Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PEMBUKAAN

Naskah Kasus Penyakit Autoimun


Halaman 1
An. A, laki-laki berusia 6 tahun 4 bulan datang diantar ibunya ke Poliklinik Anak dengan
keluhan urin berwarna seperti cucian daging sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut ibu pasien, urin anaknya berwarna seperti cucian daging sejak 2 hari yang lalu. Urin
tampak berwarna merah kecoklatan seperti coca-cola. Pasien jarang BAK dan saat BAK
jumlahnya sedikit. Keluhan tidak disertai dengan nyeri saat BAK, dan tidak ada nyeri pinggang.
Selain keluhan tersebut, kelopak mata tampak bengkak terutama saat bangun tidur dipagi hari
dan berangsur-angsur menghilang pada siang harinya. Bengkak dikedua kelopak mata tidak
disertai keluhan mata berair, silau dan nyeri. Selain mata, pada kedua tungkai tampak bengkak.
Pasien terlihat pucat, lemah dan nafsu makan berkurang. Keluhan tidak disertai demam.
Riwayat penyakit dahulu
Dua minggu yang lalu pasien mengalami demam dan sakit tenggorokkan. Pasien berobat ke
Puskesmas dan diberi obat penurun panas serta antibiotika yang diminum selama 3 hari. Tidak
pernah mengalami riwayat bengkak sebelumnya, sakit kulit/koreng tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa

Halaman 2
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran

: kompos mentis

Keadaan umum: tampak sakit sedang


BB

: 25 kg TB

: 113cm (P25 kurva NCHS)

Tanda Vital

: Laju napas : 20x/ menit,Tekanan darah: 130/90mmHg, Nadi : 90x/menit,


Suhu: 37C.

Mata

: tampak edema dikedua mata dekstra dan sinistra, konjungtiva tidak pucat, sclera
tidak ikterik

Mulut

: Tidak didapatkan ulkus, mukosa lembab.

Thoraks

: - Jantung

: Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar murmur dan

gallop.
Abdomen

Paru

: Suara napas vesikuler, ronkhi basah halus dan wheezing (-).

: Datar, lemas, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba, ginjal kanan dan kiri
tidak teraba, shifting dullness tidak ada, nyeri ketok kostovertebral tidak ada.

Ekstermitas

: Akral hangat, CRT < 2s, edema (+).

Pemeriksaan Penunjang
-

Hb
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Ureum
Kreatinin
ASTO
C3

: 10.2 g/dL
: 35%
: 7000/mm3
: 300.000 mm3
: 40mg/dL
: 2.8 mg/dL
: 400 IU/mL
: 40mg/dL

(N= 10.5-14g/dL)
(N= 33-42%)
(N=6000-15000/ mm3 )
(N=150.000-450.00/ mm3)
(N=20-40mg/dL)
(N=0.3-0.7mg/dL)
(N=<200 IU/mL)
(N=55-120mg/dL)

Urin rutin

Warna merah coklat


Berat jenis 1020
Protein +2
Glukosa negative
Sedimen : eritrosit penuh, 10-15/lpb, ditemukan silinder eritrosit, bakteri negative,
leukosit esterase negative, nitrit negative.

BAB II
PEMBAHASAN
3

FILTRASI GLOMERULUS
Fungsi Ginjal
1. Mempertahankan keseimbangan air
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh melalui regulasi keseimbangan air
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES
4. Mempertahankan volume plasma yang tepat
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh
6. Mengeluarkan bnyak senyawa asing
7. Menghasilkan eritropoietin
8. Menghasilkan renin
9. Mengubah vit. D menjadi bentuk aktif

3 Proses dasar di Ginjal


1. Filtrasi Glomerulus
2. Reabsorbsi Tubulus
3. Sekresi Tubulus

20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring


125 ml filtrasi glomerulus terbentuk tiap menit
180 liter setiap haril
Volume rata2 plasma orang dewasa 2,75
Ginjal menyaring keseluruhan volume plasma 65x/hari
4

Zat yang difiltrasi harus melalui 3 lapisan membran glomerulus:


1. Dinding/lumen kapiler glomerulus
2. Membran basal
3. Lapisan dalam kapsul bowman

Membran Glomerulus
Fungsi: sebagai saringan molekular halus yang menahan sel darah dan protein plasma tetapi
membolehan HO dan zat terlarut dengan ukuran molekul kecil untuk lewat
5

Sifat:

Permeabel terhadap air dan kristaloid bermolekul kecil


Tidak permeabel terhadap molekul besar dan protein plasma
Semua protein bermuatan (-) dan bermolekul besar tidak dpt lewat
Molekul sangat kecil bermuatan (-) tetap mudah melewati membran filtrasi

Proses Filtrasi
Untuk mendorong cairan dari kapiler ke kapsula bowman, diperlukan gaya (tekanan filtrasi/ TF =
Starling forces) yang ditentukan oleh:
1. Tekanan darah kapiler glomerulus tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di
dalam kapiler glomerulus (55mmHg)
2. Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tidak seimbang proteinprotein plasma di kedua sisi membran glomerulus karena tidak dapat di filtrasi
(30mmHg)
3. Tekanan hidrostatik kapsul bowman ditimbulkan oleh cairan dibagian awal tubulus
(15mmHg)

GFR
LFG: Kf X tekanan filtrasi netto
Kf koefisien filtrasi (kolektif sifat2 membran glomerolus)
Control Of GFR
Terdapat 2 mekanisme yang kontrol yang mengatur GFR/ LFG, keduanya diarahkan untuk
menyesuaikan aliran darah glomerolus dengan mengatur jari-jari dan resistensi arteriol aferen.
Kedua mekanisme tersebut adalah:
1. Otoregulasi untuk mencegah perubahan spontan LFG
2. Kontrol simpatis ekstrinsik untuk regulasi jangka panjang tekanan darah arteri
Control Of GFR (1)

Karena tekanan darah arteri adalah gaya utama yang mendorong darah masuk ke dalam
glomerolus maka tekanan darah kapiler glomerolus dan LFG/GFR akan meningkat berbanding
lurus jika tekanan arteri meningkat bila faktor lain tidak berubah
Control Of GFR (1)

Jika LFG meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri maka tekanan filtrasi netto dan LFG
dapat dikurangi ke normal oleh konstriksi arteriol aferen, yang menurunkan aliran darah ke
dalam glomerolus. Penyesuaian lokal ini menurunkan tekanan darah glomerolus dan LFG ke
normal (VASOKONTRISI ARTERIOL ME LFG)
Control Of GFR (1)

Jika LFG turun akibat penurunan tekanan arteri maka tekanan glomerolus dapat ditingkatkan ke
normal oleh vasodilatasi arteriol aferen, yang memungkinkan lebih banyak darah masuk
meskipun tekanan pendorong berkurang (VASODILATASI ARTERIOL ME LFG)

GLOMERULONEFRITIS ACUTE
Definisi
9

Glumerulonefritis ( juga disebut sindrom nefrotik) , mungkin akut, dimana pada


kasusu seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau kronis ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal lambat , tersembunyi , dan progresif yang akhirnya menimbulkan penyakit ginjal tahap
akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai tahap akhir.

Etiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten
selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat
nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim,
keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut
setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut
yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.
Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A
disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus
terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun.Sebagian besar pasien
(95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang
memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan
dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit
ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti
keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid
.

dan lupus eritematosus.


Klasifikasi
A. Congenital (herediter)
10

1.
Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis progresif familial yang
seing disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom
alport merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua
pasien yang mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan
hematuria yang dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita
sindrom alport. Gejala klinis yang utama adalah hematuria, umumnya berupa hematuria
mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul pada saat menderita infeksi saluran
nafas atas. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari sensorineural, dan biasanya tidak
terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada awal umur sepuluh tahunan.
2.
Sindrom Nefrotik Kongenital
Sinroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir. Gejala proteinuria massif,
sembab dan hipoalbuminemia kadang kala baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa
bulan kemudian. Proteinuria terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering
dijumpai

hematuria

mikroskopis.

Beberapa

kelainan

laboratories

sindrom

nefrotik

(hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan tidak berbeda dengan
sindrom nefrotik jenis lainnya.
B. Glomerulonefritis Primer
1.
Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak
spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30%
pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan
gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45%
menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai
riwayat

infeksi

saluran

pernafasan

bagian

atas,

sehingga

penyakit

tersebut

dikira

glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.


2.
Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan
dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan
lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan
insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian
berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang

11

dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan
sindrom nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria
terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
3.
Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik,
hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan
gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan
terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria
makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi
misalnya olahraga dan imunisasi.
C. Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca
streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A
yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis
pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab
mata atau sembab anasarka dan hipertensi.
Manifestasi Klinis
1. Hematuria
2. Edema pada wajah terutama periorbita atau seluruh tubuh
3. Oliguria
4. Tanda-tanda payah jantung
5. Hypertensi
6. Muntah-muntah,nafsu makan kurang kadang diare
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi. Kadangkadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya
edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung.Edema yang terjadi berhubungan
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium,
zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Di pagi hari sering terjadi edema
pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota GFR
12

biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium.Dipagi hari sering terjadi edema pada
wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh
ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat peradangan glomerulus,
apakah disertai dengan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan
garam.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal,
maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila
keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali
pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain
yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan
diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya
sedang.Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme
masih belum diketahui dengna jelas.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urine : adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan
eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder
lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya strptococus
2. Pemeriksaan darah :
kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
analisa gas darah ; adanya asidosis.
Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.
kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya anemia
3. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus
4. Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase \
5. Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun
6. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah jantung
7. ECG : adanya gambaran gangguan jantung
Urinalisis menunjukkan hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita,
Kadang-kadang dengan tanda gagal ginjal seperti Kadang-kadang tampak adanya proteinuria
masif dengan gejala sindroma nefrotik. pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi
13

C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien.
Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus
dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan
dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai kadar normal
kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada
glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan
kulit.Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap
antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain
antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer
anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis,
meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji
terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90%
kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus.Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus,
tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif.
Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer
dilakukan secara seri.Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.kompleks imun
bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu
dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
14

yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis
seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini
sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat
dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972).
15

7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.

Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung
dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas
dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.

16

GLOMERULONEFRITIS KRONIK
The National Kidney Foundation (NKF) defines CKD on the basis of either of the
following:

Evidence of kidney damage based on abnormal urinalysis results (eg, proteinuria or


hematuria) or structural abnormalities observed on ultrasound images

A GFR of less than 60 mL/min for 3 or more months

Classification

Stage 1 This stage is characterized by kidney damage with a normal GFR ( 90


mL/min); the action plan consists of diagnosis and treatment, treatment of comorbid
conditions, slowing of the progressing of kidney disease, and reduction of cardiovascular
disease risks

Stage 2 This stage is characterized by kidney damage with a mild decrease in the GFR
(60-90 mL/min); the action plan is estimation of the progression of kidney disease

Stage 3 This stage is characterized by a moderately decreased GFR (to 30-59 mL/min);
the action plan consists of evaluation and treatment of complications

Stage 4 This stage is characterized by a severe decrease in the GFR (to 15-29 mL/min);
the action plan is preparation for renal replacement therapy

17

Stage 5 This stage is characterized by kidney failure; the action plan is kidney
replacement if the patient is uremic

Etiologi

Manifestasi Klinis
The following symptoms suggest uremia:

Weakness and fatigue

Loss of energy, appetite, and weight

Pruritus

Early morning nausea and vomiting

Change in taste sensation

Reversal in sleep pattern (ie, sleepiness in daytime and wakefulness at night)

Peripheral neuropathy

Seizures

Tremors

Physical Examination

Uremia-specific physical findings include the following:

Hypertension
18

Jugular venous distention (if severe volume overload is present)

Pulmonary rales (if pulmonary edema is present)

Pericardial friction rub in pericarditis

Tenderness in the epigastric region or blood in the stool (possible indicators of uremic
gastritis or enteropathy)

Decreased sensation and asterixis (indicators of advanced uremia)

Pemeriksaan Lab

Urinalisis
Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria)
Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular
dan rasio urin/serum sering 1:1
Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus , terdapat SDM dan fragmen
Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium

Darah
Ht : menurun karena adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir
SDM: menurun defisiensi eritropoitin
GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2
Protein (albumin) : menurun
Natrium serum : hiponatremia
Kalium: hiperkalemia
19

Magnesium: meningkat
Kalsium : menurun
Penatalaksanaan

Blood pressure management

The target blood pressure for patients with proteinuria in excess of 1 g/day is less than 125/75
mm Hg; for patients with proteinuria of less than 1 g/day, the target pressure is less than 130/80
mm Hg.
- ACE-inhibitors
- ARB

Fibrosis inhibition

pirfenidone, an inhibitor of transforming growth factor beta and hence of collagen synthesis, has
emerged as the best candidate.

Roles of Antioxidants

Bardoxolone, an oleanolic acid derivative, blocks Keap and has been postulated as a potential
mechanism to retard progression of CKD

Role of sodium bicarbonate

Role of direct renin inhibitors

Preliminary studies using aliskiren, a direct renin inhibitor, show reductions in proteinuria over 6
months, but larger studies did not show benefit

Management of other problems

Renal osteodystrophy can be managed early by replacing vitamin D and by administering


phosphate binders. Seek and treat nonuremic causes of anemia, such as iron deficiency, before
instituting therapy with erythropoietin.
Treat hyperlipidemia (if present) to reduce overall cardiovascular comorbidity, even though
evidence for lipid lowering in renal protection is lacking.

20

SINDROM NEFROTIK
Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. [1,2,3]
Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. [3]
Etiologi
21

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:
A. glomerulonefritis (GN) primer:
-

GN lesi minimal (GNLM)

Glomerulosklerosis fokal (GSF)

GN membranosa (GNMN)

GN membranoproliferatif (GNMP)

GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat:
i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C
- sifilis, malaria, skistosoma
- tbc, lepra
ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma
multiple, dan karsinoma ginjal
iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril
v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah
GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok
GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa
(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan.

22

Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat
emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.
Perbedaan Sindrom Nefrotik dan Nefritik

Klasifikasi
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok:
23

I.

Sindrom Nefrotik Bawaan


Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.

II.

Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:

Malaria kuartana atau parasit lain.

Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis.

Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
racun oak, air raksa.

Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif


hipokomplementemik.

III.

Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :


a.

Kelainan minimal

Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel
berpadu (mikroskop elektron)
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding
kapiler glomerolus
Lebih banyak terdapat pada anak
Prognosis baik
b.

Nefropati membranosa

Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
Prognosis kurang baik
c.

Glomerulonefritis proliferatif
Eksudatif difus
24

Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus.


Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.
Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis
de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental

Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus

Prognosis buruk

Pembagian Patologi Anatomi


a) Kelainan minimal
o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak
tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG).
o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit
podosit.
o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anakanak usia 1-5 tahun.
o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan
mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor
yang tidak memperlihatkan imunopatologi.

25

b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)


o Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh
kelainan berbatas jelas pada MBG.
o Jarang ditemukan pada anak-anak.
o Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal.
o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik
dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
c). Glomerulosklerosis fokal segmental
o Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan
responnya terhadap kortikosteroid buruk.
o Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada
permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian
terkena.
o Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu
glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental.
o Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.

d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)


o Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta
infiltrasi sel PMN.
o Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan
suatu penambahan matriks mesangial.
o Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi
membrana basalis (jejak-trem atau kontur lengkap)
o Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan
pada sindrom nefrotik.
o Ada MPGN tipe I dan tipe II.
e). Glomerulonefritis proliferatif fokal

26

o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual
(segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).
o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.
Patofisiologi

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,


namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat
menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan
albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.
Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran

27

plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon)
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah
sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase.
Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian
infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua
kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar
kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very
low density lipoprotein).

28

Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid


dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik
plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN.
Gejala Klinis
Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital,
dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan
jarang selain malaise ringan dan nyeri perut.Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin
mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan
prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.
Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik
Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau
3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa
ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila
didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal :
sklerosis glomerulus fokal).
Gambaran laboratorium
Darah

: - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)


29

- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)


- Kalsium menurun
- Ureum Normal
- Hb menurun, LED meningkat
Urin

: - Volumenya : normal sampai kurang


- Berat jenis : normal sampai meningkat
- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)
- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal
- Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak,
oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.

Pemeriksaan urin yang didapatkan.


Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat)
didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan
berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil
proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama
edema masih ada.
Berat jenis urin meningkat.
Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan
Sudan III).
Terdapat leukosit
Pemeriksaan darah yang didapatkan
Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik.
30

Hiperkolesterolemia

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Secara Suportif, Diitetik dan Medikamentosa Suportif:


Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg
BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II
receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek
aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian
antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan
keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol
keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin
dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL.

Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)

Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.

Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam


secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.

Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari

Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari

Medikamentosa:

31

Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar
albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan
osmotik plasma.

Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu
diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah,
apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta
muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.

Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan


pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi
pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut
dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan
gangguan fungsi ginjal.

Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang
tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan
kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3
mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat
tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal
(terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi
sel sumsum tulang.
Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak
32

mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam


kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset
neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat
masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang
mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12
minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu
digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam
kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome.

Komplikasi Sindrom Nefrotik


1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada
sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III,
protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin.
b) Hipoalbuminemia

menimbulkan

aktivasi

trombosit

lewat

tromboksan

A2,

meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya


fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan
oleh

paparan

matriks

subendotel

pada

kapiler

glomerolus

yang

selanjutnya

mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.


2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,
TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit
ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan
organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3. Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa
henle tebal.

33

Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah


pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut.
Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema
interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan
penurunan LFG.
5.

Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria.

6.

Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kumankuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.

7.

Gangguan keseimbangan hormon dan mineral


Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya
berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan
kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien
sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya
proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih
besar daripada pemasukan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam
GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit
tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.
Prognosis Sindrom Nefrotik

34

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid.
Kelainan minimal (minimal lesion):
Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa,
bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)
Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam
waktu 10-20 tahun.
Glomerulosklerosis fokal segmental
Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
Prognosis buruk
Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada
sindrom nefrotik.

NEKROSIS TUBULAR AKUT

Definisi

35

Nekrosis Tubulus Akut secara definisi hampir sama dengan istilah Gagal Ginjal Akut, tapiNTA mengacu pada
temuan histologik yaitu dua sebab utama gagal ginjal intrinsik akut adalahischemia ginjal (hipoperfusi ginjal) yang
berkepanjangan karena keadaan-keadaan prarenal dancedera nefrotoksik.
(Davidson, 1984)
Etiologi
Penyebab utama Necrosis Tubular Akut yaitu:
1. Iskemia ginjal (hipoperfusi ginjal yang berkepanjangan karena keadaan-keadaan prarenal)
2. Cedera nefrotoksik (terdapat material-material yang beracun pada ginjal)
Berdasarkan etiologinya, ATN dapat dibedakan atas :
a) Tipe iskemik, yang merupakan kelanjutan GGA prarenal.
b) Tipe nefrotoksik yang terjadi karena bahan nefotoksik seperti : merkuri, karbontetraklorid, neomisin,
kanamisin, gentamisin dan lain-lain.
c) Tipe kombinasi antara tipe-tipe iskemik dan nefrotoksik seperti yang terjadi akibat :mioglobinaria,
hemolisis intravascular, malaria, sepsis dan lain sebagainya.
Cedera iskemik diduga merupakan penyebab yang paling sering dari gagal ginjal akutintrinsik. ATN terjadi akibat
ischemi ginjal dalam waktu lama (ATN ischemia) maupun terpajan akibatnefrotoksin (ATN
nefrotoksik).penyebab nefrotoksik pada ATN mencakup nefrotoksik oksigen(missal, CCI4, merkuri, siklosporin,
bahan kontras). Dan endogen (misalnya, hemoglobin, mioglobin,asam urat, protein bencejones). Selain itu
penyebab lain dari hipoperfusi ginjal, mekanismepatogenik penyebab ATN adalah vasokonstriksi intrarenal
khususnya arteriol aferen, kebocorancairan tubular melewati dasar membrane, obstruksi tubulus oleh silinder dan
umpan baliktubuloglomerular.
Cedera tubulus nefrotoksik dapat terjadi secara sengaja atau tidak sengaja dengantermakannya merkuri biklorida,
etilen glikol (antibeku), atau karbon tetraklorida. Inhalasi dari gaskarbon tetraklorida (CCI4) yang biasa terdapat
dalam cairan penghilang noda atau cairanpembersih, dan terminumnya etil alcohol (CH3CH2OH) khususnya
berbahaya karena reaksi kimiaantara dua senyawa ini membentuk racun nefrotoksik yang kuat. Keadaan yang
dijelaskan diatas(minum alcohol sewaktu pesta dan menghilangkan noda pakaian dengan cairan penghilang
noda)dapat mengakibatkan gagal ginjal akut secara tidak terduga pada beberapa orang. Dengan alasanyang sama,
orang-orang yang mempunyai hobi menggunakan pelarut dan perekat organik harusbekerja pada ruangan dengan
ventilasi yang baik dan menjauhkan diri dari alkohol pada saat yangsama.

36

Sejumlah obat-obatan bersifat nefrotoksik, beberapa dapat mengakibatkan nefritisinterstisial, sedangkan yang lain
bersifat nefrotoksik langsung. Beberapa obat-obatan yang bisamenyebabkan nefrotoksik ATN antara lain :

Aminoglycosides (antibiotik antibakteri seperti streptomycin dan gentamicin)


Amphotericin B (antibiotik yang digunakan untuk mengobati meningitis dan infeksi

systemfungal)
Dye yang merupakan bahan untuk radiografik (x-ray)
Radioisotopik (x-ray)

D. Patofisiologi
Dari ketiga etiologi diatas akan mengakibatkan penurunan perfusi ginjal, kenaikan sekresi ADH
dan aldosteron serta kenaikan reabsorbsi natrium ditubuli proksimal. Mekanisme
adaptasi inibertujuan untuk mempertahankan volume intravascular dengan mencegah kehilangan natrium
danair dalam urine.Istilah nekrosis tubular akut (NTA) biasanya digunakan baik untuk lesi nefrotoksik
maupuniskemik pada ginjal, sekalipun tidak mencerminkan sifat serta beratnya perubahan pada tubulus.Dua jenis
lesi histologik yang sering ditemukan pada NTAadalah :
(1) Nekrosis epiteltubulus sedangkan membran basalis tetap utuh, biasanya akibat menelan bahan kimia
nefrotoksik.
(2) Nekrosis epitel tubulus dan membrane basalis yang sering menyertai iskemia ginjal.
Umpan balik tubuloglomerular adalah proses yang menyebabkan perubahan aliranglomerular pada ATN :
Reabsorbsi natrium klorida (NaCl) Yang tidak adekuat dalam tubulus proksimal yangrusak,
menyebabkan peningkatan NaCl ke tubulus distal.
Peningkatan NaCl dalam tubulus ginjal dirasakan oleh macula densa
Sebaliknya, macula densa menyebabkan konstriksi arteriol aferen yang nantinya akan berpengaruh pada
perfusi glomerulus.
Derajat kerusakan tubulus pada NTA akibat nefrotoksin sangat bervariasi dan prognosis berbedasesuai dengan
perbedaan kerusakan tersebut. Epitel tubulus proksimal dapat saja mengalaminekrosis, tetapi dapat sembuh
sempurna dalam 3-4 minggu.

37

Lesi jenis ini sering ditimbulkan oleh merkuri biklorida atau karbon tetraklorida. Prognosisbiasanya baik apabila
ditangani secara konservatif atau dengan dialysis suportif. Sebaliknya, racun-racun lain seperti glikol dapat
menimbulkan gagal ginjal ireversibel, disertai infark seluruh nefronyang disebut sebagainekrosis korteks akut.
Kerusakan tubulus akibat iskemia ginjal juga sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada luas danlamanya waktu
pengurangan aliran darah ginjal dan iskemia. Kerusakan dapat berupa destruksiberbecak atau luas pada epitel
tubulus dan membran basalis, atau nekrosis korteks.
Perjalanan klinis terjadinya ATN dicirikan dengan tiga tahap :
1. Stadim oliguria
Fase ini umumnya berlangsung pada 7 sampai 21 hari biasanya kurang dari 4minggu, kemungkinan
akan terjadi nekrosis kortikal akut.Biasanya timbul dalam waktu 24 jam sampai 48 jam sesudah trauma,
meskipungejala sudah biasa timbul sampai beberapa hari sesudah kontak dengan bahan
kimianefrotoksik. Oliguria biasanya disertai azotemia. Oliguria Karena serangan akut gagal ginjalkronik
biasanya jelas diketahui dari riwayat penyakit. Riwayat oliguria yang lama, hipertensi,penyakit sistemik
dari lupus eritematosus sistematik atau diabetes mellitus, ginjal mengisut,dan tanda-tanda penyakit ginjal
yang lama seperti osteodisropi ginjal.
2. Stadium poliuria
Pada fase ini terjadi diuresis. Dimana volume urine lebih dari 1liter / 24 jam kadang-kadang sampai 4-5
liter / 24 jam. Poliuria terjadi karena efek diuretic ureum. Disampingadanya gangguan faal tubuli dalam
mereabsorsi garam dan air. Pada fase ini akan banyak kehilangan cairan dan elektrolit sehingga
diperhatikan kemungkinan terjadinya dehidrasiserta gangguan keseimbangan elektrolit.
3. Stadium Penyembuhan
Penyembuhan secara sempurna faal ginjalnya akan berlangsung sampai 6-12bulan. Faal ginjal yang
paling akhir menjadi normal faal konsentrasi. Stadium penyembuhan ATN yang telah menjadi
GGA berlangsung sampai satu tahun.dan selama masa itu anemiadan kemampuan
pemekatan ginjal semakin membaik.
Iskemia ginjal berat dapat diakibatkan oleh syok sirkulasi atau gangguan lain apapun yangsangat menurunkan
suplai darah keginjal. Jika iskemia berlangsung cukup berat sampaimenyebabkan penurunan yang serius terhadap
pengangkutan zat makanan dan oksigen ke sel-selepitel tubulus ginjal dan jika gangguan ini terus berlangsung,
kerusakan atau penghancuran sel-selepitel dapat terjadi. Kelainan ini mengikuti beberapa kondisi klinis, seperti
trauma, terbakar, daninfeksi yang penderitanya mengalami syok. Ginjal menjadi bengkak dan pucat.

38

Menunjukkan adanya cedera pada seluruh panjang tubulus sel menjadi gepeng disertai vakuolasi.sel radang
berkelompok padat pada vas rekta sebagai respon terhadap adanya selnefrotik. Jika hal ini terjadi maka selsel tubulus hancur terlepasdan menempel pada banyak
nefron, sehingga tidak terdapat pengeluaran urine dari nefron yang tersumbat. Nefron yang terpengaruh sering
gagal mengeksresi urine bahkan ketika aliran darah ginjal kembali pulih normal,selama tubulus masih baik.
Penyebab tersering dari kerusakan epitel tubulus akibat iskemia adalahpenyebab prerenal dari gagal ginjal akut
yang berhubungan dengan syok sirkulasi. Ada banyaksekali racun obat ginjal yang dapat merusak epitel tubulus
dan menyebabkan GGA. Beberapa diantaranya adalah;
a.
b.
c.
d.

Logam besi (timah, mercuri, arsenic, kromium, dan uranium)


Polari duonic (karbon tetraklorida, kloroform)
Glikogen dan glikol, propilen glikol, dieksan, dan dietilen glikon)
Bahan obat (antibiotik sulfonamide, polimiksin, obat anti inflamasi non steroid : diuretic,mercurial,

e.
f.
g.
h.

anestetik-metoksifluran)
Medium kontras iddinated radiografik
Fenol
Pertisida
Parakuat

Manifestasi Klinis
Tanda-tanda ATN :
o
o
o
o
o

Perubahan warna pada urin


Kadar sodium dalam urin meningkat
Sekresi sodium sedikit dan urea relative tinggi
Urine specific gravity, dan osmolaritas urin menunjukkan dilute urin
BUN dan serum kreatin meningkat

Gejala-gejala yang ditimbulkan ATN antara lain :


a.
b.
c.
d.
e.

Penurunan pengeluaran urin atau tidak sama sekali


Pembengkakan ginjal secara menyeluruh, akibat retensi cairan
Mual dan muntah
Terjadinya penurunan kesadaran
Keadaan klinis yang memiliki resiko tinggi berkembang arteri ischemi adalah bedah mayor,luka bakar
parah, perdarahan, serta penyebab hipertensi berat dan syok.

Pemeriksaan Diagnostik
Azotemia diluar prarenal dan pascarenal, intrarenal penyakit ginjal tubulointerstinal, vascular,dan
glomerolus). diagnostik ATN ditegakkan berdasarkan penyakit biasanya segera dilakukanpemeriksaan.
39

Diantaranya :
i.
ii.
iii.
iv.

v.

vi.
vii.
o
o
o
o
o
o
viii.

Kadar ureum
Kreatinin serum
Biopsy ginjal (biasanya menunjukkan NTAtapi jarang digunakan)
Urinalisis dan mikrosopik
Sel-sel tubular menunjukkan adanya nekrosis tubular akut.Proteinuri dapat juga menunjukkan nefritis
interstitial akut, nekrosis tubular, penyakitvascular.
Osmolaritas Urine
Osmolaritas urine lebih dari 500 mOsm/kg jika sebabnya adalah prerenal dan 300 mOsm/kgatau kurang
jika sebabnya renal.
Elektrolit urinary
Dapat memberikan indikasi aktivitas tubulus renal
Pemeriksaan darah
Darah lengkap dan darah tepi dapat menunjukkan gambaran anemia hemolitik atautrombositopeni.
Ureum darah , elektrolit, dan kreatinin
Tes fungsi hati: abnormal pada sindrom hepatorenal
Serum amylase
Kultur darah
Imonologi : tes autoantibody untuk SLE termasuk antinuclear antibody dan antineutrophil.
Renal ultrasound :

Penatalaksanaan
Setelah terjadi ATN, maka pertimbangan primer dalam penanganan adalahmempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Penggunaan hemodialisis dini untukmencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit perlu
diperhatikan dengan cermat, tidak sajaselama stadium oliguria, tetapi juga selama stadium dieresis, dimana
mungkin akan terjadikekurangan natrium dan kalium yang berat.
Komplikasi tersering pada gagal ginjal yang mengakibatkan kematian adalah infeksi. Infeksiikut berperan sebagai
penyebab kematian pada sekitar 70% pasien dan merupakan penyebabprimer pada sekitar 30% pasien. Seorang
penderita uremia tidak saja mudah terserang infeksi,tetapi bila terjadi infeksi maka akan sulit diatasi. Infeksi yang
sudah ada mungkin tidak diketahuikarena tidak adanya gejala-gejala demam yang biasanya menyertai infeksi,
oleh sebab ituhipotermia sering terjadi pada gagal ginjal. Setelah infeksi diketahui, maka harus segera
diobatidengan antibiotik yang tidak nefrotoksik.

40

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
System perkemihan merupakan jaringan organ yang sangat penting karena system tersebut mengatur banyak
fungsi tubuh . apabila terdapat suatu masalah diantara bagian organ dijaringan tersebut, maka fungsi system ini
akan mengganggu organ lainnya.

41

DAFTAR PUSTAKA
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Medscape
Ipd
Dasar-dasar Urologi
Scrib.com
Fisiologi Sherwood
Fisiologi Guyton
Nelson

42

Anda mungkin juga menyukai