JUDUL PROGRAM
Akulturasi Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis
dengan Hindu-Bali di Pulau Serangan, Denpasar Selatan
PKM-P
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN
Diusulkan Oleh:
1.
(1104205107)
2011
(1104205036)
2011
(1104205059)
2011
(1104205064)
2011
(1204205045)
2012
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan :Akulturasi Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis
dengan Hindu-Bali di Pulau Serangan, Denpasar Selatan
2. Bidang Kegiatan :
(V ) PKMP
( ) PKMK
(Pilih salah satu)
( ) PKMT
( ) PKMM
3. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap
: Sotiya Arum Selasih
b. NIM
: 1104205107
c. Jurusan
: Arsitektur
d. Universitas/Institut/Politeknik : : Universitas Udayana
e. Alamat Rumah
: Jl. Tukad Banyusari, Gang XI
No.18, Denpasar Selatan, Bali
f. No Telp/HP
: 085731117211
g. Email
: arraidant@gmail.com
4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Kami
: 4 orang
5. Dosen Pendamping :
a. Nama Lengkap
: Ir. A.A. Gd. Djaja baruna, MT.
b. NIP
: 19620527 199103 1 002
c. Alamat Rumah
: Jl. Belimbing 56, Denpasar
d. No Telpon/HP
: 0361 222601/081338448818
6. Biaya Kegiatan Total :
a. Sumber Dikti
: Rp. 5.950.000, 00
b. Sumber lain (sebutkan .. . )
: Rp
7. Jangka Waktu Pelaksanaan
: 5 bulan
ABSTRAK
Akulturasi dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi. Seperti
akulturasi pada Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis dengan Hindu-Bali.
Bentuk dan fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di
tangah kondisi sosial- budaya masyarakatnya. Namun, pada akhirnya bentuk dan
fungsi dalam arsitektur yang muncul adalah pengalaman rasa yang diminati dan
diyakini manfaatnya oleh sekelompok masyarakatnya secara komunal. Setiap
perubahan yang terjadi, bagaimana pun tidak akan pernah begitu saja merubah
cara hidup, respon dan persentuhan manusia dengan lingkungannya ketika
kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki masih melekat dengan rona budaya
sebelumnya. Dalam kajian ini, konsep-konsep arsitektur pada masing-masing
daerah tersebut akan dirumuskan ke dalam 4 atribut aspek dalam proses akulturasi
pada arsitektur Islam-Bugis dengan Hindu-Bali, yaitu : Aspek social, simbolis,
morfologis dan fungsional.
iii
DAFTAR ISI
SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
ii
ABTRAK
iii
DAFTAR ISI
iv
I.
Judul
Latar Belakang
III.
Perumusan Masalah
IV.
Tujuan
Kegunaan
Tinjauan Pustaka
Metodologi
IX.
Jadwal Kegiatan
X.
Rancangan Biaya
Daftar Pustaka
II.
V.
VI.
VII.
VIII.
XI.
LAMPIRAN
iv
I. Judul
Akulturasi Tata Ruang dan Bangunan Islam-Bugis dengan Hindu-Bali di Pulau
Serangan, Denpasar Selatan
IV. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang disebutkan diatas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menguraikan akulturasi langgam yang terjadi antara arsitektur Bugis
dengan arsitektur Bali di Pulau Serangan
2. Menguraikan akulturasi tata ruang pada bangunan-bangunan Islam di
Pulau Serangan
VI. Kegunaan
Kegiatan Penelitian ini bermanfaat terutama bagi pengetahuan
perkembangan Arsitektur Bali maupun arsitektur Nusantara. Seiiring berjalannya
waktu, satu persatu kebudayaan masuk ke Bali membawa dampak selain kepada
aspek social namun juga pada segi arsitekturnya. Bentuk langgam dan tata ruang
arsitektur tradisional bali mengalami akulturasi, dan meciptakan suatu bentuk
arsitektur yang unik antara kedua kebudayaan yang berbeda tersebut. Dengan
penelitian terhadap akulturasi arsitektur di Pulau Serangan diharapkan akan
menambah pengetahuan dan pemahaman akan arsitektur local. Disamping itu,
penelitian ini juga bisa menambah kecintaan kita untuk menjaga warisan budaya
terhadap ragam arsitektur Nusantara.
3
system budayanya secara khas, seperti misalnya system social budaya Indonesia,
diantara kebhinekaan system social yang ada di Indonesia.
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi
agama Hindu, merupakan perwujudan budaya, diamana karakter perumahan
tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta
rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. (Bappeda, 1982:119)
7.2 Filosofi Perumahan Permukiman Tradisional Bali
Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah
yang disebut banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan
dengan pura kahyangan tiga : yakni pura desa, pura puseh, dan pura dalem.
Tata kehidupan melandasi terwujudnya suatu bentuk rumah dari
permukiman tradisional Bali. Di dalam falsafah Hindu, manusia dan alam diyakini
terbentuk oleh lima unsure yang sama yang disebut Panca Maha Bhuta, yakni
apah (zat cair), bayu (angin), teja (sinar), akasa (ether), pertiwi (zat padat).
Unsur-unsur bhuana alit dan bhuana agung adalah sama, hanya dalam
skala berbeda. Bhuana agung sebagai wadah dan bhuana alit sebagai isi.
Hubungan harmonis antara bhuana agung dan bhuana alit, memberikan
perlambang manic ring cecupu, atau janin di dalam rahim, merupakan hal yang
mutlak dan harus dipertahankan untuk ketenangan dan kestabilan alam.
Hasil hubungan yang harmonis antara wadah dan jiwa, akan menimbulkan
tenaga (kaya). Gabungan dari unsure jasmani, jiwa dan tenaga merupakan sumber
kehidupan yang baik dan sempurna yang disebut Tri Hita Karana (Tga Unsur
Kebaikan). Jiwa dan jasmani yang digerakkan oleh tenaga dapat diwujudkan pada
suatu tempat. Dalam hubungannya dengan desa adat maka :
1. Kayangan tiga merupakan jiwa pada karang desa, yang tidak
dipisahkan dari seluruh kehidupan desa.
2. Krama desa merupakan warga desa atau aparatur desa, merupakan
penggerak atau tenaga yang menghidupi desa.
3. Karang desa adalah territorial tempat krama desa merupakan aktivitas
untuk menjaga hubungan harmonis ketiga unsure diatas.
Tabel 7.2 Tri Hita Karana dalam Susunan Koosmos
Susunan/Unsur
Alam Semesta
(Bhuana Agung)
Desa
Jiwa/Atma
Tenaga/Prana
Fisik/Angga
Tenaga
Unsur-unsur
Paramatman
(Tuhan)
Panca maha bhuta
Kahyangan Tiga
Pawongan
Palemahan
(Pura Desa)
(Warga Desa)
(Wilayah Desa)
Banjar
Parahyangan
Pawongan
Palemahan
(Pura Banjar)
(Warga Banjar)
(Wilayah Banjar)
Penghuni Rumah
Pekarangan Rumah
Rumah
Sanggah
(Pemerajan)
Manusia
Atman
Prana
Angga
(Bhuana Alit)
(JIwa Manusia)
(sabda bayu idep)
(badan Manusia)
Sumber : Sulistyowati. Dkk. (1985:5); Meganada, (1990:72)
4
disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang
lebih menekan tiga nilai fisik yaitu : Utama Angga, Madya Angga, dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung,pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu
: Bhur Loka (Bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai
tersebut didasarkan secara vertical, dimana nilai utama pada posisi teratas/sacral,
madya pada posisi tengah dan nista pada posisi terndah/kotor.
Tri Angga yang member arahan tata nilai secara vertical (secara horizontal
ada yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan
pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhana agung
dan Bhuana alit. Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain :
1. Berdasarkan sumbu bumi, yaitu arah kaja-kelod
2. Arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah)
3. Berdasarkan sumbu matahari, yaitu Timur-Barat (Sulistyawati. Dkk,
1985:7)
Gambar 7.2 Konsep Arah Orientasi Ruang
5
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis
sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah5
aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga,
antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet,
menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumahrumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu
tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan
kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat,
suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat
dan menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat
persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di
pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat
dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1. Pallaon ruma (kampung petani)
2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung
Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan
arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anakarung (bangsawan), to
maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya)
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk
rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum
bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat
di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki
bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan
yang bersusun dua.
3. Bola, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Gambar 7.3 Pembagian Ruang Menurut Fungsi pada Rumah Orang Bugis
Rakkeang
Ale bola
Awa bola
6
7.4 Akulturasi
Akulturasi dipahami sebagai fenomena yang akan terjadi tatkala
kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam
kontrak yang berlangsung secara tangan pertama (langsung), disertai perubahan
terus menerus, sejalan pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua
kelompok itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996) akulturasi adalah istilah antropologi
yang memiliki beberapa makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep
mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan sesuatu
kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa
dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Akulturasi budaya dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi.
Bentuk dan fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di
tangah kondisi sosial- budaya masyarakatnya. Dan arsitektur bukan semata-mata
desain tetapi juga elemen non desain yang dapat menggeser dan menggantikan
sedemikian rupa setiap fakta budaya yang sedang berlangsung. Perubahan bentuk
dan fungsi dalam arsitektur dapat terjadi melalui elemen budaya: teknologi,
ekonomi, sosio ideologi dan aliran apapun yang berkeliaran dan mampu
menguasai gagasan, cara pandang dan jiwa masyarakat dalam jamannya. Namun
demikian pada akhirnya bentuk dan fungsi dalam arsitektur yang muncul adalah
pengalaman rasa yang diminati dan diyakini manfaatnya oleh sekelompok
masyarakatnya secara komunal. Setiap perubahan yang terjadi, bagaimana pun
tidak akan pernah begitu saja merubah cara hidup, respon dan persentuhan
manusia dengan lingkungannya ketika kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki
masih melekat dengan rona budaya sebelumnya.
VIII. Metodologi
8.1 Populasi, Sample dan Satuan Kajian
Populasi yang akan diteliti adalah seluruh wilayah pemukiman Suku Bugis
di Pulau Serangan, Denpasar Selatan. Sampel ditentukan secara purposive dengan
jumlah yang tidak terlalu banyak. Kriteria sample untuk memaksimalkan
keragaman dan gambaran konsep ruang secara spesifik, sekaligus dapat mewakili
kelompok rumah dan komunitas yang lebih besar. Untuk mendapatkan informasi
lengkap diperlukan informan, baik informan pangkal maupun informan pokok.
Satuan kajian adalah menyangkut perubahan pola bentuk dan fungsi rumah dari
sudut spasial, stilistika dan sistem strukturnya dengan variable peubah lingkungan
fisik, faktor tradisi dan perilaku sosial.
8.2 Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan :
Penelitian mengenai rumah tradisional pada umumnya lebih memiliki
kaitan dengan nilai-nilai sosio kultural yang memiliki makna dan nilai heterogen
serta pengertian symbol-simbol tradisi yang bersifat metaforik.
Keterkaitan antara bentuk dan fungsi ruang dengan faktor yang
melatarbelakanginya sulit dideskripsikan secara deterministik. Diperlukan
7
pendekatan yang bersifat holistik sehingga menuntut interpretasi yang sensitif dan
adaptif terhadap pengaruh-pengaruh yang tidak saja bersifat fisik.
Bulan ke-4
1 2 3 4
Studi pustaka
Persiapan
Penelitian
Pengumpulan
Data
Wawancara
Narasumber
Pengisian
Kuisioner
Pengolahan
Data
Penyusunan
Laporan
Cadangan
X. Rancangan Biaya
NO.
Kegiatan
Jumlah
60 lembar
4 proposal
300 lembar
5.
Print Proposal
Jilid
Cetak
Kuisioner
Fee
Narasumber
Sewa Kamera
6.
Transportasi
5 0rang
7.
Cetak Foto
50 lembar
Jumlah Harga
1.
2.
3.
4.
4 orang
4 minggu
Harga
Satuan
Rp. 750,Rp. 7.500,Rp. 750,Rp.
750.000,Rp.
600.000,Rp.
120.000,Rp. 5.000,-
Harga
Keterangan
8x survey
Lampiran I
Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan
Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan
Nama
NIM
Fak/Jur
Perguruan Tinggi
Waktu untuk kegiatan
iv
Lampiran II
Nama Lengkap
Golongan Pangkat
NIP
NIDN
Jabatan
Fakultas/Program Studi
Perguruan Tinggi
Bidang Keahlian
Waktu Untuk Kegiatan
:
:
:
:
:
:
:
:
: