 26 responden (63,4%) TKBM terdapat 5
responden (12,2%) memiliki sikap tidak baik terhadap penyakit TB paru dan
sebanyak 21 responden (51,2%) memiliki sikap baik. Sedangkan dari 15
responden (36,6%) AKB terdapat responden yang memiliki sikap tidak baik
terhadap penyakit TB paru sebanyak 3 responden (7,3%) dan responden yang
memiliki sikap baik sebanyak 12 responden (29,3%).
5. Gambaran tindakan responden terhadap penyakit TB paru
Tabel 8. Gambaran tindakan responden terhadap penyakit TB paru yang
dikelompokkan berdasarkan pekerjaan di Pelabuhan Rakyat,

18

Pelabuhan Nusantara dan Pelabuhan Wawonii Kota Kendari


Januari 2016
Tindakan
Total
Pekerjaan
Kurang
Cukup
n
%
n
%
n
%
TKBM
6
14,6
20
48,8
26
63,4
ABK
3
7,3
12
29.3
15
36,6
Total
9
21,9
32
78,1
41
100
Sumber : Data Primer 2016
Tabel 8 menunjukkan bahwa 26 responden (63,4%) TKBM terdapat 6
responden (14,6%) memiliki tindakan kurang terhadap penyakit TB paru dan
sebanyak 21 responden (48,8%) memiliki tindakan cukup. Sedangkan dari 15
responden (36,6%) AKB terdapat responden yang memiliki sikap tidak baik
terhadap penyakit TB paru sebanyak 3 responden (7,3%) dan responden yang
memiliki sikap baik sebanyak 12 responden (29,3%).

19

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Survei ini dilakukan dengan menggunakan metode survei deskriptif dimana
sampel diambil dengan menggunakan metode total sampling.
2. Survei ini menggunakan teknik wawancara terpimpin.
3. Berdasarkan hasil survei didapatkan 41 responden pada survei ini 26
responden (63,4%) bekerja sebagai TKBM dan sebanyak 15 responden
(36,6%) bekerja sebagai AKB.
4. Berdasarkan hasil survey didapatkan dari 26 responden (63,4%) TKBM
didapatkan 8 responden (19,5%) dengan tingkat pengetahuan kurang, 18
responden (43.9%) dengan tingkat pengetahuan sedang, dan tidak terdapat
responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Sedangkan dari 15
resonden (36,6%) ABK yang terdiri dari 13 responden (31,7%) dengan
tingkat pengetahuan sedang dan 2 responden (4,9%) dengan tingkat
pengetahuan yang baik.
5. Berdasarkan hasil survey didapatkan 26 responden (63,4%) TKBM terdiri
dari 5 responden (12,2%) memiliki tingkat sikap tidak baik, 21 responden
(51,2%) memiliki tingkat sikap yang baik. Sedangkan dari 15 responden
(36,6%) ABK terdiri dari 3 responden (7,3%) yang memiliki tingkat sikap
yang tidak baik dan 12 responden (29,3%) memiliki tingkat sikap yang baik.
6. Berdasarkan hasil survey didapatkan 26 responden (63,4%) TKBM terdiri
dari 6 responden (14,6%) yang bertindak masih kurang, dan 20 responden
(48,8%) yang bertindak sudah cukup dalam kehidupan sehari-harinya.
Sedangkan dari 15 responden (36,6%) ABK terdiri dari 3 responden (7,3%)
yang bertindak masih kurang, dan 12 responden (29,3%) yang bertindak
sudah cukup dalam kehidupan sehari-harinya.

B. Saran
1. Diharapkan adanya penyuluhan yang dapat dilakukan agar pekerja pelabuhan
mau lebih mengetahui tentang resiko terkena TB paru

20

2. Diharapkan teknik pelaksanaan survei lebih tersistematisasi.


3. Diharapkan lebih banyak waktu yang dibutuhkan dalam pengambilan sampel
penelitian

21

DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta: FK UI
Anonim. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. PDPI
Anonim. 2006. Tuberculosis. Jakarta : NswHealth.
Bahar A, Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 2. Jakarta: FK UI
Brooks, G.F, Butel, G.S and Morse, S.A. 2004. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1
Edisi 1. Jakarta: FK Unair
Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

2348/

MENKES/PER/XI/2011. Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor


kesehatan pelabuhan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 356/MENKES/PER/IV/2008 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis: Prosesproses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
Saptawati L, Mardiastuti, Kurniawati A,dkk. 2012. Evaluasi Metode
Fastplaquetb Untuk Mendeteksi Mycobacterium Tuberculosis Pada Sputum
Di Beberapa Unit Pelayanan Kesehatan Di Jakarta-Indonesi.Jakarta : PPTI
Umar F, Basri C, Ratih N, dkk. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Tuberkulosis. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dept. Kesehatan RI.

22

Anda mungkin juga menyukai