PENDAHULUAN
Batuk kronik berulang pada anak cukup banyak dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Pada pasien anak, gejala batuk yang kronik atau berulang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari, mengurangi nafsu makan, dan pada akhirnya
dapat mengganggu proses tumbuh kembang. Orang tua juga akan terganggu
terutama bila gejala batuk lebih sering dan lebih berat pada malam hari. Batasan
batuk kronik bermacam-macam, ada yang mengambil batas 2 minggu atau 3
minggu. Ada pula yang membagi batuk menjadi batuk akut, subakut, dan kronik.
Antara batuk kronik dan batuk berulang seringkali sulit dibedakan. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) menganut batasan tersendiri yaitu batuk kronik berulang
(b.k.b) yang mencakup pengertian batuk kronik di dalamnya. Dua fungsi utama
batuk, pertama sebagai mekanisme pertahanan respiratorik; kedua sebagai gejala
yang mengindikasikan adanya gangguan/kelainan/penyakit di sistem respiratorik
umumnya, dan sebagian di luar sistem respiratorik. Batuk akan timbul bila
reseptor batuk terangsang. Pada anak, berbagai hal, keadaan, atau penyakit dapat
bermanifestasi sebagai batuk. Sebagian besar etiologi berasal dari sistem
respiratorik, sebagian kecil karena kelainan di sistem non-respiratorik. Untuk
mendeteksi etiologi batuk, pemahaman tentang mekanisme batuk termasuk lokasi
reseptor batuk sangat penting diketahui. Dengan pemahaman itu, kita akan tetap
ingat bahwa batuk kronik juga dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit di
luar sistem respiratorik. Pasien anak dengan batuk kronik dibagi menjadi dua
kelompok, tanpa kelainan dasar yang nyata serta anak relatif tampak sehat, dan
pasien dengan kelainan respiratorik yang nyata. Perlu pula diketahui etiologi yang
sering timbul pada berbagai kelompok umur anak. Langkah diagnostik dimulai
dari penggalian anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yang relevan. Tata laksana batuk kronik pada anak ditujukan kepada
penyakit dasarnya.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batuk adalah suatu refleks dari saluran napas bagian bawah terhadap
stimulasi iritan atau reseptor batuk pada mukosa saluran napas.2
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis yang merupakan fungsi protektif
dari sistem pernafasan manusia. Refleks ini bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir, iritan, partikel asing, maupun
mikroba. Namun, batuk juga merupakan gejala suatu penyakit.3
2.2 Batasan batuk kronik
Mengenai batasan batuk akut dan kronik terdapat beberapa pendapat.
Beberapa penulis mengajukan batas batuk 3 minggu atau lebih sebagai batas
batuk kronik.4 Penulis lain membagi menjadi 3 kelompok. Batuk akut, subakut, dan kronik. Kurang dari 2 minggu termasuk batuk akut, antara 2-4
minggu disebut batuk sub-akut, sedangkan lebih dari 4 minggu disebut batuk
kronik.5 Penulis lain mengusulkan batas akut adalah kurang dari 3 minggu,
subakut antara 3-8 minggu, dan kronik 8 minggu atau lebih.1 Istilah lain yang
berdekatan dengan batuk kronik, yaitu batuk berulang (recurrent cough).
Secara teoritis etiologi batuk kronik berbeda dengan etiologi batuk berulang,
sehingga seharusnya dibedakan secara tegas antara kedua hal tersebut.
Namun dalam praktek sehari-hari seringkali sangat sulit membedakan kedua
hal tersebut, maka dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak dikenal istilah batuk
kronik berulang (BKB) atau chronic recurrent cough. Sebenarnya istilah itu
terdiri dari dua pengertian dengan kata penghubung dan/atau, yaitu tepatnya
batuk kronik dan atau batuk berulang. Pengertiannya bila terpenuhi salah satu
saja maka sudah bisa dimasukkan sebagai BKB. Pada diskusi Kelompok
Pulmonologi Anak dalam Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak
(KONIKA) V tahun 1981 di Medan dan Unit Kerja Koordinasi Respirologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) telah disepakati
bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala
batuk yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan/atau batuk yang
Kelompok II
Penyakit dasar nyata
Penyakit paru supuratif kronik
Aspirasi paru berulang
Benda asing
Bronkiektasis
Defisiensi imun
Diskinesia silia primer
Lesi respirataorik
Trakeobronkomalasia
Tuberkulosis (kompresi oleh
kelenjar getah bening)
Tumor, kolaps lobus, kista,
sekuestrasi
BATUK KRONIK
Rokok pasif
Tumor
Tidak sering
Aspirasi benda asing
Pertusis
Batuk pasca infeksi
Jarang
Aspirasi
Abnormalitas kongenital
Fibrosis sistik
Imunodefisiensi
Primary ciliary dyskinesia
Tuberkulosis
Asma
hari. Meski ringan, namun ada kalanya sangat mengganggu, terutama jika
disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Kebanyakan
bronkitis pada anak yaitu bronkitis akut yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan
puncak 9-15 tahun, sedangkan bronkitis kronis dapat terjadi pada semua usia
namun lebih banyak > 45 tahun.14 Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak
dapat berwarna jernih, putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk,
bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini:
Demam (biasanya ringan)
Sesak napas, rasa berat bernapas
Bunyi napas mengi
Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi
saluran pernafasan lainnya. Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti
gejalagejala infeksi saluran respiratori seperti rinitis dan faringitis. Batuk
biasanya muncul 3 4 hari setelah rinitis. Batuk pada mulanya keras dan
kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan
produktif.
Karena
anakanak biasanya
tidak
membuang
lendir
tapi
menelannya, maka dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan
memuncak. Pada anak yang lebih besar, keluhan utama dapat berupa produksi
sputum dengan batuk serta nyeri dada pada keadaaan yang lebih berat. 14,15
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.
Seiring
macam ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara
kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan
corakan bronkial. Pada umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari.
Bila tanda tanda klinis menetap hingga 2 3 minggu, perlu dicurigai adanya
infeksi kronis. Selain itu dapat pula terjadi infeksi sekunder.14,15
Bronkitis bakterial persisten (BBP) ditandai dengan adanya batuk
produktif kronik disertai resolusi dengan pemberian antibiotik yang adekuat
seperti Amoksisilin-klavulanat yang diberikan selama 2 minggu, namun
beberapa pasien membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beresolusi, yaitu
4-6 minggu. Apabila BBP tidak respon terhadap antibiotik, maka diperlukan
pemeriksaan
lebih
lanjut
untuk
menyingkirkan
kondisi
lain
seperti
10
persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahanperubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos
brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Brokus yang terkena
umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus besar umumnya
jarang. Etiologi bronkiektasis tersering adalah fibrosis sistik, yaitu penyakit
autosomal resesif dengan kelainan utama pada paru dengan gambaran umum
bronkiektasis. Bronkiektasis berhubungan dengan fibrosis kistik terjadi secara
sekunder karena terkumpulnya mukus pada jalan napas bagian atas dan
terjadinya infeksi kronis. Pada bronkiektasis dengan penyebab infeksi yang
merupakan penyebab tersering, dilatasi pada bronkus terjadi karena destruksi
pada dinding bronkus. Peradangan saluran napas terutama dimediasi oleh
neutrofil dan menghasilkan enzim seperti elastase dan matriks metaloproteinase.
Komponen dinding bronkus seperti tulang rawan, otot, silia dan jaringan elastis
hancur dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Dinding bronkus yang telah terjadi
dilatasi banyak mengandung sekret purulen yang pengeluarannya terganggu
karena rusaknya silia sehingga dapat menyumbat aliran udara.21
Gejala klinis bronkiektasis pada anak adalah batuk kronik produktif yang
durasinya > 6 minggu, biasanya diantara infeksi virus (Apabila ada kecurigaan
aspirasi benda asing, harus dilakukan rontgen toraks setelah 2 minggu);
wheezing yang tidak respon terhadap terapi, resolusi parsial dari pneumonia
berat atau pneumonia berulang, crackles persisten, sesak napas, gangguan
pertumbuhan (failure to thrive).22
Post-nasal drip
Post-nasal drip dapat menyebabkan batuk kronik pada anak. Namun,
mekanismenya masih belum diketahui pasti. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa sekret dari hidung atau sinus yang mengalir ke hipofaring dan laring
dapat menstimulasi reseptor batuk lokal. Pada penelitian yang dilakukan oleh
WJ Fokkens dapat diketahui dari 60% pasien sinusitis kronis atau polip yang
sering mengalami post-nasal drip, 74% nya mengalami batuk kronik.17
Post-nasal drip adalah gejala, bukan penyakit. Diagnosis bandingnya
sangat luas, termasuk rinitis alergika, rinitis vasomotor, infeksi virus atau
bakteri, dan polip hidung.17
11
Kompresi pada
trakea seperti vascular rings, kista, hemangioma, dan massa mediastinum juga
dapat menyebabkan batuk kronik. Seiring berjalannya waktu (seringkali dalam
tahun), kartilago trakea menjadi lebih kuat dan gejala batuk akan berkurang.7,17
Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis harus dipikirkan pada pasien dengan batuk kronik
produktif, batuk darah, demam, penurunan berat badan, pasien yang tinggal di
lingkungan prevalensi tinggi TBC, dan pasien dengan resiko seperti
imunodefisiensi. Pemeriksaan fisik dan penunjang (rontgen toraks) anak dengan
12
TBC mungkin normal, karena itu pemeriksaan seperti sputum dan mantoux
dapat membantu diagnosis.23
Iritasi liang telinga luar
Iritasi cabang aurikula dari nervus vagus dapat menstimulasi batuk.
Refleks ini ditemukan pada 2.3% pasien dan dapat distimulasi dengan palpasi
dinding postero-inferior meatus akustikus eksternus. Serumen, benda asing yang
ada pada membran timpani juga dapat menstimulasi batuk. Iritasi liang telinga
luar dapat dilihat dengan pemeriksaan otoskop. Pengeluaran iritan dari liang
telinga luar akan mengurangi gejala batuk dalam beberapa hari.17
Psikogenik
Batuk psikogenik memiliki karakteristik batuk kronik kering tanpa adanya
penyakit yang mendasari atau yang biasa disebut batuk tic-like (batuk kering
berulang yang menetap setelah infeksi saluran pernapasan yang tidak begitu
parah) atau terdengar seperti bunyi klakson (honking cough). Batuk biasanya
terjadi pada aktivitas siang hari dan menghilang saat tidur. Terapi seperti
pengalihan perhatian anak terhadap batuknya dan hipnosis dapat dilakukan.17
2.5 Pendekatan diagnostik
Anamnesis
Langkah awal penilaian anak dengan batuk kronik berulang adalah
menentukan karakteristik batuk. Perlu ditanyakan apakah batuk produktif atau
kering, tunggal atau berturutan. Pertanyaan lain meliputi kapan batuk, apakah
lebih sering terjadi dari pada biasa, apakah timbul pada malam hari, apakah
mengganggu tidur, bagaimana bunyi batuk, apakah ada gejala penyerta, (demam,
mengi, sesak), apakah sebelumnya pernah terjadi dengan pola yang sama? Hal
lain yang perlu digali, apakah ada hal yang memperberat atau meringankan
gejala. Secara khusus tanyakan pencetus yang lazim pada asma (aktivitas,
tertawa, menangis, pajanan udara dingin, perubahan cuaca, debu, asap rokok,
asap dapur, asap obat nyamuk, atau rontokan bulu binatang) dan apakah
memperburuk gejala. Pertanyaan lain meliputi terapi apa yang pernah didapat,
dan bagaimana hasilnya. Perlu digali pula adanya gejala lain yang menyertai
13
Kemungkinan diagnosis
Aspirasi benda asing
kualitas Produktif
Batuk
mendadak Pertussis
spasmodik diikuti bunyi
whoop dan muntah
Batuk darah
Fibrosis sistik
Brokiektasis
Aspirasi benda asing
Tuberkulosis
Tumor
Hemosiderosis pulmonal
Malformasi arteriovena
Pemicu
Infeksi
virus
berulang
Kering (kadang Makan,
produktif),
minum,
paroksismal,
gerakan,
diikuti
atau emosi
tanpa
bunyi
whoop
dan
muntah
Batuk
seperti Di
bunyi klakson sekolah
(honking)
Kering
atau Aktivitas
produktif
, malam
Waktu/musi
m
Sepanjang
hari, musim
dingin
Sepanjang hari
Durasi
3-4
bulan
Pertussis
Pagi,
siang;
menghilang
saat tidur
Pagi
dan
malam, musim
Minggu
-bulan
Psikogenik
Minggu
-tahun
Asma
2-4
minggu
Kemungkinan
diagnosis
Infeksi postviral
15
dingin
Perokok pasif
Malam hari
GERD
Tahun
Bronkitis
bakterial
persisten,
Bronkiektasis
(Fibrosis
sistik),
diskinesia silia,
TBC
16
dan reaksi hipersensitivitas lainnya pada paru-paru. Infiltrat pada radiografi dada
dapat menunjukkan fibrosis sistik, bronkiektasis, benda asing, hipersensitivitas
pneumonitis, atau tuberkulosis. Apabila pasien dengan kemungkinan diagnosis
asma, dapat dipastikan dengan uji bronkodilator. Apabila batuk tidak respon
terhadap terapi, prosedur diagnostik spesifik lainnya dapat dilakukan, seperti
evaluasi imunologik dan alergi, radiologi dada dan sinus paranasal, esofagogram,
uji pada gastroesofageal refluks, tes mikrobiologi seperti rapid viral testing,
evaluasi morfologi silia, dan bronkoskopi. Pemeriksaan spesimen sputum dapat
membantu evaluasi batuk kronik berulang. Sputum eosinofilia menunjukkan
asma,
bronkitis
asmatik,
atau
hipersensitivitas
pada
paru-paru.
Sel
Pemeriksaan penunjang
Rontgen toraks
18
Pertusis
Asma
Post-nasal drip
Fibrosis sistik
Imunodefisiensi
oesophageal fistula)
lavage, oesophagoscopy
Tuberkulosis
19
2.6 Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai
etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik
merupakan pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator
sebagai obat utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan
tertentu diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik,
fisioterapi, dan lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi
dalam 2 kelompok besar yaitu farmakologik dan non farmakologik.
a. Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama
dan obat suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik,
20
21
BAB IV
KESIMPULAN
Batuk kronik berulang adalah batuk dengan durasi 2 minggu atau lebih
dan/atau batuk yang berulang sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut,
dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik atau non-respiratorik lainnya.
Untuk menentukan etiologi batuk kronik berulang, dapat didahului oleh
22
spekulasi etiologi yang paling sering di masyarakat (asma, GERD, dan infeksi
saluran napas atas atau bawah), kemudian dilakukan pendekatan diagnostik
dengan cara anamnesis mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti, dan dari situ
dapat ditentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis kerja. Etiologi
yang jarang terdapat di masyarakat memang agak sulit untuk ditegakkan
diagnosisnya, sehingga pemeriksaan penunjang yang dapat menjadi gold
standart untuk penyakit tersebut harus dilakukan. Tatalaksana batuk kronik
tergantung dari penyakit yang mendasarinya dengan mempertimbangkan usia
sebagai faktor pertimbangan untuk mencari etiologi. Selain tatalaksana
farmakologik diperlukan tatalaksana non farmakologik untuk menunjang
tatalaksana secara komprehensif dalam penanganan batuk kronik.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
DAFTAR PUSTAKA
Setyanto, DB. Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tatalaksana. Sari
Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70.
Kliegman RM, Stanton BF, Geme ST, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011; p. 376.
Guyton AC. Textbook of Medical Physiology 11th Edition. Philadephia:
Elsevier, 2006.
De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58:
998-1003.
Irwin RS, Madison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J
Med 2000; 343: 1715-21.
Supriyatno B. Batuk Kronik pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6,
Juni 2010.
De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58:
998-1003.
23
8. Joseph J, Benich, Carek JP. Evaluation of the Patient with Chronic Cough.
American Family Physician. Volume 84, Number 8 October 15, 2011.
9. Levya ML, Fletcher MB, Pricec DB, Hausend T, Halbert RJ, Yawng BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
Diagnosis of respiratory diseases in primary care. Primary Care
Respiratory Journal (2006) 15, 2034.
10. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, FitzGeralde
M, et al. Global strategy for asthma management and prevention: GINA
executive summary. Eur Respir J 2008; 31: 143178.
11. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and
prevention asthma in children. 2005.
12. Konsensus Nasional Anak Asma. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi,
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50
66.
13. Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, et al. Interpretative strategies for lung
function tests. Eur Respir J 2005; 26: 948968.
14. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP
Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal.
2006;129;95S-103S.
15. Kliegman RM, Stanton BF, Geme ST, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011; p. 382.
16. Shields MD, Thavagnanam S. The Difficulty Coughing Child: Prolonged
Acute Cough in Children. Shields and Thavagnanam Cough 2013, 9:11.
17. Morice AH, Fontana GA, Sovijarvi ARA, Pistolesi M, Chung KF,
Widdicombe J. The diagnosis and management of chronic cough. Eur
Respir J 2004; 24: 481492
18. Alberto E. Tozzi, Celentano LP, Atti LC, Salmaso S. Diagnosis and
Management of Pertussis. CMAJ. FEB. 15, 2005; 172 (4).
19. Orenstein S, Peters J, Khan S, Youssef S, Hussain Z. Gastroesophageal
Reflux Disease. In: Nelson Textbookof Pediatrics. Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. 18 th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2007.
20. Sylvester DC, Karkos PD, Vaughan C, Johnston J, Dwivedi RC, Atkinson
H, and Kortequee S. Review article: Chronic Cough, Reflux, Postnasal
Drip Syndrome, and the Otolaryngologist. International Journal of
Otolaryngology.
21. King PT. The Patophysiology of Bronchiectasis. International Journal of
COPD 2009:4 411419.
22. McNamara D. Brochiectasis: rates still increasing among Pacific people.
BPJ issue 46.
23. Pottermore PK. Persistent cough in children. Nzfp vol 34 number 6,
December 2007.
24. Lubis HM. Batuk Kronik Berulang (BKB) pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Sumatera Utara. 2005.
24
25