Anda di halaman 1dari 22

Refarat Adult Advanced Life

Support (Bantuan Hidup Tahap


Lanjut Untuk Orang Dewasa)
Adult Advanced Life Support (Bantuan Hidup Tahap Lanjut Untuk Orang Dewasa)
Pendahuluan
Secara umu, pembahasan mengenai advanced life support (ALS) pasien dewasa pada bab ini
menyerupai prinsip-prinsip panduan 2005, namun ada beberapa perubahan yang ditambah
untuk perbaikan. Panduan yang ada pada bab ini ditujukan untuk professional kesehatan yang
telah mahir dalam menggunakan teknik ALS. Pembahasan mengenai penolong pertama,
orang awam, dan pengguna AED dapat dilihat pada bab basic life support (BLS) dan AED.

Perubahan Panduan
Defibrilasi

Hal yan g ditekankan saat melakukan intervensi ALS adalah memberikan kompresi dada
berkualitas tinggi dengan sedikit interupsi: kompresi dada dapat dihentikan sementara hanya
ketika akan melakukan intervensi tertentu.

Rekomendasi mengenai periode pemberian cardiopulmonary resuscitation (CPR) sebelum


melakukan tindakan defibrilasi di luar rumah sakit untuk pasien henti jantung yang
unwitnessed (tak ada yang melihat kejadiannya) oleh emergency medical services (EMS),
saat ini telah ditiadakan.

Kompresi dada harus terus dilanjutkan saat defibrilasi sedang diisi ulang (recharged) hal
ini bertujuan untuk meminimalisasi jeda pra-kejutan (pre-shock)

Peranan precordial thump (tinju jantung) saat ini tidak lagi dianjurkan

Prosedur tiga kali kejutan cepat (three quicjk successive) merupakan hal yang dianjurkan
untuk pasien fibrilasi ventrikel/takikardia ventrikuel tanpa denyut (VF/VT) yang sedang
menjalani kateterisasi jantung atau untuk pasien henti jantung yang baru saja menjalani
operasi jantung
Obat-obatan

Pemberian obat-obatan melalui tuba trakeal tidak lagi dianjurkan jika akses intravena tidak
dapat diperoleh, maka kita dapat memberikan obat-obatan melalui rute intraosseus (IO)

Ketika mengatasi henti jantung VF/VT, adrenaline 1 mg diberikan begitu kompresi dada
dimulai kembali setelah pemberikan tiga kali kejut listrik dan tiap 3-5 menit (selama
perubahan siklus CPR). Di Panduan 2005, adrenaline diberikan sebelum kejut listrik yang
ketiga. Perubahan dalam waktu pemberian adrenaline bertujuan untuk membedakan periode
pemberian obat dengan percobaan fibrilasi. Selain itu, melalui perubahan tersebut diharapkan
agar pemberian kejut listrik menjadi lebih efisien dan kompresi dada bisa lebih minimal
interupsi. Amiodarone 300 mg juga diberikan setelah kejut listrik yang ketiga.

Pemberian atropine secara rutin tidak lagi direkomendasikan untuk kasus asistol atau
pulseless electrical activity (PEA)
Jalan napas

Penggunaan intubasi secara dini tidak lagi menjadi perhatian utama, kecuali tindakan
tersebut dilakukan oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman. Yang penting, dalam
pelaksanaannya, pemasangan intubasi tidak boleh mengganggu kompresi dada.

Penggunaan

kapnografi

semakin

dianjurkan

untuk

mengkonfirmasi

keberhasilan

pemasangan tuba trakeal, mengawasi keberhasilan CPR dan mengidentifikasi indikasi return
of spontaneous circulation (ROSC).
Ultrasonografi

Pencitraan ultrasonografi memiliki peran yang potensial selama ALS


Perawatan pasca-resusitasi

Hiperoksemia pasca-ROSC merupakan salah satu masalah potensial yang dapat terjadi pada
pasien pasca-resusitasi: jika ROSC telah tercapai dan saturasi oksigen arteri (SaO 2) telah
terpantau (dengan menggunakan oksimetri dan/atau analisis gas darah arterial), maka oksigen
inpirasi dapat dititrasi agar saturasinya sekitar 94-98%.

Telah banyak pembahasan mengenai pentingnya penatalaksanaan post-cardiac-arrest


syndrome

Kontrol kadar glukosa juga telah direvisi: untuk orang dewasa pasca-ROSC yang baru saja
mengalami henti jantung, apabila kadar gula darahnya >10 mmol /l, maka hal tersebut harus
segera diatasi, namun kita harus menghindari hipoglikemia

Penggunan hipotermia terapeutik saat ini telah mencakup pasien koma yang bertahan hidup
dari henti jantung. Pada awalnya, kondisi ini berhubungan erat dengan ritme jantung yang
tidak dapat diberi kejut listrik, namun semakin banyak kasus yang ritme jantungnya dapat
diberi kejut listrik. Namun, saat ini semakin sedikut bukti yang menunjukkan penggunaan
prosedur tersebut pada pasien henti jantung yang ritmenya tidak dapat diberi kejut listrik.

Prediktor penentu luaran hasil yang buruk tidak dapat digunakan untuk pasien koma yang
berhasil bertahan hidup dari henti jantung, terutama jika pasien telah diberi terapi hipotermia.

Selama CPR

CPR harus berkualitas: laju, kedalaman, pengembangan dada/recoil

Rencanakan tindakan dengan cermat sebelum menginterupsi CPR

Berikan oksigen

Pertimbangkan tindakan jalan napas dan kapnografi

Melakukan kompresi dada secara berkelanjutan ketika jalan napas telah terpasang

Akses vaskuler (intravena, intraosseus)

Berikan adrenaline tiap 3-5 menit

Koreksi penyebab henti jantung yang reversibel

Penyebab Henti Jantung yang Reversibel

hipoksia

hipovolemia

hipo/hiperkalemia/metabolik

hipotermia

trombosis koroner atau pulmoner

tamponade jantung

racun

tension pneumothoraks
aritmia yang berhubungan dengan henti jantung terbagi menjadi dua jenis: ritme jantung yang
shockable/dapat diberi kejut listrik (VF/VT) dan ritme jantung yang tidak shockable/tidak
dapat diberi kejut listrik (asistole dan PEA). Perbedaan prinsip penanganan di antara kedua
jenis henti jantug tersebut adalah VF/VT harus segera mendapatkan tindakan defibrilasi.
Sedangkan tindakan lainnya untuk kedua jenis henti jantung tersebut hampi sama, baik itu
kompresi dada, manajamen jalan napas dan ventilasi, akses vaskuler, pemberian adrenaline,
serta identifikasi dan koreksi faktor penyebab yang reversibel. Algoritma ALS dapat
memberikan pendekatan yang terstandarisasi untuk penatalaksanaan henti jantung pada
pasien dewasa.
Henti Jantung Yang Dapat Diberi Kejut Listrik (VF/VT)
Ritme jantung VF/VT dapat ditemukan pada 25% pasien henti jantung, yang ada di dalam
maupun luar rumah sakit. VF/VT juga dapat terjadi selama pelaksanaan resusitasi, terutama
untuk pasien yang awalnya mengalami henti jantung karena asistol atau PEA.
Penatalaksanaan henti jantung yang dapat diberi kejut listrik (VF/VT)

1. pastikan telah terjadi henti jantung periksa tanda-tanda kehidupan atau jika terlatih, lakukan
pemeriksaan napas dan denyut secara simultan
2. panggil bantuan tim resusitasi

3. lakukan kompresi dada yang tak terinterupsi sambil memasang alat defibrilasi sekaligus alat
pemantau jantung satu di bawah klavikula kanan dan satunya di posisi lead V6 di garis
midaksilaris
4. rencanakan tindakan dengan baik sebelum menghentukan CPR untuk menganalisis ritme
jantung dan berkomunikasi dengan anggota tim resusitasi lainnya
5. hentikan kompresi dada: konfirmasi tanda-tanda VF dari EKG
6. lakukan lagi kompresi dada; pada waktu yang bersamaan, anggota lainnya melakukan
pemasangan defibrilator lalu menaikan energi kejut sekitar 150-200 J bifasik untuk kejutan
yang pertama, lalu 150-360 J bifasik untuk kejutan berikutnya, kemudian tekan lagi tombol
isi ulang/charge.
7. Ketika defibrilator diisi ulang, peringatkan ke semua penolong kecuali yang sedang
melakukan kompresi dada, agar melakukan stand clear dan melepaskan semua peralatan
penghantar oksigen. Memastikan bahwa penolong yang mengompresi dada merupakan satusatunya orang yang menyentuh pasien
8. Ketika defibrilator telah terisi penh, beritahu penolong yang sedang mengompresi dada untuk
minggir/stand clear; jika sudah aman, maka berikan kejutan
9. Tanpa memeriksa ulang ritme jantung atau tanpa mengecek denyut nadi, CPR diulangi
kembali dengan rasio 30:2, yang diawali dengan kompresi dada
10. Lanjutkan CPR selama 2 menit; pemimpin tim menyiapkan tim untuk jeda CPR
11. Hentikan kompresi sesaat untuk mengecek monitor
12. Jika pada monitor terlihat VF/VT, maka ulangi langkah 1-6 lalu berikan kejutan kedua
13. Jika VF/VT tetap bertahan, maka ulangi langkah 6-8 lalu berikan kejtan ketiga. Lanjutkan
kompresi dada sesegera mungkin lalu berikan adrenaline 1 mg IV dan amiodarone 300 mg IV
ketika sedang melakukan CPR selama 2 menit.
14. Ulangi CPR 2 menit cek ritme/denyut ulangi defibrilasi jika VF/VT berlanjut
15. Berikan adrenaline tambahan 1 mg IV tiap akhir kejutan (tiap 3-5 menit)

Jika aktivitas elektrik yang teratur serta curah jantung mulai terdeteksi, maka segera cari
tanda-tanda return of spontaneous circulation (ROSC):

Periksa denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia

Jika terdapat bukti ROSC, segera mulai perawatan pasca-resusitasi

Jika tidak ada tanda-tanda ROSC, lanjutkan CPR dan segera mulai algoritma untuk kasus
henti jantung non-shockable (ritme jantung yang tak dapat diberi kejut listrik)
Jika terdapat tanda-tanda asistol, maka lanjutkan CPR dan segera mulai algoritma untuk
kasus henti jantung non-shockable (ritme jantung yang tak dapat diberi kejut listrik)
Interval antara penghentian kompresi dan pemberian kejut listrik harus diminimalisasi dan
kalau bisa tidak lebih dari beberapa detik (idealnya kurang dari 5 detik). Semakin lama
interupsi pada kompresi dada, maka semakin rendah kesempatan untuk mengembalikan
sirkulasi spontan.
Jika ritme yang teratur telah terlihat selama CPR 2 menit, jangan interupsi kompresi dada
untuk mempalpasi denyut kecuali pasien telah menunjukkan tanda-tanda kehidupan (seperti
peningkatan end-tidal CO2 [ETCO2]) yang menandakan ROSC. Jika ada keraguan telah
timbul denyutan, maka tetap lanjutkan CPR. Jika pasien telah mengalami ROSC, segera
mulai perawatan pasca-resusitasi.
Precordial Thump/tinju prekordial
Precordial thump tunggal memiliki angka kesuksesan yang rendah dalam kardioversi henti
jantung yang shockable dan prosedur ini kemungkinan dapat berhasil jika diberikan dalam
beberapa detik pertama saat timbulnya henti jantung yang shockable. Prosedur ini lebih
berhasil saat dilakukan pada VT yang tanpa denyut (pulseless) jika dibandingkan dengan VF.
Tindakan precordial thump harus dilakukan sesegera mungkin, tanpa harus meminta bantuan
atau mencari defibrilator. Sehingga tindakan ini hanya dapat dilakukan jika dokter ada di
tempat terjadinya henti jantung pasien, terutama jika tidak terdapat defibrilator di sekitarnya.
Pada prakteknya, tindakan seperti itu hanya dapat dilakukan pada lingkungan yang terawasi

dengan baik, seperti di ruang resusitas unit gawat darurat, ICU, CCU, ruang kateterisasi
jantung atau ruang pacemaker.
Precordial thump haruss dilakukan begitu henti jantung telah dikonfirmasi dan sebaiknya
tindakan ini dilakukan oleh profesional kesehatan yang terlatih. Dalam melakukannya,
sebaiknya menggunakan sisi ulnar genggaman tangan yang telah terkepal, lalu kepalan
tangan tersebut dihantamkan pada setengah inferior sternum dari ketinggian sekitar 20 cm,
setelah tinju dilakukan, segera tarik tangan agar dapat menciptakan stimulus yang
menyerupai impuls jantung. Hanya ada beberapa laporan mengenai precordial thumpyang
mengaibatkan konversi ritme jantung perfusi menjadi ritme non-perfusi.
Penjelasan mengenai perubahan tatalaksana VF/VT
Strategi defibrilasi

Strategi kejutan tunggal versus tiga kejutan


Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa interupsi yang relatif singkat pada kompresi
dada baik itu untuk memberikan pernapasan atau analisis ritme berhubungan erat dengan
penurunan angka bertahan hidup. Interupsi pada kompresi dada juga dapat menurunkan
kesempatan konversi VF menjadi ritme lain. Interupsi pada CPR dengan protokol tiga kali
kejut listrik yang dikombinasikan dengan kejutan pertama defibrilator bifasik (untuk
menghilangkan VF/VT), sangat direkomendasikan untuk mengganti panduan 2005. Namun
penelitian lanjutan mengenai protokol satu kali kejutan yang dikombinasikan dengan
penurunan rasio hands-off berhubungan justru menunjukkan peningkatan angka bertahan
hidup.
Jika VF/VT terjadi selama kateterisasi jantung atau pada fase awal pasca-operasi jantung
(ketika

kompresi

dada

dapat

mengganggu

jahitan

vaskuler),

maka

kita

dapat

mempertimbangkan tiga kali kejut listrik sebelum melakukan kompresi dada. Strategi tiga
kejutan ini dapat dipertimbangkan sebagai tindakan awal untuk kejadian henti jantung VF/VT
yang disaksikan oleh tenaga medis, terutama jika terdapat defibrilator manual meskipun

kejadian seperti ini jarang ditemukan. Meskipun tidak ada data yang mendukung strategi tiga
kejutan pada kondisi seperti itu, namun kemungkinan besar, kompresi dada tidak akan
mampu meningkatkan ROSC jika defibrilasi telah dilakukan begitu terjadi onset VF.

Energi defibrilasi
Kejutan awal yang diberukan dari defibrilator bifasik tidak boleh lebih rendah dari 120 J
untuk rectilinear biphasic waveforms dan, tidak boleh lebih rendah dari 150 J untuk biphasic
truncated exponential waveforms. Untuk keseragaman, maka besarnya kejutan bifasik tidak
boleh lebih rendah dari 150 J. Karena rendahnya efektivitas defibrilator monofasik dan
strategi kejutan tunggal dalam mengatasi VF/VT, maka besarnya energi untuk defibrikator
monofasik tetap 360 J.
Untuk kejutan kedua dan selanjutnya, panduan 2005 tidak membedakan antara prosedur
peningkatan energi dengan prosedur penetapan energi. Oleh karena itu, beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa strategi peningkatan energi lebih dapat menurunkan frekuensi
kejutan yang diperlukan untuk mengembalikan ritme teratur jika dibandingkan dengan
strategi kejutan dengan energi tetap, namun angka ROSC atau angka bertahan hidup pasien
pada kedua strategi tersebut tidak berbeda jauh. Sebaliknya, protokol bifasik dengan energi
tetap menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi jika dilakukan dengan protokol tiga
kejutan. Jika kejutan awal tidak berhasil, maka sebaiknya lakuka kejutan berikutnya dengan
energi yang lebih tinggi. Protokol pemberian energi tetap dan energi tinggi dapat diterima
berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Pabrik pembuat defibrilator harus mencantumkan kisaran gelombang energi yang efektif pada
alat defibrilator bifasik. Jika tidak terdapat label energi efektif, maka gunakan energi paling
tinggi yang tersedia pada alat untuk kejutan pertama, dan kejutan berikutnya.

VF halus

VF halus sulit dibedakan dari asistol. Kondisi asistol tidak mungkin diberikan kejut listrik,
sedangkan VF dapat diberikan kejut listrik. Karena itu memberikan CPR berkualitas
merupakan hal yang penting untuk meningkatkan amplitudo dan frekuensi VF serta
memperbaiki kesempatan melakukan defibrilasi yang dapat menghasilkan ritme perfusi.
Pemberian kejutan berulang untuk men-defibrilasi kondisi yang disangka VF dapat
meningkatkan cedera miokardial, baik akibat arus listrik amupun karena interupsi aliran
darah koroner.

Adrenaline
Adrenaline menjadi sering digunakan selama resusitasi, namun beberapa penelitian juga
mencoba penggunaan vasopressin, dan hasilnya adalah penggunaan vasopressor secara rutin
pada henti jantung dapat meningkatkan ketahanan fungsi neurologis pada pasien. Bukti
terbaru tidak mencukupi untuk mendukung atau menghilangkan penggunaan obat-obatan
tertentu atau obat lanjutan. Meskipun data penelitian pada manusia masih sedikit, namun
penggunaan adrenaline tetap menjadi tindakan yang direkomendasikan, berdasarkan data
penelitian hewan dan peningkatan angka bertahan hidup pada manusia. Aksi alfa-adrenergik
adrenaline dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang meningkatkan tekanan perfusi
miokardial dan serebral. Semakin tinggi frekuensi aliran darah koroner dan amplituod
gelombang VF maka semakin tinggi pula kesempatan merestorasi sirkulasi ketika defibrilasi
dilakukan. Meskipun adrenaline dapat meningkatkan angka bertahan hidup jangka pendek,
namun dari data hewan ditemukan bahwa obat tersebut dapat menyebabkan gangguan
mikrosirkulasi dan disfungsi miokardial pasca-henti jantung, kedua kondisi tersebut dapat
mempengaruhi luaran hasil jangka panjang. Dosis optimal adrenaline hingga saat ini belum
diketahui, dan tidak ada data yang mendukung pengulangan dosis. Ada beberapa data
farmakokinetika adrenaline selama CPR. Durasi optimal CPR dan jumlah kejut listrik yang
harus diberikan hingga saat ini belum diketahui. Berdasarkan konsensus para hali, untuk

VF/VT, pemberian adrenaline dilakukan setelah kejutan ketiga, yang dilanjutkan dengan
kompresi dada, lalu diulangi lagi tiap 3-5 menit selama masih terjadi henti jantung (tiap
pergantian siklus). Jangan sampai CPR terganggu saat melakukan pemberian obat.

Ritme jantung yang non-shockable/tidak dapat diberi kejut listrik (PEA dan asistol)
Pulseless electrical activity (PEA) merupajan suatu kondisi di mana tidak terdapat denyut
arteri teraba yang mampu menghasilkan curah jantung meskipun masih ada aktivitas listrik
jantung. Pasien seperti ini masih mengalami kontraksi miokardial namun terlalu lemah untuk
menghasilkan denyut arteri atau tekanan darah hal ini kadang disebut sebagai pseudo-PEA.
PEA dapat disebabkan oleh berbagai kondisi reversibel yang dapat dikoreksi. Pasien yang
bertahan hidup dari henti jantung asistol atau PEA jarang terjadi, meskipun penyebab
reversibel telah ditemukan dan diberi tatalaksana secara efektif.

Langkah-langkah untuk mengatasi PEA

1. Mulai CPR 30:2


2. Berikan adrenaline 1 mg sesegera mungkin ketika akses intravaskuler berhasil didapatkan
3. Lanjutkan CPR 30:2 hingga jalan napas berhasil diamankan, lalu lanjutkan kompresi dada
tanpa henti selama memberikan ventilasi
4. Pertimbangkan penyebab reversibel PEA dan koreksi penyebab tersebut jika telah
diidentifikasi
5. Periksa ulang pasien setelah 2 menit

Jika tetap tiddak terdapat denyutan dan tidak ada perubahan pada tampilan EKG, maka:
i. Lanjutkan CPR
ii. Periksa ulang pasien setelah 2 menit dan lakukan secara berurutan
iii. Berikan adrenaline tambahan 1 mg tiap 3-5 menit (tiap pergantian siklus)

Jika timbul VF/VT, segera jalankan algoritma shockable

Jika terjadi denyut, mulai perawatan pasca-resusitasi

Langkah-langkah penanganan asistol

1. Mulai CPR 30:2


2. Tanpa menghentikan CPR, pastian lead telah terpasang dengan benar
3. Berikan adrenaline 1 mg sesegera mungkin saat akses intravaskuler telah ada
4. Lanjutkan CPR 30:2 hingga jalan napas diamankan, lalu lanjutkan kompresi dada tanpa jeda
selama pemberian ventilasi
5. Pertimbangkan penyebab PEA dan koreksi sesegera mungkin
6. Periksa ulang ritme jantung setelah 2 menit dan lakukan secara berurutan
7. Jika timbul VF/VT, segera jalankan algoritma shockable
8. Berikan adrenaline 1 mg IV tiap 3-5 menit (tiap pergantian siklus)
Kapanpun diagnosis asistol ditegakkan, periksa EKG secara hati-hati untuk memastikan
adanya gelombang P karena pasien dapat merespon pacu jantung ketika terdapat gelombang
P. Tidak ada gunanya melakukan pacu jantung pada keadaan asistol sejati.
Atropine
Atropine dapat meng-antagonis aksi neurotransmiter parasimpatetik asetilkolin di reseptor
muskarinik. Sehingga, atropine dapat memblok efek nervus vagus pada nodus sinoatrial (SA)
dan nodus atrioventrikuler (AV), yang menimbulkan peningkatan laju sinus dan mempercepat
konduksi nodus AV.
Panduan 2005 merekomendasikan pemberian 3 mg dosis tunggal atropine untuk kondisi
asistol dan PEA lambat (< 60 x/menit); namun, penggunaan atropine rutin tidak memberikan
manfaat untuk asistol atau PEA. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa atropine
tidak memiliki manfaat untuk mengatasi pasien henti jantung di luar maupun di dalam rumah
sakit, sehingga penggunaan rutinnya pada PEA dan asistol tidak lagi direkomendasikan.
Selama CPR

Selama penatalaksanaan VF/VT atau PEA/asistol yang persisten, hal yang perlu ditekankan
adalah prosedur kompresi dada yang berkualitas di antara percobaan defibrilasi, sambil terus
berupaya untuk mengenali dan mengatasi penyebab reversibel (4 Hs dan 4 Ts), serta
mengamankan jalan napas dan akses intravaskuler. Profesional kesehatan harus berlatih
mempraktekkan koordinasi yang efisien antara CPR dan pemberian kejut listrik. Semakin
singkat interval antara penghentian kompresi dada dan pemberian kejut listrik, maka semakin
tinggi keberhasilan resusitasi. Penurunan interval antara kompresi dada dan pemberian kejut
listrik meskipun hanya beberapa detik dapat meningkatkan keberhasilan kejut. Pemberian
CPR dengan rasio CV 30:2 merupakan hal yang melelahkan; penggantian penolong dapat
dilakukan tiap 2 kmenit.
Penyebab Henti Jantung Yang Reversibel
Faktor penyebab atau pemicu timbulnya henti jantung harus dapat dikenali dan diatasi. Untuk
mudah diingat, ada 2 kelompok penyebab henti jantung yang bersifat reversibel yakni
kelompok H dan T:

Hipoksia

Hipovolemia

Hiperkalemia, hipokalemia, hipokalsemia, asidemia, dan gangguan metabolik lainnya

Hipotermia

Tension pneumothorax

Tamponade

Toksin

Tromboembolisme (emboli paru/trombosis koroner)


Empat H
Cara untuk meminimalisasi hipoksia adalah memastikan paru-paru pasien telah terventilasi
secara adekuat dengan oksigen 100%. Pastikan telah terjadi pengembangan dada yang

adekuat dan terdengar bunyi napas secara bilateral. Cek dengan hati-hati tuba trakeal,
pastikan tidak salah masuk ke bronkus atau esofagus.
Aktivitas elektrik yang tanpa denyut dapat disebabkan oleh hipovolemia akibat perdarahan
hebat; yang dipresipitasi oleh trauma, perdarahan gastrointestinal, atau ruptur aneurisma
aorta. Tindakan yang harus dilakukan adalah mengembalikan volume intravaskuler sesegera
mungkin yang dikombinasikan dengan operasi secepatnya untuk menghentikan perdarahan.
Hiperkalemia, hipokalemia, hipokalsemia, asidemia, dan gangguan metabolik lainnya dapat
terdeteksi melalui pemeriksan biokimiawi atau dari riwayat medis pasien seperti gagal ginjal.
EKG 12 lead dapat menjadi salah satu alat diagnostik yang berguna. Kalsium klorida
intravena dapat diberikan pada keadaan hiperkalemia, hipokalsemia, dan overdosis calcium
channel blocker.
Kecurigaan hipotermia biasanya ditemukan pada pasien tenggelam; atau penggunaan
thermometer yang ambang batas bawahnya terlalu rendah.
Empat T
Tension pneumothorax merupakan salah satu penyebab utama PEA, hal ini dapat terjadi
setelah proses pemasangan kateter vena sentral. Diagnosis pneumothorax dapat ditegakkan
secara klinis dan/atau dengan menggunakan ultrasonografi. Tindakan untuk kasus ini adalah
melakukan dekompresi secepatnya dengan thorakosentesis jarum atau thorakostomi darurat,
lalu memasang drain.
Tamponade jantung sulit untuk didiagnosis karena tanda-tanda seperti distensi venda dan
hipotensi sulit untuk dinilai, terutama jika telah terjadi henti jantung. Ekokardiografi
transtorakal dengan interupsi minimal pada kompresi dada dapat dilakuka untuk
mengidentifikasi efusi perikardial. Henti jantung akibat trauma penetrasi dada sangat
mendukung untuk timbulnya tamponade dan kasus seperti ini merupakan indikasi untuk
melakukan tindakan thorakotomi resusitatif.

Jika pasien tidak memiliki riwayat medis yang spesifik, maka kita dapat melakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menentukan apakah pasien telah mengosumsi zat toksik atau
obat-obatan tertentu. Jika tersedia, sebaiknya segera berikan antidot pada pasien dan terapi
suportif.
Penyebab utama tromboemboli adalah atau obstruksi sirkulasi mekanis adalah emboli
pulmoner yang masif. Jika henti jantung disebabkan oleh emboli pulmoner, maka
pertimbangkan untuk memberikan obat tormbolitik sesegera mungkin. Trombolisis dapat
dipertimbangkan sebagai terapi pada henti jantung, namun ini tergantung kasusnya. CPR
bukanlah kontraindikasi untuk terapi trombolisis. Obat-obatan trombolisis kemungkinan
besar butuh waktu 90 menit untuk menimbulkan efek.
Penggunaan pencitraan ultrasonografi selama pemberian bantuan hidup lanjutan
Beberapa penelitian telah menguji penggunaan ultrasonografi selama henti jantung untuk
mendeteksi etiologi yang bersifat reversibel. Meskipun belum ada penelitian yang
menunjukkan bahwa penggunaan modalitas pencitraan ini dapat meningkatkan luaran hasil,
namun tidak ada keraguan bahwa pencitraan ultrasonografi dapat memberikan informasi yang
dapat membantu kita dalam mengidentifikasi etiologi reversibel dari henti jantung (seperti
tamponade jantung, embolisme paru, iskemia (abnormalitas gerakan dinding jantung
regional), diseksi aorta, hipovolemia, pneumothoraks). Jika ultrasonografi digunakan oleh
klinisi yang terlatih, maka modalitas tersebut dapat membantu kita dalam pemeriksaan dan
penatalaksanaan etiologi henti jantung yang bersifat reversibel. Posisi probe di subxiphoideus direkomendasikan dalam pemeriksaan. Pemasangan probe sebelum kompresi
dada sebaiknya dilakukan dalam waktu sekitar 10 detik secara bersamaan dengan
pemeriksaan ritme.
Cairan Intravena
Hipovolemia merupakan penyebab henti jantung yang bersifat reversibel: infus cairan harus
dilakukan secepatnya jika dicurigai telah terjadi hipovolemia. Manfaat penggunaan koloid

pada fase awal resusitasi hingga saat ini masih belum jelas: gunakan NaCl 0,9% atau larutan
Hartmann. Hindari penggunaan dekstrosa; karena cairan ini dapat ter-redistribusi dengan
cepat dari ruang intravaskuler dan menyebabkan hiperglikemia, yang dapat memperburuk
luaran hasil neurologis pasien setelah henti jantung. Pastikan pasien mencapai normovolemia,
namun jika pada kondisi non-hipovolemia, pemberian cairan yang berlebihan justru akan
memperburuk kondisi pasien yang menjalani CPR. Penggunaan cairan intravena dilakukan
untuk menginjeksi obat-obatan secara perifer ke dalam sirkulasi sentral.
Kompresi Jantung pada thorakotomi terbuka
Kompresi jantung pada thorakotomi terbuka hanya diindikasikan untuk pasien yang
mengalami henti jantung akibat trauma, untuk fase awal henti jantung pasien yang baru saja
menjalani bedah thoraks, atau ketika thoraks atau abdomen sudah terbuka, seperti pada saat
pasien menjalani operasi.
Tanda-tanda kehidupan
Jika tanda-tanda kehidupan telah muncul kembali saat melakukan CPR (seperti usaha
bernapas reguler, batuk, pasien bergerak atau membuka mata), atau pada monitor telah
(seperti terdeteksinya ETCO2 atau tekanan darah) menunjukkan ROSC, maka hentikan CPR
lalu cek lagi monitor dalam waktu singkat. Jangan samakan terengah-engah dengan tandatanda kehidupan, karena hal tersebut sering kali timbul pada fase awal tindakan CPR. Jika
ritme jantung yang teratur telah timbul, maka periksa denyut. Jika denyut telah teraba,
lanjutkan ke perawatan pasca-resusitasi, penatalaksanaan peri-henti jantung, atau keduaduanya. Jika denyut masih tidak teraba, tetap lanjutkan CPR.
Defibrilasi
Strategi sebelum melakukan defibrilasi
Pads versus Paddle
Pads defibrilasi yang self-adhesive lebih praktis digunakan jika dibandingkan dengan handheld paddle, terutama untuk monitor rutin dan defibrilasi. Keduanya aman dan efektif untuk

digunakan, namun sejak terjadi perubahan strategi defibrilasi tahun 2010, maka paddle
defibrilasi lebih dianjurkan. Pads self-adhesive hanya digunakan untuk situasi peri-henti
jantung dan situasi klinis ketika akses ke pasien sulit tercapai. Kedua wahana tersebut
memiliki impedance transthorakal yang sama (begitu juga dengan khasiatnya). Namun
dengan pads adhesive, maka penolong dapat melakukan defibrilasi dari jarak yang aman.
Selain itu pads lebih memudahkan proses pemberian kejut listrik jika dibandingkan dengan
paddle.
Penggunaan Oksigen Secara Aman
Paddle defibrilator dapat memercikkan api pada oksigen yang diperkaya oleh tekanan
atmosfir. Sehingga kita harus mengambil langkah-langkah berikut ini untuk meminimalisasi
resiko kebakaran:

Singkirkan semua masker oksigen atau nasal kanul dan letakkan semua benda tersebut
sekitar 1 m dari dada pasien selama proses defibrilasi

Biarkan kantung ventilasi tetap tersambung pada tuba trakeal atau alat jalan napas lainnya.
Sebagai alternatif, lepaskan kantung ventilasi dari tuba trakeal dan jauhkan dari dada pasien
sekitar 1 m selama proses defibrilasi

Penggunaan pads self-adhesive lebih meminimalisasi resiko timbulnya percikan jika


dibandingkan dengan paddle.
Rambut dada
Sebaiknya area dada yang akan dipasangi elektroda bersih dicukur dengan bersih, namun
proses pencukuran harus dilakukan dengan cepat dan tidak boleh menghambat prosedur
defibrilasi, terutama jika tidak tersedia pisau cukur.
Posisi elektroda
Elektroda kanan (sternal) dipasang pada sisi kanan sternum, di bawah klavikula. Letakkan
paddle apikal pada linea mid-aksilaris, dekat dengan posisi lead V6 pada EKG. Elektroda ini

harus beba dari semua jaringan payudara. Kita harus meletakkan elektroda ini di daerah
lateral.
Pemasangan elektroda antero-posterior merupakan salah satu posisi alterntif untuk posisi
elektroda pektoral-apikal kanan untuk defibrilasi dan merupakan posisi pilihan untuk
kardioversi atrial fibrilasi.
Alat-alat medis yang terimplantassi (seperti alat pacu jantung permanen) dapat mengalami
kerusakan selama proses defibrilasi, terutama jika arus listrik melewati elektrida yang
dipasang di atas alat yang terimplantasi. Jika memungkinkan, letakkan elektroda terpisah dari
alat yang terimplantasi, kalau perlu gunakan posisi elektroda alternatif.
Manajemen jalan napas dan ventilasi
Mayoritas prinsip penanganan jalan napas dan ventilasi di panduan 2005 tidak mengalami
perubahan. Hanya saja tindakan intubasi dini tidak lagi terlalu ditekankan, kecuali dilakukan
oleh tenaaga yang terampil dengan interupsi minimal pada kompresi dada. Penggunaan
kapnografi semakin dianjurkan untuk mengkonfirmasi dan mengawasi pemasangan tuba
trakeal, kualitasi CPR dan mengidentifikasi ROSC secara dini.
Pasien yang membutuhkan resusitasi seringkali mengalami obstruksi jalan napas. Pada kasus
seperti ini, pemeriksaan yang tepat, disertai kontrol jalan napas dan ventilasi pada paru-paru
merupakan tindakan yang esensial. Tanpa oksigenasi yang adekuat, maka tidak mungkin
untuk mengembalikan curah jantung spontan. Pada kasus henti jantung yang kejadiannya
disaksikan oleh petugas medis serta terdapat defibrilator di sekitar lokasi kejadian, maka
percobaan defibrilasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum membuka jalan napas.
Pemberian oksigen aliran tinggi hingga tercapai ROSC harus dilakukan dengan cara
memantau saturasi oksigen arterial.
Manuver pembebasan jalan napas dasar dan alat bantu jalan napas

Periksa jalan napas. Gunakan head tilt dan chin lift, atau jawa thrust untuk membuka jalan
napas. Alat jalan napas sederhana (alat jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal) dapat
membantu kita dalam mengamankan jalan napas.
Ventilasi
Pemberian ventilasi buaan harus dilakukan sesegera mungkin pada semua pasien yang
ventilasi spontan-nya tidak adekuat atau tidak ada sama sekali. Ventilasi udara sisa (rescue
breathing) merupakan salah satu tindakan yang efektif namun konsentrasi oksigen penolong
hanya 16-17%, sehingga tindakan ini harus segera digantikan oleh ventilasi yang diperkaya
oleh oksigen. Masker protabel untuk resusitasi dapat membantu kita dalam melakukan
ventilasi mouth-to-mask sehingga kadar oksigen yang diberikan bisa lebih tinggi.
Penggunaan teknik dua tangan dapat memaksimalisasi pemberian oksigen karena udara lebih
sedikit yang lolos dari masker. Kantung ventilasi yang mengembang sendiri dapat
disambungkan ke sungkup wajah, tuba trakeal, atau alat jalan napas supraglotis supraglottic
airway device (SAD). Teknik pemasangan ventilasi bag-mask dengan dua penolong
merupakan metode yang lebih dianjurkan. Pemberian untuk tiap kali bernapas sekitar 1 detik
dan volume udara yang diberikan harus sesuai dengan pergerakan dada normal; tujuannya
untuk memberikan volume udara yang adekuat, sambil meminimalisasi resiko inflasi gastrik,
serta menyediakan waktu yang adekuat untuk kompresi dada. Selama melakukan CPR yang
belum memiliki jalan napas terproteksi, kita harus memberikan dia ventilasi untuk tiap
rangkaian 30 kali kompresi dada. Jika tuba trakeal datau SAD telah diinsersi, maka lakukan
ventilasi paru-paru dengan kecepatan 10 kali per menit dan lanjutkan kompresi dada tanpa
henti selama melakukan ventilasi.
Alat bantu Jalan napas alternatif
Pemasangan tuba trakeal merupakan metode yang dianggap paling optimal untuk mengatasi
masalah jalan napas selama terjadi henti jantung. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa
tanpa latihan dan pengalaman yang adekuat, maka tindakan intubasi justru dapat

meningkatkan sejumlah komplikasi seperti masuknya intubasi ke esofagus (6-17% pada


penelitian yang dilakukan pada paramedik). Percobaan intubasi trakeal yang berlangsung
lama dapat membahayakan pasien; penghentian kompresi dada selama percobaan intubasi
dapat mengakibatkan gangguan perfusi koroner dan serebral. Beberapa alat bantu jalan
napass alternatif dapat digunakan untuk mengatasi masalah jalan napas selama melakukan
CPR. Ada beberapa penelitian yang menggunakan Combitude, classic laryngeal mask airway
(cLMA), Laryngeal Tube (LT) dan i-gel dalam prosedur CPR, namun tidak ada satupun
penelitian yang menggunakan indikator angka bertahan hidup sebagai tujuan utama
penelitian. Meskipun begitu, dari penelitian diketahui bahwa alat-alat bantu tersebut memiliki
angka keberhasilan yang tinggi dalam proses insersi dan ventilasi. SAD lebih mudah
dipasang jika dibandingkan dengan tuba trakeal, dan tidak seperti intubasi trakeal, prosedur
pemasangan SAD dapat dilakukan tanpa menginterupsi kompresi dada. Namun hingga kini
belum ada data yang mendukung penggunaan alat-alat tersebut dalam prosedur rutin
penanganan henti jantung. Pemilihan teknik terbaik dalam penanganan jalan napas sangat
dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang terjadi selama henti jantung serta kemahiran
penolong. Combitude jarang digunakan, kalaupun terpakai, alat ini hanya sering digunakan di
Inggris dan tidak lagi dimasukkan dalam panduan ALS.
Laryngeal mask airway (LMA)
LMA relatif lebih mudah dipasang jika dibandingkan dengan tuba trakeal, selain itu
pemberian ventilasi melalui LMA lebih efisien dan lebih mudah jika dibandingkan dengan
bag-mask. Jika terjadi kebocoran gas yang berlebihan, maka kompresi dada harus terinterupsi
untuk memudahkan ventilasi. Meskipun LMA tidak sebaik tuba trakeal dalam melindungi
jalan napas, namun aspirasi pulmoner jarang terjadi ketika LMA digunakan dalam
penanganan henti jantung.
i-gel

Cuff i-gel terbuat dari gel elastomer thermoplastik, sehingga dalam proses pemasangannya, igel tidak membutuhkan inflasi udara; batang i-gel bersatu dengan pemblok gigitan dan
sebuah drain esofageal yang sempit. I-gel sering digunakan untuk mempertahankan jalan
napas selama prosedur anestesia. I-gel sangat mudah dipasang, selain itu secara teoritis, alat
ini jarang mengalami kebocoran sehingga cukup menarik untuk dijadikan pilihan oleh
penolong yang tidak berpengalaman dalam melakukan intubasi trakeal. Penggunaan i-gel
untuk penanganan henti jantung sudah pernah dilaporkan, namun data penggunaannya masih
butuh penelitian lebih lanjut.
Laryngeal Tube
The laryngeal tube (LT) pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001. Saat ini laryngeal tube
disposable (LT-D) juga telah tersedia dan dapat digunakan untuk resusitasi pasien henti
jantung di luar rumah sakit. LT masih jarang digunakan di Inggris.
Intubasi Trakeal
Manfaat dan kerugian intubasi telah dijelaskan pada bab pra-rumah sakit. Seperti pada
intubasi trakeal pra-rumah sakit, intubasi di rumah sakit seharusnya dilakukan oleh tenan
yang terampil dan percaya diri. Tiap percobaan intubasi tidak boleh mengganggu kompresi
dada lebih dari 10 detik; jika intubassi tidak tercapai dalam rentang waktu tersebut, maka
gunakan saja ventilasi bag-mask. Setelah intubasi, pastikan pemasangan tuba telah benar dan
amankan tuba secara adekuat.
Memastikan Pemasangan Tuba Trakeal yang benar
Intubasi esofageal yang tida disengaja merupakan komplikasi paling serius dari percobaan
intubasi traekal. Penggunaan teknik primer dan sekunder untuk mengkonfirmasi pemasangan
tuba merupakan salah satu tindakan yang berguna untuk meminimalisasi resiko salah pasang.
Pemeriksaan primer yang dapat dilakukan adalah observasi pengembangan dada secara
bilateral, auskultasi kedua lapangan paru-paru pada daerah aksila (suara napas harus simetris
dan terdengar jelas) serta di atas epigastrium (bunyi napas tidak boleh terdengar). Namun

tanda klinis dari pemasangan tuba yang benar (terdapat kondensasi pada tuba, pengembangan
dada, terdengar bunyi napas pada auskultasi, tidak terdengarnya suara napas pada
epigastrium) merupakan pemeriksaan yang sulit untuk diandalkan. Untuk konfirmasi
sekunder pemasangan tuba yang benar, diperlukan pemeriksaan kadar CO 2 yang diekspirasi
atau alat pendeteksi gas di esofagus. Namun, tidak ada satupun pemeriksaan sekunder yang
mampu membedakan antara pemasangan tuba hanya memasuki trakea atau justru telah
memasuki salah satu cabang bronkus utama, sehingga pemeriksaan primer untuk memastikan
pengembangan dada dan suara napas yang simetris tetap menjadi hal yang penting.
Belum terlalu banyak data yang mampu mengidentifikasi metode yang optimal untuk
mengkonfrimasi keberhasilan pemasangan tuba pada pasien henti jantung. Semua alat-alat
yang tersedia hanya dianggap sebagai pelengkap teknik konfirmasi yang telah ada. Tidak ada
satupun data yang mampu mengukur kuantitas keberhasilan posisi pemasangan tuba.
Alat pendeteksi karbon dioksida hanya mampu mengukur konsentrasi karbon dioksida yang
diekspirasi dari paru-paru. Ekspirasi CO2 yang persisten setelah enam kali ventilasi
mengindikasikan bahwa tuba trakea telah terpasang di trakea atau cabang bronkus. Selama
henti jantung, aliran darah pulmoner akan mengalami perlambatan sehingga terjadi
penurunan kadar CO2 yang terekspirasi. Oleh karena itu, detektor CO2 tidak mampu
mengidentifikasi apakah pemasangan tuba sudah dilakukan secara tepat. Namun, ketika CO2
ekspirasi telah terdeteksi pada pasien henti jantung, maka kita dapat memastikan bahwa tuba
telah terpasang dengan pada trakea atau cabang bronkus. Detektor kolorimetrik CO 2 telah
tersedia untuk penggunaan di rumah sakit dan luar rumah sakit. Detektor end tidal CO 2 yang
memiliki gambaran grafik gelombang (kapnograf) merupakan alat yang paling terpercaya
untuk memverifikasi posisi tuba trakeal selama terjadi henti jantung.
Berdasarkan data-data yang ada, diketahui bahwa akurasi kolorimetrik CO 2, detektor
esofageal dan kapnometer non-gelombang dalam mendeteksi posisi tuba trakela, tidak lebih
baik dari akurasi auskultasi dan visualisasi langsung. Kapnografi gelombang merupakan cara

yang paling sensitif dan spesifik untuk mengkonfirmasi dan memantau secara terus-menerus
posisi tuba trakeal pada pasien hentu jantung, namun pemeriksaan ini harus digabungkan
dengan pemeriksaan klinis (auskultasi dan visualisasi ketika tuba trakeal melewati plica
vokalis). Karena kapnografi gelombang tidak mampu membedakan apakah tuba trakeal
hanya memasuki trakea atau telah memasuki bronkus, maka auskultasi yang hati-hati
merupakan tindakan yang esensial. Kapnografi portabel dapat digunakan untuk memantau
pemasangan tuba trakeal baik pada kondisi di luar rumah sakit, unit gawat darurat, maupun
dalam rumah sakit. Jika tidak ada kapnograf gelombang maka sebaiknya gunakan alat jalan
napas supraglotis.
Cricothyroidotomy/ krikotiroidotomi
Jika tidak memungkinkan untuk melakukan ventilasi bag-mask pada pasien apneik, atau sulit
untuk melewatkan tuba trakeal atau alat bantu jalan napas alaternatif, maka pemberian
oksigen melalui krikotiroidotomi kanula atau bedah dapat menyelamatkan jiwa pasien.
Krikotiroidotomi bedah dapat menyediakan jalan napas definitif yang dapat digunakan untuk
memventilasi paru-paru pasien hingga dapat dilakukan trakeostromi atau intubasi semielektif. Krikotiroidotomi jarum merupakan prosedur sementara yang dapat memberikan akses
oksigenasi jangka pendek.

Anda mungkin juga menyukai