Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN
I.

Konsep Medis Diabetes Insipidus


A. Definisi
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan.
Menurut orphanet, sebuah konsorsium European partner, menyatakan
ini merupakan penyakit langka yang terdapat 1 tiap 2000 orang.
(Sudoyo, Aru. 2006. )
B. Etiologi
Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat
mengganggu mekanisme neurohpophyseal-renal reflex sehingga
mengakibatkan kegagalan tubuh dalam menkonversi air. Gejala dari
diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia, hal ini dapat terjadi
karena defisiensi ADH atau disebut diabetes insipidus sentral dan tidak
sensitifnya vasopresin pada ginjal atau disebut juga diabetes insipidus
nefrogenik. Kedua jenis diabetes ini dapat terjadi akibat defek
congenital (kehamilan) atau bisa terjadi pada saat awal kelahiran.
Diabetes insipidus sentral sering terjadi akibat mutasi gen autosomal
dominan pada awal 5 tahun kehidupan anak-anak sedangkan diabetes
insipidus nefrogenik sering terjadi pada neonatus atau awal beberapa
minggu kehidupan, dan lebih dari 50% kasus adalah idiopatik.
Gambaran klinis dan gejala jangka panjang dari kekacauan ini
sebagian besar tak tergambarkan. Metode yang dipelajari dari 79
pasien dengan diabetes insipidus sentral yang diteliti pada empat pusat
endokrinologi anak antara tahun 1970 dan 1996. Terdiri 37 laki-laki
dan 42 pasien wanita dengan rata-rata umur 7 tahun. Kebanyakan
kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan idiopatik yang dapat

1 | Page

bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin.


(Sudoyo, Aru. 2006.)
C. Patofisiologi
Secara patogenesis diabetes insipidus dibagi menjadi 2 jenis yaitu
diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik.
1. Diabetes insipidus sentral (DIS) disebabkan oleh kegagalan
penglepasan hormon antidiuretik ADH yang secara fisiologi
dapat merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Secara
anatomis, kelainan ini terjadi akibat kerusakan nukleus
supraotik, paraventrikuler dan filiformis hipotalamus yang
menyintesis ADH. Selain itu DIS juga timbul karena gangguan
pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptikohipofisealis dan akson hipofisis posterior dimana
ADH dismpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam
sirkulasi jika dibutuhkan. Secara biokimiawi, DIS terjadi keran
tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif
tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi
merupakan ADH yang tidak dapat berfungsi sebagaimana ADH
yang normal. Sintesis neurofisin suatu binding protein yang
abnormal, juga dapat mengganggu penglepasan ADH. Selain
karena pada pengukuran kadar ADH dalam serum secara
radioimmunoassay, yang menjadi marker bagi ADH adalah
neurofisin yang secara fisiologis tidak berfungsi, maka kadar
ADH yang normal atau mengikat belum dapat memastikan
bahwa fungsi ADH itu adalah normal atau meningkat.
Termasuk dalam klasifikasi DIS adalah diabetes insipidus yang
diakibatkan oleh kerusakan osoresptor yang terdapat pada

2 | Page

hipotalamus anterior dan disebut Verney.s omoreceptor yang


berada diluar sawar darah otak.
2. Diabetes insipidus nefrogenik Istilah diabetes insipidus
nefrogenik (DIN) dipakai pada diabetes insipidus yang tidak
responsif terhadap ADH ekogen. Secara fisiologis menurut
Sudoyo pada tahun 2006 DIN dapat disebabkan oleh:
a. Kegagalan

pembentukan

dan

pemeliharaan

gradient

osmotik dalam medula renalis.


b. Kegagalan utilisasi gradient pada keadaan dimana ADH
berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal.
D. MANIFESTASI KLINIS
Dalam mengatur ekskresi air, ginjal mengikut sertakan mekanisme
neurohypophyseal-renal-reflex. Komponen humoral dalam mekanisme
ini adalah ADH yang disebut juga arginin vasopresin (AVP). AVP
disitesis oleh suatu molekul prekursor dalam nukelus supraoptik,
paraventrikular dan sedikit pada nukleus filiformis hipotalamus.
Setelah disintesis, AVP dibungkus kedalam semacam neurosecretory
granues pada retikulum suatu molekul carrier yang disebut neurofisin.
Granul-granul tadi ditransportasikan melalui proses eksositosis dimana
baik AVP maupun neurofisin delepaskan kedalam sirkulasi.
1. Regulasi arginin vasopresin (AVP) secara osmotik dan nonosmotik
Dalam mengatur sintesis dan pelepasan AVP dipakai dua
macam jalur yaitu jalur osmotik dan nonosmotik. Jalur osmotik
mengikut sertakan Vernes osmoreseptor cells yang berada
dihipotalamus anterior, diluar sawar darah otak. Dengan adanya
deplesi cairan, terjadi peningkatan osmolalitas cairan ekstra sel
(ECF) yang menyebabkan penurunan volume sel-sel osmoreseptor

3 | Page

sehingga terjadi stimulasi listrik yang mengakibatkan depolarisasi


membran sel, eksositosis dan penglepasan AVP. Sebaliknya jika
terjadi pemasukan air maka osmolalitas ECF akan menurun dan
pengembangan sel-sel omoreseptor akan menghambat terjadinya
stimulasi listrik dan depolarisasi membran sel. Stimulasi
nonosmotik utama yang menyebabkan penglepasan AVP tanpa
adanya perubahan osmolalitas ECF adalah deplesi volume ECF
dan hipotensi. Stimulasi lain adalah keadaan-keadaan dimana
terjadi peningkatan stimulasi adrenegrik termasuk rasa nyeri, takut,
payah jantung dan hipoksia. Evolusi filogenetik jalur nonosmotik
agaknya merupakan bagian yang integral dengan reaksi terhadap
stress. Dengan demikian AVP akan dilepaskan juga pada keadaan
stress dimana selain verfungsi sebagai ADH, AVP juga mempunyai
efek vasokontriksi.
2. Mekanisme haus
Peningkatan omolalitas plasma akan merangsang pusat
haus, sebaliknya penuruanan osmolalitas plasma akan menekan
pusat haus. Seperti pada mekanisme penglepasan AVP, pengaturan
osmotik rasa haus dipengaruhi oleh volume sel pusat haus
dihipotalamus. Ambang rangsang pusat haus (295 mOsmol/kg
berat badan) ternyata lebih tinggi daripada ambang rangsang
osmotik penglepasan AVP (280 mOsmol/kg berat badan). Hal ini
merupakan suatu perlindungan terhadap deplesi air.
3. Mekanisme aksi selular arginin vasopresin (AVP)
Mekanisme yang pasti bagaimana AVP dapat meningkatkan
permeabilitas epithel collecting duct terhadap air sampai sekarang
belum jelas. Kemungkinan setelah dilepaskan

dari hipofisis

4 | Page

posterior, AVP masuk kedalam sirkulasi ginjal dan terikat pada


reseptornya

disisi

Penggabungan

contraluminal

AVP

dengan

(plasma)
reseptornya

collecting

duct.

mengaktifkan

adenilsiklase membran sel yang mengkatalisis perubahan ATP


menjadi cAMP. cAMP protein kinase kemudian muncul untuk
melakukan foforilasi protein membran sel yang kemudian
meningkatkan permeabilitas dengan cara melebarkan ukuran pori
dan memperbanyak jumlah pori. Terdapat suatu fostfatase pada
membran yang dapat mengembalikan proses tersebut diatas.
Integritas mikrotubulus dan mikrofilamen merupakan faktor yang
penting dalam proses peningktakan permeabilitas selain proses
pembentukan cAMP.
4. Mekanisme konsentrasi
ADH meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan collecting
duct terhadap air sehingga dapat berdifusi secara pasif akibat
adanya perbedaan konsentrasi. Dengan demikian jika terdapat
ADH dalam sirkulasi, misalnya pada keadaan hidropenia, akan
terjadi keseimbangan osmotik antara isi tubulus dan kotreks yang
isotonis. Sejumlah kecil urine yang isotonis memasuki colleting
duct melewati medulla yang hipertonis. Karena ADH juga
menyebabkan keseimbangan osmotik antara collecting duct
jaringan interstisial medula, maka air secara progresif akan
direabsobsi kembali sehinnga terebntuk urine yang terkonsentrasi.
5. Mekanisme dilusi (pelarutan)
Jika ADH tidak disekresi, misalnya pada orang yang
terhidrasi baik, demikian sewaktu urin yang hipotonis melewati
tubulus distal, Na+ berkurang. Selanjutnya urin yang sangat

5 | Page

hipotonis memasuki collecting duct yang juga relatif tidak


permeabel sehingga memungkinkan ekskresi sejumlah besar urin
yang terdilusi.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika kita mencuriagai penyebab poliuria adalah Diabetes Insipidus,
maka harus melakukan pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan
untuk membedakan apakah jenis Diabetes Insipidus yang dialami,
karena penatalaksanaan dari dua jenis Diabetes Insipidus ini berbeda.
Ada beberapa pemeriksaan pada Diabetes Insipidus, antara lain:
1. Hickey hare atau Carter-Robbins
2. Fluid deprivation
3. Uji nikotin
Apapun pemeriksaannya, prinsipnya adalah untuk mengetahui
volume, berat jenis, atau konsentrasi urin. Sedangkan untuk
mengetahui jenisnya, dapat dengan memberikan vasopresin sintetis,
pada Diabetes Insipidus Sentral akan terjadi penurunan jumlah urin,
dan pada Diabetes Insipidus Nefrogenik tidak terjadi apa-apa.
F. KOMPLIKASI
1. dehidrasi berat dapat terjadi apabila jumlah air yang diminum tidak
adekuat.
2. ketidakseimbangan elektrolit, yaitu hiperatremia dan hipokalemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan denyut jantung menjadi tudak
teratur dan dapat terjadi gagal jantung kongesti.
G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan
gejala yang ditimbulkan pada pasien DIS dengan mekanisme rasa
haus yang utuh tidak diperlukan terapi apa-apa selama gejala

6 | Page

nokturia dan poliuria tidak mengganggu tidur dan aktivitas seharihari, tetapi pasien dengan gangguan pada pusat rasa haus diterapi
dengan pengawasan yang tepat untuk mencegah terjadinya
dehidrasi. (artikel)
Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan
gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien DIS parsial dengan
mekanisme rasa haus yang utuh tidak diperlukan terapi apa-apa
selama gejala nokturia dan poliuria tidak mengganggu tidur dan
aktivitas sehari-hari. Tetapi pasien dengan gangguan pada pusat
rasa haus, diterapi dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah
terjadinya dehidrasi. Ini juga berlaku bagi orang-orang yang dalam
keadaan normal hanya menderita DIS parsial tetapi pada suatu saat
kehilangan kesadaran atau tidak dapat berkomunikasi.
Pada DIS yang komplit biasanya diperlukan terapi hormon
pengganti

(homonal

replacemen).

DDAVP

(1-desamino-8-

darginine vasopresin) merupakan obat pilihan utama untuk DIS.


Obat ini merupakan analog arginine vasopresin manusia sintetik,
mempunyai lama kerja yang panjang dan hanya mempunyai sedikit
efek samping, jarang menimbulkan alergi dan hanya memepunyai
sedikit (pressor effect). Vasopresin tannate dalam minyak
(campuran lysine dan arginine) memerlukan suntikan setiap 3-4
hari. Vasopresin dalam aqua hanya bermanfaat untuk diagnostik
karena lama kerjanya yang pendek. Selain terapi hormon pengganti
dapat juga dipakai terapi adjuvant yang secara fisiologis, menurut
Sudoyo pada tahun 2006 mengatur keseimbangan air dengan cara :
1. Mengurangi jumlah air ketubukus distal dan collecting
duct

7 | Page

2. Memacu pengelepasan ADH endogen


3. Meningkatkan efek ADH endogen yang masih ada pada
tubulus ginjal.
Obat-obatan yang biasa dipakai adalah :
a. Diuretik-Tiazid
b. Klopropamid
c. Klofibrat
d. Karbamazepin.
H. PENCEGAHAN
Sejalan dengan penyebabnya yang mungkin menimbulkan
diabetes insipidus, kerusakan ginjal dapat dihindari dengan
menggunakan obat secara benar, yaitu tidak mengkonsumsi obat
semaunya

agar

tidak

berlebihan.

Gangguan

oleh

karena

penggunaan lithium ada kalanya dapat berkurang atau sembuh


sama sekali jika obat dihentikan. Adapun kerusakan otak
(hipotalamus ataupun pituitaria) yang mengakibatkan kekurangan
ADH secara umum dapat dihindari dengan menghindarkan kepala
dari benturan kuat. (Rasyid M Tauhid-al-Amien, 2011)
I. PROGNOSIS
Diabetes insipidus jarang mengancam jiwa, teta[i mungkin
menunjukkan keadaan serius yang mendasari. Penderita dengan
diabetes insipidus tanpa komplikasi dapat hidup selama bertahuntahun dengan kesulitan poliuria dan polidipsia sepanjang mereka
memiliki mekanisme haus yang utuh dan mendapatkan air dengan
bebas. Diabetes insipidus ini mungkin hanya sementara setelah
taruma atau intervensi bedah pada daerah hipotalamus atau
kelenjar

pituitaria.

Pada

beberapa

penderita

dengan

8 | Page

retikuloendotelisis sel Langerhans, remisi spontan terjjadi tetapi


pada penderita lain, diabetes insipidus mungkin hanya sisa lama
setelah remisi keadaan primer. Perbaikan diabetes insipidus klinis
dapat menunjukkan perkembangan insuvisensi kelenjar pitutari
anterior. Prognosis penderita dengan tumor otak tergantung pada
lokasi lesi dan tipe sel neoplastik.

9 | Page

II.

Konsep Keperawatan Diabetes Insipidus


A. Pengkajian
1. Riwayat trauma kepala, pembedahan kepala, pemakaian obat
phenotoin, lithium karbamat, infeksi kranial, tumor paru, mamae,
riwayat keluarga menderita kerusakan tubulus ginjal atau penyakit
yang sama.
2. Pemeriksaan

fisik

Gastro

Intestinal:

polidipsi,

BB

turun,

kardiovaskuler: tanda dehidrasi (nadi cepat, TD turun, dll), respirasi:


tanda dehidrasi (napas cepat, pucat), renal: poliuri 5-30 lt/hari, sering
berkemih, nocturia Integumen: membran mukosa dan kulit kering,
turgor tidak elastic.
3. Pemeriksaan penunjang: Hiperosmolar serum Hiperosmolar urine
kurang dari 1.005 gangguan elektrolit. (artikel)
B. PENYIMPANGAN KDM
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotic
2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kemampuan tubulus
ginjal mengkonsentrasikan urine sekunder karena tidak adanya ADH
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nocturia
5. Ansietas berhubungan dengan perkembangan penyakit
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
tentang proses penyakit, tindakan dan perawatan diri terhadap
penyakit.

10 | P a g e

D. INTERVENSI
1. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotic
Tujuan

: Kebutuhan cairan elektrolit terpenuhi.

Intervensi :
- Kaji intensitas muntah dan pengeluaran urine yang berlebihan.
Rasional: Membantu

dalam

memperkirakan

kekurangan

volume total. Bila terjadi infeksi akan ditemukan


adanya

demam

dan

hipermetabolik

yang

meningkatkan intensitas IWL.


- Monitor tanda-tanda vital.
Rasional: Hipovolemia dimanifestasikan dengan hipotensi dan
takikardia.
- Kaji pola pernapasan kusmaul, kualitasnya dan napas bau aseton.
Rasional: Paru-paru

akan

mengeluarkan

asam

karbonaat

sebagai akibat ketoasidosis. Napas bau aseton


sebagai akibat pemecahan asam acetoasetik sehingga
akan menyebabkan pernapasan kusmaul.
- Monitor intake dan out put cairan. Timbang BB secara teratur.
Rasional: Memperkirakan kebutuhan kebutuhan cairan tubuh,
kerja ginjal dan efektifitas pengobatan. Penurunan
BB menunjukan adanya pengeluaran cairan yang
berlebihan.
- Pertahankan asupan cairan 2500 ml/hari dalam batas toleransi
jantung.
Rasional: Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi.
- Obervasi kemungkinan adanya perubahan tingkat kesadaran.
Rasional: Perubahan status mental klien sebagai akibat
peningkatan atau penurunan kadar glukosa, gangguan
elektrolit, asidosis, pernurunan perfusi serebral dan
hipoksia.
- Pasang urin bag/kateter.

11 | P a g e

Rasional: Memfasilitasi pengukuran out put secara akurat


(terutama pada klien yang mengalami retensi
urine/inkontinen).
- Monitor pemeriksaan laboratorium seperti hematokrit.
Rasional: Hasil pemeriksaan akan menunjukan tingkat hydrasi.
Bila terjadi peningkatan menunjukan gangguan
diuresis osmotik.
- Monitor BUN dan kalium
Rasional: Peningkatan BUN menunjukan adanya peningkatan
pemecahan sel akibat dehydrasi dan hiperkalemia
terjadi sebagai respon terhadap asidosis.
2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan ketidakmampuan tubulus
ginjal mengkonsentrasikan urine sekunder tidak adanya ADH.
Intake output seimbang Intake kurang dari 2500 ml/hari Output urine lebih
atau sama 100 ml/jam, intervensi :
a) Berikan intake cairan peroral
b) Berkan terapi cairan sesuai program
c) Monitor intake output tiap 2 jam
d) Ukur BB tiap hari
e) Cek/analisis BJ urine
f) Kaji tanda hipovolume: tachicardi, turgor kulittak elestis, denut
nadi lemah, TD turun, kulit dingin, mukosa kering,suhu tubuh naik,
perubahan status mental.
g) Berikan ADH terapi sesuai program
h) Observasi efek ADH: hipertensi, nyeri dada, cram uterus,
peristaltik naik, overhidrasi, sakit kepala.
3. Kurangnya pengetahuan bd tidak adanya informasi tentang proses
penyakit, tindakan dan perawatan diri.
KH : Klien mengatakan mengetahui tentang :

12 | P a g e

penyakit pengobatan gejala-gejala yg dilaporkan perlunya memakai tanda


pengenal cara mengukur intake output dan urine, intervensi:
Jelaskan konsep penyakit
a. Berikan pendidikan kesehatan tentang nama
obat, dosis, waktu dan cara pemakaian, efek
samping, cara mengukur Berat Jenis urine
dan intake output
b. Anjurkan memperhatikan intake output
c. Berikan penjelasan supaya tidak minum
kopi, alkohol dan teh.
d. Anjurkan kontrol secara teratur
e. Jelaskan perlunya memakai tanda pengenal.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronchi berspon dalam secaa hiperaktif terhadap stimuli
tertentu. Asma terdiri dari tiga jenis: Asma alergik, asma idiopatik, dan
asma gabungan.
Faktor penyebab terjadinya asma terdiri dari tiga faktor. Pertama
faktor ekstrinsik, karena reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh
adanya IgE yang bereaksi terhadap antigen yang terdapat di udara. Kedua
faktor instrinsik, antara lain : alergen, infeksi, iritan, cuaca, emosional, dan

13 | P a g e

aktivitas yang berlebihan. Ketiga adalah faktor pencetus, yakni kegiatan


jasmani dan psikologis seperti stress.
Tiga gejala umum adalah batuk, dipsnea, dan mengi. Pada beberapa
keadaan, batuk merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma sering
terjadi malam hari. Penyebab tidak dimengerti dengan jelas, tetapi
mungkin berhubngan dengan variasi sirkadian yang mempengaruhi
ambang reseptor jalan napas.
Pemeriksaan

diagnostik

pada

penderita

asma

mencankup

spirometer, Peak Flow Meter (PFM), X-Ray dada / thorax, pemeriksaan


IgE, pertanda inflamasi, dan Uji Hipereaktivan Bronkus (UHB).
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktifitas sehari hari. Penyakit asma
mempunyai 2 derajat/klasifikasi untuk memudahkan dalam penatalaksaan
medis atau dalam hal ini bisa disebut penanganan penyakit yakni
penatalaksanaan pada asma akut/saat serangan dan penatalaksanaan pada
asma jangka panjang.

B. Saran
Sebagai seorang perawat sebaiknya kita mengetahui asuhan keperawatan pada
klien dengan asma dengan jelas agar dapat menunjang keahlian perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara tepat, sehingga pelayanan
yang diberikan sesuai dan dapat mengurangi bahkan menyembuhkan klien.

14 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah volume 2
Edisi 2 Jakarta : EGC
Smeltzer Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2011. Brunner and Suddarths Texbook
of Medical-surgical Nursing, 8/e. Jakarta: EGC
Vitahealth. 2006. Asma : Informasi Lengkap untuk Penderita & Keluarganya.
Jakarta: Gramedia.

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai