Bab 2
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada
empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila,
sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan
Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara
(ostium)
ke
dalam
rongga
hidung
(Soetjipto
dan
dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus
adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan
Schow, 2008)
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadangkadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut
dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula
drainase
juga
harus
melalui
infundibulum
yang
sempit.
drainase
menyebabkan sinusitis.
sinus
maksila
dan
selanjutnya
fetus,
berasal
dari
sel-sel
resesus
frontal
atau
dari
sel-sel
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).
2.1.3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena
dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa
bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5
cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006;
Mangunkusomo, 2007).
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid
posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit
jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Hilger, 1997;
Ballenger, 2009).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat
suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum
dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).
1.7
cm.
Volumenya
bervariasi
dari
5-7.5
ml.
Saat
sinus
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut
dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis
dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe
rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala
sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta
yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas
yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.4. Sinusitis Tipe Dentogen
2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinikan
Umumnya disertai atau
sebagai
inflamasi
mukosa
sinus
paranasal.
rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal
merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal
merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang
bronkus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran
nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus dianggap sebagai satu
kesatuan (Hueston,2002).
2.4.2. Insidens dan Epidemiologi
Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang
dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi
gigi.
Ramalinggam
(1990)
di
Madras,
India
mendapatkan
bahwa
dentogen.
Hilger
(1994)
dari
Minnesota,
Amerika
Serikat
Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi
dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih
sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus
oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
b.
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan
terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
c.
(Saragih, 2007).
Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi
dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
d.
e.
f.
g.
2001).
Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
h.
2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus
secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan
(Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor
yang
paling
penting
yang
mempengaruhi
patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus
dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi
silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus
(Hilger, 1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009).
Pulpa
terbuka
maka
kuman
akan
masuk
dan
mengadakan
sinus.
Disfungsi
silia,
obstruksi
ostium
sinus
serta
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
patofisiologi
sinusitis
ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
2.4.5. Gejala Klinis
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri
kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik
biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa
nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun
tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred
pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan
rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada
sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan
apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen.
Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen
(Mansjoer,2001).
dianjurkan
(Mangunkusomo
untuk
dan
diagnosis
Soetjipto,2007).
yang
lebih
Rinoskopi
tepat
dan
anterior
dini
memberi
gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang
mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang terkena.
Rinoskopi posterior dapat
melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia
(Mansjoer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit
akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi
dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor
etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis
maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada
sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan
untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah
konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross,
1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.
Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (airfluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan
Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan
mikrobiologik
dilakukan
dengan
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar
dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan
sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis
yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga
menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari
hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat
dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta
membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik
pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua
(Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga
hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan
irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi
pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini;
Bransletter;
Ferguson,
2010).
Prinsip
BSEF
ialah
membuka
dan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter