Topik Khusus Fix
Topik Khusus Fix
DISUSUN OLEH:
Arsy Prestica Rosadi,S.Ked
Doni Trinanda,S.Ked
Fanny Pratami Kinasih,S.Ked
Imam Nafi Yana Saputra,S.Ked
Wiwit Rahayu,S.Ked
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS BENGKULU / PUSKESMAS RATU AGUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Hak untuk hidup yang memadai terutama dalam hal kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui
oleh segenap bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, falsafah dan
dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas
kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan
diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang
Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak
yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program
jaminan kesehatan sosial (Kemenkes, 2013).
Untuk mewujudkan komitmen konstitusi di atas, pemerintah bertanggung
jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Pemerintah memberikan jaminan
melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih
terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali (Kemenkes, 2013).
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan
bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
(Kemenkes, 2013).
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara
jaminan sosial.Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan
kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
pemerintah (Kemenkes, 2013).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan
Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan
Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua
penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kemenkes, 2013).
Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas lebih lanjut
tentang BPJS Kesehatan (Kemenkes, 2013).
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
I.
(Kemenkes,
2013).Jaminan
sosial
adalah
bentuk
administrasi pelayanan;
pelayanan promotif dan preventif;
pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;
pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan
rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis.
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, meliputi pelayanan
kesehatan yang mencakup:
1. administrasi pelayanan;
2. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
spesialis dan subspesialis;
3. tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai
dengan indikasi medis;
4. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
5. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis;
6. rehabilitasi medis;
7. pelayanan darah;
8. pelayanan kedokteran forensik klinik;
9. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas Kesehatan;
10. perawatan inap non intensif; dan
11. perawatan inap di ruang intensif.
c. Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Dalam hal diperlukan, selain pelayanan kesehatan di atas, peserta
juga berhak mendapatkan pelayanan berupa alat kesehatan.
2. Manfaat non medis, meliputi :
a. Akomodasi
Jaminan
Kesehatan
Nasional
mencakup
pelayanan
2.
3.
4.
2.
Surat Ijin Praktik (SIP) bagi Dokter / Dokter Gigi, Surat Ijin Praktek
Apoteker (SIPA) bagi Apoteker, dan Surat Ijin Praktik atau Surat
Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lainnya
3.
4.
10
1.
2.
3.
4.
5.
11
12
13
nomor Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP)
bagi tenaga medis
14
program
pemerintah
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Setiap Kinik mempunyai hak:
a. menerima
imbalan
ketentuan peraturan
perundang-undangan
b. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam mengembangkan
pelayanan
c. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian
d. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan
e. mempromosikan pelayanan kesehatan yang ada di Klinik sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
(Depkes, 2014)
f. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit
Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat
b.
15
16
g. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit
yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan
BAB III
PEMBAHASAN
Melihat tinjauan pustaka yang sudah dipaparkan di atas dan melihat
kenyataannya yang terjadi di lapangan, sebenarnya proses rujukan yang
dilaksanakan di Puskesmas sudah sesuai dengan teori. Puskesmas berperan
sebagai Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama. Dalam
pelaksanaan teknisnya, Puskesmas menerima pasien umum dan pasien yang
menggunakan fasilitas BPJS dalam wilayah kerja puskesmas Ratu Agung.
Sistem rujukan di Puskesmas sendiri ada beberapa masalah yang tampak.
Salah satu contohnya adalah tidak semua poliklinik rujukan berada pada rumah
sakit rujukan tingkat kedua (RS tipe C), seperti poliklinik ortopedi, kulit, dan
paru. Poliklinik-poliklinik tersebut hanya berada di Rumah Sakit Umum Daerah
(RS tipe B), sehingga, pasien-pasien yang dirujuk ke poliklinik tersebut langsung
dirujuk ke RS tipe B. Masalah kedua adalah beberapa poliklinik di rumah sakit
rujukan terkesan kurang konsisten dalam pelayanan pasien. Beberapa poliklinik
tersebut membuka pelayanan pada sore hari. Hal ini dirasakan merugikan pasien,
dimana rata-rata pasien ingin mendapatkan pelayanan kesehatan secepat mungkin
pada pagi hingga siang hari, sedangkan beberapa poliklinik rumah sakit rujukan
baru akan melayani rujukan pada sore hari.
Masalah lain terkait sistem rujukan dengan jaminan kesehatan adalah
mengenai kepatuhan pasien mengikuti sistem rujukan. Seperti yang kita ketahui,
sistem rujukan berjenjang ini diberlakukan salah satunya agar kasus-kasus
17
kesehatan yang harus ditangani di puskesmas dapat tertangani dengan baik dan
tuntas, tujuan lain adalah dapat terjadi pemerataan pasien, sehingga pasien tidak
menumpuk di satu tingkat pelayanan kesehatan sebagai contoh rumah sakit
sebagai PPK tingkat dua maupun tingkat tiga yang sudah memiliki kriteria
tersendiri dalam penanganan pasien rujukan. Namun sering sekali ternyata pasien
yang datang ke puskesmas bersikeras minta dirujuk ke rumah sakit, padahal
pasien- pasien tersebut berada pada kondisi yang memungkinkan untuk dirawat
secara tuntas tanpa dirujuk ke PPK tingkat dua.
Seperti yang sudah kita ketahui dari tinjauan pustaka, rujukan vertikal dari
tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi
dilakukan apabila pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik; dan atau bila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan
dan atau ketenagaan. Dalam hal ini, Puskesmas juga sudah melakukan sesuai
dengan teori yang ada. Dari beberapa Poli yang kami kunjungi di Puskesmas,
kami mendapati bahwa dokter di Puskesmas akan merujuk pasien ke PPK tingkat
2 jika memang diperlukan rujukan, atau dengan kata lain memang karena terdapat
keterbatasan kompetensi, fasilitas tenaga peralatan, dan lain-lain.
18
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Puskesmas sudah melayani pasien BPJS dan Jamkesmas sesuai dengan
regional wilayah kerja telah ditetapkan oleh pemerintah.
2. Beberapa masalah rujukan di puskesmas ini antara lain, keterbatasan
pelayanan dan kelengkapan jenis poliklinik di rumah sakit rujukan tingkat
dua. Masalah lain termasuk pasien-pasien yang memiliki penyakit yang
seharusnya masih bisa diobati sampai tuntas di puskesmas bersikeras
meminta rujukan ke rumah sakit.
B. Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi oleh dinas kesehatan terkait dan dinas lintas
sektor lainnya seperti dinas sosial juga seluruh pihak yang terkait seperti
tenaga kesehatan maupun masyarakat mengenai sistem rujukan dan
pembiayaan yang sudah ada di masyarakat sehingga rujukan dapat tepat
sasaran dan kalaupun ada kekurangan agar bisa segera diperbaiki unutk
meningkatkan kualitas pelayanan di masa yang akan datang.
2. Untuk pengetahuan mengenai sistem jaminan sosial kesehatan yang ada di
masyarakat dan kaitannya dengan sistem rujukan. Puskesmas sebagai
fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak hanya mengedepankan
aspek kuratif dan rehabilitatif , tetapi juga dalam program aspek promotif
dan preventif contohnya saja dengan memberikan transfer ilmu kepada
masyarakat tentang mekanisme sistem rujukan yang benar melalui
mekanisme penyuluhan dan sosialisasi walaupun terkadang susah untuk
mengedukasi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
20
21