Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak
dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang.
Berdasarkan hasil penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999),
memperkirakan bahwa 30 % atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang,
sedangkan 3% atau 0,9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan
Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru UPGK 1982/1983 menunjukkan bahwa prevalensi
penderita KKP di Indonesia belum menurun. Hasil pengukuran secara antropometri pada
anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-angka sebagai berikut: diantara 119.463
anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%, gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk
5,9%.
Tingginya prevalensi penyakit KKP disebabkan pula oleh faktor tingginya angka
kelahiran. Menurun Morley (1968) dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor
meninggi pada keluarga dengan 7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh
Gopalan (1964) pada 1400 anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak
yang dilahirkan sebagai anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP
yang jelas, sedangkan anak-anak yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan
gejala KKP. Ia berkesimpulan bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada anak
prasekolah terdapat pada anak-anak keempat dan berikutnya.
Mortalitas KKP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan
pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35%
diantara mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.
Menurut WHO, 150 juga anak berumur di bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari
10,4 juga anak berumur di bawah 5 tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang.
KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KKP disebabkan karena
defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah
gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah
di Indonesia prevalensi KKP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan
intensif dalam upaya penurunan prevalensi KKP (Aritonang, 2008).
1

Penyakit akibat KKP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic
Kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena
kurang energi dan Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein.
KKP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tandatanda anak yang mengalami Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi
kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami
Marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang,
2008).
Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KKP adalah konsumsi yang kurang
dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KKP timbul pada anggota keluarga
rumahtangga miskin olek karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata
pencaharian. Bentuk berat dari KKP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai
penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem) (Aritonang, 2008).
Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat 1 milyar penduduk dunia
yang kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik.
Disamping itu masih ada 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat
melakukan aktivitas minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses
pertumbuhan badan secara normal(Aritonang, 2008) .
Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah
pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di
beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk
mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional
kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk
meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit
juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat (Aritonang, 2008).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi

Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat
masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu
yang cukup lama (Ngastiyah, 1997).
Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan
adanya defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein
maupun energi (Sediatoema, 1999).
2.2 Epidemiologi
KKP adalah gangguan nutrisi yang penting di negara sedang berkembang, termasuk
Indonesia, karena sebagai salah satu penyebab kematian dan kecacatan anak-anak
(Hendricks, 2009).
KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Besar dan luasnya masalah
KKP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui
SUSENAS modul kesehatan dan gizi. Analisis masalah KKP pada balita berdasarkan data
Susenas 1989, 1992, dan 1995 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan
prevalensi KKP total dari 47,8% tahun 1989 menjadi 41,7% tahun 1982 dan 35% pada tahun
1995. Di sisi lain, prevalensi gizi lebih meningkat dari 1,1% tahun 1989 menjadi 2,4% tahun
1992 dan 4,6% pada tahun 1995 (Aritonang, 2008).
Keadaan gizi balita yang tinggal di pedesaan cenderung lebih buruk dibanding balita
yang tinggal di perkotaan; dan keadaan gizi balita perempuan relatif lebih baik dibanding
balita laki-laki (Aritonang, 2008).
2.3 Etiologi
Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori protein dengan berbagai tekanan,
sehingga terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi
klinik (kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor) (Aritonang, 2008).
Penyebab tak langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut sebagai
penyakit dengan causa multifactoral (Aritonang, 2008). Berikut ini merupakan sistem holistik
penyebab multifactoral menuju ke arah terjadinya KKP :
Ekonomi negara rendah

Pendidikan umum kurang


Produksi bahan pangan rendah
Hygiene rendah
Pekerjaan rendah
Pasca panen kurang baik
Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar
Daya beli rendah
Persediaan pangan kurang
Penyakit infeksi dan investasi cacing
Konsumsi kurang
Absorpsi terganggu
Utilisasi terganggu
KKP
Pengetahuan gizi kurang
Anak terlalu banyak

Etiologi

akibat primer oleh karena tidak cukupnya asupan energi, protein maupun

keduanya, dan akibat sekunder oleh karena penyakit tertentu yang mengakibatkan intake
yang tidak optimal, absorpsi maupun penggunaan yang tidak adekuat serta meningkatnya
4

kebutuhan karena kehilangan zat gisi maupun meningkatnya penggunaan energi. KKP adalah
gangguan nutrisi yang penting di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, karena
sebagai salah satu penyebab kematian dan kecacatan anak-anak. KKP sekunder sering terjadi
akibat adanya penyakit akut maupun kronis (Hendricks, 2009). .
Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KKP sangat erat kaitannya dengan
keadaan ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KKP pada balita, dari
data Susenas, seiring sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan pendapatan di
bawah garis kemiskinan (Hendriks, 2009).
Pada tingkat mikro (rumah tanggat/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit infeksi
yang juga menggambarkan keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor penentu status
gizi.
Kesalahan memberikan makanan pada bayi mempunyai pengaruh kuat terjadinya KKP
pada awal kehidupan balita. Seringkali bayi tidak memperoleh ASI yang adekuat. Soal
pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) terlalu dini atau terlambat dan jumlah serta
mutu MP-ASI tidak cukup akan membuat pertumbuhan balita terhambat. Lebih-lebih MPASI buatan pabrik yang penyebarannya sudah sangat meluas di pedesaan, banyak digunakan
oleh ibu-ibu dengan jumlah yang tidak sesuai dengan kecukupan gizinya (Hendriks, 2009) .
Konsumsi makan bagi seseorang yang rawan terhadap kekurangan gizi (balita, ibu hamil)
dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarga dan pola distribusi makan antar anggota keluarga.
Selanjutnya pola distribusi makan antar anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor.
Beberapa faktor penting yang diduga ada kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi makro
adalah tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga, dll. Dalam hal ini peranan wanita
atau ibu sangat penting. Meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu
untuk pemeliharaan anak, kurang pemberian ASI, meskipun hal tersebut belum tentu
berpengaruh negatif pada keadaan gizi bayi (Hendriks, 2009).
Pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi
makan keluarga. Disamping itu konsumsi makan keluarga juga dipengaruhi oleh harga
pangan dan harga bukan pangan. Rumah tangga berpendapatan rendah 60-80% dari
pendapatannya dibelanjakan untuk makan. Harga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pendapatan riil rumahtangga, sedangkan pendapatan riil rumahtangga
disamping ditentukan oleh tingkat harga juga oleh jumlah pendapatan nominal, sementara
5

tingkat harga ditentukan, oleh tingkat inflasi dan harga relatif antar berbagai barang dan jasa
(Aritonang,2008).
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan berat dan tidaknya, KKP dibagi menjadi (Aritonang, 2008):
2.4.1 KKP ringan/sedang disebut juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh
adanya hambatan pertumbuhan.
2.4.2 KKP berat, meliputi:
a. Kwashiorkor
b. Marasmus
c. Marasmik-kwashiorkor.
Manifestasi KKP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara
Antropometri (TB/U, BB/U, BB/TB) kurang dari nilai baku yang dianjurkan
(Hendricks, 2009).
Klasifikasi Kurang Kalori Protein (Hendricks, 2009)
Normal
110-90
110 90
> 90
> 95
90

BB/TB
BB/U
BB/U
TB/U
BB/TB

Mild
90-85
90 81
90 75
98 87
90 80

Moderete
85-75
80 61
75 61
87 80
80 - 70

Severe
< 75
< 60
< 60
< 80
< 70

2.5 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus (kurang
protein

dan

kalori)

dan

kwashiorkor

(kurang

protein)

diawali

dengan

adanya

ketidakseimbangan pasokan protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya. Penyakit yang
biasanya melanda anak-anak di negara miskin dan berkembang ini disebabkan oleh selain
dari kurangnya pasokan sumber nutrisi terpenting seperti protein, karbohidrat dan lemak
sebagai penyebab utama, infeksi yang kronis dan tergolong berat, khususnya yang disertai
dengan diare, juga meningkatkan angka kejadian KKP (Dixone, 2008).

Anak-anak dengan KKP kronis, tergolong kecil untuk umur dan cenderung tidak aktif
secara fisik, apatis, dan mudah terkena infeksi. Anoreksia dan diare juga sering dijumpai
pada anak yang mengalami KKP (Behrman, 2007).
Pada KKP akut, anak tampak kecil, sangat kurus tampak seperti tulang yang hanya
dilapisi kulit tanpa adanya jaringan lemak di bawah kulit.2 Kulit kering, dan baggy seperti,
rambut jarang dan berwarna coklat kusam atau kuning kemerahan. Temperatur tubuh rendah,
denyut nadi dan frekuensi pernapasan melambat. Mereka juga tampak lemah, irritable, dan
biasanya lapar, walaupun ada beberapa yang mengalami anoreksia disertai mual dan muntah
(Behrman, 2007).
Pada penderita yang mengalami KKP, gejala klinis yang khas untuk marasmus adalah
triangular face, amenore primer atau sekunder, perut yang melar (akibat dari hipotonus otot
abdomen), prolapsus anal atau rektal (akibat dari kehilangan lemak perianal). Sedangkan
pada penderita kwashiorkor manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah edema, perubahan
pada warna kulit dan rambut, anemia, hepatomegali, letargi, defisiensi imunitas yang berat,
dan kematian yang cepat (Behrman, 2007)
Edema yang tidak terjadi pada penderita marasmus sedangkan sering dijumpai pada
penderita kwashiorkor masih sering diperdebatkan.1 Protein yang diketahui sebagai pengatur
tekanan onkotik plasma, akan hilang fungsinya jika tidak mencapai kadar yang sesuai dalam
pembuluh darah, sehingga menyebabkan edema dan asites. Tetapi pada penderita
kwashiorkor lebih banyak mengalami edema dan asites dipercaya akibat anemia berat yang
dialami oleh penderita karena dari beberapa penelitian didapati bahwa konsentrasi total
protein dalam plasma pada penderita marasmus tidak jauh berbeda dengan penderita
kwashiorkor (Behrman, 2007).
Organ vital yang sering mengalami degeneradsi pada penderita KKP adalah hati dan
jantung. Akibatnya akan terjadi insufisiensi pada otot-otot jantung, yang akhirnya akan
menjadi gagal jantung. Hilangnya lemak subkutan menyebabkan anak-anak penderita KKP
tidak memiliki kemampuan untuk pengaturan suhu tubuh yang baik dan menurunkan
cadangan air. Hal ini akan berujung pada dehidrasi, hipotermi dan hipoglikemi jika
dibandingkan dengan anak-anak yang sehat. Pada KKP berat juga terjadi atrofi vili-vili usus
halus sehingga penyerapan nutrisi pun tidak baik yang akhirnya memperparah keadaan si
penderita (Behrman, 2007).
7

2.5.1 Manifestasi Klinis pada Malnutrisi


Marasmus

Kwashiorkor

Gagal tumbuh

++

Severely underweight

++

Kehilangan massa otot

++

Edema

Apatis, lemah

++

Iritable

Ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia)

Hipoalbuminemia

Anemia

+ ++

Perlemakan hati

Suhu tubuh menurun

++

Flakey pain dermatitis

2.5.2 Tanda-tanda dari KKP dibagi menjadi 2 macam yaitu (Pudjiadi, 2005)
a. KKP Ringan

Pertumbuhan linear terganggu

Peningkatan berat badan berkurang, terhenti, bahkan turun

Ukuran lingkar lengan atas menurun

Maturasi tulang terlambat

Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung menurun

Anemia ringan atau pucat

Aktifitas berkurang

Kelainan kulit (kering, kusam)


8

Rambut kemerahan

b. KKP Berat
Gangguan pertumbuhan
Mudah sakit
Kurang cerdas
Jika berkelanjutan menimbulkan kematian
2.6 Pemeriksaan (Behrman, 2007)
Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien dengan kekurangan
kalori protein (KKP) sebagai berikut:
2.6.1 Pemeriksaan Fisik
a. Kaji tanda-tanda vital.
b. Kaji perubahan status mental, pada anak apakah anak nampak cengeng atau apatis.
c. Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk menentukan kerusakan
fungsi hati, pankreas dan usus.
d. Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut dan keelastisan kulit
dan membran mukosa.
e. Pengamatan pada output urine.
f. Kaji perubahan pola eliminasi.
g. Perhatikan apakah ada ditemukan gejala seperti diare, perubahan frekuensi BAB,
dan di tandai adanya keadaan lemas dan konsistensi BAB cair.
h. Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari.
i. Perhatikan apakah ada dijumpainya gejala mual dan muntah dan biasanya ditandai
dengan penurunan berat badan.
j. Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan mengamati tingkah laku
anak melalui rangsang.
Kemudian untuk menegakkan diagnose pada Kekurangan Kalori Protein ini juga bisa
didukung dengan pemeriksaan penunjang :
2.6.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi
Untuk memperlihatkan apakah dijumpai anemia ringan sampai sedang,

umumnya pada KKP dijumpai berupa anemia hipokronik atau normokromik.


Pada uji faal hati :
9

Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit atau amat rendah,

trigliserida normal, dan kolesterol normal atau merendah.


Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal atau menurun
Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah puasa : 70-110
mg/dl, Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam setelah makan < 160 mg/dl, 2 jam

setelah makan : < 125 mg / dl


Asam lemak bebas normal atau meninggi
Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau meninggi
Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapat normal,

merendah maupun meninggi


Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil histidin meningkat

dan indeks hidroksiprolin menurun


Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai dengan

kasus perlemakan berat


Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.
Kadar imunoglobulin A sekretori rendah
Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti amilase, esterase, kolin
esterase, transaminase dan fosfatase alkali. Aktifitas enzim pankreas dan xantin

oksidase berkurang
Defisiensi asam folat, protein, besi
Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar enzim pembentuk

asam amino meningkat.


Pemeriksaan Radiologii

b.

Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan

2.7 Penatalaksanaan KKP


2.7.1 Prinsip pengobatan KEP adalah (Junia, 2009) :
a.

Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai biologik tinggi,

b.
c.

tinggi kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral.


Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap.
Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat

d.
e.

rendah. Protein yang diperlukan 3-4 gr/kg/hari, dan kalori 160-175 kalori.
Antibiotik diberikan jika anak terdapat penyakit penyerta.
Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap
keluarga.
10

Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis pedoman pemberian cairan parenteral adalah
sebagai berikut :
a. Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmus
kwashiorkor, dan 250 ml/kg BB/hari untuk marasmus
b. Jenis cairan yang dipilah adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan
menjadi 10% bila terdapat hipoglikemia
c. Cara pemberiannya adalah sebanyak 60 ml/kg BB diberikan dalam 4-8 jam pertama,
kemudian sisanya diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya
d. Makanan tinggi energi tinggi protein (TETP) diolah dengan kandungan protein yang
dianjurkan adalah 3,0-5,0 gr/kg BB dan jumlah kalori 150-200 kkal/kg BB sehari
e. Asam folat diberikan per oral dengan variasi dosis antara 35 mg/hari pada anak kecil
dan 315 mg/hari pada anak besar. Kebutuhan kalium dipenuhi dengan pemberian
KCL oral sebanyak 75-150mg/kg BB/hari (ekuivalen dengan 1-2 mEq/kg BB/hari);
bila terdapat tanda hipokalemia diberikan KCl secara intravena dengan dosis
intramuskular atau intravena dalam bentuk larutan MG-sulfat 50% sebanyak 0,4-0,5
mEq/kgBB/hari selama 4-5 hari pertama perawatan.

2.7.2 Prinsip penanganan anak dengan kurang gizi adalah (Junia, 2009)
a. Memberikan makanan yang mengandung banyak protein, tinggi kalori, cukup
b.
c.
d.
e.

cairan, vitamin dan mineral


Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah diserap dan dicerna
Makanan diberikan secara bertahap
Penyakit- penyakit lain yang menyertai harus ditangani
Tindak lanjut bersehatan berupa pemantauan kesehatan penderita dan
penyuluhan gizi terhadap keluarga.

11

2.7.3 Terapi dietik (Junia, 2009)


3 tahap cara pemberian makanan pada KKP adalah :
a. Tahap Penyesuaian (Junia, 2009)
1) Makanan yang diberikan diawal lebih encer, lebih cair
2) Makanan yang diberikan awal bernilai kalori dan protein rendah , lalu
bertahap ditingkatkan kalori 150 220 kkal/kgBB sehari
Pada aplikasinya penderita KEP dibagi dua golongan menurut berat badan , yaitu :
1) Berat badan < 7 kg
Pada penderita dengan berat badan dibawah 7 kg jenis makanan yang diberikan
adalah makanan bayi. Pada awal perawatan makanan utama adalah susu yng
diencerkan ( 1/3, 2/3, 3/3) atau susu formula rendah laktosa. Untuk tambahan
kalori dapat diberikan glukosa 2 5 % dan tepung 2 %.
2) Berat badan > 7 kg
Pada penderita dengan berat badan diatas 7kg jenis makanan yang diberikan
adalah makanan anak umur satu tahun. Pemberian kalori 50 kkal/kgBB, protein
0,1 g/kgBB, cair200 ml/kgBB, makanan cair kental ( 1/3 , 2/3, 3/3). Sumber
makanan utama adalah susu dengan tambahan kalori glukosa 5%.
b. Tahap Penyembuhan (Junia, 2009)
Pada tahap penyembuhan, toleransi terhadap makanan dan nafsu makan sudah
membaik. Ien Pemberian makanan dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1-2
hari. Konsumsi kalori 150 200 kkal/kgBB dan protein 3,0 5,0 g/kgBB.
c. Tahap Lanjutan (Junia, 2009)
Pada tahap lanjutan, pemberian makanan kembali ke kebutuhan nutrien baku
2.8 Penatalaksanaan Marasmik dan Kwarshiorkor
a. Pemberian makanan tinggi energi dan tinggi protein
b. Energi 150 kkal/kgBB, protein 3 5 g/kgBB diberikan bertahap
c. Tambahan KCL 75 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis, MgSO4 50% sebanyak
0,25 ml/kgBB/hari secara IM.
2.9 Komplikasi KKP (Muller, 2005)
a. Defisiensi vitamin A (xerophtalmia)

12

Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata
terkena cahaya). Jika tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia
(menjadi buta)
b. Defisiensi Vitamin B1 (tiamin) disebut Atiaminosis
Tiamin berfungsi sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin
B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental dan
jantung.
c. Defisiensi Vitamin B2 (Ariboflavinosis)
Vitamin B2/riboflavin berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2
menyebabkan stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit
dan mata.
d. Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf.
e. Defisiensi Vitamin B12
Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12
dapat menyebabkan anemia pernisiosa.
f. Defisit Asam Folat
Menyebabkan timbulnya anemia makrositik,

megaloblastik,

granulositopenia,

trombositopenia
g. Defisiensi Vitamin C
Menyebabkan skorbut (scurvy), mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C
diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblas karena merupakan bagian
dalam pembentukan zat intersel, pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang
dan dentin
h. Defisiensi Mineral seperti Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium
Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh
kembang anak.
i. Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia
j. Noma sebagai komplikasi pada KEP berat
Noma atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif
sehingga dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh
sedang menurun. Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini
(Muller, 2005)

13

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak
dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan
hasil penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan
bahwa 30 % atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9
juta diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan Rekapitulasi Data Dasar Desa
Baru UPGK 1982/1983 menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum
menurun. Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa
menunjukkan angka-angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat
status gizi baik 57,1%, gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.
Manifestasi KKP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara
Antropometri. Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus
(kurang protein dan kalori) dan kwashiorkor (kurang protein) diawali dengan adanya
ketidakseimbangan pasokan protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya (Behrman, 2007)
(Hemdricks, 2009).
Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien dengan kekurangan
kalori protein (KKP)

adalah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang(baik

pemeriksaan lab maupun radiologik) (Behrman, 2007). Kekurangan kalori protein (KKP) berat
dapat menimbulkan komplikasi pada kulit dan mata (Markum, 2006) .

14

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Tatalaksana Gizi
Buruk. Jakarta: Departemen Kesehatan RI: 2006
Hassan R, Alatas H, editor. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI: 2007; hal 145-167
Matondang CS, Wahidayat I, Sanstoasmoro S, editor. Diagnosis Fisis pada Anak. Ediisi 2.
Jakarta: Sagung Seto; 2003
Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM, editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
15. Jakarta: EGC: 2000; hal: 192-197
Soetjningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 1995; hal: 1-63
http://ilmunkesehatananak.blogspot.com/

15

Anda mungkin juga menyukai