Anda di halaman 1dari 3

Masuknya rotavirus ke dalam sel epitel melalui suatu proses yang kompleks

dan bertahap. Terjadi interaksi antara berbagai molekul protein yang berbeda
dibagian permukaan partikel virus dengan berbagai macam molekul yang ada
dipermukaan sel inang, yang bekerja sebagai reseptor. Molekul reseptor terdiri
dari integrin dan protein heat shock yang berhubungan dengan domain mikro
membran lemak dari sel (Lopez & Arias, 2004).
Penyakit diare sebagai akibat infeksi rotavirus dapat terjadi melalui
berbagai mekanisme. Rotavirus melakukan replikasi pada epitel vilus usus halus,
yang menyebabkan hilangnya sel-sel absorptif yang masih viabel. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara fungsi penyerapan dan fungsi
sekresi di daerah usus halus. Akan tetapi pada pemeriksaan invitro dengan
menggunakan jaringan sel hewan coba menunjukkan, bahwa beratnya gejala diare
akibat rotavirus tidak sebanding dengan tingkat replikasi virus dan perubahan
histologi jaringan sel yang terinfeksi. Ini menunjukkan bahwa perlekatan virus
saja pada sel tanpa adanya replikasi sudah cukup menginduksi timbulnya gejala
diare. Penelitian lain yang serupa menunjukkan bahwa bila partikel virus sudah
menembus membran sel, akan terjadi aktivasi jalur signal di dalam sel yang
menyebabkan sekresi dari beberapa kemokin seperti interferon dan faktor
kemotaktik tanpa adanya replikasi virus. Hal ini disebabkan oleh adanya zat yang
menyerupai toksin yang diekskresi ketika terjadi kontak antara rotavirus dengan
sel inang (Rollo dkk, 1999; Shaw dkk, 1995). Hasil penelitian ini didukung pula
oleh hasil peneliti terdahulu, yang memperlihatkan bahwa rotavirus menghasilkan
enterotoksin yang dapat merangsang sistem saraf enterik sehingga terjadi
peningkatan sekresi air dan garam secara berlebihan ke dalam lumen usus
(Mavromichalis dkk, 1977).

Secara histologi perubahan pada jaringan sel akibat infeksi rotavirus ditandai
dengan adanya akumulasi sel-sel enterosit yang mengalami vakuolisasi, apoptosis
dan terjadinya proliferasi yang meningkat pada hari kesatu sampai hari ketujuh
pasca infeksi. Semua proses tersebut menyebabkan vilus atrofi, disamping itu juga
banyak sel yang hilang akibat proses apoptosis. Terjadi juga percepatan masa
penggantian antar sel yang berakibat terbentuknya sel-sel epitel yang kurang
terdeferensiasi yang kesemuanya berakibat pada penurunan fungsi absorpsi dari
sel epitel intestinal (Boshuizaen dkk, 2003).
Sebagian dari sel epitel yang melapisi permukaan dinding usus halus juga
bersifat sebagai sel endokrin penghasil ensim disakharidase. Rusaknya sel epitel
akibat invasi virus, menyebabkan kadar ensim disakharidase usus juga menurun
dan pencernaan disakharida terganggu. Disakharida yang tidak tercerna akan
menarik lebih banyak air sehingga terbentuk bolus ketika tiba di kolon dengan
akibat diare osmotik (Kerzner dkk, 1977). Lundgren dkk (2000) menyimpulkan
bahwa rotavirus menghasilkan enterotoksin yang dapat merangsang sistem saraf enterik sehingga
kadar kalsium di dalam sel meningkat dan keadaan ini akan
menginduksi terjadinya diare sekretorik .

Sistem Kekebalan Mukosa Traktus Gastrointestinal


Sistem pertahanan tubuh dibentuk, salah satunya adalah untuk melindungi
diri dari serangan mikroorganisme patogen. Manusia yang tergolong sebagai
organisme multiseluler memiliki sistem pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik yang muncul lebih awal, disebut juga innate immune system (sistem imun
inat). Bila paparan mikroorganisme berlanjut, maka berkembang sistem
pertahanan tubuh yang bersifat spesifik yang dikenal sebagai adaptive immune
system (sistem imun adaptif). Kedua sistem imun tersebut bekerja dengan
melibatkan berbagai komponen seluler maupun zat terlarut, komunikasi melalui
jaringan kerja suatu substansi pengaturan zat terlarut yaitu sitokin, kemokin dan
faktor komplemen serta berhubungan dengan reseptor yang ada pada sel
(Heesemann , 2002).
Sistem pertahanan mukosa usus menyangkut peran komponen seluler yang
terdiri atas sel-sel limfoid maupun mieloid, yang muncul sebagai akibat paparan
yang terus menerus oleh mikroba patogen di dalam lumen usus halus dan usus
besar. Salah satu di antaranya adalah sel limfoid yang terkumpul di dalam jaringan
limfoid mukosa yang disebut MALT (mucosa associated lymphoid tissue),
merupakan bagian dari kompartemen sistem imun yang paling tinggi di dalam
tubuh dan fungsinya tidak tergantung pada sistem imun sistemik. Secara anatomis
MALT terdiri atas kompartemen mikro yaitu Peyers patches, kelenjar getah bening
mesenterikum, appendik, tonsil, adenoid dan kelenjar getah bening lainnya
(Holmgren & Czekinsky , 2005).
Kompartemen sistem imun lainnya adalah yang bersifat alamiah, terdiri atas
cairan asam lambung, ensim protease, asam empedu, asam lemak rantai pendek
dan laktoferin yang memiliki efek microbicidal. Terdapat pula lapisan musin yang
tebal di permukaan membran mukosa epitel usus yang dapat membuat virus
terperangkap di dalamnya, dan kemudian dihalau keluar oleh adanya gerakan
peristaltik usus yang disebut sebagai proses immune exclusion. Musin juga
mengandung zat-zat yang berguna untuk pertumbuhan jaringan usus yaitu pada
pergantian sel epitel dan deferensiasi sel epitel usus (Levine-LeMoal & Servin,
2006).
Di dalam lumen usus terdapat bakteri komensal (flora normal) yang dapat
menghambat kolonisasi maupun invasi berbagai mikroorganisme patogen
maupun toksin yang dihasilkannya. Flora normal tersebut memiliki fungsi
microbicidal yaitu secara kompetitif mengambil nutrien yang juga dibutuhkan
untuk pertumbuhan mikroba patogen yang masuk ke dalam saluran cerna. Flora
normal usus juga memegang peran utama dalam menstimulasi perkembangan dan
diferensiasi organ limfatik yang membentuk sistem pertahanan spesifik di mukosa
traktus gastrointestinal. Khususnya flora normal yang berada di kolon mempunyai
fungsi prebiotik yaitu sebagai penghasil vitamin K dan vitamin B-kompleks, dan
beberapa sel lemak rantai pendek yang merupakan sumber energi bagi epitel
kolon (Heesemann , 2002).
30
2.4.1. Sistem Imun Non-spesifik Antivirus di Mukosa Usus

Secara pilogenetik sistem pertahanan tubuh yang paling purba adalah sistem
imun nonspesifik, yang memiliki kemampuan mengenal dan merespon serangan
mikroorganisme melalui suatu reseptor (Medzhitov, 2001). Pada mamalia
ditemukan 10 anggota reseptor yang disebut sebagai toll like receptors (TLRs),
yang dapat mengenal komponen mikroorganisme secara spesifik. Bila terjadi
infeksi oleh mikroba patogen, akan terjadi aktivasi terhadap TLRs yang akan
menginduksi respon inflamasi dan memicu berkembangnya sistem imun adaptif
yang bersifat spesifik (Takeda & Akira , 2003).
Jaringan usus adalah salah satu bagian dari saluran cerna yang selalu
berhadapan dengan enteromikroflora yang bersifat patogen. Enteromikroflora
patogen memiliki PAMPs (pathogen associated molecule patterns), yang
merupakan ligand dari mikroba yang dikenal secara spesifik oleh reseptor dari sel
inang. Proses pengenalan ini merupakan signal bagi sel-sel di usus yang terlibat
dalam sistem kekebalan non spesifik (innate immunity) yaitu sel epitel, sel
dendritik maupun sel M (microfold) yang mengekspresi suatu jenis reseptor yang
merupakan bagian dari TLRs (Toll-like receptors). TLRs tersebut akan berikatan
dengan PAMPs yang merupakan petanda dari suatu jenis patogen dan hal ini
merupakan upaya dari sel inang dalam memelihara homeostasis di usus untuk
mencegah terjadinya proses inflamasi (Abreu dkk , 2005).

Anda mungkin juga menyukai