Anda di halaman 1dari 15

USULAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

JUDUL PROGRAM
Akulturasi Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis
dengan Hindu-Bali di Pulau Serangan, Denpasar Selatan

PKM-P
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN

Diusulkan Oleh:
1.

Sotiya Arum Selasih

(1104205107)

2011

2. Dian Fajar Prasetyo

(1104205036)

2011

3. Putu Gitta Wisnu Suryana

(1104205059)

2011

4. Dorojatun Wahana Jakti

(1104205064)

2011

5. Made Ukrania Sanjiwani

(1204205045)

2012

UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012

HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan :Akulturasi Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis
dengan Hindu-Bali di Pulau Serangan, Denpasar Selatan
2. Bidang Kegiatan :
(V ) PKMP
( ) PKMK
(Pilih salah satu)
( ) PKMT
( ) PKMM
3. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap
: Sotiya Arum Selasih
b. NIM
: 1104205107
c. Jurusan
: Arsitektur
d. Universitas/Institut/Politeknik : : Universitas Udayana
e. Alamat Rumah
: Jl. Tukad Banyusari, Gang XI
No.18, Denpasar Selatan, Bali
f. No Telp/HP
: 085731117211
g. Email
: arraidant@gmail.com
4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Kami
: 4 orang
5. Dosen Pendamping :
a. Nama Lengkap
: Ir. A.A. Gd. Djaja baruna, MT.
b. NIP
: 19620527 199103 1 002
c. Alamat Rumah
: Jl. Belimbing 56, Denpasar
d. No Telpon/HP
: 0361 222601/081338448818
6. Biaya Kegiatan Total :
a. Sumber Dikti
: Rp. 5.950.000, 00
b. Sumber lain (sebutkan .. . )
: Rp
7. Jangka Waktu Pelaksanaan
: 5 bulan

Denpasar, 25 September 2012


Menyetujui
Wakil/Pembantu Dekan atau
Ketua Jurusan/Departemen/Program Studi/
Pembimbing Unit Kegiatan Mahasiswa

(Ir. I Made Suarya, MT.)


NIP. 131570562
Pembantu atau Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan/Direktur Politeknik/
Ketua Sekolah Tinggi

(Prof. Dr. Ir. I Gede Putu Wirawan M.Sc)


NIP. 19570828 198603 1 002

Ketua Pelaksana Kegiatan

(Sotiya Arum Selasih)


NIM.1104205107
Dosen Pendamping

(Ir. A.A. Gd. Djaja baruna, MT.)


NIP. 19620527 199103 1 002
NIDN. 0027056214
ii

ABSTRAK

Akulturasi dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi. Seperti
akulturasi pada Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis dengan Hindu-Bali.
Bentuk dan fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di
tangah kondisi sosial- budaya masyarakatnya. Namun, pada akhirnya bentuk dan
fungsi dalam arsitektur yang muncul adalah pengalaman rasa yang diminati dan
diyakini manfaatnya oleh sekelompok masyarakatnya secara komunal. Setiap
perubahan yang terjadi, bagaimana pun tidak akan pernah begitu saja merubah
cara hidup, respon dan persentuhan manusia dengan lingkungannya ketika
kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki masih melekat dengan rona budaya
sebelumnya. Dalam kajian ini, konsep-konsep arsitektur pada masing-masing
daerah tersebut akan dirumuskan ke dalam 4 atribut aspek dalam proses akulturasi
pada arsitektur Islam-Bugis dengan Hindu-Bali, yaitu : Aspek social, simbolis,
morfologis dan fungsional.

Kata Kunci : Akulturasi, Arsitektur, Bugis-Bali

iii

DAFTAR ISI

SAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN

ii

ABTRAK

iii

DAFTAR ISI

iv

I.

Judul

Latar Belakang

III.

Perumusan Masalah

IV.

Tujuan

Luaran yang Diharapkan

Kegunaan

Tinjauan Pustaka

Metodologi

IX.

Jadwal Kegiatan

X.

Rancangan Biaya

Daftar Pustaka

II.

V.
VI.
VII.
VIII.

XI.

LAMPIRAN

iv

I. Judul
Akulturasi Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis dengan Hindu-Bali di Pulau
Serangan, Denpasar Selatan

II. Latar Balakang Masalah


Arsitektur tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang
dilandasi agama Hindu, merupakan perwujudan budaya, yang sangat ditentukan
norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan
kebudayaan. Konsep desa di bali memiliki dua pengertian, yaitu Desa adat dan
Desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali,
yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup mayarakat umat
Hindu, yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga.Landasan Dasar
desa adat di bali adalah konsep Tri Hita Karana.
Namun, tidak semua penduduk Bali menganut agama Hindu. Daya tarik
Bali mendatangkan banyak pendatang dengan berbagai Suku, Adat, Ras dan
Agama dari berbagai daerah. Seperti contoh masyarakat Islam yang menempati
bebepara wilayah di sudut pulau Bali. Kampung Bugis, salah satunya, yang
terletak di Serangan Denpasar, Bali. Kurang lebih 15 km dari kota Denpasar.Di
Pulau Serangan, sebuah sebuah pulau kecil yang terletak di sebelah selatan Kota
Denpasar, yang kini telah direklamasi menjadi satu dengan Pulau Bali, terdapat
sebuah kampung yang dihuni sekitar 60 kepala keluarga yang menganut agama
Islam yang berasal dari Suku Bugis.
Di Kampung Bugis inilah, terdapat sebuah masjid yang diperkirakan dari
abad ke-17 Masehi. Masjid tersebut merupakan satu-satunya di Pulau Serangan
dan diberi nama Assyuhada. Meski sudah mengalami beberapa kali renovasi,
namun bentuk dan corak arsitektur masjid Bugis masih kental terlihat.
Pembangunan masjid di Bali mengalami akulturasi dengan seni budaya setempat,
sehingga tempat suci umat Islam di daerah tujuan wisata ini tampak berbeda
dengan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.
Proses akulturasi sejak masuknya Islam ke Bali yang diperkirakan 500
tahun silam, memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik. Dalam
pembangunan masjid tidak ada ketentuan menggunakan unsur arsitektur tertentu,
namun yang penting ada ruangan untuk melaksanakan ibadah. Terjadinya
akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan
keterpaduan kedua unsur seni budaya itu tetap dipertahankan hingga sekarang.
Di dalam Arsitektur Bali, tercantumkan juga bagaimana tata ruang sebuah
desa. Konsepsi tata ruang sangga mandala menjadi pertimbangan dalam
penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan. Dari konsep sangga mandala yang
bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam konsep fisik, baik dalam skala rumah dan
perumahan. Pada skala pemukiman, penerapan konsep sangga mandala ada 3
macam pola tata ruang, yaitu pola perempatan, pola linier dan pola kombinasi.
Penulis ingin mengupas lebih lanjut mengenai akulturasi langgam bentuk
arsitektur dan tata ruang kampong muslim di Pulau Serangan dengan
pertimbangan penduduk bahwa penduduk disana merupakan keturunan Bugis
beragama Islam yang menetap di Bali selama 17 abad silam yang menetap dan
tinggal di daerah yang meyoritas beragama hindu dan memiliki ciri khas arsitektur
Bali.

III. Perumusan Masalah


Arsitektur tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu baik langgam
maupun tata ruang dengan skala rumah maupun skala pemukiman, yang
terakulturasi dengan para pendatang yang menetap di Bali selama puluhan abad
silam. Seperti halnya para pelaut bugis dengan agama Islam sebagai anutan
agamanya yang kemudian menetap dan membentuk suatu lingkungan baru di
pulau Serangan, Denpasar Selatan.
Bentuk dari beberapa rumah dan tempat Ibadah berupa masjid di Serangan
mengalami akulturasi yang menciptakan suatu karya arsitektur yang unik,
perpaduan arsitektur bugis dengan arsitektur bali. Penempatan kuburan nenek
moyang Kampung Bugis di Serangan ini pun mengakomodir falsafah Hindu.
Bangunan suci atau yang paling dihormati, menurut konsepsi sanggah mandala
akan berada di sisi timur laut. Sanggah (tempat sembahyang keluarga) atau pura
misalnya, akan berada di sisi timur laut. Begitu pula dengan kuburan almarhum
Mumin (orang pertama yeng meletakkan generasi pertama orang Bugis di
Serangan) yang berada di timur laut kuburan.

IV. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang disebutkan diatas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menguraikan akulturasi langgam yang terjadi antara arsitektur Bugis
dengan arsitektur Bali di Pulau Serangan
2. Menguraikan akulturasi tata ruang pada bangunan-bangunan Islam di
Pulau Serangan

V. Luaran Yang Diharapkan


Luaran yang diharapkan dari kegiatan ini berupa artikel tentang penelitian
ini yang akan memperkaya khasanah langgam arsitektur hasil akulturasi.

VI. Kegunaan
Kegiatan Penelitian ini bermanfaat terutama bagi pengetahuan
perkembangan Arsitektur Bali maupun arsitektur Nusantara. Seiiring berjalannya
waktu, satu persatu kebudayaan masuk ke Bali membawa dampak selain kepada
aspek social namun juga pada segi arsitekturnya. Bentuk langgam dan tata ruang
arsitektur tradisional bali mengalami akulturasi, dan meciptakan suatu bentuk
arsitektur yang unik antara kedua kebudayaan yang berbeda tersebut. Dengan
penelitian terhadap akulturasi arsitektur di Pulau Serangan diharapkan akan
menambah pengetahuan dan pemahaman akan arsitektur local. Disamping itu,
penelitian ini juga bisa menambah kecintaan kita untuk menjaga warisan budaya
terhadap ragam arsitektur Nusantara.

VII. Tinjauan Pustaka


7. 1 Konsepsi Budaya Tradisional Bali
Keberadaan manusia pada hakekatnya, terwujud sebagai manusia bersifat
social dan manusia yang berbudaya, berbagai kondisi obyektif dan perjalanan
historis mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan system social dan

3
system budayanya secara khas, seperti misalnya system social budaya Indonesia,
diantara kebhinekaan system social yang ada di Indonesia.
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi
agama Hindu, merupakan perwujudan budaya, diamana karakter perumahan
tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta
rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. (Bappeda, 1982:119)
7.2 Filosofi Perumahan Permukiman Tradisional Bali
Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah
yang disebut banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan
dengan pura kahyangan tiga : yakni pura desa, pura puseh, dan pura dalem.
Tata kehidupan melandasi terwujudnya suatu bentuk rumah dari
permukiman tradisional Bali. Di dalam falsafah Hindu, manusia dan alam diyakini
terbentuk oleh lima unsure yang sama yang disebut Panca Maha Bhuta, yakni
apah (zat cair), bayu (angin), teja (sinar), akasa (ether), pertiwi (zat padat).
Unsur-unsur bhuana alit dan bhuana agung adalah sama, hanya dalam
skala berbeda. Bhuana agung sebagai wadah dan bhuana alit sebagai isi.
Hubungan harmonis antara bhuana agung dan bhuana alit, memberikan
perlambang manic ring cecupu, atau janin di dalam rahim, merupakan hal yang
mutlak dan harus dipertahankan untuk ketenangan dan kestabilan alam.
Hasil hubungan yang harmonis antara wadah dan jiwa, akan menimbulkan
tenaga (kaya). Gabungan dari unsure jasmani, jiwa dan tenaga merupakan sumber
kehidupan yang baik dan sempurna yang disebut Tri Hita Karana (Tga Unsur
Kebaikan). Jiwa dan jasmani yang digerakkan oleh tenaga dapat diwujudkan pada
suatu tempat. Dalam hubungannya dengan desa adat maka :
1. Kayangan tiga merupakan jiwa pada karang desa, yang tidak
dipisahkan dari seluruh kehidupan desa.
2. Krama desa merupakan warga desa atau aparatur desa, merupakan
penggerak atau tenaga yang menghidupi desa.
3. Karang desa adalah territorial tempat krama desa merupakan aktivitas
untuk menjaga hubungan harmonis ketiga unsure diatas.
Tabel 7.2 Tri Hita Karana dalam Susunan Koosmos
Susunan/Unsur
Alam Semesta
(Bhuana Agung)
Desa

Jiwa/Atma
Tenaga/Prana
Fisik/Angga
Tenaga
Unsur-unsur
Paramatman
(Tuhan)
Panca maha bhuta
Kahyangan Tiga
Pawongan
Palemahan
(Pura Desa)
(Warga Desa)
(Wilayah Desa)
Banjar
Parahyangan
Pawongan
Palemahan
(Pura Banjar)
(Warga Banjar)
(Wilayah Banjar)
Penghuni Rumah
Pekarangan Rumah
Rumah
Sanggah
(Pemerajan)
Manusia
Atman
Prana
Angga
(Bhuana Alit)
(JIwa Manusia)
(sabda bayu idep)
(badan Manusia)
Sumber : Sulistyowati. Dkk. (1985:5); Meganada, (1990:72)

Tri Hita Karana mengatur keharmonisan manusia dengan lingkungan,


tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang

4
disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang
lebih menekan tiga nilai fisik yaitu : Utama Angga, Madya Angga, dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung,pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu
: Bhur Loka (Bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai
tersebut didasarkan secara vertical, dimana nilai utama pada posisi teratas/sacral,
madya pada posisi tengah dan nista pada posisi terndah/kotor.
Tri Angga yang member arahan tata nilai secara vertical (secara horizontal
ada yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan
pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhana agung
dan Bhuana alit. Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain :
1. Berdasarkan sumbu bumi, yaitu arah kaja-kelod
2. Arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah)
3. Berdasarkan sumbu matahari, yaitu Timur-Barat (Sulistyawati. Dkk,
1985:7)
Gambar 7.2 Konsep Arah Orientasi Ruang

7.3 Kebudayaan dan Arsitektur Bugis


Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar,
lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat,
1999). Kebudayaan tersebut mendiami bagian terbesar jasirah Selatan pulau
Sulawesi, atau termasuk dalam propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk propinsi
Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari empat suku yaitu: Bugis, Makassar, Toraja,
dan Mandar.
Bardasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan
Melayu Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang
ke kepulauan Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah
Melayu Tua yang merupakan nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua,
Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar, dan Makasar.

5
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis
sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah5
aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga,
antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet,
menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumahrumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu
tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan
kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat,
suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat
dan menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat
persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di
pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat
dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1. Pallaon ruma (kampung petani)
2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung
Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan
arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anakarung (bangsawan), to
maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya)
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk
rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum
bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat
di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki
bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan
yang bersusun dua.
3. Bola, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Gambar 7.3 Pembagian Ruang Menurut Fungsi pada Rumah Orang Bugis

Rakkeang

Ale bola

Awa bola

6
7.4 Akulturasi
Akulturasi dipahami sebagai fenomena yang akan terjadi tatkala
kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam
kontrak yang berlangsung secara tangan pertama (langsung), disertai perubahan
terus menerus, sejalan pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua
kelompok itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996) akulturasi adalah istilah antropologi
yang memiliki beberapa makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep
mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan sesuatu
kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa
dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Akulturasi budaya dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi.
Bentuk dan fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di
tangah kondisi sosial- budaya masyarakatnya. Dan arsitektur bukan semata-mata
desain tetapi juga elemen non desain yang dapat menggeser dan menggantikan
sedemikian rupa setiap fakta budaya yang sedang berlangsung. Perubahan bentuk
dan fungsi dalam arsitektur dapat terjadi melalui elemen budaya: teknologi,
ekonomi, sosio ideologi dan aliran apapun yang berkeliaran dan mampu
menguasai gagasan, cara pandang dan jiwa masyarakat dalam jamannya. Namun
demikian pada akhirnya bentuk dan fungsi dalam arsitektur yang muncul adalah
pengalaman rasa yang diminati dan diyakini manfaatnya oleh sekelompok
masyarakatnya secara komunal. Setiap perubahan yang terjadi, bagaimana pun
tidak akan pernah begitu saja merubah cara hidup, respon dan persentuhan
manusia dengan lingkungannya ketika kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki
masih melekat dengan rona budaya sebelumnya.

VIII. Metodologi
8.1 Populasi, Sample dan Satuan Kajian
Populasi yang akan diteliti adalah seluruh wilayah pemukiman Suku Bugis
di Pulau Serangan, Denpasar Selatan. Sampel ditentukan secara purposive dengan
jumlah yang tidak terlalu banyak. Kriteria sample untuk memaksimalkan
keragaman dan gambaran konsep ruang secara spesifik, sekaligus dapat mewakili
kelompok rumah dan komunitas yang lebih besar. Untuk mendapatkan informasi
lengkap diperlukan informan, baik informan pangkal maupun informan pokok.
Satuan kajian adalah menyangkut perubahan pola bentuk dan fungsi rumah dari
sudut spasial, stilistika dan sistem strukturnya dengan variable peubah lingkungan
fisik, faktor tradisi dan perilaku sosial.
8.2 Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan :
Penelitian mengenai rumah tradisional pada umumnya lebih memiliki
kaitan dengan nilai-nilai sosio kultural yang memiliki makna dan nilai heterogen
serta pengertian symbol-simbol tradisi yang bersifat metaforik.
Keterkaitan antara bentuk dan fungsi ruang dengan faktor yang
melatarbelakanginya sulit dideskripsikan secara deterministik. Diperlukan

7
pendekatan yang bersifat holistik sehingga menuntut interpretasi yang sensitif dan
adaptif terhadap pengaruh-pengaruh yang tidak saja bersifat fisik.

IX. Jadwal Kegiatan


No. Jenis Kegiatan
1
2
3
4
5
6.
7.
8.

Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Bulan ke-4
1 2 3 4

Studi pustaka
Persiapan
Penelitian
Pengumpulan
Data
Wawancara
Narasumber
Pengisian
Kuisioner
Pengolahan
Data
Penyusunan
Laporan
Cadangan

X. Rancangan Biaya
NO.

Kegiatan

Jumlah
60 lembar
4 proposal
300 lembar

5.

Print Proposal
Jilid
Cetak
Kuisioner
Fee
Narasumber
Sewa Kamera

6.

Transportasi

5 0rang

7.

Cetak Foto
50 lembar
Jumlah Harga

1.
2.
3.
4.

4 orang
4 minggu

Harga
Satuan
Rp. 750,Rp. 7.500,Rp. 750,Rp.
750.000,Rp.
600.000,Rp.
120.000,Rp. 5.000,-

Harga

Keterangan

Rp. 45.000,Rp. 30.000,Rp. 225.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.400.000,Rp. 600.000,-

8x survey

Rp. 250.000,Rp. 5.950.000,-

XI. Daftar Pustaka


Agrest, D. 1996. Design Versus Non-Design. Oppositions 6. 1976 in Kate
Neisbitt (ed) Theorizing a New Agenda for Architecture. Princeton Architecture.
New York:, p771-776
Dwijendra, N, K, Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Udayana
University Press, Bali.
Kagami Haruya. 1988. Balinese Traditional Architecture in Process. Nippon8
Printing. Aichi, Japan.
Koentjaraningrat. 1999.. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan,
Jakarta.
Maryaeni.2005. Metode Penelitian Kebudayaan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Pallasma, J. 1996. The Geometry of Feeling, A Look at the Phenomenology of
Architecture, Scala : Nordic Journal of Architecture and Art. in Kate Neisbitt
(ed) Theorizing a New Agenda for Architecture. Princeton Architecture. New
York, p.447-452
Rudovsky, B. 1964. Architecture Without Architects. Academy Editions, London.
Schultz, C, N. 1988. Architecture: Meaning and Place. Rizzoli. New York.
Sumintardja, D. 1981. Kompedium Sejarah Arsitektur. Yayasan Lembaga
Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung.
Sutrisno, R. 1984. Bentuk Struktur Bangunan Dalam Arsitektur
Modern,Gramedia, Jakarta.
Tanudjaja, F,C,J,S. 1998. Kerangka Makna di Dalam Arsitektur. Penerbit UAJY,
Yogyakarta.

Lampiran I

BIODATA KETUA SERTA ANGGOTA KEGIATAN


Ketua Pelaksana Kegiatan
Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan

: Sotiya Arum Selasih


: 1104205107
: Teknik/Arsitektur
: Universitas Udayana
: 30 Jam/Minggu

Anggota Pelaksana Kegiatan


Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan

: Dian Fajar Prasetyo


: 11042050
: Teknik/Arsitektur
: Universitas Udayana
: 30 Jam/Minggu

Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan

: Putu Gitta Wisnu Suryana


: 11042059
: Teknik/Arsitektur
: Universitas Udayana
: 30 Jam/Minggu

Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan

: Dorojatun Wahana Jakti


: 1104205064
: Teknik/Arsitektur
: Universitas Udayana
: 30 Jam/Minggu

Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan

: Made Ukrania Sanjiwani


: 1204205045
: Teknik/Arsitektur
: Universitas Udayana
: 30 Jam/Minggu

iv

Lampiran II

NAMA DAN BIODATA DOSEN PEMBIMBING

Nama Lengkap
Golongan Pangkat
NIP
NIDN
Jabatan
Fakultas/Program Studi
Perguruan Tinggi
Bidang Keahlian
Waktu Untuk Kegiatan

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Ir. A.A. Gd. Djaja Baruna, MT.


Penata/IIIc
19620527 199103 1 002
0027056214
Lektorr
Teknik/Arsitektur
Universitas Udayana
Perancangan Kota
3 jam/minggu

Anda mungkin juga menyukai