Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Batuk kronik berulang pada anak cukup banyak dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Pada pasien anak, gejala batuk yang kronik atau berulang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari, mengurangi nafsu makan, dan pada akhirnya
dapat mengganggu proses tumbuh kembang. Orang tua juga akan terganggu
terutama bila gejala batuk lebih sering dan lebih berat pada malam hari. Batasan
batuk kronik bermacam-macam, ada yang mengambil batas 2 minggu atau 3
minggu. Ada pula yang membagi batuk menjadi batuk akut, subakut, dan kronik.
Antara batuk kronik dan batuk berulang seringkali sulit dibedakan. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) menganut batasan tersendiri yaitu batuk kronik berulang
(b.k.b) yang mencakup pengertian batuk kronik di dalamnya. Dua fungsi utama
batuk, pertama sebagai mekanisme pertahanan respiratorik; kedua sebagai gejala
yang mengindikasikan adanya gangguan/kelainan/penyakit di sistem respiratorik
umumnya, dan sebagian di luar sistem respiratorik. Batuk akan timbul bila
reseptor batuk terangsang. Pada anak, berbagai hal, keadaan, atau penyakit dapat
bermanifestasi sebagai batuk. Sebagian besar etiologi berasal dari sistem
respiratorik, sebagian kecil karena kelainan di sistem non-respiratorik. Untuk
mendeteksi etiologi batuk, pemahaman tentang mekanisme batuk termasuk lokasi
reseptor batuk sangat penting diketahui. Dengan pemahaman itu, kita akan tetap
ingat bahwa batuk kronik juga dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit di
luar sistem respiratorik. Pasien anak dengan batuk kronik dibagi menjadi dua
kelompok, tanpa kelainan dasar yang nyata serta anak relatif tampak sehat, dan
pasien dengan kelainan respiratorik yang nyata. Perlu pula diketahui etiologi yang
sering timbul pada berbagai kelompok umur anak. Langkah diagnostik dimulai
dari penggalian anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yang relevan. Tata laksana batuk kronik pada anak ditujukan kepada
penyakit dasarnya.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Batuk adalah suatu refleks dari saluran napas bagian bawah terhadap
stimulasi iritan atau reseptor batuk pada mukosa saluran napas.2
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis yang merupakan fungsi protektif
dari sistem pernafasan manusia. Refleks ini bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir, iritan, partikel asing, maupun
mikroba. Namun, batuk juga merupakan gejala suatu penyakit.3
2.2 Batasan batuk kronik
Mengenai batasan batuk akut dan kronik terdapat beberapa pendapat.
Beberapa penulis mengajukan batas batuk 3 minggu atau lebih sebagai batas
batuk kronik.4 Penulis lain membagi menjadi 3 kelompok. Batuk akut, subakut, dan kronik. Kurang dari 2 minggu termasuk batuk akut, antara 2-4
minggu disebut batuk sub-akut, sedangkan lebih dari 4 minggu disebut batuk
kronik.5 Penulis lain mengusulkan batas akut adalah kurang dari 3 minggu,
subakut antara 3-8 minggu, dan kronik 8 minggu atau lebih.1 Istilah lain yang
berdekatan dengan batuk kronik, yaitu batuk berulang (recurrent cough).
Secara teoritis etiologi batuk kronik berbeda dengan etiologi batuk berulang,
sehingga seharusnya dibedakan secara tegas antara kedua hal tersebut.
Namun dalam praktek sehari-hari seringkali sangat sulit membedakan kedua
hal tersebut, maka dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak dikenal istilah batuk
kronik berulang (BKB) atau chronic recurrent cough. Sebenarnya istilah itu
terdiri dari dua pengertian dengan kata penghubung dan/atau, yaitu tepatnya
batuk kronik dan atau batuk berulang. Pengertiannya bila terpenuhi salah satu
saja maka sudah bisa dimasukkan sebagai BKB. Pada diskusi Kelompok
Pulmonologi Anak dalam Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak
(KONIKA) V tahun 1981 di Medan dan Unit Kerja Koordinasi Respirologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) telah disepakati
bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala
batuk yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan/atau batuk yang

berulang sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut, dengan atau tanpa


disertai gejala respiratorik atau non-respiratorik lainnya.1
2.3 Epidemiologi
Untuk menentukan etiologi batuk kronik berulang, faktor usia merupakan
petunjuk yang cukup penting, misalnya pada bayi sebagai penyebab utama
adalah GER (gastro-esophageal reflux) sedangkan pada anak yang lebih
besar, asma sebagai penyebab utama.6
2.4 Diagnosis banding batuk kronik berulang pada anak
Tabel 1. Diagnosis banding batuk kronik berulang pada anak.7
Kelompok I
Anak relatif tampak sehat
Bronkitis akut viral berulang
Batuk pasca infeksi
Pertussis and tussis like cough
Asma
Post-nasal drip
Refluks gastro-esofagus
Psikogen

Kelompok II
Penyakit dasar nyata
Penyakit paru supuratif kronik
Aspirasi paru berulang
Benda asing
Bronkiektasis
Defisiensi imun
Diskinesia silia primer
Lesi respirataorik
Trakeobronkomalasia
Tuberkulosis (kompresi oleh
kelenjar getah bening)
Tumor, kolaps lobus, kista,
sekuestrasi

Tabel 2. Diagnosis banding batuk kronik berulang pada anak.2


BATUK BERULANG
Reaktivitas bronkus; alergi (asma)
Drainase dari saluran napas bagian atas
Infeksi saluran napas yang sering dan berulang pada pasien dengan
imunodefisiensi

BATUK KRONIK

Hipersensitivitas reseptor batuk pasca infeksi


Asma
Sinusitis kronik
Bronkitis, trakeitis karena infeksi kronik. Biasanya pada perokok aktif
maupun pasif
Bronkiektasis, termasuk cystic fibrosis, primary ciliary dyskinesia,
immunodefisiensi
Aspirasi benda asing
Aspirasi berulang karena faring inkompeten, tracheolaryngoesophageal
cleft, fistula trakeoesofageal
Refluks gastro-esofagus
Pertussis
Tekanan pada traktus trakeobronkial (vascular ring, neoplasma, kelenjar
getah bening, kista paru-paru)
Trakeomalasia, bronkomalasia
Tumor endobronkial atau endotrakeal
Tuberkulosis endobrokial
Psikogenik
Iritan yang terinhalasi. Misalnya tembakau
Iritasi liang telinga luar

Tabel 3. Diagnosis banding batuk kronik berulang berdasarkan usia.1


Bayi
Kongenital
- Trakeomalasia
- Vascular ring
Infeksi:
- Pertusis, virus
- Klamidia
Asma
Pneumonia aspirasi
GER

Anak (usia muda)


Aspirasi
Pasca infeksi virus
Asma
Tuberkulosis
Pertusis
OMSK
GER
Bronkiektasis

Anak (usia lebih tua)


Asma
Rokok (aktif)
Postnasal drip
Pasca infeksi virus
Infeksi
Tuberkulosis
OMSK
Bronkiektasis
Psikogenik
4

Rokok pasif

Tumor

Tabel 4. Diagnosis banding batuk kronik berulang pada anak berdasarkan


frekuensi.8
Sering
Asma
GERD
Infeksi saluran napas
atas/bawah

Tidak sering
Aspirasi benda asing
Pertusis
Batuk pasca infeksi

Jarang
Aspirasi
Abnormalitas kongenital
Fibrosis sistik
Imunodefisiensi
Primary ciliary dyskinesia
Tuberkulosis

Asma

Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan Asma sebagai


gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak peran sel, khususnya sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi tersebut dapat
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang
paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan
nafas terhadap berbagai rangsangan.9,10,11
Diagnosis klinis Asma dapat dipikirkan apabila ada gejala seperti sesak
napas atau kesulitan bernapas, batuk, dan mengi berulang. Gejala episodik
tersebut dapat terjadi setelah terpapar alergen atau iritan seperti asap rokok;
aktivitas fisik, dan perubahan musim. Riwayat penyakit atopi pada pasien
ataupun keluarganya juga sangat membantu dalam penegakkan diagnosis.12
Cough-variant Asthma (pasien Asma yang memiliki keluhan utama batuk
kronik) sering terjadi pada anak dan batuk lebih parah pada malam hari.10,11
Pemeriksaan fisik abnormal yang paling sering ditemukan pada pasien
Asma adalah wheezing saat auskultasi, yang menandakan adanya keterbatasan
aliran udara. Namun, pada beberapa pasien Asma, wheezing dapat tidak
terdengar atau hanya terdengar saat pasien melakukan ekspirasi paksa.10,11,12

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien usia diatas 5 tahun


adalah pemeriksaan fungsi paru untuk melihat adanya keterbatasan aliran udara,
abnormalitas fungsi paru yang reversibel, dan membantu penegakkan diagnosis.
Instruksi kepada pasien untuk melakukan ekspirasi paksa sangat penting untuk
diperhatikan. Derajat volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang
mengindikasikan diagnosis Asma adalah 12% dan 200 mL dari nilai sebelum
pemberian bronkodilator. Pemeriksaan untuk melihat adanya keterbatasan aliran
udara adalah dengan rasio FEV1 dengan kapasitas vital paksa (FVC). Rasio
normal pada anak adalah 0.90, apabila hasilnya kurang dari nilai normal, hal itu
menandakan adanya keterbatasan aliran udara. Arus ekspirasi puncak (PEF) juga
bermanfaat untuk diagnosis dan monitor penyakit Asma.13

Bagan 1. Alur diagnostik Asma pada anak.12


Bronkitis
Bronkitis adalah peradangan (inflamasi) pada selaput lendir (mukosa)
bronkus (saluran pernafasan dari trakea hingga saluran napas di dalam paruparu). Peradangan ini mengakibatkan permukaan bronkus membengkak
(menebal) sehingga saluran pernapasan relatif menyempit. Bronkitis terbagi atas
2 jenis, yakni: bronkitis akut dan bronkitis kronis. Perlu diingat bahwa istilah
akut dan kronis adalah terminologi (istilah) berdasarkan durasi berlangsungnya
penyakit, bukan berat ringannya penyakit. Bronkitis akut pada umumnya ringan.
Berlangsung singkat (beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14

hari. Meski ringan, namun ada kalanya sangat mengganggu, terutama jika
disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Kebanyakan
bronkitis pada anak yaitu bronkitis akut yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan
puncak 9-15 tahun, sedangkan bronkitis kronis dapat terjadi pada semua usia
namun lebih banyak > 45 tahun.14 Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak
dapat berwarna jernih, putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk,
bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini:
Demam (biasanya ringan)
Sesak napas, rasa berat bernapas
Bunyi napas mengi
Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi
saluran pernafasan lainnya. Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti
gejalagejala infeksi saluran respiratori seperti rinitis dan faringitis. Batuk
biasanya muncul 3 4 hari setelah rinitis. Batuk pada mulanya keras dan
kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan
produktif.

Karena

anakanak biasanya

tidak

membuang

lendir

tapi

menelannya, maka dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan
memuncak. Pada anak yang lebih besar, keluhan utama dapat berupa produksi
sputum dengan batuk serta nyeri dada pada keadaaan yang lebih berat. 14,15
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.
Seiring

perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai

macam ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara
kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan
corakan bronkial. Pada umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari.
Bila tanda tanda klinis menetap hingga 2 3 minggu, perlu dicurigai adanya
infeksi kronis. Selain itu dapat pula terjadi infeksi sekunder.14,15
Bronkitis bakterial persisten (BBP) ditandai dengan adanya batuk
produktif kronik disertai resolusi dengan pemberian antibiotik yang adekuat
seperti Amoksisilin-klavulanat yang diberikan selama 2 minggu, namun
beberapa pasien membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beresolusi, yaitu
4-6 minggu. Apabila BBP tidak respon terhadap antibiotik, maka diperlukan
pemeriksaan

lebih

lanjut

untuk

menyingkirkan

kondisi

lain

seperti

imunodefisiensi, fibrosis sistik, diskinesia silia primer, atau penyakit paru


supuratif kronik.16
Batuk pasca infeksi
Batuk pasca infeksi dapat menjadi kronik dan menetap. Namun, pasien
harus mengalami periode pendek bebas batuk diantara infeksi yang dialami.
Batuk pasca infeksi sering dialami anak yang tinggal di lingkungan padat
penduduk dan terpapar asap rokok. Beberapa infeksi virus dan bakteri atipikal
dapat menyebabkan penyakit ini dalam bentuk pertussis-like syndrome. Pada
balita dan anak, Pertussis-like syndrome dapat disebabkan oleh Chlamydia,
Cytomegalovirus, dan Ureaplasma urealytica. Batuk pada penyakit ini
seringkali bersifat spasmodik (mendadak, sebentar, interval ireguler) dan
pasien sering tersedak, yang mengakibatkan bunyi whoop.17
Apabila gejala pertusis menetap dan tidak respon terhadap terapi, perlu
dipikirkan ke arah TBC. Tuberkulosis dapat mengakibatkan batuk kronik,
terutama bila ada infeksi sekunder dari saluran napas yang ditandai dengan
penonjolan atau perforasi kelenjar getah bening. 17
Pertussis
Pertussis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh
Bordetella pertussis. Gejala klinis muncul setelah masa inkubasi, yaitu fase
kataral yang berlangsung selama 1-2 minggu. Pada fase ini pasien sangat
menular. Saat fase kataral hampir selesai, batuk lebih parah baik dari frekuensi
atau intensitas. Fase berikutnya adalah paroksismal yang berlangsung selama 3-6
minggu, yang ditandai dengan batuk whoop, muntah, sianosis, sampai apnea.
Gejala akan mereda saat fase konvalesen, yang dapat berlangsung hingga
beberapa bulan. Gejala klinis dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia, jenis
kelamin, dan status imunisasi. Frekuensi penderita Pertussis meningkat pada
anak yang terlalu kecil saat divaksin, anak usia muda, dan dewasa. Hal ini terjadi
karena imunitas terhadap Pertussis yang mulai menurun saat anak mulai besar.18
Pemeriksaan kultur dan polymerase chain reaction dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi infeksi B. pertussis, namun sensitivitasnya hanya tinggi pada
fase awal penyakit.18
Refluks gastro-esofagus

Refluks gastro-esofagus (GERD) merupakan kelainan esofagus yang


sering ditemukan. Pada refluks gastroesofagus terjadi pergerakan isi gaster
secara retrogard ke esofagus melalui sfingter esofagus distal. Walaupun
terkadang refluks ini sifatnya fisiologis, pada GERD fenomena ini terjadi dalam
episode yang sering dan persisten dan menyebabkan esofagitis atau gangguan
esofagus lain serta dapat menyebabkan sekuel gangguan pernafasan. Transient
Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR) merupakan mekanisme
primer yang menyababkan refluks, hal ini diatur oleh refleks vasovagal yang
serabut eferennya mengatur Lower Esophageal Sphincter (LER). Distensi gaster
(sehabis makan, penuh udara) merupakan stimulus utama terjadinya TLESR.
Faktor lain seperti obesitas, makanan dengan volume besar, batuk dan mengi
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam gaster. Isi gaster (bersifat
asam) yang refluks ke esofagus dapat menyebabkan inflamasi dan dapat
menyebabkan gangguan pada saluran nafas bawah bila masuk ke laring dan
bronkus.19
Pada bayi, manifestasi klinisnya adalah tanda-tanda esofagitis (rewel, tidak
mau makan, tersedak), regurgitasi, dan menyebabkan gagal tumbuh. Gejala
hilang secara spontan pada usia 12-24 bulan. Pada anak yang lebih besar dapat
mengeluh nyeri perut dan dada. Gejala sistem respirasi berbeda pasa setiap usia.
Pada bayi gejala yang terjadi seperti apnea obstruktif atau stridor karena terjadi
komplikasi laringomalasia. Pada anak lebih tua gejala yang sering terjadi adalah
asma, laringitis dan sinusitis.19 Batuk pada GERD dapat terjadi karena beberapa
mekanisme; (1) regurgitasi isi lambung yang bersifat asam ke laringofaring
dapat menyebabkan inflamasi yang berpengaruh terhadap sensitisasi saraf
perifer yang mengatur batuk, (2) Batuk dapat terjadi karena stimulasi dari
mikro atau silent aspirasi, yang diakibatkan oleh aktivasi direk reseptor
batuk di trakeobronkial oleh refluks isi lambung, (3) Refluks esofagus distal
mengakibatkan batuk melalui stimulasi vagal, yang diketahui sebagai refleks
esofago-bronkial.20
Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,

10

persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahanperubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos
brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Brokus yang terkena
umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus besar umumnya
jarang. Etiologi bronkiektasis tersering adalah fibrosis sistik, yaitu penyakit
autosomal resesif dengan kelainan utama pada paru dengan gambaran umum
bronkiektasis. Bronkiektasis berhubungan dengan fibrosis kistik terjadi secara
sekunder karena terkumpulnya mukus pada jalan napas bagian atas dan
terjadinya infeksi kronis. Pada bronkiektasis dengan penyebab infeksi yang
merupakan penyebab tersering, dilatasi pada bronkus terjadi karena destruksi
pada dinding bronkus. Peradangan saluran napas terutama dimediasi oleh
neutrofil dan menghasilkan enzim seperti elastase dan matriks metaloproteinase.
Komponen dinding bronkus seperti tulang rawan, otot, silia dan jaringan elastis
hancur dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Dinding bronkus yang telah terjadi
dilatasi banyak mengandung sekret purulen yang pengeluarannya terganggu
karena rusaknya silia sehingga dapat menyumbat aliran udara.21
Gejala klinis bronkiektasis pada anak adalah batuk kronik produktif yang
durasinya > 6 minggu, biasanya diantara infeksi virus (Apabila ada kecurigaan
aspirasi benda asing, harus dilakukan rontgen toraks setelah 2 minggu);
wheezing yang tidak respon terhadap terapi, resolusi parsial dari pneumonia
berat atau pneumonia berulang, crackles persisten, sesak napas, gangguan
pertumbuhan (failure to thrive).22
Post-nasal drip
Post-nasal drip dapat menyebabkan batuk kronik pada anak. Namun,
mekanismenya masih belum diketahui pasti. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa sekret dari hidung atau sinus yang mengalir ke hipofaring dan laring
dapat menstimulasi reseptor batuk lokal. Pada penelitian yang dilakukan oleh
WJ Fokkens dapat diketahui dari 60% pasien sinusitis kronis atau polip yang
sering mengalami post-nasal drip, 74% nya mengalami batuk kronik.17
Post-nasal drip adalah gejala, bukan penyakit. Diagnosis bandingnya
sangat luas, termasuk rinitis alergika, rinitis vasomotor, infeksi virus atau
bakteri, dan polip hidung.17

11

Aspirasi benda asing


Aspirasi benda asing sering terjadi pada anak usia < 24 bulan. Diagnosis
dapat diperkirakan apabila ada riwayat tersedak yang diikuti batuk
berkepanjangan dan pneumonia yang tidak beresolusi. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan wheezing dan suara napas yang menghilang. Aspirasi benda
asing dapat berlanjut menjadi batuk kronik, pneumonia berulang, hingga
bronkiektasis.16
Penanganan segera pada aspirasi benda asing adalah endoskopi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut.16
Diskinesia silia primer
Abnormalitas fungsi silia kongenital mengganggu klirens saluran
pernapasan dan menyebabkan gejala respiratorik kronik seperti batuk. Diagnosis
penyakit ini harus dipikirkan pada anak dengan kombinasi infeksi telinga,
hidung, tenggorokan, dan saluran pernapasan bawah yang tidak biasa. Situs
inversus terdapat pada 50% pasien dengan diskinesia silia primer dan
kemungkinan dapat dideteksi sebelum kelahiran dengan ekokardiografi rutin.17
Anomali trakeobronkial
Anomali
trakeobronkial
dapat
menyebabkan
batuk
kronik.
Trakeobronkomalasia dapat berdiri sendiri atau bagian dari suatu sindrom,
seperti VACTERL. Trakeo-esofageal fistula (TOF) atau laryngeal cleft
menyebabkan batuk akibat aspirasi, terutama saat makan. Berbagai penyebab
kompresi saluran napas atau stenosis, termasuk di dalamnya coarctation of the
aorta, malformasi pembuluh darah juga dapat menyebabkan batuk kronik. Anak
akan mengalami batuk seal-like seperti menggonggong.

Kompresi pada

trakea seperti vascular rings, kista, hemangioma, dan massa mediastinum juga
dapat menyebabkan batuk kronik. Seiring berjalannya waktu (seringkali dalam
tahun), kartilago trakea menjadi lebih kuat dan gejala batuk akan berkurang.7,17
Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis harus dipikirkan pada pasien dengan batuk kronik
produktif, batuk darah, demam, penurunan berat badan, pasien yang tinggal di
lingkungan prevalensi tinggi TBC, dan pasien dengan resiko seperti
imunodefisiensi. Pemeriksaan fisik dan penunjang (rontgen toraks) anak dengan

12

TBC mungkin normal, karena itu pemeriksaan seperti sputum dan mantoux
dapat membantu diagnosis.23
Iritasi liang telinga luar
Iritasi cabang aurikula dari nervus vagus dapat menstimulasi batuk.
Refleks ini ditemukan pada 2.3% pasien dan dapat distimulasi dengan palpasi
dinding postero-inferior meatus akustikus eksternus. Serumen, benda asing yang
ada pada membran timpani juga dapat menstimulasi batuk. Iritasi liang telinga
luar dapat dilihat dengan pemeriksaan otoskop. Pengeluaran iritan dari liang
telinga luar akan mengurangi gejala batuk dalam beberapa hari.17

Psikogenik
Batuk psikogenik memiliki karakteristik batuk kronik kering tanpa adanya
penyakit yang mendasari atau yang biasa disebut batuk tic-like (batuk kering
berulang yang menetap setelah infeksi saluran pernapasan yang tidak begitu
parah) atau terdengar seperti bunyi klakson (honking cough). Batuk biasanya
terjadi pada aktivitas siang hari dan menghilang saat tidur. Terapi seperti
pengalihan perhatian anak terhadap batuknya dan hipnosis dapat dilakukan.17
2.5 Pendekatan diagnostik
Anamnesis
Langkah awal penilaian anak dengan batuk kronik berulang adalah
menentukan karakteristik batuk. Perlu ditanyakan apakah batuk produktif atau
kering, tunggal atau berturutan. Pertanyaan lain meliputi kapan batuk, apakah
lebih sering terjadi dari pada biasa, apakah timbul pada malam hari, apakah
mengganggu tidur, bagaimana bunyi batuk, apakah ada gejala penyerta, (demam,
mengi, sesak), apakah sebelumnya pernah terjadi dengan pola yang sama? Hal
lain yang perlu digali, apakah ada hal yang memperberat atau meringankan
gejala. Secara khusus tanyakan pencetus yang lazim pada asma (aktivitas,
tertawa, menangis, pajanan udara dingin, perubahan cuaca, debu, asap rokok,
asap dapur, asap obat nyamuk, atau rontokan bulu binatang) dan apakah
memperburuk gejala. Pertanyaan lain meliputi terapi apa yang pernah didapat,
dan bagaimana hasilnya. Perlu digali pula adanya gejala lain yang menyertai
13

batuk, apakah anak mengalami gangguan tumbuh kembang, apakah batuk


mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup anak.1,24

Tabel 5. Anamnesis untuk mengarah ke diagnosis batuk kronik.25


Anamnesis
Contoh
Bagaimana
batuk Sangat akut
pertama kali muncul?
Didahului ISPA

Kemungkinan diagnosis
Aspirasi benda asing

Infeksi paska virus

Kapan batuk pertama kali Neonatus (terutama hari- Aspirasi


muncul?
hari pertama kehidupan)
Malformasi kongenital
Fibrosis sistik
Diskinesia silia primer
Infeksi paru in utero
Bagaimana
batuk?

kualitas Produktif

Penyakit paru supuratif


kronik (fibrosis sistik)

Batuk
mendadak Pertussis
spasmodik diikuti bunyi
whoop dan muntah
Batuk darah

Fibrosis sistik
Brokiektasis
Aspirasi benda asing
Tuberkulosis
Tumor
Hemosiderosis pulmonal
Malformasi arteriovena

Batuk kering berulang Psikogenik


berbunyi
seperti
menggonggong
(barking), saat aktivitas
dan menghilang saat tidur
14

Apakah batuk hanya satu- Hanya batuk


satunya gejala?
Wheezing

Bronkitis viral berulang


Psikogenik
Asma
Aspirasi benda asing
Kompresi saluran napas
Trakeobronkomalasia

Anak tampak tidak sehat, Sistik fibrosis


pneumonia
Imunodefisiensi
Diskinesia silia primer
Tuberkulosis
Bronkitis
bakterial
persisten
Apa
yang
memicu Aktivitas,
perubahan Asma
munculnya batuk?
musim, pagi hari
Posisi tidur
Post-nasal drip, GERD
Makan/minum
Aspirasi pneumonia

Tabel 6. Karakteristik batuk pada penyakit batuk kronik berulang.25


Tipe batuk
Kering,
berulang

Pemicu

Infeksi
virus
berulang
Kering (kadang Makan,
produktif),
minum,
paroksismal,
gerakan,
diikuti
atau emosi
tanpa
bunyi
whoop
dan
muntah
Batuk
seperti Di
bunyi klakson sekolah
(honking)
Kering
atau Aktivitas
produktif
, malam

Waktu/musi
m
Sepanjang
hari, musim
dingin
Sepanjang hari

Durasi

3-4
bulan

Pertussis

Pagi,
siang;
menghilang
saat tidur
Pagi
dan
malam, musim

Minggu
-bulan

Psikogenik

Minggu
-tahun

Asma

2-4
minggu

Kemungkinan
diagnosis
Infeksi postviral

15

disertai mengi hari,


(wheezing)
musim
dingin,
alergen
Kering,
Asap
berulang
rokok
Kering
atau Refluks,
produktif,
malam
disertai
hari
tersedak,
muntah,
gangguan
perkembangan,
dan
kesulitan
menelan
Produktif,
Aktivitas
crackles,
, infeksi
gangguan
saluran
pertumbuhan
napas

dingin

Sepanjang hari Tahun

Perokok pasif

Malam hari

GERD

Tahun

Malam hari, Minggu


musim dingin -tahun

Bronkitis
bakterial
persisten,
Bronkiektasis
(Fibrosis
sistik),
diskinesia silia,
TBC

Bagan 2. Ringkasan alur diagnosis batuk kronik berulang.24

16

Pemeriksaan fisik dapat sangat membantu dalam menentukan penyebab


dari batuk kronik berulang. Tumbuh kembang dan status nutrisi pasien, jari tabuh,
postnasal drip, tanda-tanda alergi: geographic tongue, allergic shinners, Dennie
crease; kelainan pada toraks: asimetri, bentuk (pectus excavatum, pectus
carinatum), perkusi: hipersonor, redup, dan pada auskultasi dapat didengar ronki,
wheezing.26
Pemeriksaan penunjang seperti hematologi dapat ditemukan anemia yang
diakibatkan oleh hemosiderosis pulmonal atau eosinofilia yang menyertai asma
17

dan reaksi hipersensitivitas lainnya pada paru-paru. Infiltrat pada radiografi dada
dapat menunjukkan fibrosis sistik, bronkiektasis, benda asing, hipersensitivitas
pneumonitis, atau tuberkulosis. Apabila pasien dengan kemungkinan diagnosis
asma, dapat dipastikan dengan uji bronkodilator. Apabila batuk tidak respon
terhadap terapi, prosedur diagnostik spesifik lainnya dapat dilakukan, seperti
evaluasi imunologik dan alergi, radiologi dada dan sinus paranasal, esofagogram,
uji pada gastroesofageal refluks, tes mikrobiologi seperti rapid viral testing,
evaluasi morfologi silia, dan bronkoskopi. Pemeriksaan spesimen sputum dapat
membantu evaluasi batuk kronik berulang. Sputum eosinofilia menunjukkan
asma,

bronkitis

asmatik,

atau

hipersensitivitas

pada

paru-paru.

Sel

polimorfonuklear pada sputum menunjukkan infeksi. Apabila tidak dilakukan


pemeriksaan sputum, eosinofilia pada sekret nasal juga dapat menunjukkan
penyakit atopi. Apabila kebanyakan sel di sputum adalah makrofag,
hipersensitivitas reseptor batuk paska infeksi dapat dipikirkan. Foto toraks perlu
dibuat pada hampir semua anak dengan batuk kronik untuk menyingkirkan
kelainan respiratorik bawah dan patologi kardiovaskular. Rontgen toraks mungkin
tidak diindikasikan jika gangguan tertentu ringan (asma). Namun, rontgen dada
yang normal tidak selalu menyingkirkan kelainan signifikan seperti bronkiektasis
sehingga pencitraan lebih lanjut mungkin diperlukan. Prevalensi tuberkulosis di
Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia; oleh karena itu skrining tuberkulosis
dengan uji tuberkulin perlu dilakukan pada anak-anak, terlebih dengan gejala
batuk kronik. Foto sinus paranasalis terindikasi pada pasien dengan sinusitis
disertai sekret purulen, batuk yang bertambah pada posisi telentang, nyeri daerah
frontal, dan nyeri tekan/ketuk pada daerah wajah.2,
Tabel 7. Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis penyakit yang
menyebabkan batuk kronik berulang.25
Penyakit
Bronkitis virus berulang

Pemeriksaan penunjang
Rontgen toraks

18

Post viral infection

Rontgen toraks, serologi

Pertusis

Rontgen toraks, serologi, kultur

Asma

Uji bronkodilator, spirometri, tes


alergi, eosinofil

Post-nasal drip

THT, foto sinus paranasal

Fibrosis sistik

Tes keringat, fungsi pankreas,


genotyping

Imunodefisiensi

Differential white blood cell count,


kadar Imunoglobulin

Diskinesia silia primer

Tes sakarin, kultur epitel silia

Bronkitis bakterial persisten

Rontgen toraks, sputum,

Kelainan anatomi (tracheo-

Barium swallow, bronchalveolar

oesophageal fistula)

lavage, oesophagoscopy

Aspirasi benda asing

Rontgen toraks, bronkoskopi

Tuberkulosis

Rontgen toraks, mantoux

Bagan 3. Alur diagnosis batuk kronik berulang pada anak.

19

2.6 Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai
etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik
merupakan pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator
sebagai obat utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan
tertentu diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik,
fisioterapi, dan lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi
dalam 2 kelompok besar yaitu farmakologik dan non farmakologik.
a. Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama
dan obat suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik,

20

bronkodilator, dan antiinflamasi, sedangkan yang termasuk suportif adalah


mukolitik dan antitusif. Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi
bakteri maka pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang
diberikan tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang
diduga bakteri maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan
pada rinosinusitis sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan
asam klavulanat.27 Pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid
dan lain-lain. Selain pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu
diperhatikan lamanya pemberian antibiotik misalnya faringitis bakteri
cukup dengan 7 hari sedangkan pada rinosinusitis diberikan selama 3
minggu. Penyebab batuk kronik yang sering adalah asma sehingga
pengobatan utama pada saat serangan asma adalah bronkodilator dan
sehari-hari di luar serangan dapat diberikan long acting beta-2 agonist
(sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid inhalasi).28
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti
mukolitik dan antitusif.29 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme
yaitu meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,
menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas
yang dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis,
antitusif dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas
mukolitik dapat pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid
dari sputum sehingga sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif
merupakan obat suportif lain yang diberikan pada batuk kronik tetapi
penggunaan antitusif terutama bagi anak-anak harus dipertimbangkan
secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan membuat sputum tidak
dapat keluar karena menekan refleks batuk yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan kerja silia.29
Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat terjadi
apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena
batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara

21

umum pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan. Pada asma


pemberian antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat
keadan asmanya.22
b. Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan
non farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian
lingkungan, dan hidrasi yang cukup.30 Pada penyakit yang hanya timbul
akibat adanya pajanan alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen
merupakan hal yang harus dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap
rokok, tungau debu rumah, atau makanan tertentu yang menyebabkan
alergi. Selain itu pengaturan lingkungan seperti kebersihan lingkungan dan
pengaturan suhu serta kelembaban merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Dengan suasana lingkungan yang baik maka tatalaksana batuk kronik
menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup dapat berperan sebagai faktor yang
memudahkan terjadinya pengeluaran sekret lebih baik. Dengan hidrasi
yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol dan menurunkan
viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan gel sehingga
proses pengeluaran sekret menjadi lebih mudah.30

BAB IV
KESIMPULAN
Batuk kronik berulang adalah batuk dengan durasi 2 minggu atau lebih
dan/atau batuk yang berulang sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut,
dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik atau non-respiratorik lainnya.
Untuk menentukan etiologi batuk kronik berulang, dapat didahului oleh

22

spekulasi etiologi yang paling sering di masyarakat (asma, GERD, dan infeksi
saluran napas atas atau bawah), kemudian dilakukan pendekatan diagnostik
dengan cara anamnesis mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti, dan dari situ
dapat ditentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis kerja. Etiologi
yang jarang terdapat di masyarakat memang agak sulit untuk ditegakkan
diagnosisnya, sehingga pemeriksaan penunjang yang dapat menjadi gold
standart untuk penyakit tersebut harus dilakukan. Tatalaksana batuk kronik
tergantung dari penyakit yang mendasarinya dengan mempertimbangkan usia
sebagai faktor pertimbangan untuk mencari etiologi. Selain tatalaksana
farmakologik diperlukan tatalaksana non farmakologik untuk menunjang
tatalaksana secara komprehensif dalam penanganan batuk kronik.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

DAFTAR PUSTAKA
Setyanto, DB. Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tatalaksana. Sari
Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70.
Kliegman RM, Stanton BF, Geme ST, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011; p. 376.
Guyton AC. Textbook of Medical Physiology 11th Edition. Philadephia:
Elsevier, 2006.
De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58:
998-1003.
Irwin RS, Madison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J
Med 2000; 343: 1715-21.
Supriyatno B. Batuk Kronik pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6,
Juni 2010.
De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58:
998-1003.

23

8. Joseph J, Benich, Carek JP. Evaluation of the Patient with Chronic Cough.
American Family Physician. Volume 84, Number 8 October 15, 2011.
9. Levya ML, Fletcher MB, Pricec DB, Hausend T, Halbert RJ, Yawng BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
Diagnosis of respiratory diseases in primary care. Primary Care
Respiratory Journal (2006) 15, 2034.
10. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, FitzGeralde
M, et al. Global strategy for asthma management and prevention: GINA
executive summary. Eur Respir J 2008; 31: 143178.
11. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and
prevention asthma in children. 2005.
12. Konsensus Nasional Anak Asma. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi,
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50
66.
13. Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, et al. Interpretative strategies for lung
function tests. Eur Respir J 2005; 26: 948968.
14. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP
Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal.
2006;129;95S-103S.
15. Kliegman RM, Stanton BF, Geme ST, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011; p. 382.
16. Shields MD, Thavagnanam S. The Difficulty Coughing Child: Prolonged
Acute Cough in Children. Shields and Thavagnanam Cough 2013, 9:11.
17. Morice AH, Fontana GA, Sovijarvi ARA, Pistolesi M, Chung KF,
Widdicombe J. The diagnosis and management of chronic cough. Eur
Respir J 2004; 24: 481492
18. Alberto E. Tozzi, Celentano LP, Atti LC, Salmaso S. Diagnosis and
Management of Pertussis. CMAJ. FEB. 15, 2005; 172 (4).
19. Orenstein S, Peters J, Khan S, Youssef S, Hussain Z. Gastroesophageal
Reflux Disease. In: Nelson Textbookof Pediatrics. Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. 18 th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2007.
20. Sylvester DC, Karkos PD, Vaughan C, Johnston J, Dwivedi RC, Atkinson
H, and Kortequee S. Review article: Chronic Cough, Reflux, Postnasal
Drip Syndrome, and the Otolaryngologist. International Journal of
Otolaryngology.
21. King PT. The Patophysiology of Bronchiectasis. International Journal of
COPD 2009:4 411419.
22. McNamara D. Brochiectasis: rates still increasing among Pacific people.
BPJ issue 46.
23. Pottermore PK. Persistent cough in children. Nzfp vol 34 number 6,
December 2007.
24. Lubis HM. Batuk Kronik Berulang (BKB) pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Sumatera Utara. 2005.

24

25. Shields MD, Bush A, Everard ML, McKenzie S, Primhak R.


Recommendations for the assessment and management of cough in
children. Thorax 2008;63(Suppl III):iii1iii15.
26. Chang AB, Landau LI, Asperen PP, Glasgow NJ, Robertson CF, Marchant
JM, et al. Cough in children: definitions and clinical evaluation Position
statement of the Thoracic Society of Australia and New Zealand. MJA
Volume 184 Number 8: 17 April 2006.
27. Jeffrey D, Kennedy DW. Treatment Options for Chronic Rhinosinusitis.
Proceedings of the American Thoracic Society Vol 8 2011.
28. Bousquet J, Clark TJH, Hurd S, Khaltaev N, Lenfant C, O'Byrne P, et al.
GINA guidelines on asthma and beyond. Allergy 2007: 62: 102112.
29. American Academy of Pediatrics. Use of Codeine-and DextromethorphanContaining Cough Remedies in Children. PEDIATRICS Vol. 99 No. 6
June 1997.
30. Department of Child and Adolescent Health and Development. World
Health Organization. Cough and Cold Remedies for the Treatment of
Acute Respiratory Infection in Young Children. WHO: 2001.

25

Anda mungkin juga menyukai